Rabu, 04 Mei 2011

Tentang : Menjadi Laki Laki

"Kalau jadi laki laki, tanggung jawabnya lebih besar. Karena bagaimanapun, laki laki itu nanti akan membawa anak (perempuan) orang...."

Hehehe .. kira kira semacam itulah kata kata Ibu yang berulang ulang ulang kali dikatakan kepadaku. Aku masih ingat, telinga ini rajin sekali mendengung oleh kata kata itu ketika aku masih berumur 12 atau 13 tahun, waktu masih zaman zaman SMP lah tepatnya.

Pada waktu itu, Ibu selalu mengingatkan: nanti sekolah yang benar; kalau diajak teman ngene ngunu - sing aneh aneh - ditolak sing alus; kudu nduwe penggawean, Le (di sini Ibu menekankan sekali); lalu di ujung ujungnya kembali ke sini: ... bagaimanapun laki laki itu akan membawa anak (perempuan) orang lain. 

Yah, tentu saja bukan maksudnya mencekoki dengan pengertian: "Le, kalau udah besar nanti kau bawalah lari (culik) anak gadis orang". Hehehe .. tentu bukan seperti yang itu yang beliau maksudkan. Beliau sadar betul bahwa nanti seorang laki laki itu ketika dewasa harus menjalankan kodradnya, melengkapi separuh dien-nya dengan membina rumah tangga sendiri. Kudu omah omahan dewe, istilah Jawanya.


Seperti ketika dulu Bapak melakukan hal yang sama kepada Ibu.


Memang, Aku tak pernah mendengar dari Bapak sendiri, namun kata Ibu, Bapak dulu itu menjadikan Ibu satu satunya perempuan dalam hidupnya, saat Ibu masih berusia kepala dua (Bapak mungkin .. ehm ... 5 atau 6 tahun lebih tua). Pun, Bapak tak pernah menceritakan dari bibirnya sendiri apa dan bagaimana taktik beliau "menculik" Ibu dari kedua orang tuanya. Tentang nyali macam apa yang dimiliki Bapak hingga membuatnya berani sekali membeli tiket perjalanan seumur hidup itu.

Yah .. Bapak memang tak (sempat) memberi tahu itu semua.....
Yah .. Bapak memang tak (sempat) melihat kekhawatiran Ibu ketika Ibu harus melaluinya seorang diri ...

Dan, kekhawatiran seorang Ibu itu adalah ketika nanti si anak laki laki sudah hidup bersama dengan anak perempuan orang lain, dia dhaif dalam memenuhi tanggung jawab kepada perempuannya. 

Sepertinya, kekhawatiran seorang perempuan yang normal ya? Hehehe ...

Ketika masa SMP seorang laki laki bau kencur menerima wejangan semacam itu, aku hanya mengangguk (mengiyakan dan tak membantah apapun). Di saat bersamaan, pada saat itu tak terlintas betul dalam pikiran ini: Apa pekerjaanku nanti? Apa? Penulis? Penggiring bola lalu main di Gajayana? Atau apa .... ??
Pun, ketika Ibu menekankan tentang membawa anak orang itu, hehehe ... seorang anak SMP masih terlalu jauh untuk itu. Kesenangannya masih bisa diredam dengan Playstation. Kerinduannya masih bisa dielus oleh Bapak-Ibunya atau oleh teman teman yang ada di sampingnya. Belum waktunya oleh anak orang lain.

Namun, seolah tak peduli apa yang melintas di benakku, Ibu masih menyenandungkan lagunya kembali: "Kalau jadi laki laki, tanggung jawabnya lebih besar. Karena bagaimanapun, laki laki itu nanti akan membawa anak (perempuan) orang...."

*

Aku, tak akan mengutak utik apapun perkataan Ibu itu, bagaimanapun seorang laki laki adalah pemimpin rumah tangga, imam bagi perempuan dan anaknya, lalu dari sana akan dikaitkan dengan tanggung jawab; hak dan kewajiban; cinta; kasih sayang; perlindungan; amanah; dan sebagainya.


Menjadi laki laki itu belumlah cukup dengan apakah Kamu telah berpenghasilan lebih; apakah Kamu seorang yang Romeo; atau apakah Kamu telah sanggup mewujudkan omah omahan dewe untuk perempuanmu itu.

Maaf jika Aku keliru, (tapi) bukankah harta benda itu sewaktu waktu juga akan habis tergerus?;

Maaf jika Aku keliru, (tapi) bukankah suatu saat nanti kita pun akan keriput dan beruban halus?;

dan ... maaf jika Aku keliru, (tapi) bukankah suatu hubungan yang baik juga akan berakhir dengan baik - 'till death do us apart - jika antara laki laki dan perempuan bisa saling menjaga diri serta satu sama lain sehingga takkan timbul fitnah dan prasangka di kemudian hari?

Materi dan semua yang tersebut itu memang secara logika dibutuhkan, namun tidakkah lebih arif jika Kamu menomorempatkannya, setelah mendahuluinya dengan istiqomah, akhlak, dan akal? : )

*

Pernah ada yang bilang, yang jika disimpulkan kurang lebih begini: Beristiqomahlah atas hal hal yang baik; atas iman dan takwamu kepada Allah - Tuhan Semesta Alam; atas keikhlasan sedekahmu, amalmu, kelembutanmu, kasih sayangmu, dan cintamu. Jika untuk utuh menggapainya masih sulit, maka upayakanlah untuk mendekatinya. 

Yang sulit itu bukanlah bagaimana membelanjakan harta bendamu untuk kebutuhan perempuanmu, tetapi bagaimanakah caramu untuk ajeg menafkahi perempuanmu dengan cara yang halal dan penuh tanggung jawab?

Yang sukar itu bukanlah membiarkan perempuanmu sibuk dengan dunia dan cita citanya sendiri, tetapi bagaimanakah istiqomahmu untuk saling membagi perasaan, menasihati dengan lidah yang halus, menjaga harga diri, keutuhan, dan citranya sebagai perempuan?

Dahuluilah dengan istiqomah, bentuklah menjadi sebuah akhlak, lalu jalan serta seimbangkanlah dengan akal... (dan sisanya InsyaAllah akan lebih mudah mengiringi)....

*

Sepertinya.... Aku terlalu banyak berbicara dan sok tahu, ya? Maaf ...

Tapi, tahu? Sampai sekarangpun, Ibu kadang masih mengulangi hal yang sama 10 tahun lalu: "Kalau jadi laki laki, tanggung jawabnya lebih besar. Karena bagaimanapun, laki laki itu nanti akan membawa anak (perempuan) orang.... tapi sekarang (Alhamdulillah) ada tambahannya begini: "Tak doakan dapat istri sing sabar, sing manut, dapat mertua ya sing sabar .... "

Hehehe ... Amien, InsyaAllah : )


Tidak ada komentar:

Posting Komentar