Tentu kamu pernah bermain permainan ini. Atau
setidaknya sekedar pernah mendengar atau melihat orang lain memainkannya di koran, tabloid, atau media lain.
Permainan ini bernama “10 Perbedaan”,
sebuah kegiatan membandingkan dua buah gambar kemudian si
pemain diminta mencari 10 perbedaan dari kedua gambar tersebut. Permainan asah
otak tersebut membuat kita berlomba dengan waktu untuk paling cepat menemukan
perbedaan. Ada yang genap sukses 10, ada yang sampai habis waktu hanya
menemukan 1 atau 3 saja.
Sekilas memang tak ada
yang ganjil dalam permainan ini. Kecuali, jika di hari yang sangat lapar dan haus,
kamu merasa aneh harus bermain mencari perbedaan dari dua objek yang memang
sudah jelas berbeda sejak awal. Kamu diminta mencari perbedaan karena perbedaan
itu sendiri. Lho, bukannya itu malah
tantangannya? Biar naluri kita bergeliat aktif lalu seterusnya menjadikan akal
kita paripurna karena berhasil menemukan bagian kecil dari dua frame yang
sekilas tampak sama?
Heuheu ….
Atas karunia Tuhan kita
lahir di sebuah gugusan yang campur sari. Rangkaian kebudayaan yang mana
fragmen-fragmen penyusunnya berbeda satu dengan yang lain. Tentu kamu tahu yang
hari-hari ini membuat kita gerah: penilaian atas perbedaan. Masyarakat kita
terlalu mudah – dan cenderung gemar – mencari-cari perbedaan. Dalam batas
kewajaran hal itu tentu tidak merisaukan. Namun, terkadang kita tidak bisa
membendung saat kumpulan kegemaran mencari perbedaan itu menumpuk dan berbelok tajam
ke arah yang menuntut pembenaran atas status dan keberadaan.
Kegagalan bermasyarakat
yang harus dihindari oleh masyarakat kita adalah soal bagaimana cara menanggapi
dan mengamati perbedaan di negeri yang memang oleh Tuhan ditakdirkan berbeda
bahkan sejak sebelum nation ini bernama
Indonesia. Perlu kita ketahui bahwa karena asyik dan terlalu mudahnya kita berlomba
mencari perbedaan maka gesekan antarkelompok jadi mudah tersulut. Kita seolah
lupa – atau melupakan – bahwa sejatinya kehidupan di Indonesia adalah
potongan-potongan gambar yang ditakdirkan beragam dalam rahim. Kita kini menjadi
seolah takjub saat menemukan hal yang tidak serupa, semahzab, seiman, sealiran,
dengan yang ada pada diri atau kelompok kita.
Seperti halnya ketika
bermain 10 Perbedaan. Di gambar “A” menampilkan lansekap sebuah desa, bergunung
biru, bersawah hijau, dan ada pak petani berbaju merah. Di gambar “B” adalah
lansekap yang sama hanya saja pak petani berbaju hitam. Masyarakat kelompok “A”
yang gemar mencari pembenaran atas perbedaan merasa benar atas statusnya bahwa
petani haruslah berbaju merah. Sementara masyarakat “B” juga tidak ingin
dianggap bersalah karena pak petaninya berbaju hitam. Mereka merasa saling
benar. Merasa saling merasa nggenah
kalau di satu sisi judul permainan itu adalah “Carilah 10 Perbedaan A dari B”
dan “Carilah 10 Perbedaan B dari A” di sisi lain.
Mindset 10 Perbedaan hanyalah menekan
kita untuk mencari pertidaksamaan. Sementara kita melupakan bahwa dari
pertidaksamaan itu ada persamaan yang jauh lebih luas. Kita telah melupakan
persamaan. Terlalu terkonsentrasi pada pakaian si petani dan melupakan warna
gunung, warna sawah, arah aliran sungai, jumlah bintang-bintang yang membentuk
gambar itu seutuhnya. Kita meninggalkan persamaan karena mencari persamaan itu
tidak asyik, tidak menantang, dan jika dilombakan tidak akan ada yang berusaha
untuk menang.
Ya, mencari persamaan itu
tidak memunculkan gairah berapi-api, alih-alih: kelompok berbaju merah duduk
bersama kelompok berbaju hitam di sebuah kedai, memesan secangkir kopi, sambil
memandang gugusan gunung, sawah, bintang dan komponen-komponen lain yang sama-sama
mereka jumpai di alam A dan B. Dalam tahapan selanjutnya, si Merah dan si Hitam
membakar kretek, memandangi satu sama lain, lalu menangis. Keduanya trenyuh karena melihat unsur A di dalam
B, dan unsur B di dalam A. Bagaimana mungkin selama ini saat mencari
pertidaksamaan mereka sebenarnya telah menyakiti diri sendiri?
Bagaimana mungkin?
***
(kredit foto dari www.1mobile.co.id)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar