Selasa, 03 Mei 2011

Cara yang Salah


KOMPLEK perumahan tempat Hendra bermukim dan bersosialisasi ini bukannya tak pernah gempar. Itu terjadi tujuh tahun silam ketika rumah bernomor 5 yang berpagar kayu setinggi pusar lelaki dewasa dan dari belakangnya mencuat tangkai-tangkai bunga sepatu dengan kelopak bunganya yang merah terang itu masih menjadi kediaman Si Janda Heny dan anak lelaki satu-satunya, Tomy.

Hendra dan Tomy bersahabat baik. Mereka sama-sama lulus dari sekolah yang sama dan berjuang dengan jalan serupa dalam mencari ladang pekerjaan.

Pada waktu itu, keduanya baru lulus SMU tanpa bekal apapun selain nilai-nilai dalam kertas ijazah yang ternyata tidak banyak membantu mempengaruhi penilaian para manajer perusahaan. Terutama lagi karena mereka lelaki yang sulit bisa dipampang di depan etalase untuk menarik pembeli.

Hendra sejatinya hanya iseng mencari kerja untuk sekedar menambah uang jajan, tapi tak demikian dengan Tomy.

Semunya tahu bahwa setelah suami Janda Heny meninggal karena kecelakaan dua tahun sebelum kelulusan Tomy, keadaan keuangan keluarga mantan pegawai PJKA itu semakin melemah. Semula ibunya bersikeras menjual rumah mereka itu untuk biaya kuliah, namun pemuda tinggi dengan sorot mata tajam itu menolak. Jadilah hampir setiap hari mereka bergentayangan mencari liang-liang penghidupan.

Lalu datanglah malam celaka itu. Dada Hendar selalu berdesir setiap mengingat peristiwa getir itu.

Malam itu, setelah tadi paginya mereka berpeluh keringat mencari lahan pekerjaan ke sekeliling kota, Tomy datang ke rumah Hendra dengan perasaan gundah. Dia terlihat marah, namun tidak punya tempat meluapkannya. Akhirnya, Hendra merelakan dirinya menjadi kanvas amarah Tomy.

“Kau tahu, dari tadi siang setelah pulang mencari kerja sampai malam hari ini, Ibuku meracau yang aneh-aneh dan tak jelas maksudnya,” katanya kesal. Dadanya naik-turun dan nafasnya mendengus keras.

“Memangnya Ibumu bilang apa?”

“Ibuku meracau seperti orang gila, kadang-kadang juga mendengar hal-hal yang mustahil!”

“Hal-hal apa? Katakanlah dengan tenang, jangan terburu-buru begitu.”

“Entahlah –- mungkin saja bisikan iblis,” desis Tomy.

Ia meneguk minumannya cepat-cepat.

“Ibuku membuatku gila dengan suara-suara Nenek Amran yang terus mengalir ke telinganya itu.”

“Nenek Amran? Tunggu, maksudmu Ibumu mendengar suara Nenek Amran, begitu? Apanya yang aneh? Ibumu kan memang belum tuli, Tom.”

“Ya, tapi bukannya mendengar seperti saat mereka berdua mengobrol. Ibuku bisa mendengar suara Nenek Amran yang sedang bergumam, mengaji, bahkan berbisik dari dalam rumahku!”

“Apa? Biar kuulangi lagi. Ibumu bisa mendengar suara gumaman dan berbisik Nenek Amran dari dalam rumah? Itu tidak mungkin! Mustahil! Rumahmu dan rumah Nenek Amran jauh berseberangan! Kau jangan mengada-ada! Mana mungkin Ibumu mendengar suara Nenek Amran dari jarak segitu; dari dalam rumah lagi?! Kecuali kalau Nenek itu sengaja memakai pengeras suara untuk pamer kepintaran mengajinya, tapi menggumam....., berbisik........Ah! Kau jangan meracau, Tom!”

Tomy tersenyum kecut.

“Kau yang tak seatap dengannya saja bisa gila mendengar rancauan itu, bayangkan dengan aku. Tapi yang membuatku kesal bukan itu saja,” kata Tomy.

“Apa lagi?” selidik Hendra.

Tomy terdiam sesaat.

“Ibuku selalu saja mendengar – dari jarak yang jauh – kalau Nenek Amran terganggu dengan suara menyanyiku. Ibuku berkata kalau suara nyanyianku telah membuat Nenek itu tidak bisa tidur, menggumam kesal, lalu marah-marah. Setiap kali aku bernyanyi, Ibu selalu saja mengawas-awasiku dengan berkata: ‘Jangan menyanyi seperti itu, Nenek Amran sedang di kamar dan menggumam kesal tidak bisa tidur mendengar nyanyian paraumu itu, atau kalau tidak: ‘Jangan menyanyi, Nenek Amran sedang sholat. Bacaan doanya terganggu karena nyanyianmu itu. Sssttt......diamlah. Dia salah lagi melafalkan Al Fatihah’. Begitulah katanya!”

Hendra menatap dengan busur alis terangkat.

“Sorry, bukan maksudku menghina Tom, tapi Ibumu memang aneh. Aku jadi ingin membuktikan sendiri. Besok lusa aku ke rumahmu, ya?”
Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi datanglah Hendra berkunjung ke rumah Tomy. Ia tidak mendapati sahabatnya itu di rumah. Kata ibunya, Tomy sedang keluar sebentar membeli gula di warung. Di pagi hari yang masih kuning itu pula, di pelataran rumah Bu Heny, Hendra mendapati seorang tukang asah sedang mengasah golok bergagang hijau.

“Itu golok peninggalan kakeknya Tomy,” jelas Bu Heny. “Dia dulu seorang jawara, jagoan silat di kampungnya. Golok itu bersejarah lho, Hen. Dulu pernah digunakan untuk menggorok leher para pengacau ketenteraman kampung,” lanjutnya.

“Itu hebat, Bu. Tapi cukup mengerikan,” kata Hendra. “Sepertinya semua keluarga Tomy dulunya adalah orang hebat. Tante Heny dulu kabarnya juga seorang penyanyi rekaman, kan?”
Sambil tertawa, perempuan paruh baya itu mempersilakan Hendra masuk.

“Itu sudah sangat lama. Apa Tomy yang menceritakannya? Dia memang cerewet anaknya,” katanya.

“Tapi dia cukup pandai.
Kalau bukan karena contekan dari Tomy, aku tak yakin bisa lulus.”

“Itu mungkin pembawaan dari ayahnya,” kata Bu Heny. Ia mulai redup. “Sejujurnya Hendra, aku sudah lelah tinggal di komplek ini. Kami pernah mengalami masa-masa indah di sini – dan itu sudah lebih dari cukup. Sekarang bukan lagi masaku atau masa-masa indah bersama almarhum suamiku, Hen. Sekarang masanya Tomy. Dia tidak boleh menjadi orang yang gagal. Aku ingin sekali melihatnya sukses, dan tentu punya kebanggaan padanya.”

Bibir Bu Heny mengatup sesaat. Keningnya berkerut dan pandangan matanya hampir kosong.

“Muingkin anakku sudah cerita kalau aku punya rencana menjual rumah ini untuk membiayainya kuliah. Yahh, sudah kuduga dia pasti menolak rencana itu. Aku sendiri tidak tahu mengapa dia betah tinggal di sini. Mungkin karena kamu. Kamu sahabatnya di sini,” kata Bu Heny.

“Tomy menyukai suasana di sini,” kata Hendra dengan tertunduk. “Sebenarnya ada satu hal yang ingin aku tanyakan pada Tante.”

“Soal apa, Hen?”

“Soal Tante yang bisa mendengar suara-suara Nenek Amran. Benar, Tante bisa mendengarnya?”

Wanita itu tertawa kecil.

“Itu hanya bohong-bohongan,” jawab Bu Heny pelan. Terkesan ia malu. “Mana mungkin aku bisa mendengar suara wanita tua itu dari dalam sini. Yang benar saja? Sebenarnya aku hanya membohongi Tomy agar dia tak menyanyi lagi.”

“Kenapa?”

Ia membesarkan matanya.

“Kau tak pernah mendengarnya bernyanyi?”

Hendra menggelang.

“Ah! Suaranya sangat buruk! Sengau! Mirip suara krempyeng si tukang patri yang keliling sore-sore itu. Tapi, alasanku yang sebenarnya karena aku tidak ingin para tetangga mendengar Tomy bernyanyi seperti orang tak berguna. Kau mungkin tahu mulut sebagian tetangga di sini seperti corong. Termasuk nenek yang katanya pintar ngaji itu. Mereka bisa menggosipkan apa pun. Aku tentu tak ingin mereka menggunjingkan Tomy sebagai anak malas yang kerjanya cuma bernyanyi sumbang dan sama sekali tak punya minat untuk bekerja.”

“Itu tidak benar! Tomy sudah berusaha keras selama ini, tak seharusnya Tante –-“

“Sebelum ia benar-benar mendapat pekerjaan, aku akan terus berbuat demikian. Semoga dengan itu Tomy mau berhenti bernyanyi dan tetangga tak menggunjingkannya lagi,” potong Bu Heny.
Pembicaraan dua insan yang berbeda usia itu terputus setelah tukang asah bersungut-sungut masuk ke ruang tamu sambil membawa sebilah golok yang sekarang lebih mengkilap dan tajam. Tidak berapa lama, Tomy-pun datang menyusul dengan kantung plastik tergantung di tangan.
“Kau sudah mendengar Ibu meracau?” bisik Tomy.

“Belum.”

Dia melongok ke luar.

“Pantas saja. Nenek Amran sedang tidak di rumah. Nanti malam datanglah kembali. Kau pasti bisa menyaksikan langsung kehebatan Ibu,” katanya.
Karena hujan deras Hendra membatalkan kunjungan ke rumahnya. Lagipula ia sudah tahu rahasia di balik semua ini. Keesokan paginya, ketika Hendra akan mengajak Tomy berburu pekerjaan kembali, di teras depan rumah Nenek Amran dipenuhi kerumunan manusia. Laki-laki, perempuan, tua, muda, hingga anak-anak kecil, berkerumun membentuk dinding. Aktivitas pagi terkonsentrasi hanya untuk rumah kecil itu.

Dengan susah-payah akhirnya Hendra berhasil menerobos tembok manusia itu.

“Ada apa?” tanya Hendra sambil menutup hidung

“Nenek Amran. Dia meninggal. Sepertinya dibunuh.”

“Innalillahi. Perampokan, Mas?”

Lelaki di sebelah Hendra itu menggeleng.

“Sepertinya bukan. Kampung ini aman dari jangkauan maling. Tapi, polisi masih terus menyelidiki dan belum memberi kepastian.
Coba lihat itu yang di lantai. Mungkin itu alat yang dipakai si pembunuh.”

Tubuh Hendra serasa lumpuh saat mendapati golok bergagang hijau tergeletak berlumuran merah.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar