TETANGGAKU yang rumahnya terletak di ujung selatan, bertingkat dua, bergaya klasik, dan pada bagian depannya dihias dengan sebuah taman yang sangat hidup serta hijau dengan pepohonan cemara, tanaman kebun berbunga ungu dan kuning dengan gugusan rerumputan bagai hamparan permadani, adalah seorang lelaki berumur akhir dua puluh tahunan yang sering menjadi sasaran para orang penasaran. Namanya Damien dan dia sangat pandai membaca garis-garis tangan seseorang.
Meski telah bertetangga lebih dari lima tahun, namun aku belum pernah sekalipun berkunjung atau bahkan menunjukkan garis-garis tanganku kepadanya. Namun sebagai manusia yang selalu haus oleh rasa penasaran, perasaan itu akhirnya memuncak juga. Pada suatu Minggu pagi yang menggerutu dan gerimis, aku datang mengunjungi rumahnya yang beku namun terasa hangat di dalam.
“Jadi sekarang kau mulai tertarik dengan garis-garis tanganmu?” tanya Damien dengan tersenyum.
“Mmm......hanya penasaran.”
Aku mengamati kedua belah tanganku.
“Rasanya garis di tangan kanan dan kiriku berbeda. Aku hanya ingin tahu maksudnya. Hanya itu – tak lebih.”
“Coba kulihat,” kata Damien.
Aku cepat menyembunyikan tanganku di balik punggung.
“Kenapa?” tanyanya heran. “Kau datang memang untuk itu, kan?”
Aku menjawab ragu.
“Ya.”
Damien mencibir lalu menepuk bahuku.
“Kita bertetangga baik. Kau tak perlu menguras tabunganmu untuk sekedar konsultasi singkat ini.”
Aku tersenyum malu.
“Begitukah?”
“Marilah,” kata Damien.
Dia mempersilakanku duduk di depan meja bundar ruang tamunya.
“Coba sekarang kulihat tanganmu.”
“Kanan atau kiri?”
“Kiri. Itu bisa mengatakan lebih jujur.”
Aku menjulurkan tanganku dan Damien mengamatinya dengan seksama. Ia mengelus lembut kumis tipisnya sementara matanya tak pernah lepas mengikuti lika-liku perjalanan garisku.
“Aha!” kejutnya. “Rupanya kau seorang pengkhayal. Kau tidak perlu berbohong karena bisa kulihat garis pikiranmu memanjang sampai pangkal! Ah! Sepertinya kau juga sedang kurang fit. Kau sakit?”
Aku mendehem.
“Aku sedikit flu memang. Hujan sering tidak menentu datangnya. Mmm.......bagaimana menurutmu dengan jodohku?”
Damien kembali pada tanganku.
“Hmm.....kau tidak perlu khawatir dengan jodohmu. Kau akan bertemu dan – percayalah – dia cinta sejatimu. Mungkin kau nanti akan menikah dan punya banyak anak, atau paling tidak kau akan menikmati saat-saat mengesankan bersama dengan kekasihmu itu. Apalagi.......kelingkingmu sangat panjang,” katanya seraya tertawa lebar.
“Maksudnya?”
Damien menutup telapak tanganku.
“Istrimu nanti yang akan tahu,” katanya menyudahi.
“Kudengar ramalanmu sudah sangat terkenal. Kau tentu tahu apa-apa yang harus kau lakukan hanya dengan mengamati tanganmu sendiri, kan? Mungkin kau juga tak perlu jungkir-balik mengejar uang karena bagaimanapun kau tahu kapan uang akan datang menghampirimu,” pujiku.
Damien tertawa kecil. Ia bangkit dan berjalan ke depan jendela. Gerimis masih setia merinai di pagi hari yang sebaliknya justru menyenangkan para katak di selokan-selokan daripada orang-orang kantor dan anak-anak yang tengah mendapatkan jatah hari liburnya.
“Ramalan itu seperti bola lampu,” kata Damien. “Dia tidak akan menyala kalau kita tak mengalirkan listrik padanya,” lanjutnya sambil memandang tirai-tirai hujan.
“Kau benar. Apapun yang diramalkan takkan terwujud kalau kita tak berbuat apapun untuknya.”
Damien berpaling menatapku sejenak.
“Nah, kau mulai mengerti. Kau harus lebih serius mengejar perempuanmu itu sebelum dia memberi
peluang kepada lelaki lain; yang lebih tampan dan mapan darimu, pastinya. Sekarang coba katakan padaku siapa perempuan pujaanmu itu?” katanya.
“Luna,” jawabku malu-malu.
Damien hanya mengangguk-angguk.
Aku balik bertanya.
“Bagaimana denganmu?”
Dia sedikit terkejut.
“Hah?”
“Bagaimana denganmu sendiri? Siapa perempuan yang beruntung akan menjadi calon istrimu? Kau pasti menyukai seseorang, kan? Apa aku mengenalnya? Dia orang komplek sini? Ceritakan padaku,” tanyaku beruntun.
“Pertanyaanmu terlalu panjang. Kau jadi seperti wartawan gosip,” ejek Damien.
“Yaaa.....aku hanya ingin tahu saja,” elakku. “Sekarang katakan padaku, siapa orangnya?”
Damien kembali pada pemandangan di luar.
“Sebenarnya.......aku kagum dengan Eva. Wanita yang rambutnya hitam panjang tergerai dan tinggal serumah bersama Bibi May itu,” katanya.
Aku bangkit dan menghampirinya.
“Eva? Yang pengajar piano itu? Yah, dia memang cukup cantik juga orangnya. Selain mahir piano, dia juga pintar memainkan biola dan menyanyi. Sayangnya, Eva itu kurang bagus selera humornya. Malahan terdengarnya sangat aneh. Dia juga terlalu penolong orangnya, padahal kadang dia sendiri yang justru perlu ditolong. Kau sudah tahu peliharaanya? Rosella. Seekor kucing,” kataku panjang lebar.
“Kau tahu lebih banyak dariku rupanya,” canda Damien seraya menatapku. “Sepertinya yang lebih pantas disebut peramal itu kau.”
“Yang kutahu hanya sebatas itu. Lagipula, Bibi May yang menceritakan semua itu. Jangan bercanda padaku, Damien. Kau tentu tahu lebih banyak dari itu, kan? Sekarang kau pasti sedang menyiapkan strategi yang tepat untuk mendekatinya. Jadi apa rencanamu, hah? Mengajaknya pergi makan ke restoran favoritnya? Membelikannya gaun? Memberinya kejutan saat ulang tahunnya? Ah apapun itu, yang penting kau tahu apa yang Eva suka dan tidak. Itu sudah cukup bermanfaat,” kataku panjang lebar.
Damien kembali pada kaca jendela. Suasana hening. Hanya nyanyian hujan di atap yang terdengar menderu. Beberapa saat kemudian, ia membuka mulutnya.
“Sejujurnya, aku tidak tahu apapun mengenai Eva. Aku sama sekali tidak tahu tentang apa makanan favoritnya, gaun macam apa yang dia sukai, tanggal lahirnya, atau ia menyukai Frank Sinatra atau tidak. Aku benar-benar buta tentangnya,” katanya.
Aku menatap keheranan.
“Kau tidak tahu apapun selain namanya?! Kau pasti bercanda. Apa kau tidak bisa meramalnya? Atau mungkin dia yang tak pernah bersedia kau ramal?”.
“Dia pernah iseng datang kemari – bersama-sama Endah. Mereka ingin aku meramal tentang masa depan mereka,” jawab Damien.
“Lalu?”
“Aku hanya meramal garis-garis tangan Endah. Lalu aku berputar-putar mencari bermacam alasan bodoh untuk menutupi rasa engganku meramal Eva. Dia terlihat sedikit kecewa malam itu.”
Aku mendekat dan segera berdiri berhadapan dengan Damien.
“Kenapa? Kenapa kau lakukan hal itu? Kau seharusnya tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Ramalanmu terkenal akurat, tentu dengan mudah kau bisa tahu kelebihan dan kekurangan Eva. Kau dapat menelanjangi dia melalui garis-garis tangannya. Siapa tahu dia itu betul-betul berjodoh denganmu,” kataku.
“Akan lebih baik kalau aku tak meramal apapun tentangnya,” kata Damien bersikukuh.
“Aku tidak mengerti. Menurutku akan lebih baik kalau kita mengenali segala hal tentang kekasih kita sebelum kita benar-benar yakin sepenuhnya akan mengatakan cinta ataupun mengarungi hidup bersamanya. Bayangkan kalau ternyata Eva itu tidak semanis seperti apa yang ada dalam bayanganmu. Bayangkan kalau ternyata dia sangat pencemburu, psikopat, dan tidurnya mendesis seperti kadal. Hhh......mungkin suatu hari nanti aku akan mengajak Luna ke sini dulu sebelum kukatakan kalau aku mencintainya,” celotehku.
Damien tak menanggapi. Ia terus sibuk dengan gerimis dan orang-orang berpayung yang berjalan di sekitar komplek sambil mendekap tubuhnya.
“Henry.....Henry, aku merasa telah melakukan hal yang benar kalau masih ingin terus mengagumi Eva,” kata Damien sesaat kemudian.
Aku kembali menyerang.
“Aku masih tak mengerti, Damien. Kenapa kau tak –- “
Damien memotong.
“Terlepas dari apakah aku memang berbakat meramal atau tidak, aku memang tak ingin terlalu dini mengetahui sesuatu apapun tentang Eva. Aku tak ingin mengungkap apapun dari Eva hanya melalui garis-garis tangannya saja. Biarlah sekarang aku tidak tahu apapun tentangnya; karena dengan begitu aku tak akan pernah bosan mengenali dan menggali lebih dalam segala hal tentang dirinya.”
Aku tercenung. Damien tak membalas tatapan keledaiku itu. Gerimis semakin riuh bernyanyi di atap dan dari jalanan becek di luar sana terlihat Eva dengan payung birunya sedang berjalan pelan dibuntuti oleh pandangan mata Damien.
Meski telah bertetangga lebih dari lima tahun, namun aku belum pernah sekalipun berkunjung atau bahkan menunjukkan garis-garis tanganku kepadanya. Namun sebagai manusia yang selalu haus oleh rasa penasaran, perasaan itu akhirnya memuncak juga. Pada suatu Minggu pagi yang menggerutu dan gerimis, aku datang mengunjungi rumahnya yang beku namun terasa hangat di dalam.
“Jadi sekarang kau mulai tertarik dengan garis-garis tanganmu?” tanya Damien dengan tersenyum.
“Mmm......hanya penasaran.”
Aku mengamati kedua belah tanganku.
“Rasanya garis di tangan kanan dan kiriku berbeda. Aku hanya ingin tahu maksudnya. Hanya itu – tak lebih.”
“Coba kulihat,” kata Damien.
Aku cepat menyembunyikan tanganku di balik punggung.
“Kenapa?” tanyanya heran. “Kau datang memang untuk itu, kan?”
Aku menjawab ragu.
“Ya.”
Damien mencibir lalu menepuk bahuku.
“Kita bertetangga baik. Kau tak perlu menguras tabunganmu untuk sekedar konsultasi singkat ini.”
Aku tersenyum malu.
“Begitukah?”
“Marilah,” kata Damien.
Dia mempersilakanku duduk di depan meja bundar ruang tamunya.
“Coba sekarang kulihat tanganmu.”
“Kanan atau kiri?”
“Kiri. Itu bisa mengatakan lebih jujur.”
Aku menjulurkan tanganku dan Damien mengamatinya dengan seksama. Ia mengelus lembut kumis tipisnya sementara matanya tak pernah lepas mengikuti lika-liku perjalanan garisku.
“Aha!” kejutnya. “Rupanya kau seorang pengkhayal. Kau tidak perlu berbohong karena bisa kulihat garis pikiranmu memanjang sampai pangkal! Ah! Sepertinya kau juga sedang kurang fit. Kau sakit?”
Aku mendehem.
“Aku sedikit flu memang. Hujan sering tidak menentu datangnya. Mmm.......bagaimana menurutmu dengan jodohku?”
Damien kembali pada tanganku.
“Hmm.....kau tidak perlu khawatir dengan jodohmu. Kau akan bertemu dan – percayalah – dia cinta sejatimu. Mungkin kau nanti akan menikah dan punya banyak anak, atau paling tidak kau akan menikmati saat-saat mengesankan bersama dengan kekasihmu itu. Apalagi.......kelingkingmu sangat panjang,” katanya seraya tertawa lebar.
“Maksudnya?”
Damien menutup telapak tanganku.
“Istrimu nanti yang akan tahu,” katanya menyudahi.
“Kudengar ramalanmu sudah sangat terkenal. Kau tentu tahu apa-apa yang harus kau lakukan hanya dengan mengamati tanganmu sendiri, kan? Mungkin kau juga tak perlu jungkir-balik mengejar uang karena bagaimanapun kau tahu kapan uang akan datang menghampirimu,” pujiku.
Damien tertawa kecil. Ia bangkit dan berjalan ke depan jendela. Gerimis masih setia merinai di pagi hari yang sebaliknya justru menyenangkan para katak di selokan-selokan daripada orang-orang kantor dan anak-anak yang tengah mendapatkan jatah hari liburnya.
“Ramalan itu seperti bola lampu,” kata Damien. “Dia tidak akan menyala kalau kita tak mengalirkan listrik padanya,” lanjutnya sambil memandang tirai-tirai hujan.
“Kau benar. Apapun yang diramalkan takkan terwujud kalau kita tak berbuat apapun untuknya.”
Damien berpaling menatapku sejenak.
“Nah, kau mulai mengerti. Kau harus lebih serius mengejar perempuanmu itu sebelum dia memberi
peluang kepada lelaki lain; yang lebih tampan dan mapan darimu, pastinya. Sekarang coba katakan padaku siapa perempuan pujaanmu itu?” katanya.
“Luna,” jawabku malu-malu.
Damien hanya mengangguk-angguk.
Aku balik bertanya.
“Bagaimana denganmu?”
Dia sedikit terkejut.
“Hah?”
“Bagaimana denganmu sendiri? Siapa perempuan yang beruntung akan menjadi calon istrimu? Kau pasti menyukai seseorang, kan? Apa aku mengenalnya? Dia orang komplek sini? Ceritakan padaku,” tanyaku beruntun.
“Pertanyaanmu terlalu panjang. Kau jadi seperti wartawan gosip,” ejek Damien.
“Yaaa.....aku hanya ingin tahu saja,” elakku. “Sekarang katakan padaku, siapa orangnya?”
Damien kembali pada pemandangan di luar.
“Sebenarnya.......aku kagum dengan Eva. Wanita yang rambutnya hitam panjang tergerai dan tinggal serumah bersama Bibi May itu,” katanya.
Aku bangkit dan menghampirinya.
“Eva? Yang pengajar piano itu? Yah, dia memang cukup cantik juga orangnya. Selain mahir piano, dia juga pintar memainkan biola dan menyanyi. Sayangnya, Eva itu kurang bagus selera humornya. Malahan terdengarnya sangat aneh. Dia juga terlalu penolong orangnya, padahal kadang dia sendiri yang justru perlu ditolong. Kau sudah tahu peliharaanya? Rosella. Seekor kucing,” kataku panjang lebar.
“Kau tahu lebih banyak dariku rupanya,” canda Damien seraya menatapku. “Sepertinya yang lebih pantas disebut peramal itu kau.”
“Yang kutahu hanya sebatas itu. Lagipula, Bibi May yang menceritakan semua itu. Jangan bercanda padaku, Damien. Kau tentu tahu lebih banyak dari itu, kan? Sekarang kau pasti sedang menyiapkan strategi yang tepat untuk mendekatinya. Jadi apa rencanamu, hah? Mengajaknya pergi makan ke restoran favoritnya? Membelikannya gaun? Memberinya kejutan saat ulang tahunnya? Ah apapun itu, yang penting kau tahu apa yang Eva suka dan tidak. Itu sudah cukup bermanfaat,” kataku panjang lebar.
Damien kembali pada kaca jendela. Suasana hening. Hanya nyanyian hujan di atap yang terdengar menderu. Beberapa saat kemudian, ia membuka mulutnya.
“Sejujurnya, aku tidak tahu apapun mengenai Eva. Aku sama sekali tidak tahu tentang apa makanan favoritnya, gaun macam apa yang dia sukai, tanggal lahirnya, atau ia menyukai Frank Sinatra atau tidak. Aku benar-benar buta tentangnya,” katanya.
Aku menatap keheranan.
“Kau tidak tahu apapun selain namanya?! Kau pasti bercanda. Apa kau tidak bisa meramalnya? Atau mungkin dia yang tak pernah bersedia kau ramal?”.
“Dia pernah iseng datang kemari – bersama-sama Endah. Mereka ingin aku meramal tentang masa depan mereka,” jawab Damien.
“Lalu?”
“Aku hanya meramal garis-garis tangan Endah. Lalu aku berputar-putar mencari bermacam alasan bodoh untuk menutupi rasa engganku meramal Eva. Dia terlihat sedikit kecewa malam itu.”
Aku mendekat dan segera berdiri berhadapan dengan Damien.
“Kenapa? Kenapa kau lakukan hal itu? Kau seharusnya tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Ramalanmu terkenal akurat, tentu dengan mudah kau bisa tahu kelebihan dan kekurangan Eva. Kau dapat menelanjangi dia melalui garis-garis tangannya. Siapa tahu dia itu betul-betul berjodoh denganmu,” kataku.
“Akan lebih baik kalau aku tak meramal apapun tentangnya,” kata Damien bersikukuh.
“Aku tidak mengerti. Menurutku akan lebih baik kalau kita mengenali segala hal tentang kekasih kita sebelum kita benar-benar yakin sepenuhnya akan mengatakan cinta ataupun mengarungi hidup bersamanya. Bayangkan kalau ternyata Eva itu tidak semanis seperti apa yang ada dalam bayanganmu. Bayangkan kalau ternyata dia sangat pencemburu, psikopat, dan tidurnya mendesis seperti kadal. Hhh......mungkin suatu hari nanti aku akan mengajak Luna ke sini dulu sebelum kukatakan kalau aku mencintainya,” celotehku.
Damien tak menanggapi. Ia terus sibuk dengan gerimis dan orang-orang berpayung yang berjalan di sekitar komplek sambil mendekap tubuhnya.
“Henry.....Henry, aku merasa telah melakukan hal yang benar kalau masih ingin terus mengagumi Eva,” kata Damien sesaat kemudian.
Aku kembali menyerang.
“Aku masih tak mengerti, Damien. Kenapa kau tak –- “
Damien memotong.
“Terlepas dari apakah aku memang berbakat meramal atau tidak, aku memang tak ingin terlalu dini mengetahui sesuatu apapun tentang Eva. Aku tak ingin mengungkap apapun dari Eva hanya melalui garis-garis tangannya saja. Biarlah sekarang aku tidak tahu apapun tentangnya; karena dengan begitu aku tak akan pernah bosan mengenali dan menggali lebih dalam segala hal tentang dirinya.”
Aku tercenung. Damien tak membalas tatapan keledaiku itu. Gerimis semakin riuh bernyanyi di atap dan dari jalanan becek di luar sana terlihat Eva dengan payung birunya sedang berjalan pelan dibuntuti oleh pandangan mata Damien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar