ADZAN Ashar menggema ke setiap jengkal di sudut kota yang hiruk-pikuk dengan deru mesin. Matahari bersinar cerah, berkilauan merah keemasan; awan bergulung-gulung, berwarna keputihan membentuk tubuh seekor naga, serta burung-burung gereja bercicitan di pohon-pohon cemara di taman rumah sakit; di atap-atap rumah; dan salah satunya yang berbulu coklat kayu bertengger di dinding di luar jendela kamar 11 – A Paviliun Mawar.
Di dalam kamar itu, di atas ranjang yang bersprei putih bersih, seorang perempuan berambut hitam panjang dan tergerai di kedua bahunya, kulit yang putih bersih, dan kedua kakinya terbalut oleh kain perban setinggi hampir lutut yang kemudian juga tertutupi oleh celana panjang dari pakaian rumah sakitnya. Seorang suster masuk ke dalam ruangan yang harum dan ber-AC itu dengan ditemani oleh Rivael di belakangnya. Sesaat setelah memeriksa keadaan Cheryl, perawat itu mempersilakan Rivael menjenguknya.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Rivael sambil mengambil duduk di samping Cheryl.
“Sudah merasa baikan?”
“Sepertinya begitu, Mas,” jawab Cheryl.
Ia mencoba bangun lalu menyandarkan tubuhnya.
“Tidak enak juga lama-lama berbaring. Seperti orang yang sakit parah saja.”
“Cheryl, sekali lagi aku mau minta maaf atas kejadian kemarin,” kata Rivael memohon.
“Aku juga kan sudah bilang kalau Mas tidak usah memikirkan lagi masalah itu,” kata Cheryl halus.
“Aku seharusnya yang berterima kasih karena bertemu sudah Mas. Mas orang yang bertanggung jawab dan tidak menelantarkan aku begitu saja di jalan. Apalagi, aku dirawat di rumah sakit semewah ini. Sepertinya, aku telah menyusahkan Mas dua hari ini.”
“Jangan bicara seperti itu,” kata Rivael.
Mereka diam untuk beberapa saat.
“Aku punya permintaan, itu kalau Mas tidak keberatan.”
“Katakan, kalau aku bisa membantu pasti akan kubantu.”
“Kalau Mas tidak keberatan tolong katakan pada kakak sepupuku, namanya Surti. Mas pasti masih ingat orangnya. Dia yang kemarin sama-sama denganku. Tolong sampaikan padanya kalau aku
belum bisa pergi mengajar ke rumah Dewi akhir minggu ini, sekalian permintaan maafku pada Dewi karena tidak bisa datang mengajar. Hanya itu saja, itupun kalau Mas berkenan.”
“Tentu. Itu mudah,” kata Rivael menyanggupi. “Tapi, aku tidak tahu kalau kau seorang pengajar.”
Cheryl tertawa ringan. “Aku pengajar piano. Pengajar untuk kursus, jadi bukan guru. Mana mungkin ada guru yang
sepeti aku.”
“Pengajar juga guru namanya. Tidak peduli mengajar di sekolah atau di tempat kursus..........”
Rivael menahan kata-katanya. “Bagaimana rasanya jadi pengajar?”
“Menyenangkan,” jawab Cheryl. “Senang rasanya bisa membagikan pengetahuan berguna yang kita miliki kepada orang lain yang sedang membutuhkan. Kebetulan aku bisa main piano, lalu kenapa aku punya ilmu musik itu kalau tidak aku bagikan pada orang lain? Bukankah kalau aku nanti meninggalkan dunia ini, salah satu hubunganku yang tidak akan terputus adalah ilmu yang bermanfaat? Karena itulah aku kemudian jadi pengajar.”
Rivael menggeleng kagum. “Pasti sulit rasanya meninggalkan anak didik kalau tanggung jawab belum seluruhnya selesai.”
Cheryl menundukkan wajahnya. “Sebenarnya.........ya. Aku merasa keadaan kakiku sudah baik-baik saja, tapi tidak tahu kenapa dokter masih saja menahanku di sini.”
“Dokter hanya ingin memastikanmu benar-benar dalam keadaan sempurna sebelum keluar.”
“Aku tidak mungkin sempurna,” kata Cheryl pelan. “Kita tidak mungkin sempurna, Mas. Aku hanya akan merasa sempurna jika sudah menunaikan apa yang menjadi kewajibanku.”
Rivael berjalan ke arah jendela, menggeser kaca dan tirainya, dan membiarkan angin sejuk membuai ruangan di dalam. Langit berwarna biru cerah dan diselingi warna putih tipis dari awan. Musim panas yang sudah dinanti selama hampir satu putaran penuh perjalanan tahun ini bersinar dengan cerahnya.
“Aku punya rencana, Cheryl,” kata Rivael.
“Rencana?”
“Kalau kau memang merasa yakin sudah baikan, aku akan mengajukan pada Dokter Ahmad untuk mempercepat masa pemulihanmu di sini. Jadi besok aku bisa mengantarmu ke tempat Dewi dan kau bisa mengajar sesukamu di sana. Kau mau, Cheryl?”
Cheryl mengangguk, tersenyum dengan bahagia.
“Terima kasih. Aku sudah menyusahkan Mas lagi.”
“Jangan berkata begitu. Kau adalah tanggung jawabku setelah kejadian malam itu.”
“Itu terdengar sangat berat, maksudku.......”
Cheryl mencoba turun dari tempat tidurnya. Rivael segera datang menghampirinya.
“Hati-hati,” kata Rivael.
Ia meraih tangan Cheryl.
“Aku tidak apa-apa. Sudah bisa berjalan, kok. Aku hanya ingin mendekat ke jendela. Sudah hampir dua hari ini aku tidak merasakan angin dan matahari,” kata Cheryl.
Rivael menuntun Cheryl mendekati jendela. Ia berdiri di samping Cheryl memandang ke cakrawala yang luas dan tidak bertepi.
“Sepertinya ada yang berbeda hari ini?” tanya Cheryl. Hidungnya mengendus udara yang hangat.
“Tidak ada yang berbeda. Kita hanya terlalu lama mengalami musim hujan, jadi tidak sadar kalau musim panas sudah datang.”
*
JESSICA adalah seorang wanita 23 tahun, cantik dengan wajah yang mencerminkan keluguan, kekanakan, atau mungkin juga kebodohan yang menurut sebagian orang adalah gambaran dari peran-peran yang telah ia perankan dalam sinetron membosankannya. Posturnya tak terlalu tinggi, namun langsing hingga bermacam gaun dapat membalut dia tanpa harus membuat tubuhnya tersiksa.
Dia menjalani hubungan bersama Rivael dengan telah mengantongi perbekalan berupa pengalaman dari para pendamping “pendahulu” yang kini mulai sering mengoceh di berita-berita gosip. Dia mungkin tahu kalau Sang Arjuna pada akhirnya juga akan meninggalkannya suatu waktu nanti. Dia paham benar hal itu. Dan karena pemahamannya itu, Jessy berharap bisa “mengingkari” takdir hubungannya dengan Rivael.
“Aku ingin bertemu, Sayang.” Demikian Jessica membuka pembicaraannya dengan Rivael melalui ponsel. “Kau mau menjemputku di Salon Beauty. Aku kangen denganmu, Rivael.”
“Aku juga. Tapi aku tidak bisa sekarang,” jawab Rivael dari ujung lain. “Aku masih ada urusan, sibuk. Tapi, mungkin kalau kau menunggu di sana satu jam lagi, aku akan datang menjemput.”
“Satu jam? Sekarang sudah hampir selesai, Sayang. Aku tak bisa menunggu selama itu. Memangnya kau sekarang ada di mana? Masih syuting?”
“Ya.......ya, aku masih di lokasi. Mungkin sekitar satu jam lagi selesai.”
“Jadi, kau masih di lokasi. Di mana? Bagaimana kalau aku yang ke sana, lalu kita bisa pergi hang outsama-sama. Oke, Sayang?”
“Jangan...jangan,” kata Rivael cepat. “Jangan susah-susah kemari. Baiklah, tunggu tiga puluh menit lagi, aku akan menjemputmu.”
“Tiga puluh menit?” Jessy menimbang-nimbang. “Di Salon Beauty, Sayang. Jangan terlambat. I miss you.”
Rivael memasukkan ponselnya ke kantung di kemejanya. Matahari telah berangsur mengurangi terik sinarnya. Sore hari yang hangat. Namun di jalanan di luar sana kegerahan bisa sangat gila panasnya. Sedan merah Rivael tengah melaju di Boulevard yang berdesing-desing oleh deru mesin-mesin bermotor.
“Aku sudah membuat Mas berbohong,“ kata Cheryl. “Pasti dia akan marah besar kalau sampai tahu Mas sedang bersamaku.”
“Hasilnya juga akan sama saja. Jika aku berbohong padanya, berarti aku menepati janjiku padamu; dan jika aku menepati janjiku padanya, berarti aku tidak akan menjemputmu sekarang ini. Dalam hal ini, aku lebih memilih berdusta untuk yang lebih berguna bagi orang lain,” kata Rivael.
Ia memutar setir dan sedan berbelok ke arah utara. “Aku ingin sempurna,” lanjutnya.
Cheryl tersenyum. “Aku benar-benar sudah merepotkan. Bagaimana aku membalas kebaikan ini?”
“Tidak perlu. Kau tidak perlu membalasku apa-apa. Ingat, aku yang menabrakmu; jadi sudah pantas kalau aku melakukan semua ini untukmu.”
Cheryl tidak membalas.
“Jam berapa selesai mengajar? Aku tidak bisa menemanimu di sana, jadi kau bilang saja jam berapa kau pulang, nanti aku usahakan menjemputmu.”
“Oh, tidak perlu. Sungguh, aku bisa pulang sendiri. Sudah terbiasa. Aku akan memanggil taksi nanti. Aku tidak mau membuat Mas berbohong untukku lagi.”
“Tapi –“
Cheryl menukasi. “Mas meragukan saya? Semua orang yang pertama bertemu denganku juga akan berpikir begitu. Tapi aku bukan perempuan lemah. Aku bisa melakukannya sendiri.”
Rivael buru-buru menambahkan. “Jangan salah paham dulu, Cheryl. Hanya saja –“
“Takut aku tersesat atau dipermainkan supir karena aku belum lama tinggal di sini?” potong Cheryl.
Rivael tidak menyahut.
“Aku selalu percaya pada dasarnya semua orang itu baik; tak akan menipu atau menyakiti sesamanya. Kita berubah jadi buruk semata-mata hanyalah karena kita adalah korban sebuah permainan,” tambahnya.
“Tapi ini ibukota dan kau –“
Cheryl meraba tangan Rivael dan menggenggamya erat.
Ruangan kecil itu dipenuhi tawa.
**
“Percayalah. Tidak akan terjadi apa-apa. Aku dapat mempercayai Mas yang baru dua hari kukenal – dengan cara bertemu yang tak lazim – lalu kenapa aku tak bisa mempercayai seorang supir taksi,” katanya.
Rivael tidak berkata-kata. Dia juga mungkin tidak mendengar apa yang dikatakan Cheryl padanya. Pada saat ini hanya indera perabanya saja yang berfungsi. Karena itu dia hanya merasakan kehangatan dari genggaman tangan Cheryl.
Dia ingin membuat tangan itu tetap menggenggamnya, namun ia tidak punya kuasa untuk membuat tangan itu lebih lama atau lebih cepat menggenggamnya. Walau perempuan itu seperti halnya perempuan-perempuan lain yang selama ini ia kenal, ia bisa mempertahankan genggaman itu pagi hingga siang, hingga malam, dan hingga pagi menjelang kembali.
Cheryl cepat-cepat melepas genggaman tangannya begitu ia menyadari ia sudah terlalu lama berada dalam suasana yang hening sepihak dari pihak Rivael itu.
“Mas bekerja di mana?”
Rivael balik bertanya. “Sepupumu tidak memberi tahu?”
Cheryl menggeleng.
“Lagipula apa pentingnya? Kalau kukatakan padamu, aku takut kau akan terkejut.”
Cheryl tertawa. “Sudah kuduga kalau Mas bukan pemain film atau sandiwara.”
Rivael mengerutkan dahinya. “Kenapa?”
“Sebab saat ini semakin sering orang yang bermain pura-pura, tapi semua itu demi uang. Sementara Mas sudah bermain berpura-pura dengan berkata sedang berada di tempat lain demi kepentingan yang lebih manusiawi. Hanya sedikit orang yang berakting untuk sesuatu yang manusiawi,” kata Cheryl.
“Aku tidak tahu hal itu,” kata Rivael. “Ah, kita sudah dekat. Nomor berapa rumahnya?”
“15 C.”
“Aku bisa menemuimu lagi? Apa aku masih bisa bertemu denganmu?” tanya Rivael sebelum mobil berhenti di depan rumah berpagar putih dan cukup tinggi itu.
“Tentu. Dengan tanpa membawaku ke rumah sakit terlebih dulu tentunya,” jawab Cheryl.
Ruangan kecil itu dipenuhi tawa.
**

Tidak ada komentar:
Posting Komentar