Selasa, 03 Mei 2011

Badut


HARI INI adalah enam hari di bulan Agustus setelah tanggal tangis pertama kekasihku. Semaraknya dari tahun ke tahun seakan tidak pernah padam. Umbul-umbul dengan warna kebesaran negara dipasang di sepanjang jalan masuk menuju gapura komplek, bendera-bendera dari bahan plastik berderet pada seutas tali panjang yang dikaitkan dari satu ranting teratas sebuah pohon menuju ranting pohon yang lain secara diagonal, dan di depan tiap rumah Sang Merah-Putih berkibar dengan gagah ditentang angin.

Minggunya, setelah tanggal kemerdekaan ke 62, seluruh penghuni komplek RW 14 telah berkumpul di lapangan dengan berbalut pakaian olahraga dan kupon-kupon bazar atau undian berhadiah. Di tengah-tengah ratusan manusia itu aku berjumpa dengan suami-istri Herman dan Nenda serta anak gadis mereka, Drama.
Istrinya yang tidak lama kemudian bertemu dengan rekan-rekan arisannya segera meninggalkan Herman dan Drama. Mereka terlihat riuh berkicau sendiri dengan obrolan seputar cincin, resepsi kawinan saudaranya, hingga bergosip rumah tangga orang di blok lain.

“Jadi sudah beli berapa kupon untuk pagi ini,” kataku berbasa-basi saat mendekati Herman. Dia tak lebih tua dariku. “Wah, Drama rupanya sudah punya banyak kupon, ya?”

“Ya. Drama punya tujuh, istriku enam, dan aku sendiri lima. Kami semua delapan belas!”
Aku menggeleng takjub.

“Benar-benar punya peluang yang besar untuk menang Aku sendiri cuma punya tiga. Kalau Drama sendiri memangnya mau hadiah yang mana?”

Anak sembilan tahun itu menunjuk dengan telunjuknya ke arah panggung. Aku menuruti.

“Oh, mau sepeda gunung rupanya? Yang merah atau biru?”

Dia tampak berpikir. “Merah,” katanya memutuskan. “Aku suka merah. Seperti warna chery.”

“Hanya mau sepeda saja?”

Ia mengangguk.

“Padahal kalau kuponnya sebanyak itu, bisa menang banyak hadiah lho. Bisa-bisa memborong semua hadiah yang ada di panggung.”

“Kalau memang beruntung,” sambung aHerman. “Kami – maksudku Istriku – sangat berharap bisa menang banyak undian tahun ini.”

“Istrimu?”

“Ya, tahulah ibu-ibu muda yang ikut arisan. Mereka saling menjaga gengsi. Waktu tahun kemarin, Istriku hanya memenangkan sebuah piring kaca dan di rumah dia terus menggerutu karena Norma bisa memenangkan hadiah utamanya – televisi. Tapi, sepulangnya dari arisan, dia lalu tertawa cekikikan. Kau tahu sebabnya? Karena salah seorang anggota yang lain cuma mendapat sabun cuci! Kata Istriku, karena malu waktu pengambilan hadiah, dia menyuruh tetangga untuk mengambilkannya.”

“Masak sih?” tanyaku dengan pandangan tak percaya.

Herman menepuk pundakku. “Percayalah. Mereka bisa membicarakan apa saja di sana.”

“Ya, mereka memang bisa membicarakan apa atau siapa saja di sana.”

Lima belas menit kemudian, acara jalan sehatpun dimulai dengan aba-aba dari Ketua RW. Kami dilepas dengan rute menyusuri jalan-jalan lapang di beberapa blok di luar komplek kami. Menjelang pukul delapan, ketika cercah mentari sedang hangat-hangatnya, rombongan kami telah sampai di tempat semula dengan peluh dan perut keroncongan.

Di sela-sela bazar, tim panitia memulai pengundian hadiah. Kami berkerumun di seputar lapangan dan tidak bisa kulihat lagi Herman dan istrinya di tengah keramaian itu. Setelah beberapa jerit histeris dan lembar-lembar kekecewaan berserakan di bumi, lapangan itu perlahan mulai surut. Aku belum mendapati Herman. Tapi keriuhan lain memancingku. Di lapangan volly di sebelah utara, kerubungan disertai suara pacuan semangat riuh rendah mengalun-alun. Berjejal dalam kerumunan itulah aku berhasil mengenali lelaki bertubuh ceking itu dari warna kuning kaosnya.

“Anakmu ikut lomba?”

“Dia ikut yang sebentar lagi,” jawabnya tanpa menolehku.

Sesekali ia memekikkan nama anaknya.Aku mengamati barisan anak kecil yang berdiri berderet dengan karung goni usang sebagai sarung mereka. Akan ada lomba balap karung dan kulihat sosok kecil Drama berada di urutan ke dua dari kanan.

“Kau menang sesuatu?” tanyaku di sela keriuhan.

Herman tak mendengarku karena riuhnya pasar pindah di sekeliling kami.

“Apa? Apa katamu?”

Aku mengulangi.“Kau memenangkan sesuatu tadi? Hadiah! Hadiah!”

“Oh......sepertinya tidak.”

“Sepertinya?”

“Ya, sebenarnya aku tadi pulang sebentar untuk buang air. Kuponku kutitipkan sebentar kepada salah seorang tetangga. Selama aku pulang itu, katanya nomorku tidak dipanggil. Jadi ya tidak dapat apa-apa. Mungkin Istriku yang memenangkan sesuatu,” jawabnya lagi-lagi tanpa memandangku.

Keriuhan di antara dinding manusia itu semakin menjadi ketika peluit tanda perlombaan telah ditiup kencang-kencang. Dengan susah payah, aku berhasil menikmati jalannya perlombaan dari sudut yang bagus.
Drama berada di nomot pertama disusul dengan Jeny, Theo, May, dan terakhir Rika. Aku tidak tahu kenapa melakukannya, namun tanpa sadar akupun turut menyoraki dukungan untuk gadis kecil Herman itu.

Sayang di pertengahan jalan, Drama terjungkal dan setelah ia kembali pada perlombaan, May telah lebih unggul satu meter menggapai finish. Aku turut kecewa, tapi itulah permainan.
Pada malam harinya, acara belum tuntas dan kini adalah pamungkasnya. Kami akan mengadakan syukuran di balai RW sekaligus menandai peresmiannya untuk pertama kali setelah proses pembangunan yang sempat terlunta-lunta. Karena Rindu, Ibu, dan Ayah telah berangkat terlebih dahulu, aku lalu menemui Keluarga Herman untuk sekedar mengajak pergi bersama. Belum sempat aku mengetuk pintu rumahnya, suara gusar Nenda telah menyapaku.

“Jadi kau tadi pulang buang air dan menitipkan kuponmu pada orang lain? Dan setelah kau kembali, kata orang yang kau titipi kupon itu nomormu tak ada satupun yang keluar?” tanya Nenda.

Suaranya keras bercampur kesal hingga dari balik pintu aku bisa mendengarnya.
Herman buru-buru menjelaskan.

“Memang begitu, Nen. Aku semula ingin mencarimu, tapi sakit perutku ini sudah tak bisa kutahan. Kau dimana, aku pun tak tahu.
Jadi ya kutitipkan saja sebentar kuponku itu pada Majenun.”

“Majenun?!” kata Nenda sontak. “Jadi, kau titipkan kuponmu kepada dia? Yaaa......ampuun!! Pantas! Pantas dia bilang nomormu tak keluar. Kau tahu sendiri siapa Majenun? Dia adiknya Si Hamidah! Anggota arisanku yang tahun kemarin cuma dapat sabun! Pantas kucing betina itu bilang nomormu tidak ada yang keluar. Mereka berdua pasti sudah bersekongkol. Hamidah pasti tidak ingin aku menang karena dulu aku yang menertawakannya paling keras.”

“Jangan berprasangka buruk seperti itu,” kata Herman memperingatkan.

Terdengar langkah berdentam-dentam.

Nenda menyambar lagi. “Memang begitu itu nyatanya. Kau belum tahu saja ibu-ibu di arisanku. Huhh....untuk arisan bulan depan – di rumah si cerewet Norma – mereka tentu pasti memanas-manasiku karena aku tidak dapat satu hadiahpun hari ini! Terlebih karena kekalahan memalukan anak kita waktu lomba tadi!”

Herman mulai tersengat. “Drama? Apa salahnya?! Itu cuma permainan. Jangan dianggap terlalu serius!”

“Oho...ho.....ini bukan permainan! Ini serius! Kalau yang menang Jeny atau Theo masih boleh-boleh saja. Fine. Tapi yang menang tadi May, anaknya Norma, teman arisanku yang lidahnya ngalah-ngalahin golok pembunuh naga. Coba kalau Drama tadi melompat lebih tenang, kan tidak harus jatuh gara-gara gundukan tanah. Lebih-lebih anaknya Norma yang juara satu,” kata Nenda.

Ruangan di dalam hening. Hanya terdengar dentam-dentam hak sepatu.

“Kalau telingamu panas mendengar ocehan ibu-ibu arisan itu, lebih baik keluar saja dari arisan.”

“Maumu! Itu kan sama artinya kalau aku melarikan diri! Lagipula masih ada perebutan gengsi lain yang mungkin bisa aku atau kita menangkan. Lihatlah, aku sudah bedandan habis-habisan untuk syukuran malam hari ini. Aku memilih gaun paling mahal keluaran butik paling kenamaan; parfum produk Perancis sudah kusemprotkan di sekujur tubuhku; hnm......aku wangi, kan? Lalu cincin, gelang, kalung, dan semua perhiasan di laci meja sudah kupasang satu per satu.
Akan kutunjukkan pada teman-teman arisanku kalau aku belum kalah!”

Aku sudah tak tahan sekaligus tak ingin lagi menguping dan segera kuketuk pintu keras-keras.

“Kau seperti badut.” Kudengar Herman menyudahi.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar