Home is the place where, when you have to go there,
They have to take you in.
~Robert Frost
Kutipan seorang terkenal mengenai rumah. Lalu bagaimana dengan Rumah Rumah Kami? Rumah rumah yang pernah kami singgahi selama ini?
Begini kisahnya, satu demi satu ...
*
Rumah # 01:
Ini adalah rumah ketika Aku pertama kali menghirup udara dunia. Ya, di rumah kami inilah Ibu dengan sabar memelukku dalam rahimnya selama 9 bulan. Walau memang aku tak pernah bisa mengingat jelas seluruh kenangan yang ada di sana, karena usia yang masih sangat dini, tapi dari dokumentasi pribadi keluarga, dapat ditelusuri potret keberadaanku kala itu.
Rumah pertama kami terletak di Jl. Karimun Jawa, sebuah kompleks perkampungan di kawasan Kelurahan Kasin. Di rumah ini pula kedua kakak perempuanku dilahirkan. Di rumah berpagar coklat karatan itu, menurut Ibu, kenang kenangan paling manis dan romantis bersama Bapak banyak dilalui bersama.
Menurut Ibu, setelah pernikahan, mereka berdua tinggal di Jl. Karimun Jawa yang sangat sangat harmonis. Guyup rukun. Hampir tidak ada konflik di antara tetangga kami. Bahkan kata Ibu, waktu menjelang aku dilahirkan tetangga tetangga sampai sibuk (melebihi sibuknya si ibu hamil yang malah santai santai saja). Mereka mencarikan mobil. Membawakan buah tangan untuk kado kelahiranku. Singkatnya: masyarakat di sekitar rumah pertama kami begitu tinggi kepeduliannya
Di rumah ini pula, kisah cinta pasangan muda Ibu dan Bapak tumbuh berseminya. : )
Waktu itu, Bapak yang masih muda,sering meninggalkan rumah. Pulang pagi, pergi malam. Bukan karena apa, katanya Ibu, Bapak dulu itu ketagihan terus sama seni. Jadi ngikut saja, ngalor ngidul, kemana kumpulan teman nyeninya pergi. Karawitan, nggendhing, main wayang, nari, entah apa lagi. Sering larut malam, Ibu tak bisa tidur karena Bapak belum pulang. Sampai sampai, tetangga yang tahu hal itu menenangkan Ibu. Nyuruh Ibu tidur saja. Dia yang jagain dari luar. Hahahaha (kebetulan orang tersebut memang tukang keamanan sekitar). Belakangan, setelah aku lahir, baru Bapak mulai mengurangi kesibukan kesibukan diluar rumah kami itu.
Bapak sendiri di kemudian hari didapuk jadi Pak RT di kompleks rumah kami entah untuk kurun berapa periode, saking lamanya. Dan, dari sana ada cerita unik. Ibu kadang cerita kalau pas di depan rumah kami saat ini ada orang masang bendera atau kadang juga pas 17 Agustusan.
Ceritanya, waktu Bapak jadi RT itu, ada seseorang - entah pengusaha atau pedagang. Orang Cina. Rumahnya gede. Waktu itu peringatan hari besar nasional, dan setiap rumah wajib menaikkan bendera. Kebetulan Bapak lewat di depan rumahnya, eh begitu liat bendera orang itu, ngamuk Bapak. Didatanginya rumah pedagang Cina itu. Ngomel ngomel. Lalu si orang Cina itu ampun ampun ke Bapak. Jadi, waktu itu, bendera yang dipasang ukurannya cuma selebar "serbet", kucel lagi warnanya. Keesokan harinya, si Merah Putihnya udah diganti baru sama si Pak Pengusaha Cina. :P
Di rumah kami yang berseberangan dengan rumah Pak Hen yang dulu rimbun sekali dengan pohon mangga itu, aku menemukan teman. Michael, namanya. Dia dan aku seumuran. Dulu, dari balik pagar rumah, kami berteriak teriak mengiba pada Pak Hen untuk diberi buah mangganya. Heheheh, lucu sekali kalau diingatkan kembali.
"Pak Hen, ... pencit Pak Hen, pencit .... "
Lalu dari seberang pagar itu menjulur buah mangga besar. Cukup besar untuk sekedar ditangkup oleh kedua tangan kami. : )
*
Rumah # 02:
Di kuncup tahun 1992, kami sekeluarga berlima harus hijrah. Alasannya, Nenek yang janda Pegawai Angkatan mendapat hak perumahan. Lokasinya di Sawojajar. Jauh di sebelah Timur Kota Malang. Ibu - bahkan sampai saat ini - masih menggerutu, nggak ikhlas dengan keputusan pindah kami itu. Tapi, Bapak memang tak punya banyak pilihan. Selain karena Nenek memang sudah sepuh, Bapak juga harus manut.
Rumah kedua kami cukup besar untuk kami berlima.Kami tinggal di Jl. Tondano Barat, blok A1 B.10. Lokasi kami tidak jauh dari jalan umum angkutan kota. Juga tidak jauh dari Masjid. Juga tak jauh dari sekolahan. Semuanya ada di sini. Termasuk media sosialisasi masa kanak kanak.
Kalau Ibu mengklaim bahagia di rumah pertama kami (walau kemudian Ibu juga mendapat atmosfer serupa di rumah kedua kami ini), di lingkungan rumah kedua kami inilah justru aku paling bisa merasa bahagia.
Aku melewati masa kanak kanak hingga pubertas di rumah kedua kami ini. Bertemu banyak sekali teman (yang kini menjadi teman teman di masa lalu). Masa masa Sekolah Dasar yang nakal.
Penekan pohon chery selepas capek dengan pelajaran sekolah. Hujan hujanan ke tetangga 3 blok sebelah sampai lupa waktu hingga bikin bingung Bapak, Ibu, dan orang sekitar (belakangan karena ulah yang satu ini aku dihukum dikunciin di dalam kamar mandi). :P
Di rumah kedua kami ini, semua tak perlu dikhawatirkan. Semua berjalan seperti apa adanya saja. Bulan Puasa, kami - para anak anak kecil - biasa ke masjid bersama sama. Dipimpin Ketua gank yang sok dewasa ... hehehe. Ketua gank yang bikin Ibu sebel karena belum turun maeman Buka Puasa dari mulut ke lambung, eh si Ketua gank ini sudah ngajakin ke Masjid. Murni ibadahkah? Hehehe ... entahlah, tapi kami selalu diam diam pulang tarawih sambil cekikikan di rakaat kedelapan dari 22 rakaat atau bahkan ngerjain teman yang baru jalan 3 rakaat lalu kami tinggal ngacir main petasan atau
jumprit singit. Astaghfirullah ... heheheheh :D
Dua kali pernikahan dan satu acara khitanan pernah meramaikan rumah kedua kami ini. Kakak pertama menikah di 2 tahun kami hidup di Sawojajar. Menyusul acara khitananku, lalu pernikahan Kakak keduaku di awal milenium. Di rumah kedua kami ini - karena Bapak yang juga masih aktif di kesenian - ketika event itu sering menjadi marak. Ramai. Penyebabnya, karena dalam kedua pernikahan tadi Bapak selalu menggelarnya dengan adat Jawa. Mulai prosesi hingga acara hiburannya: karawitan dan pewayangan. Semua itu, katanya sumbangan dari teman teman Bapak di kelompok kesenian.
Ah, seni yang manusiawi sekali ...
Namun, tidak semua moment indah terjadi dalam hunian rumah kedua kami. Adakalanya kami mulai bertengkar. Ada kalanya juga sampai menitik air mata. Air mata yang panjang..., panjang sekali. Kami benar benar tak pernah menyadari kehadirannya malam itu. Tak pernah. Walau ia seperti udara yang samar samar mengiris leher kami. Walau ia seperti nur yang remang remang menyinari sudut ruangan rumah kami. Tak pernah ada yang sadar, semua berjalan cepat, dan tahu tahu kami hanya mengenal satu kata: Kenangan.
"God always works with a mysterious way", begitu kata John Constantine. Ya, mungkin benar begitu adanya.
Qada dan
Qadar tak pernah kita ketahui jadwal pastinya. Mungkin - atas izin Allah - kalau manusia mau berikhtiar dan tawakal, maka jadwal
Qada bisa menjadi tentatif. Namun ketika
Qadar sudah menjadi hal yang mutlak tak bisa diubah lagi? Kami harus melepas. Ikhlas. Termasuk, ketika Allah menaikkan Bapak ke alam
baqo tepat pada 27 Oktober, dimana pada saat yang bersamaan - kini dan ke depannya - orang orang di kantor selalu merayakan 27 Oktober itu sebagai hari jadi perusahaan kami.
Alarm pengingat yang benar benar
mysterious, kan
.... ?
: )
*
Rumah # 03:

Selepas Bapak tiada, rumah kami seperti kapal rapuh yang gampang sekali diterjang badai. Kami hidup dalam suasana yang benar benar baru bagi kami. Suasana menggelap, seperti mendung yang malas, enggan mengisyaratkan hujan. Dan gelombang demi gelombang, arus demi arus, ketiadaan demi ketiadaan, membuat kami juga harus menyadari bahwa kami harus berbenah.
Kami kembali hijrah. Mengunci rapat pintu pagar rumah kedua kami, lalu menyusun batu batu pondasi kehidupan kami di rumah ketiga.
Letaknya tak jauh dari rumah kedua kami. Bahkan kalau kami melongok dari pagar rumah kedua kami, bisa terlihat pelataran depan rumah di sebelah Barat itu. Di rumah ini, kami mulai menyadari kalau keluarga ini - dengan Ibu sebagai nahkodanya - tak boleh kalah dengan ombak dan lautan. Di rumah ketiga ini, walau memang tak banyak yang bisa diceritakan, namun inilah titik balik kami menata diri. Heran, orang orang di sekitar kami - keluarga, tetangga, teman - justru menganggap rumah seumur jagung ini lebih "cerah".
Aku pun merasa begitu, entah mengapa? Namun terasa tenang sekali. Kami harus berlari tapi dengan gembira sekali ....
*
Rumah # 04:

Ini adalah rumah yang kini kami tempati. Masih berkutat di Sawojajar, hanya beda blok. Kini kami tinggal di Jl. Danau Limboto, A5 C.12. Rumah keempat kami bercat hijau daun di dinding luarnya. Berpagar hitam. Berpintu kayu warna coklat krem.
Kami bisa mendengar adzan bergemeletar dengan jelas karena hanya dengan beberapa langkah saja kami sudah sampai di Masjid Asy - Syuhada. Kalau berjalan lebih jauh lagi, ke arah Selatan, Kamu bisa menjumpai sekolah SMA-ku (yang kini semakin cantik saja, tak seperti "ladang gandum" pada zamanku dulu, hehehe ... ).
Di sinilah, aku menamatkan SMA, membimbangi masa depan, merasakan indahnya persahabatan, belajar menggunakan mesin foto kopi (kepada: Pak Dadang, bagaimana kabarmu, Pak? Lalu mantan bosku dan anak anaknya, bagaimana kalian? Apa masih ingat? hehehe .. sampai saat ini aku masih ragu dan malu bahkan untuk sekedar berjalan di depan tempat usaha kalian itu.), lalu berjuang mengejar cita hingga akhirnya berlabuh di sini.
*
Keempat rumah kami ini adalah juga empat fase kehidupan kami. Semoga, rumah keempat ini selalu menjadi tempat kami bisa pulang. Selalu bisa kembali dan merasa diterima. Selalu bisa menjadi tempat berlindung dari Siang maupun Malam.
... walau kini, aku sendiri tengah berlabuh (entah sampai kapan) di rumah lainnya yang jauhnya ratusan kilometer dari rumah keempat kami....