* Sebelum meniti kata kata lebih lanjut - kalau seandainya kedua guru bahasaku itu secara tak sengaja membaca tulisan ini - hanya ingin bilang lho dengan jujur: "Anda berdua sangat Hebat !!" :D
Yuk, kali ini kuajak berjalan jalan kembali ke sekitar 5 atau 6 tahun lalu - ketika aku masih muda tentunya; hidup sehari hari dengan putih abu abu; menjadi murid paling rajin dan teliti (baca: selalu mengutip pekerjaan rumah di waktu "darurat" (baca lagi: 30 menit sebelum bel masuk)); dan murid yang agak malu malu kucing kalau mau rame.
Yah, di masa itulah perkenalanku pertama kali dengan Beliau berdua. Beliau beliau yang menjadi bagian kenangan tak terpisahkan dari bingkai kehidupan masa muda. Beliau beliau yang bisa dikatakan mengabdikan diri untuk kata dan bahasa, hebatnya: bahasa Indonesia!
Yup! Inilah dua master bahasa dan sastra tersebut. Kita mulai yah ... :P
Yang pertama: Bapak (lupa gelarnya, Pak - maaf) Soedibyo. Kalau dideskripsikan dengan kata kata akan menjadi begini:
~ Tidak terlalu tinggi,
~ sorot matanya timang timang tajam,
~ tak banyak bicara,
~ jagoan merokok (di kemudian hari timbullah aturan dilarang merokok di sekolah - yang justru membuat sponsor rokok malah rajin sekali mengunjungi sekolahku),
~ gaya tulisan tangannya yang mundur jauh melampau usianya,
~ tidak bertele tele,
~ kaku (sepertinya), dan ... (kadang) gejolaknya gampak tersulut.
Pertemuan pertama adalah awal awal tahun. Beliau inilah yang dengan sangat sederhana mengajarkan bagaimana berbasa Indonesia, tidak rumit memahami apa itu diksi, apa itu majas, apa itu sinonim-homonim-homofon-homograf-dan teman temannya.
Hanya bahasa, bahasa Ibu, bahasa yang dililit kata kata lokal, dan mungkin bahasa yang sudah melekat pada kita sejak pecah tangis pertama kita (tangis pertama dalam bahasa indonesia berbeda dengan tangis pertama bahasa Jerman lho .. boleh diteliti :P) and .. Yup, that's all.
Gaya mengajarnya sangat sastra (ini yang paling aku suka :D) jadi jika di kelas nama Badudu atau Chairil sering seliweran. Tak jarang beliau ini melawak dengan menyebut - ketika melemparkan soal sekenanya pada salah satu murid - nama anak itu dengan maknanya. Misal nih, "Wahyu - alias rahmad Tuhan - apa nama lain dari" .... bla bla .. atau "Fajar, sinar matahari pagi" .. (nah waktu beliau nunjuk aku, sempat mikir lho beliaunya .. mungkin bingung juga, namaku ini artinya apa ... hahaha .. :P)
Kalau dari segi ujian yang diberikan beliau, bolehlah aku berbangga hati karena pernah jadi nomor 1 tertinggi nilainya sekelas (mengalahkan "4 GodFather" kelas kami yang hampir tiap hari bergantian merajai panggung matematika, kimia, fisika, dll).
Haha, ups, lupa ya aku mengenalkan apa itu "4 GodFather". Hihi ... ssstt.. sebenarnya ini sebutan "rahasia" diantara aku dan beberapa teman untuk menyebut 4 perempuan berjilbab supercerdas yang duduk berpasangan di bangku paling depan (mungkin mereka sampai saat ini juga belum tahu tentang sebutan itu - yang diilhami dari Film The GodFather si Mario Puzzo: Para Mafia Italia .. :D).
Back to my great teacher. "Pak tulisan Anda jangan keburu digosok Pak." >,<
Gambaran situasinya kala itu semacam ini:
~ Beliau menulis dengan gaya latin menggunakan spidol tebal hingga deretan kata menjadi kecil dan kabur;
~ Papan tulis kami dibagi menjadi empat kolom. Begitu satu kolom selesai, hanya ada 10 menit untuk menyalin sebelum semuanya tersapu penghapus;
~ Papan tulis kami dibagi menjadi empat kolom. Begitu satu kolom selesai, hanya ada 10 menit untuk menyalin sebelum semuanya tersapu penghapus;
~ Aku duduk di barisan bangku paling belakang;
~ Teman teman di kanan kiriku adalah berandalan yang males nyatet materi dan gampang membanting buku tanda menyerah pada keadaan;
~ Beliaunya waktu itu agak risau tulisannya dikomentari.
Walhasil:
Bersungut sungut beliau menapak ke meja kami, menerawang tulisannya sejenak, lalu ngomong: "Saya bisa baca tulisan saya dari sini."
Aku menimpali dengan bodohnya: "Terang aja, tulisannya sendiri."
Beliau ganti menatapku sambil menyorongkan spidolnya: "Tulis pakai tulisanmu, kita buktikan, apa saya bisa baca dari jarak sejauh ini."
Aku cuma bisa nyengir. Tak kuambil kesempatan itu. Sebenarnya bisa saja aku maju lalu kutuliskan cakaran ayam di papan lalu kembali sambil nyengir dalam hati: "Nah lho, apa bisa mbaca sekarang?"
Tapi .. ah, justru jauh jauh di kemudian hari (untungnya) ada yang tiba tiba membuat aku sadar. Mungkin, pas kejadian kala itu, beliau ingin menelusup kalbu kami dengan petuah tersirat:
Ah, kalian - anak muda - jangan menyerah dengan tulisanku, apalagi dengan Kehidupan.
Walhasil:
Bersungut sungut beliau menapak ke meja kami, menerawang tulisannya sejenak, lalu ngomong: "Saya bisa baca tulisan saya dari sini."
Aku menimpali dengan bodohnya: "Terang aja, tulisannya sendiri."
Beliau ganti menatapku sambil menyorongkan spidolnya: "Tulis pakai tulisanmu, kita buktikan, apa saya bisa baca dari jarak sejauh ini."
Aku cuma bisa nyengir. Tak kuambil kesempatan itu. Sebenarnya bisa saja aku maju lalu kutuliskan cakaran ayam di papan lalu kembali sambil nyengir dalam hati: "Nah lho, apa bisa mbaca sekarang?"
Tapi .. ah, justru jauh jauh di kemudian hari (untungnya) ada yang tiba tiba membuat aku sadar. Mungkin, pas kejadian kala itu, beliau ingin menelusup kalbu kami dengan petuah tersirat:
Ah, kalian - anak muda - jangan menyerah dengan tulisanku, apalagi dengan Kehidupan.
* bersambung
hei..hei... aku sperti kenal dengan "baju berwarna jingga" ini :D
BalasHapusLanjutkan nakk....