Selasa, 31 Mei 2011

QS : 59 (22 - 24)










22.
Dia-lah Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia, Maha mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dialah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

23.
Dia-lah Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, Penguasa, Mahasuci, Maha Sejahtera, Maha Pemberi Keamanan, Maha Memelihara, Maha Perkasa, Maha Kuasa, yang memiliki segala keagungan, Maha suci Allah dari pada apa yang mereka persekutukan.

24.
Dia-lah Allah yang Maha Pencipta, Maha Mengadakan, Maha Pembentuk, bagi-Nyalah nama-nama yang baik, bertasbihlah kepada-Nya apa yang ada di langit dan yang ada di bumi, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

*
Mesti kedengaran mendayu dayu kalau ada yang membaca surat ini. : )

Sabtu, 28 Mei 2011

Yang Begitu, Apa Namanya?

Cetak, cetak, cetuk, cetuk, cetik, tit ....

ABC: "Mbak, sedang sibuk kah? Ada yang mau tak tanyakan. Cuma satu hal saja."

Tuing, tuing, tuing ....


XYZ: "Yups, ni lagi maem bakso solo di sebelah Bukopin .. dewean .. :'(

XYZ: "Tanya naon? Kok lama? Tertidur, kah?"

Cetak, cetak, cetak, tak, tik, tik, tak, tak ... tit ...

ABC: "Hehe ... : ) Mau nanya: Kalau misalnya sampean sedang menemukan diri sampean sendiri dalam keadaan galau, gamang, atau mengasihani diri sendiri. Sampean tahu benar, kalau sampean benci keadaan itu. Tapi, ketika dihadapkan pada sesuatu yang menjadi penyebab keadaan itu, sampean justru nggak bisa membencinya. Pertanyaannya: Situasi seperti itu apa namanya?"

Tuing, tuing, tuing ..

XYZ: "Beda benci sama cinta, sangat tipis. Kadang kita menutupi cinta dengan benci, hhmm...kembali lagi karena semua melibatkan hati, bukan logika ... : ) Kalau logika, pasti kita konsisten ...

Cetak, tak , tak tak ... tit

ABC: "Jadi apa namanya?"

Tuing... tuing ..tuing ..

XYZ: "Cinta... hahaha ... minimal sayang."

Cetak, tak tak ...tit

ABC: "Oh, begitu ya ... Baiklah, terima kasih. Monggo dilanjut maem baksonya." : )


Sepanjang Jatiroto roda roda meluncur dengan tenang, seperti aliran batang sungai di kanal di samping kiri jendela. Bulan .. tak begitu jelas kelihatan. Mungkin sedang lelah.

Kamis, 26 Mei 2011

Rumah Rumah Kami


Home is the place where, when you have to go there,
They have to take you in.

~Robert Frost

Kutipan seorang terkenal mengenai rumah. Lalu bagaimana dengan Rumah Rumah Kami? Rumah rumah yang pernah kami singgahi selama ini?

Begini kisahnya, satu demi satu ... 

*

Rumah # 01:

Ini adalah rumah ketika Aku pertama kali menghirup udara dunia. Ya, di rumah kami inilah Ibu dengan sabar memelukku dalam rahimnya selama 9 bulan. Walau memang aku tak pernah bisa mengingat jelas seluruh kenangan yang ada di sana, karena usia yang masih sangat dini, tapi dari dokumentasi pribadi keluarga, dapat ditelusuri potret keberadaanku kala itu. 

Rumah pertama kami terletak di Jl. Karimun Jawa, sebuah kompleks perkampungan di kawasan Kelurahan Kasin. Di rumah ini pula kedua kakak perempuanku dilahirkan. Di rumah berpagar coklat karatan itu, menurut Ibu, kenang kenangan paling manis dan romantis bersama Bapak banyak dilalui bersama. 


Menurut Ibu, setelah pernikahan, mereka berdua tinggal di Jl. Karimun Jawa yang sangat sangat harmonis. Guyup rukun. Hampir tidak ada konflik di antara tetangga kami. Bahkan kata Ibu, waktu menjelang aku dilahirkan tetangga tetangga sampai sibuk (melebihi sibuknya si ibu hamil yang malah santai santai saja). Mereka mencarikan mobil. Membawakan buah tangan untuk kado kelahiranku. Singkatnya: masyarakat di sekitar rumah pertama kami begitu tinggi kepeduliannya

Di rumah ini pula, kisah cinta pasangan muda Ibu dan Bapak tumbuh berseminya. : )
Waktu itu, Bapak yang masih muda,sering meninggalkan rumah. Pulang pagi, pergi malam. Bukan karena apa, katanya Ibu, Bapak dulu itu ketagihan terus sama seni. Jadi ngikut saja, ngalor ngidul, kemana kumpulan teman nyeninya pergi. Karawitan, nggendhing, main wayang, nari, entah apa lagi. Sering larut malam, Ibu tak bisa tidur karena Bapak belum pulang. Sampai sampai, tetangga yang tahu hal itu menenangkan Ibu. Nyuruh Ibu tidur saja. Dia yang jagain dari luar. Hahahaha (kebetulan orang tersebut memang tukang keamanan sekitar). Belakangan, setelah aku lahir, baru Bapak mulai mengurangi kesibukan kesibukan diluar rumah kami itu.

Bapak sendiri di kemudian hari didapuk jadi Pak RT di kompleks rumah kami entah untuk kurun berapa periode, saking lamanya. Dan, dari sana ada cerita unik. Ibu kadang cerita kalau pas di depan rumah kami saat ini ada orang masang bendera atau kadang juga pas 17 Agustusan. 

Ceritanya, waktu Bapak jadi RT itu, ada seseorang - entah pengusaha atau pedagang. Orang Cina. Rumahnya gede. Waktu itu peringatan hari besar nasional, dan setiap rumah wajib menaikkan bendera. Kebetulan Bapak lewat di depan rumahnya, eh begitu liat bendera orang itu, ngamuk Bapak. Didatanginya rumah pedagang Cina itu. Ngomel ngomel. Lalu si orang Cina itu ampun ampun ke Bapak. Jadi, waktu itu, bendera yang dipasang ukurannya cuma selebar "serbet", kucel lagi warnanya. Keesokan harinya, si Merah Putihnya udah diganti baru sama si Pak Pengusaha Cina. :P

Di rumah kami yang berseberangan dengan rumah Pak Hen yang dulu rimbun sekali dengan pohon mangga itu, aku menemukan teman. Michael, namanya. Dia dan aku seumuran. Dulu, dari balik pagar rumah, kami berteriak teriak mengiba pada Pak Hen untuk diberi buah mangganya. Heheheh, lucu sekali kalau diingatkan kembali. 
"Pak Hen, ... pencit Pak Hen, pencit .... "

Lalu dari seberang pagar itu menjulur buah mangga besar. Cukup besar untuk sekedar ditangkup oleh kedua tangan kami. : )

*

Rumah # 02:

Di kuncup tahun 1992, kami sekeluarga berlima harus hijrah. Alasannya, Nenek yang janda Pegawai Angkatan mendapat hak perumahan. Lokasinya di Sawojajar. Jauh di sebelah Timur Kota Malang. Ibu - bahkan sampai saat ini - masih menggerutu, nggak ikhlas dengan keputusan pindah kami itu. Tapi, Bapak memang tak punya banyak pilihan. Selain karena Nenek memang sudah sepuh, Bapak juga harus manut.




Rumah kedua kami cukup besar untuk kami berlima.Kami tinggal di Jl. Tondano Barat, blok A1 B.10. Lokasi kami tidak jauh dari jalan umum angkutan kota. Juga tidak jauh dari Masjid. Juga tak jauh dari sekolahan. Semuanya ada di sini. Termasuk media sosialisasi masa kanak kanak.

Kalau Ibu mengklaim bahagia di rumah pertama kami (walau kemudian Ibu juga mendapat atmosfer serupa di rumah kedua kami ini), di lingkungan rumah kedua kami inilah justru aku paling bisa merasa bahagia.


Aku melewati masa kanak kanak hingga pubertas di rumah kedua kami ini. Bertemu banyak sekali teman (yang kini menjadi teman teman di masa lalu). Masa masa Sekolah Dasar yang nakal. Penekan pohon chery selepas capek dengan pelajaran sekolah. Hujan hujanan ke tetangga 3 blok sebelah sampai lupa waktu hingga bikin bingung Bapak, Ibu, dan orang sekitar (belakangan karena ulah yang satu ini aku dihukum dikunciin di dalam kamar mandi). :P

Di rumah kedua kami ini, semua tak perlu dikhawatirkan. Semua berjalan seperti apa adanya saja. Bulan Puasa, kami - para anak anak kecil - biasa ke masjid bersama sama. Dipimpin Ketua gank yang sok dewasa ... hehehe. Ketua gank yang bikin Ibu sebel karena belum turun maeman Buka Puasa dari mulut ke lambung, eh si Ketua gank ini sudah ngajakin ke Masjid. Murni ibadahkah? Hehehe ... entahlah, tapi kami selalu diam diam pulang tarawih sambil cekikikan di rakaat kedelapan dari 22 rakaat atau bahkan ngerjain teman yang baru jalan 3 rakaat lalu kami tinggal ngacir main petasan atau jumprit singit.  Astaghfirullah ... heheheheh :D


Dua kali pernikahan dan satu acara khitanan pernah meramaikan rumah kedua kami ini. Kakak pertama menikah di 2 tahun kami hidup di Sawojajar. Menyusul acara khitananku, lalu pernikahan Kakak keduaku di awal milenium. Di rumah kedua kami ini - karena Bapak yang juga masih aktif di kesenian - ketika event itu sering menjadi marak. Ramai. Penyebabnya, karena dalam kedua pernikahan tadi Bapak selalu menggelarnya dengan adat Jawa. Mulai prosesi hingga acara hiburannya: karawitan dan pewayangan. Semua itu, katanya sumbangan dari teman teman Bapak di kelompok kesenian.

Ah, seni yang manusiawi sekali ...



Namun, tidak semua moment indah terjadi dalam hunian rumah kedua kami. Adakalanya kami mulai bertengkar. Ada kalanya juga sampai menitik air mata. Air mata yang panjang..., panjang sekali. Kami benar benar tak pernah menyadari kehadirannya malam itu. Tak pernah. Walau ia seperti udara yang samar samar mengiris leher kami. Walau ia seperti nur yang remang remang menyinari sudut ruangan rumah kami. Tak pernah ada yang sadar, semua berjalan cepat, dan tahu tahu kami hanya mengenal satu kata: Kenangan.

"God always works with a mysterious way", begitu kata John Constantine. Ya, mungkin benar begitu adanya. Qada dan Qadar tak pernah kita ketahui jadwal pastinya. Mungkin - atas izin Allah - kalau manusia mau berikhtiar dan tawakal, maka jadwal Qada bisa menjadi tentatif. Namun ketika Qadar sudah menjadi hal yang mutlak tak bisa diubah lagi? Kami harus melepas. Ikhlas. Termasuk, ketika Allah menaikkan Bapak ke alam baqo tepat pada 27 Oktober, dimana pada saat yang bersamaan - kini dan ke depannya - orang orang di kantor selalu merayakan 27 Oktober itu sebagai hari jadi perusahaan kami.  


Alarm pengingat yang benar benar mysterious, kan .... : )


*


Rumah # 03:

Selepas Bapak tiada, rumah kami seperti kapal rapuh yang gampang sekali diterjang badai. Kami hidup dalam suasana yang benar benar baru bagi kami. Suasana menggelap, seperti mendung yang malas, enggan mengisyaratkan hujan. Dan gelombang demi gelombang, arus demi arus, ketiadaan demi ketiadaan, membuat kami juga harus menyadari bahwa kami harus berbenah.


Kami kembali hijrah. Mengunci rapat pintu pagar rumah kedua kami, lalu menyusun batu batu pondasi kehidupan kami di rumah ketiga.


Letaknya tak jauh dari rumah kedua kami. Bahkan kalau kami melongok dari pagar rumah kedua kami, bisa terlihat pelataran depan rumah di sebelah Barat itu. Di rumah ini, kami mulai menyadari kalau keluarga ini - dengan Ibu sebagai nahkodanya - tak boleh kalah dengan ombak dan lautan. Di rumah ketiga ini, walau memang tak banyak yang bisa diceritakan, namun inilah titik balik kami menata diri. Heran, orang orang di sekitar kami - keluarga, tetangga, teman - justru menganggap rumah seumur jagung ini lebih "cerah".


Aku pun merasa begitu, entah mengapa? Namun terasa tenang sekali. Kami harus berlari tapi dengan gembira sekali ....


*


Rumah # 04:


Ini adalah rumah yang kini kami tempati. Masih berkutat di Sawojajar, hanya beda blok. Kini kami tinggal di Jl. Danau Limboto, A5 C.12. Rumah keempat kami bercat hijau daun di dinding luarnya. Berpagar hitam. Berpintu kayu warna coklat krem.

Kami bisa mendengar adzan bergemeletar dengan jelas karena hanya dengan beberapa langkah saja kami sudah sampai di Masjid Asy - Syuhada. Kalau berjalan lebih jauh lagi, ke arah Selatan, Kamu bisa menjumpai sekolah SMA-ku (yang kini semakin cantik saja, tak seperti "ladang gandum" pada zamanku dulu, hehehe ... ).



Di sinilah, aku menamatkan SMA, membimbangi masa depan, merasakan indahnya persahabatan, belajar menggunakan mesin foto kopi (kepada: Pak Dadang, bagaimana kabarmu, Pak? Lalu mantan bosku dan anak anaknya, bagaimana kalian? Apa masih ingat? hehehe .. sampai saat ini aku masih ragu dan malu bahkan untuk sekedar berjalan di depan tempat usaha kalian itu.), lalu berjuang mengejar cita hingga akhirnya berlabuh di sini.

*

Keempat rumah kami ini adalah juga empat fase kehidupan kami. Semoga, rumah keempat ini selalu menjadi tempat kami bisa pulang. Selalu bisa kembali dan merasa diterima. Selalu bisa menjadi tempat berlindung dari Siang maupun Malam.



... walau kini, aku sendiri tengah berlabuh (entah sampai kapan) di rumah lainnya yang jauhnya ratusan kilometer dari rumah keempat kami.... 

 

Rabu, 25 Mei 2011

Selasa, 24 Mei 2011

I Can Wait Forever

When you say: "I miss the things you do, I just wanna get back close again to you".
But for now your voice is near enough. How I miss you, and I miss you love.

And though all the days that pass me by so slow,
all the emptiness inside me flows all around,
and there's no way out.

I'm just thinkin' so much of you. There was never any doubt.


I can wait forever if you say you'll be there too.
I can wait forever if you will. I know it's worth it all to spend my life alone with you.



When it looked as though my life was wrong, You took my love and gave it somewhere to belong.
I'll be here when hope is out of sight. I just wish that I was next to you tonight.

And oh, I'll be reaching for you even though you'll be somewhere else
We'll go like a bird on its way back home.

I could never let you go and I just want you to know...

I can wait forever if you say you'll be there too.
I can wait forever if you will. I know it's worth it all to spend my life alone with you.

Where are you now, along with the thoughts we share?
Keep them strong somehow and you know I'll always be there.

I can wait forever if you say you'll be there too.
I can wait forever if you will. I know it's worth it all to spend my life alone with you.


*
Lagu yang ditulis dan diaransemen keroyokan oleh tiga musisi jenius pada zamannya: David Foster, Jay Graydon, dan Graham Russell. Dipopulerkan untuk pertama kali di udara oleh Air Supply pada kurun hummm....1987-an, kalau tak salah. Lagu ini, yang menurutku secara lirik, komposisi, emosi, dan aransemen musik bolehlah dibilang awesome !!

Kalau ingin ikut ndengerin, bisa diunduh sendiri di alamat ini ya: http://www.emp3world.com/mp3/91470/Air%20Supply/I%20Can%20Wait%20Forever

Senin, 23 Mei 2011

Is It Summer?

Mengendus helai demi helai udara hangat di luar sana. Langit yang mendadak secerah Lautan Pasifik dan lembar daun daun di Alun Alun yang tiba tiba berkerumunan klorofil. Jendela kaca di kamar membias, disilaui warna kuning terang yang juga jatuh di sekitar wajah kita.

Samar, dari jauh terdengar debur ombak Pantai mendesir begitu dekat. Kiprah anak anak lelaki yang bertelanjang dada, sekerat Coca Cola dingin, kipas angin, dan udara yang gerah. Dari pemutar video di sudut sana menyiul bersemangat Richie Sambora... Forever ... lalu dituntaskan oleh seukir senyum bulan sabit Hirosue. Senyum paling manis, di antara makhluk layar kaca kala itu.


Musim Panas, akankah kamu sejenak saja hadir?

Kamis, 19 Mei 2011

Memiliki Kehilangan

Buat Sahabat sahabat semasa mudaku:
Ca'o, Paidi, Satya, Putri, Aan, Risa, Wild Ant, Dhany, Samid, ET, Reza, Galih, Mbah, Bayu, Boraks, dan semua saja yang pernah mewarnai perjalanan hidup ini - tiada sebatas putih atau abu abu;

Buat Kawan kawan di masa laluku:
Khrisna, Alaq, Gian, Ibi, Ryo, Tirta, Uyab, Enda', Sugab, Mukti, dan semua yang kurindukan - walau waktu telah menggerus kita dengan usia kedewasaan;


Buat Ibu, kakak, dan siapa pun yang masih mengizinkanku untuk pulang:
Maafkan ...., aku belum bisa jadi orang yang baik. Sampai saat ini bibir ini selalu saja kaku bahkan jika sekedar ingin menyapa kalian. Maafkan. 

Aku merindukan kalian, dan saat saat kita dulu tak perlu memikirkan apa apa. Aku merindukan saat seseduh teh hangat dan pisang goreng beraroma vanili disuguhkan setiap kali hujan datang. Dan kita tak perlu khawatir, karena besok baik malam, pagi, siang, dan senja punya jadwal teratur di pembagian peredarannya.

Di sini, kadang malam terlampau panjang, tapi pagi atau senja bisa hadir sekaligus bersamaan.
Di sini, semua dengan mudah bisa dirindukan, tapi juga dengan sekali isyarat bisa coba direlakan.
Dan sungguh malangnya, Aku mencintai Itu semua.


Sungguh, rasanya kehilangan ataukah perpisahan itu tak mengenakkan.
Tapi, andai kita tak pernah ada untuk menangisinya, kita takkan pernah ada pula untuk memilikinya.

Rabu, 18 Mei 2011

Don't be ...

di jeda keinsyafan ataupun kealpaan; 

di dalam kegelisahan maupun kegembiraan;

di batas ketidakmengertian ataukah mengikhlaskan;

dan di antara segala kemungkinan yang tak kuasa menjanjikannya;

jangan biarkan perasaan ini melemahkanmu
jangan ...

 

Selasa, 17 Mei 2011

Ahay ...

Hanya ingin bilang:

"...Bulan sedang penuh 
dan berpendar lembut sekali ...."

itu saja ..


Minggu, 15 Mei 2011

Cassanova Gundah (bagian # 06)

ADZAN Ashar menggema ke setiap jengkal di sudut kota yang hiruk-pikuk dengan deru mesin. Matahari bersinar cerah, berkilauan merah keemasan; awan bergulung-gulung, berwarna keputihan membentuk tubuh seekor naga, serta burung-burung gereja bercicitan di pohon-pohon cemara di taman rumah sakit; di atap-atap rumah; dan salah satunya yang berbulu coklat kayu bertengger di dinding di luar jendela kamar 11 – A Paviliun Mawar.

Di dalam kamar itu, di atas ranjang yang bersprei putih bersih, seorang perempuan berambut hitam panjang dan tergerai di kedua bahunya, kulit yang putih bersih, dan kedua kakinya terbalut oleh kain perban setinggi hampir lutut yang kemudian juga tertutupi oleh celana panjang dari pakaian rumah sakitnya.

Seorang suster masuk ke dalam ruangan yang harum dan ber-AC itu dengan ditemani oleh Rivael di belakangnya. Sesaat setelah memeriksa keadaan Cheryl, perawat itu mempersilakan Rivael menjenguknya. 


“Bagaimana keadaanmu?” tanya Rivael sambil mengambil duduk di samping Cheryl.

“Sudah merasa baikan?”

“Sepertinya begitu, Mas,” jawab Cheryl.

Ia mencoba bangun lalu menyandarkan tubuhnya.

“Tidak enak juga lama-lama berbaring. Seperti orang yang sakit parah saja.”

“Cheryl, sekali lagi aku mau minta maaf atas kejadian kemarin,” kata Rivael memohon.

“Aku juga kan sudah bilang kalau Mas tidak usah memikirkan lagi masalah itu,” kata Cheryl halus.

“Aku seharusnya yang berterima kasih karena bertemu sudah Mas. Mas orang yang bertanggung jawab dan tidak menelantarkan aku begitu saja di jalan. Apalagi, aku dirawat di rumah sakit semewah ini. Sepertinya, aku telah menyusahkan Mas dua hari ini.” 

“Jangan bicara seperti itu,” kata Rivael.

Mereka diam untuk beberapa saat.

“Aku punya permintaan, itu kalau Mas tidak keberatan.”

“Katakan, kalau aku bisa membantu pasti akan kubantu.”

“Kalau Mas tidak keberatan tolong katakan pada kakak sepupuku, namanya Surti. Mas pasti masih ingat orangnya. Dia yang kemarin sama-sama denganku. Tolong sampaikan padanya kalau aku
belum bisa pergi mengajar ke rumah Dewi akhir minggu ini, sekalian permintaan maafku pada Dewi karena tidak bisa datang mengajar. Hanya itu saja, itupun kalau Mas berkenan.” 

“Tentu. Itu mudah,” kata Rivael menyanggupi. “Tapi, aku tidak tahu kalau kau seorang pengajar.”

Cheryl tertawa ringan. “Aku pengajar piano. Pengajar untuk kursus, jadi bukan guru. Mana mungkin ada guru yang
sepeti aku.”

“Pengajar juga guru namanya. Tidak peduli mengajar di sekolah atau di tempat kursus..........”

Rivael menahan kata-katanya. “Bagaimana rasanya jadi pengajar?”

“Menyenangkan,” jawab Cheryl. “Senang rasanya bisa membagikan pengetahuan berguna yang kita miliki kepada orang lain yang sedang membutuhkan. Kebetulan aku bisa main piano, lalu kenapa aku punya ilmu musik itu kalau tidak aku bagikan pada orang lain? Bukankah kalau aku nanti meninggalkan dunia ini, salah satu hubunganku yang tidak akan terputus adalah ilmu yang bermanfaat? Karena itulah aku kemudian jadi pengajar.”

Rivael menggeleng kagum. “Pasti sulit rasanya meninggalkan anak didik kalau tanggung jawab belum seluruhnya selesai.” 

Cheryl menundukkan wajahnya. “Sebenarnya.........ya. Aku merasa keadaan kakiku sudah baik-baik saja, tapi tidak tahu kenapa dokter masih saja menahanku di sini.”

“Dokter hanya ingin memastikanmu benar-benar dalam keadaan sempurna sebelum keluar.”

“Aku tidak mungkin sempurna,” kata Cheryl pelan. “Kita tidak mungkin sempurna, Mas. Aku hanya akan merasa sempurna jika sudah menunaikan apa yang menjadi kewajibanku.”

Rivael berjalan ke arah jendela, menggeser kaca dan tirainya, dan membiarkan angin sejuk membuai ruangan di dalam. Langit berwarna biru cerah dan diselingi warna putih tipis dari awan. Musim panas yang sudah dinanti selama hampir satu putaran penuh perjalanan tahun ini bersinar dengan cerahnya.

“Aku punya rencana, Cheryl,” kata Rivael.

“Rencana?”

“Kalau kau memang merasa yakin sudah baikan, aku akan mengajukan pada Dokter Ahmad untuk mempercepat masa pemulihanmu di sini. Jadi besok aku bisa mengantarmu ke tempat Dewi dan kau bisa mengajar sesukamu di sana. Kau mau, Cheryl?”

Cheryl mengangguk, tersenyum dengan bahagia.

“Terima kasih. Aku sudah menyusahkan Mas lagi.”

“Jangan berkata begitu. Kau adalah tanggung jawabku setelah kejadian malam itu.”

“Itu terdengar sangat berat, maksudku.......”

Cheryl mencoba turun dari tempat tidurnya. Rivael segera datang menghampirinya.

“Hati-hati,” kata Rivael.

Ia meraih tangan Cheryl. 

“Aku tidak apa-apa. Sudah bisa berjalan, kok. Aku hanya ingin mendekat ke jendela. Sudah hampir dua hari ini aku tidak merasakan angin dan matahari,” kata Cheryl.

Rivael menuntun Cheryl mendekati jendela. Ia berdiri di samping Cheryl memandang ke cakrawala yang luas dan tidak bertepi.

“Sepertinya ada yang berbeda hari ini?” tanya Cheryl. Hidungnya mengendus udara yang hangat.

“Tidak ada yang berbeda. Kita hanya terlalu lama mengalami musim hujan, jadi tidak sadar kalau musim panas sudah datang.” 

*

JESSICA adalah seorang wanita 23 tahun, cantik dengan wajah yang mencerminkan keluguan, kekanakan, atau mungkin juga kebodohan yang menurut sebagian orang adalah gambaran dari peran-peran yang telah ia perankan dalam sinetron membosankannya. Posturnya tak terlalu tinggi, namun langsing hingga bermacam gaun dapat membalut dia tanpa harus membuat tubuhnya tersiksa.

Dia menjalani hubungan bersama Rivael dengan telah mengantongi perbekalan berupa pengalaman dari para pendamping “pendahulu” yang kini mulai sering mengoceh di berita-berita gosip. Dia mungkin tahu kalau Sang Arjuna pada akhirnya juga akan meninggalkannya suatu waktu nanti. Dia paham benar hal itu. Dan karena pemahamannya itu, Jessy berharap bisa “mengingkari” takdir hubungannya dengan Rivael.

“Aku ingin bertemu, Sayang.” Demikian Jessica membuka pembicaraannya dengan Rivael melalui ponsel. “Kau mau menjemputku di Salon Beauty. Aku kangen denganmu, Rivael.”

“Aku juga. Tapi aku tidak bisa sekarang,” jawab Rivael dari ujung lain. “Aku masih ada urusan, sibuk. Tapi, mungkin kalau kau menunggu di sana satu jam lagi, aku akan datang menjemput.” 

“Satu jam? Sekarang sudah hampir selesai, Sayang. Aku tak bisa menunggu selama itu. Memangnya kau sekarang ada di mana? Masih syuting?” 

“Ya.......ya, aku masih di lokasi. Mungkin sekitar satu jam lagi selesai.”

“Jadi, kau masih di lokasi. Di mana? Bagaimana kalau aku yang ke sana, lalu kita bisa pergi hang outsama-sama. Oke, Sayang?” 

“Jangan...jangan,” kata Rivael cepat. “Jangan susah-susah kemari. Baiklah, tunggu tiga puluh menit lagi, aku akan menjemputmu.”


“Tiga puluh menit?” Jessy menimbang-nimbang. “Di Salon Beauty, Sayang. Jangan terlambat. I miss you.”

Rivael memasukkan ponselnya ke kantung di kemejanya. Matahari telah berangsur mengurangi terik sinarnya. Sore hari yang hangat. Namun di jalanan di luar sana kegerahan bisa sangat gila panasnya. Sedan merah Rivael tengah melaju di Boulevard yang berdesing-desing oleh deru mesin-mesin bermotor.

“Aku sudah membuat Mas berbohong,“ kata Cheryl. “Pasti dia akan marah besar kalau sampai tahu Mas sedang bersamaku.” 

“Hasilnya juga akan sama saja. Jika aku berbohong padanya, berarti aku menepati janjiku padamu; dan jika aku menepati janjiku padanya, berarti aku tidak akan menjemputmu sekarang ini. Dalam hal ini, aku lebih memilih berdusta untuk yang lebih berguna bagi orang lain,” kata Rivael.

Ia memutar setir dan sedan berbelok ke arah utara. “Aku ingin sempurna,” lanjutnya.

Cheryl tersenyum. “Aku benar-benar sudah merepotkan. Bagaimana aku membalas kebaikan ini?”

“Tidak perlu. Kau tidak perlu membalasku apa-apa. Ingat, aku yang menabrakmu; jadi sudah pantas kalau aku melakukan semua ini untukmu.”

Cheryl tidak membalas.

“Jam berapa selesai mengajar? Aku tidak bisa menemanimu di sana, jadi kau bilang saja jam berapa kau pulang, nanti aku usahakan menjemputmu.” 

“Oh, tidak perlu. Sungguh, aku bisa pulang sendiri. Sudah terbiasa. Aku akan memanggil taksi nanti. Aku tidak mau membuat Mas berbohong untukku lagi.”

“Tapi –“

Cheryl menukasi. “Mas meragukan saya? Semua orang yang pertama bertemu denganku juga akan berpikir begitu. Tapi aku bukan perempuan lemah. Aku bisa melakukannya sendiri.”

Rivael buru-buru menambahkan. “Jangan salah paham dulu, Cheryl. Hanya saja –“

“Takut aku tersesat atau dipermainkan supir karena aku belum lama tinggal di sini?” potong Cheryl.

Rivael tidak menyahut.

“Aku selalu percaya pada dasarnya semua orang itu baik; tak akan menipu atau menyakiti sesamanya. Kita berubah jadi buruk semata-mata hanyalah karena kita adalah korban sebuah permainan,” tambahnya.

“Tapi ini ibukota dan kau –“ 

Cheryl meraba tangan Rivael dan menggenggamya erat.


“Percayalah. Tidak akan terjadi apa-apa. Aku dapat mempercayai Mas yang baru dua hari kukenal – dengan cara bertemu yang tak lazim – lalu kenapa aku tak bisa mempercayai seorang supir taksi,” katanya.

Rivael tidak berkata-kata. Dia juga mungkin tidak mendengar apa yang dikatakan Cheryl padanya. Pada saat ini hanya indera perabanya saja yang berfungsi. Karena itu dia hanya merasakan kehangatan dari genggaman tangan Cheryl.

Dia ingin membuat tangan itu tetap menggenggamnya, namun ia tidak punya kuasa untuk membuat tangan itu lebih lama atau lebih cepat menggenggamnya. Walau perempuan itu seperti halnya perempuan-perempuan lain yang selama ini ia kenal, ia bisa mempertahankan genggaman itu pagi hingga siang, hingga malam, dan hingga pagi menjelang kembali

Cheryl cepat-cepat melepas genggaman tangannya begitu ia menyadari ia sudah terlalu lama berada dalam suasana yang hening sepihak dari pihak Rivael itu. 

“Mas bekerja di mana?”

Rivael balik bertanya. “Sepupumu tidak memberi tahu?”

Cheryl menggeleng.

“Lagipula apa pentingnya? Kalau kukatakan padamu, aku takut kau akan terkejut.”

Cheryl tertawa. “Sudah kuduga kalau Mas bukan pemain film atau sandiwara.”

Rivael mengerutkan dahinya. “Kenapa?”

“Sebab saat ini semakin sering orang yang bermain pura-pura, tapi semua itu demi uang. Sementara Mas sudah bermain berpura-pura dengan berkata sedang berada di tempat lain demi kepentingan yang lebih manusiawi. Hanya sedikit orang yang berakting untuk sesuatu yang manusiawi,” kata Cheryl.

“Aku tidak tahu hal itu,” kata Rivael. “Ah, kita sudah dekat. Nomor berapa rumahnya?”

“15 C.”

“Aku bisa menemuimu lagi? Apa aku masih bisa bertemu denganmu?” tanya Rivael sebelum mobil berhenti di depan rumah berpagar putih dan cukup tinggi itu. 

“Tentu. Dengan tanpa membawaku ke rumah sakit terlebih dulu tentunya,” jawab Cheryl.

Ruangan kecil itu dipenuhi tawa.

**
 
(bersambung)

Kamis, 12 Mei 2011

Jeda

Kalau setiap sore Kamu menengadah ke langit, kalau suasana mendukung dan Mendung tidak duduk duduk menggerombol di sana sini, pasti kamu akan jumpai fonemena penjedaan. Suatu moment yang berjalan beberapa menit dalam selimut oranye sebelum akhirnya gulita pelan pelan mempergelap pelita Matahari.




Senja menghadirkan dirinya sebagai penjeda alam Siang dan Malam.


Penjedaan semacam itu juga akan hadir di setiap kehidupan kita. Sadar atau tidak, hantu penjedaan inilah yang nggandoli kaki dan tangan manusia. Baik itu penjedaan yang berdurasi lama maupun singkat, baik penjedaan yang mengarah menuju dermaga bahagia atau sebaliknya, baik penjedaan yang mengarah ke wujud fana atau ke yang kekal. 


Contoh konkrit, adalah moment ketika kita yang semula tertawa lepas, begitu dihadapkan pada penjedaan menuju diam akan merasai kekosongan sebelum akhirnya melebur ke dalam diam itu. Kita diposisikan dalam situasi lost of moment. Langit biru kita dijamah dan dipaksa menelan racun oranye Senja, sebelum akhirnya perlahan sekarat lalu mati menggelap.

Lost of moment inilah letak transisi perasaan yang menuntut pengertian. Kita tak mungkin selamanya gembira, atau pun bersedih. Kita tak abadi menjulang di puncak; pun tak seterusnya tersuruk di lembah. Cepat ataukah lambat kita akan berada di dalam jeda. Dan nilai sebagai manusia akan ditentukan apakah di dalam rentang ada dan tiada itu masih ada hati yang legowo menerima.

Rabu, 11 Mei 2011

A Minor and Not Counted History

Andaikata, saat ini Kamu sedang berada di kelas, kebetulan pelajarannya Sejarah Nasional, lalu Ibu Guru memberi Kamu sebuah pertanyaan, singkat saja: "10 November itu diperingati hari apa?"

Tentunya Kamu dengan ilmu yang sudah di luar kepala akan menjawab: 10 November adalah peringatan Hari Pahlawan Nasional. Lalu mungkin Kamu akan kembangkan sendiri menjadi narasi pendek, bagaimana Bung Tomo dengan kekuatan orasinya gemilang membakar semangat arek arek Surabaya, bagaimana Mallaby jatuh tumbang, bla bla bla ...

Sama halnya, ketika Ibu Guru bertanya, peristiwa penting apa di tanggal 09 Agustus 1945, maka dengan pede Kamu menjawab kalau 09 Agustus 1945 adalah masa dimana Nagasaki di hancurlumpuhkan oleh Paman Sam karena sebelumnya berani tambeng tambeng meluluhlantakkan Pearl Harbour di Pasifik.

Sejarah selamanya akan mencatat bahwa 10 November adalah Hari Pahlawan Nasional
dan Sejarah selamanya akan menulis 09 Agustus adalah Hari Berkabung Masyarakat Nagasaki

*

Lalu, bagaimana Sejarah akan mencatat keberadaanmu?

Kita - dalam tulisan ini - jangan dulu membahas hal superior yang mungkin aku atau Kamu lakukan. Belum, belum harinya kita membahas hal itu. Ada waktunya sendiri nanti. Yang akan dikulik di sini cuma hal yang jauh dan jauh lebih sederhana namun itu adalah mark of your eksistensi.

Pada sebuah kesempatan, aku dan seorang rekan tengah makan siang. Rekan yang satu ini kebetulan sedang merayakan hari jadinya sendiri. Hari pertama kali mencium ranting ranting udara bebas setelah mendekam beberapa bulan di rahim ibunya. Tapi roman romannya kok cemberut saja. Tak selepas selayaknya orang yang bahagia karena ia mulai semakin dewasa, semakin kaya dengan pengetahuan dunia, dia tidak seperti itu - hari ini.

Dan betul saja, begitu gundukan nasi putih mengepul ngepul, si rekan ini juga mengepulkan kegundahannya.

"Nggak happy aku," katanya.

"Kenapa?"

Sambil memain mainkan sedotan air minum dia berkata: "Tahu tadi yang di wall, itu aku sendiri yang tulis itu."

"Ha? Maksudnya?" tanyaku tak paham.

"Iya, yang di wall, yang di wall itu, Mas. Itu aku sendiri yang tulis. Bukan dia. Aku kan tahu user-nya, jadi ya tak tulis sendiri. Tak ketik sendiri. Dia nggak tahu apa apa. Di rumah nggak ada yang inget, Mas. Sedih, sedih banget. Dia pagi sempat telpon, sempat seneng aku tak kirain dia inget, eh malah minta belikan pulsa ... listrik di rumah mau mati, katanya."

Sebentar rekan itu tersenyum getir, lalu melanjutkan: "Tak tulisin sendiri, 'thank you, Say buat kadonya'. Kado lupa!"

Sejurus kemudian, obrolan ini hanya terjadi satu arah saja.

**

Seberapa pentingkah tanggal kelahiran itu, kalau bagimu? Sungguh teramat pentingkah?

Kalau aku sendiri, seingatku memang tak pernah mengharapkan apa apa dari setiap kali Juni sampai di kotak angka 3-nya. Aku memang tak pernah (hanya terjadi sekali di usia 17 saja) merayakan ulang tahun. Beda dengan salah seorang teman masa kecilku yang mana setiap tahun dia selalu mengundang aku dan teman teman sekompleks lainnya ke perayaan ulang tahunnya. Disuguhi cake dan juga kotak kardus berbentuk rumah rumahan yang selalu orang tuanya bagikan sebelum kami pulang.

Tentunya, tanggal maupun hari kelahiran kita pun ter-record dalam Sejarah. Hanya saja tergolong minor history atau bahkan very very minor and not counted history ... hahaha. Tapi bagaimanapun, itu adalah Sejarah milik kita. Masa penting dalam hidup kita. Walaupun mungkin kita tak selalu merayakannya di setiap tahun. Walau mungkin kita cukup bersujud syukur ketika menyadari bahwa begitu banyak karunia yang didapat dalam setahun usia ini bertambah.

Hanya, dalam konteks si rekanku tadi, ceritanya tentu berbeda. Expectation itu menjadi lebih diambisikan ketika kita sudah menjadi bagian dari seseorang yang lain. Bisa itu kekasih atau pasangan hidup. Ekspektasi itu menjadi lebih dinanti dengan gelisah dan menjadi ujung yang menggairahkan ketika pada suatu kondisi seorang kekasih datang dan mengucap sekedar "Selamat ulang tahun, Manisku" kepada pasangannya yang sedang berulang tahun.

Sekarang lho, siapa yang nggak bungah hatinya ketika ada seseorang yang tahu hari bersejarah kita dilahirkan, melebihi ingatannya pada 10 November, 17 Agustus, atau 01 Mei ? : )

Sejarah Hari Pahlawan Nasional dan Pengeboman Nagasaki yang sudah uzur itu sampai anak cucu kita dewasapun akan kekal tercatat di buku, di monumen, di dinding dinding museum, namun minor and not counted history .... upayakanlah agar ia jangan sampai reot lusuh mengeras di dinding.

Selasa, 10 Mei 2011

Seluloid Subuh

Seluloid Subuh yang berkelibat cepat, orang bahkan tak lagi sempat sekedar bertanya: "Ini ada apa?"; "Bagaimana selanjutnya?". Orang tak sempat lagi berpikir apakah dubbing vocal sudah tepat; atau apakah semua sudah bertumpu pada skenario.


Dalam Seluloid Subuh, orang berkubang dalam kepasrahan ketidakteraturan permainan.


Seluloid Subuh tak memfilmkan apapun, selain sepenggal demi sepenggal adegan yang belum klimaks. Dialog yang terbata bata. Lightning dan screening yang belum tertata apik. Acting dan blocking yang ngalor ngidul, semrawut amburadul.


Seluloid Subuh tak pernah mengabadikan apa pun,
kecuali peran kecil keanggunan-Mu yang sepersekian detik kujumpai di dalam dirimu.

Senin, 09 Mei 2011

Sajak, Bagaimanakah Itu?

SIMFONI
(Subagio Sastrowardoyo)

"Aku tidak bermain bagi babi babi!"
gerutu Beethoven


Kita yang berdiri di tengah abad
di bilang dua puluh

dan menyangka hari jadi telah tertinggal jauh

makin samar :
mana asal, mana kejadian
mana jumlah, mana kadar

makin samar :
mana mulia, mana hina
mana kemajuan, mana kemunduran

katakanlah :
adakah kemajuan
kalau kita lebih banyak mendirikan
bang atau ruang gudang
dari kuil atau masjid



kalau kita lebih menimbang kasih orang
dengan uang dari hati

kalau kita lebih percaya kepada barang
dari bayang - Atau kemunduran? -

katakanlah
mana lebih mulia :
kepala atau kaki
sifat ilahi atau alat kelamin

semua melata di bidang demokrasi

mana lebih dulu :
Tuhan atau aku
Dia tak berbayang

kalau aku tak berangan

Tuhan dan aku saling berdahulu
seperti ayam dengan telur
siapa dulu?

siapa manusia pertama :
Adam, Kayumers, atau Manu

Kitab mana harus dipercaya :
Quran, Avesta, atau Hindu Weda

Kapan dunia ini bermula :
di Firdaus, di Walhalla, atau Jambudwipa

Mengapa tidak di sini, di waktu ini
dan lahir seorang Adam di setiap detik dan tempat
dan terdengar Kalam Tuhan di setiap sudut di darat

Aku juga Adam
yang terusir dari firdaus
karena dosa, karena kelemahan
karena goda perempuan

Dunia berhenti
dan bermula lagi

Mana lebih kekal :
Tubuh atau nyawa

Mana lebih haram :
Benda atau cita

Mana lebih keramat :
Angka atau makna

Makna itu keramat
karena tersimpan di hakikat
Juga angka

Meski jarang lagi
yang gemetar melihat angka
gasal : tiga, tujuh,
atau tiga belas
yang tersurat pada dada
tanda jasad

Angka ganjil, angka keramat
Ganjil seperti letak empu
terselit di antara jari.

Ganjil seperti puncak gereja
yang menunjuk ke arah mega

Penglihatan ini makin samar
Makin samar.


**

Sebuah sajak kenang kenangan dari sebuah lembaran buku lama peninggalan seseorang di rumah. Sajak yang selalu tak pernah bosan aku bolak balik di lembar yang sudah menguning termakan usia itu.

Sajak adalah hasil ijtihad (perjuangan pemikiran) yang mencoba berusaha jujur. Jujur dengan apa saja: dengan keadaan sosial, dengan hati, dengan nurani, dengan cinta, dengan kalbu, dengan kegelisahan, dengan keberanian, dengan kecurangan, dengan segala macam selambu yang sengaja atau tak sengaja dipasang oleh alam manusia.

Sajak adalah media terbuka sekaligus terselubung untuk menyiasati ke-denotatifan akal; atau malah men-denotatifkan ke-konotatifan akal. Sajak tak pernah sekalipun berupaya jahat menipumu, mengakalimu dengan memanggil "Hujan" sebagai nama lain "Wahyu", memetaforakan "Matahari" sebagai wujud lain "Pengetahuan". Sajak adalah sajak. Ia berdiri atas usahanya membuat seseorang berpikir. Membuat seseorang tidak kaku, tidak monoton, tidak keukeuh. Menjadi guru yang setia tak pernah mengeluh serta tak menuliskan rapor pada anak didiknya. Sajak adalah pembebasan bertanggung jawab akal dalam menghikmahi setiap deretan kata.

Lalu bagaimana menyoal Sajak yang ngobral gombalan?
Dusta jahanam, kah? Hehehe ...

Soal rayu merayu, gombal menggombal, siapa saja boleh melakukan. Namun sebelum memvonis, lihatlah dahulu dengan hati yang jernih apa definisinya, apa hakikatnya. Apa makna di balik hijabnya. Kamu andai beli produk susu bubuk kan mesti melihat dulu: berapa kalorinya, berapa lemaknya, berapa proteinnya, cocok nggak untuk peminumnya; bukannya langsung main comot, masukkan ke keranjang, bayar jebret tunai di kasir, lalu mengantonginya pulang.

Ya, kecuali kalau Kamu termasuk golongan kaum yang termakan gombalan si iklan susu bubuk, yang sekali minum bisa instant membuatmu berbadan kotak kotak kayak papan catur atau langsing mirip biola Spanyol.

Liatkanlah yang kaku denotatif dengan gairah lentur konotatif.
Mahfumilah yang terlihat konotatif dengan kesederhanaan denotatif.

Jangan sampai seperti kata Pak Subagyo tadi: 


makin samar : / mana asal, mana kejadian / mana jumlah, mana kadar //
makin samar : / mana mulia, mana hina / mana kemajuan, mana kemunduran //


Tapi aku yakin sekali, Kamu tentu bukan yang seperti kata kata dalam Sajak itu, kan?

Rabu, 04 Mei 2011

Tentang : Menjadi Laki Laki

"Kalau jadi laki laki, tanggung jawabnya lebih besar. Karena bagaimanapun, laki laki itu nanti akan membawa anak (perempuan) orang...."

Hehehe .. kira kira semacam itulah kata kata Ibu yang berulang ulang ulang kali dikatakan kepadaku. Aku masih ingat, telinga ini rajin sekali mendengung oleh kata kata itu ketika aku masih berumur 12 atau 13 tahun, waktu masih zaman zaman SMP lah tepatnya.

Pada waktu itu, Ibu selalu mengingatkan: nanti sekolah yang benar; kalau diajak teman ngene ngunu - sing aneh aneh - ditolak sing alus; kudu nduwe penggawean, Le (di sini Ibu menekankan sekali); lalu di ujung ujungnya kembali ke sini: ... bagaimanapun laki laki itu akan membawa anak (perempuan) orang lain. 

Yah, tentu saja bukan maksudnya mencekoki dengan pengertian: "Le, kalau udah besar nanti kau bawalah lari (culik) anak gadis orang". Hehehe .. tentu bukan seperti yang itu yang beliau maksudkan. Beliau sadar betul bahwa nanti seorang laki laki itu ketika dewasa harus menjalankan kodradnya, melengkapi separuh dien-nya dengan membina rumah tangga sendiri. Kudu omah omahan dewe, istilah Jawanya.


Seperti ketika dulu Bapak melakukan hal yang sama kepada Ibu.


Memang, Aku tak pernah mendengar dari Bapak sendiri, namun kata Ibu, Bapak dulu itu menjadikan Ibu satu satunya perempuan dalam hidupnya, saat Ibu masih berusia kepala dua (Bapak mungkin .. ehm ... 5 atau 6 tahun lebih tua). Pun, Bapak tak pernah menceritakan dari bibirnya sendiri apa dan bagaimana taktik beliau "menculik" Ibu dari kedua orang tuanya. Tentang nyali macam apa yang dimiliki Bapak hingga membuatnya berani sekali membeli tiket perjalanan seumur hidup itu.

Yah .. Bapak memang tak (sempat) memberi tahu itu semua.....
Yah .. Bapak memang tak (sempat) melihat kekhawatiran Ibu ketika Ibu harus melaluinya seorang diri ...

Dan, kekhawatiran seorang Ibu itu adalah ketika nanti si anak laki laki sudah hidup bersama dengan anak perempuan orang lain, dia dhaif dalam memenuhi tanggung jawab kepada perempuannya. 

Sepertinya, kekhawatiran seorang perempuan yang normal ya? Hehehe ...

Ketika masa SMP seorang laki laki bau kencur menerima wejangan semacam itu, aku hanya mengangguk (mengiyakan dan tak membantah apapun). Di saat bersamaan, pada saat itu tak terlintas betul dalam pikiran ini: Apa pekerjaanku nanti? Apa? Penulis? Penggiring bola lalu main di Gajayana? Atau apa .... ??
Pun, ketika Ibu menekankan tentang membawa anak orang itu, hehehe ... seorang anak SMP masih terlalu jauh untuk itu. Kesenangannya masih bisa diredam dengan Playstation. Kerinduannya masih bisa dielus oleh Bapak-Ibunya atau oleh teman teman yang ada di sampingnya. Belum waktunya oleh anak orang lain.

Namun, seolah tak peduli apa yang melintas di benakku, Ibu masih menyenandungkan lagunya kembali: "Kalau jadi laki laki, tanggung jawabnya lebih besar. Karena bagaimanapun, laki laki itu nanti akan membawa anak (perempuan) orang...."

*

Aku, tak akan mengutak utik apapun perkataan Ibu itu, bagaimanapun seorang laki laki adalah pemimpin rumah tangga, imam bagi perempuan dan anaknya, lalu dari sana akan dikaitkan dengan tanggung jawab; hak dan kewajiban; cinta; kasih sayang; perlindungan; amanah; dan sebagainya.


Menjadi laki laki itu belumlah cukup dengan apakah Kamu telah berpenghasilan lebih; apakah Kamu seorang yang Romeo; atau apakah Kamu telah sanggup mewujudkan omah omahan dewe untuk perempuanmu itu.

Maaf jika Aku keliru, (tapi) bukankah harta benda itu sewaktu waktu juga akan habis tergerus?;

Maaf jika Aku keliru, (tapi) bukankah suatu saat nanti kita pun akan keriput dan beruban halus?;

dan ... maaf jika Aku keliru, (tapi) bukankah suatu hubungan yang baik juga akan berakhir dengan baik - 'till death do us apart - jika antara laki laki dan perempuan bisa saling menjaga diri serta satu sama lain sehingga takkan timbul fitnah dan prasangka di kemudian hari?

Materi dan semua yang tersebut itu memang secara logika dibutuhkan, namun tidakkah lebih arif jika Kamu menomorempatkannya, setelah mendahuluinya dengan istiqomah, akhlak, dan akal? : )

*

Pernah ada yang bilang, yang jika disimpulkan kurang lebih begini: Beristiqomahlah atas hal hal yang baik; atas iman dan takwamu kepada Allah - Tuhan Semesta Alam; atas keikhlasan sedekahmu, amalmu, kelembutanmu, kasih sayangmu, dan cintamu. Jika untuk utuh menggapainya masih sulit, maka upayakanlah untuk mendekatinya. 

Yang sulit itu bukanlah bagaimana membelanjakan harta bendamu untuk kebutuhan perempuanmu, tetapi bagaimanakah caramu untuk ajeg menafkahi perempuanmu dengan cara yang halal dan penuh tanggung jawab?

Yang sukar itu bukanlah membiarkan perempuanmu sibuk dengan dunia dan cita citanya sendiri, tetapi bagaimanakah istiqomahmu untuk saling membagi perasaan, menasihati dengan lidah yang halus, menjaga harga diri, keutuhan, dan citranya sebagai perempuan?

Dahuluilah dengan istiqomah, bentuklah menjadi sebuah akhlak, lalu jalan serta seimbangkanlah dengan akal... (dan sisanya InsyaAllah akan lebih mudah mengiringi)....

*

Sepertinya.... Aku terlalu banyak berbicara dan sok tahu, ya? Maaf ...

Tapi, tahu? Sampai sekarangpun, Ibu kadang masih mengulangi hal yang sama 10 tahun lalu: "Kalau jadi laki laki, tanggung jawabnya lebih besar. Karena bagaimanapun, laki laki itu nanti akan membawa anak (perempuan) orang.... tapi sekarang (Alhamdulillah) ada tambahannya begini: "Tak doakan dapat istri sing sabar, sing manut, dapat mertua ya sing sabar .... "

Hehehe ... Amien, InsyaAllah : )


Selasa, 03 Mei 2011

Kabut, Lampion, Kita

Donald Duck,
Mickey dan Minnie Mouse,
Lalu Menara Eiffel dan Petronas.

Danau Angsa,
Bunga bunga Cahaya,
Lalu Segelembung Balon Udara.

Kabut,
Lampion,
lalu ... Kita.


Badut


HARI INI adalah enam hari di bulan Agustus setelah tanggal tangis pertama kekasihku. Semaraknya dari tahun ke tahun seakan tidak pernah padam. Umbul-umbul dengan warna kebesaran negara dipasang di sepanjang jalan masuk menuju gapura komplek, bendera-bendera dari bahan plastik berderet pada seutas tali panjang yang dikaitkan dari satu ranting teratas sebuah pohon menuju ranting pohon yang lain secara diagonal, dan di depan tiap rumah Sang Merah-Putih berkibar dengan gagah ditentang angin.

Minggunya, setelah tanggal kemerdekaan ke 62, seluruh penghuni komplek RW 14 telah berkumpul di lapangan dengan berbalut pakaian olahraga dan kupon-kupon bazar atau undian berhadiah. Di tengah-tengah ratusan manusia itu aku berjumpa dengan suami-istri Herman dan Nenda serta anak gadis mereka, Drama.
Istrinya yang tidak lama kemudian bertemu dengan rekan-rekan arisannya segera meninggalkan Herman dan Drama. Mereka terlihat riuh berkicau sendiri dengan obrolan seputar cincin, resepsi kawinan saudaranya, hingga bergosip rumah tangga orang di blok lain.

“Jadi sudah beli berapa kupon untuk pagi ini,” kataku berbasa-basi saat mendekati Herman. Dia tak lebih tua dariku. “Wah, Drama rupanya sudah punya banyak kupon, ya?”

“Ya. Drama punya tujuh, istriku enam, dan aku sendiri lima. Kami semua delapan belas!”
Aku menggeleng takjub.

“Benar-benar punya peluang yang besar untuk menang Aku sendiri cuma punya tiga. Kalau Drama sendiri memangnya mau hadiah yang mana?”

Anak sembilan tahun itu menunjuk dengan telunjuknya ke arah panggung. Aku menuruti.

“Oh, mau sepeda gunung rupanya? Yang merah atau biru?”

Dia tampak berpikir. “Merah,” katanya memutuskan. “Aku suka merah. Seperti warna chery.”

“Hanya mau sepeda saja?”

Ia mengangguk.

“Padahal kalau kuponnya sebanyak itu, bisa menang banyak hadiah lho. Bisa-bisa memborong semua hadiah yang ada di panggung.”

“Kalau memang beruntung,” sambung aHerman. “Kami – maksudku Istriku – sangat berharap bisa menang banyak undian tahun ini.”

“Istrimu?”

“Ya, tahulah ibu-ibu muda yang ikut arisan. Mereka saling menjaga gengsi. Waktu tahun kemarin, Istriku hanya memenangkan sebuah piring kaca dan di rumah dia terus menggerutu karena Norma bisa memenangkan hadiah utamanya – televisi. Tapi, sepulangnya dari arisan, dia lalu tertawa cekikikan. Kau tahu sebabnya? Karena salah seorang anggota yang lain cuma mendapat sabun cuci! Kata Istriku, karena malu waktu pengambilan hadiah, dia menyuruh tetangga untuk mengambilkannya.”

“Masak sih?” tanyaku dengan pandangan tak percaya.

Herman menepuk pundakku. “Percayalah. Mereka bisa membicarakan apa saja di sana.”

“Ya, mereka memang bisa membicarakan apa atau siapa saja di sana.”

Lima belas menit kemudian, acara jalan sehatpun dimulai dengan aba-aba dari Ketua RW. Kami dilepas dengan rute menyusuri jalan-jalan lapang di beberapa blok di luar komplek kami. Menjelang pukul delapan, ketika cercah mentari sedang hangat-hangatnya, rombongan kami telah sampai di tempat semula dengan peluh dan perut keroncongan.

Di sela-sela bazar, tim panitia memulai pengundian hadiah. Kami berkerumun di seputar lapangan dan tidak bisa kulihat lagi Herman dan istrinya di tengah keramaian itu. Setelah beberapa jerit histeris dan lembar-lembar kekecewaan berserakan di bumi, lapangan itu perlahan mulai surut. Aku belum mendapati Herman. Tapi keriuhan lain memancingku. Di lapangan volly di sebelah utara, kerubungan disertai suara pacuan semangat riuh rendah mengalun-alun. Berjejal dalam kerumunan itulah aku berhasil mengenali lelaki bertubuh ceking itu dari warna kuning kaosnya.

“Anakmu ikut lomba?”

“Dia ikut yang sebentar lagi,” jawabnya tanpa menolehku.

Sesekali ia memekikkan nama anaknya.Aku mengamati barisan anak kecil yang berdiri berderet dengan karung goni usang sebagai sarung mereka. Akan ada lomba balap karung dan kulihat sosok kecil Drama berada di urutan ke dua dari kanan.

“Kau menang sesuatu?” tanyaku di sela keriuhan.

Herman tak mendengarku karena riuhnya pasar pindah di sekeliling kami.

“Apa? Apa katamu?”

Aku mengulangi.“Kau memenangkan sesuatu tadi? Hadiah! Hadiah!”

“Oh......sepertinya tidak.”

“Sepertinya?”

“Ya, sebenarnya aku tadi pulang sebentar untuk buang air. Kuponku kutitipkan sebentar kepada salah seorang tetangga. Selama aku pulang itu, katanya nomorku tidak dipanggil. Jadi ya tidak dapat apa-apa. Mungkin Istriku yang memenangkan sesuatu,” jawabnya lagi-lagi tanpa memandangku.

Keriuhan di antara dinding manusia itu semakin menjadi ketika peluit tanda perlombaan telah ditiup kencang-kencang. Dengan susah payah, aku berhasil menikmati jalannya perlombaan dari sudut yang bagus.
Drama berada di nomot pertama disusul dengan Jeny, Theo, May, dan terakhir Rika. Aku tidak tahu kenapa melakukannya, namun tanpa sadar akupun turut menyoraki dukungan untuk gadis kecil Herman itu.

Sayang di pertengahan jalan, Drama terjungkal dan setelah ia kembali pada perlombaan, May telah lebih unggul satu meter menggapai finish. Aku turut kecewa, tapi itulah permainan.
Pada malam harinya, acara belum tuntas dan kini adalah pamungkasnya. Kami akan mengadakan syukuran di balai RW sekaligus menandai peresmiannya untuk pertama kali setelah proses pembangunan yang sempat terlunta-lunta. Karena Rindu, Ibu, dan Ayah telah berangkat terlebih dahulu, aku lalu menemui Keluarga Herman untuk sekedar mengajak pergi bersama. Belum sempat aku mengetuk pintu rumahnya, suara gusar Nenda telah menyapaku.

“Jadi kau tadi pulang buang air dan menitipkan kuponmu pada orang lain? Dan setelah kau kembali, kata orang yang kau titipi kupon itu nomormu tak ada satupun yang keluar?” tanya Nenda.

Suaranya keras bercampur kesal hingga dari balik pintu aku bisa mendengarnya.
Herman buru-buru menjelaskan.

“Memang begitu, Nen. Aku semula ingin mencarimu, tapi sakit perutku ini sudah tak bisa kutahan. Kau dimana, aku pun tak tahu.
Jadi ya kutitipkan saja sebentar kuponku itu pada Majenun.”

“Majenun?!” kata Nenda sontak. “Jadi, kau titipkan kuponmu kepada dia? Yaaa......ampuun!! Pantas! Pantas dia bilang nomormu tak keluar. Kau tahu sendiri siapa Majenun? Dia adiknya Si Hamidah! Anggota arisanku yang tahun kemarin cuma dapat sabun! Pantas kucing betina itu bilang nomormu tidak ada yang keluar. Mereka berdua pasti sudah bersekongkol. Hamidah pasti tidak ingin aku menang karena dulu aku yang menertawakannya paling keras.”

“Jangan berprasangka buruk seperti itu,” kata Herman memperingatkan.

Terdengar langkah berdentam-dentam.

Nenda menyambar lagi. “Memang begitu itu nyatanya. Kau belum tahu saja ibu-ibu di arisanku. Huhh....untuk arisan bulan depan – di rumah si cerewet Norma – mereka tentu pasti memanas-manasiku karena aku tidak dapat satu hadiahpun hari ini! Terlebih karena kekalahan memalukan anak kita waktu lomba tadi!”

Herman mulai tersengat. “Drama? Apa salahnya?! Itu cuma permainan. Jangan dianggap terlalu serius!”

“Oho...ho.....ini bukan permainan! Ini serius! Kalau yang menang Jeny atau Theo masih boleh-boleh saja. Fine. Tapi yang menang tadi May, anaknya Norma, teman arisanku yang lidahnya ngalah-ngalahin golok pembunuh naga. Coba kalau Drama tadi melompat lebih tenang, kan tidak harus jatuh gara-gara gundukan tanah. Lebih-lebih anaknya Norma yang juara satu,” kata Nenda.

Ruangan di dalam hening. Hanya terdengar dentam-dentam hak sepatu.

“Kalau telingamu panas mendengar ocehan ibu-ibu arisan itu, lebih baik keluar saja dari arisan.”

“Maumu! Itu kan sama artinya kalau aku melarikan diri! Lagipula masih ada perebutan gengsi lain yang mungkin bisa aku atau kita menangkan. Lihatlah, aku sudah bedandan habis-habisan untuk syukuran malam hari ini. Aku memilih gaun paling mahal keluaran butik paling kenamaan; parfum produk Perancis sudah kusemprotkan di sekujur tubuhku; hnm......aku wangi, kan? Lalu cincin, gelang, kalung, dan semua perhiasan di laci meja sudah kupasang satu per satu.
Akan kutunjukkan pada teman-teman arisanku kalau aku belum kalah!”

Aku sudah tak tahan sekaligus tak ingin lagi menguping dan segera kuketuk pintu keras-keras.

“Kau seperti badut.” Kudengar Herman menyudahi.