Namanya Lighten Up, sebuah rumah makan kecil yang berdiri di salah satu ruas sepanjang Jl.
Sudirman yang didampingi dua hingga tiga bangunan tua lebih tinggi darinya. Satu bangunan
senyap itu adalah Gereja St. Maria dan satunya lagi hanya sebuah gedung bercat kuning
luntur yang sudah kehilangan kemeriahannya.
Malam itu, di medio November yang terus menangis sepanjang sore hingga hampir larut
malam, dua orang itu terburu-buru masuk ke dalam Lighten Up dengan pakaian hampir basah
oleh hujan.
Yang lelaki nampak bercambang dan tampak risau dengan supir taksi yang tak memberinya
uang kembalian. Sementara yang perempuan tampak sibuk mengebas-ngebaskan gaunnya
sembari sesekali mengusap lengan dan wajanya dengan tissue.
"Kau serius mau makan di sini?" tanya si perempuan tanpa mengacuhkan suaminya.
Si lelaki memperhatikan sejenak ke dalam melalui kaca depan Lighten Up.
"Tampaknya tak cukup bagus. Tapi....." Ia menengok ke atas. "Tak ada pilihan lain. Aku lapar. Lagipula ini tempat yang aman. Tak ada nyamuk nyamuk berkamera."
Si perempuan masih tampak acuh. Ia merapikan rambut panjangnya.
"Kau yang membawa kita ke sini. Cih, sial," umpatnya pelan.
"Hah! Sudahlah. Kau mau masuk tidak? Aku tak mau berdebat di sini."
Perempuan empat puluh tahun itu menekuk bibirnya. Si lelaki yang tak suka membaca gerak
tubuh istrinya itu langsung menerjang masuk Lighten Up, memilih meja di dekat kaca, dan
acuh mengamati tingkah istrinya yang berucap kosong.
Hujan menderu semakin kencang. Jalanan di luar sana licin dan mendecit sesekali saat
sebuah angkutan umum menurunkan penumpangnya. Sekumpulan laron berkerumun
mengerubung bola lampu kuning restoran. Kehidupan seperti akan tidur lelap malam itu.
"Hhh,,,,kenapa kau membawa kita kemarih sih, Sayang?" gerutu Evelyn. "Huhh,,,kau kan bisa membawa kita kemana....tapi nggak ke sini."
Evelyn mengamati sekitar. Hanya segelintir orang ditemani asap rokok yang meliuk-liuk
seperti gemulai malaikat maut memeluk leher mereka. Semua ditemani kesepian dan rasa
bosan, mungkin. Entah bosan akan apa.
Adolf menyalakan sebatang rokok.
"Kau kan tahu sendiri, cuma yang seperti ini yang sekarang muat di kantong kita. Lagian ini
tempat yang bagus. Dulu aku sering kemari," jawabnya.
"Dulu? Kapan?"
"Yaa...dulu, waktu aku kecil."
Evelyn tertawa miris. "Waiter, mmm....aku pantaskan menyebutnya waiter? Waiter...hehe..lucu juga kedengarannya. Waiter...hihii. Tak merasakah kau lucu, Sayang."
"Hah sama saja. Sok inggris." Adolf menghembuskan asap rokoknya dengan gusar.
Evelyn melengos.
"Hmm...dasar. Tak tersisakah rasa humormu, Sayang?" tanyanya kosong.
"Dasar pleghmatis. Untung aku bisa mengimbangimu. Kalau tidak...aaahhh...kau sudah mati
bosan pastinya."
Evelyn tertawa. Adolf tak mengacuhkan. Ia tekan puntung rokoknya lalu menyalakan sebatang lagi. Seorang pelayan muda datang menghampiri meja mereka.
"Kau pesan apa, Sayang? Mmffhh...tak ada yang bagus...tak adakah Fettucini, mmfhh
mengesalkan...Sayang kau apa? Aku ikut kau saja."
"Kopi," jawab Adolf singkat. Ia bahkan tak membuka buku menu itu.
"Huh...kau ini, Sayang. Hmmffh...baiklah. Aku mocca saja," katanya seraya mengembalikan
buku menu kepada si pelayan.
"Huff...Sayang, aku masih tak habis pikir kenapa sih kita kemari. Kau tahu sendiri tak satupun kenangan manis pernah kita buat di tempat ini, Hmmpphh....kalau saja...."
"Kalau saja apa?" tanya Adolf dingin.
"Kalau saja kita masih seperti dulu...kau tahu sendiri Sayang, mainan kita bukan di
sini...Hypermall, Rainbow, eksklusif...Brrr...bukan tempat dingin seperti ini...aku belum
nenek-nenek, Sayang. Aku tak cocok di tempat ini. Kalau saja kita ke Hollander
sekarang..hahaha....good looking waiters, ring ring bell, hehe...ah....dan kau tahu yang paling kusuka darinya....Peking Duck dengan asam manis....Mmm...haha."
Evelyn terus mengoceh membiarkan Adolf dalam kebekuan. Malaikat maut menari-nari di
leher Adolf sementara istrinya yang bergaun merah itu tak tengah termabuk-mabuk oleh semu.
Kini ia tersangkut ke negeri tetangga.
"Sayang, kau ingat dulu waktu sponsor mengajak kita ke London? Ingat kau, Sayang? Ah..benar apa kata orang-orang sponsor itu. London romantis dan magis. Aku berharap bertemu Sherlock, tapi aku tak butuh dongeng itu lagi sekarang. Haha....lalu Milan, ah..Leonardo, orang jangkung itu yang mengajakku menjelajah Prada dan Dolce-Gabanna. Haha...sebenarnya orang itu manis juga, tapi....apalah artinya...siapapun bisa jatuh cinta pada siapa saja di Milan."
Evelyn semakin melayang-layang. Sampai tiba-tiba satu siulan angin yang menyelinap dari
ventilasi ruangan diiringi butir-butir air menamparnya pelan.
"Brengsek!" umpat Evelyn tiba-tiba. Adolf hanya memincing dan terus merokok. "Pelayanan
macam apa ini...cuma dua cangkir minuman sampai lama begini. Hhh.....aku butuh yang hangat bukan udara dingin ini. Damned!"
"Apalagi yang bisa kita perbuat," sekali lagi Adolf menengahi dengan dingin. "Kau tahu
sendiri, aku tak punya cukup uang lagi sekarang. Tak ada sponsor. Cuma yang semacam ini
yang sekarang bisa kita masuki. Tak ada lagi Rainbow, Hollander, bah...kau kira aku senang?
Lagi pula ini tempat yang aman dari nyamuk-nyamuk kamera."
Evelyn meraih lengan Adolf. "Kau marah ya? Ya pasti kau marah?"
"Aku tak marah."
"Ya kau memang marah. Aku tahu itu. Aku memang cerewet."
"Sudahlah."
Evelyn menarik tangannya lagi. Ia topang dagunya dan berpaling ke luar kaca. Pelayan datang dengan kopi dan mocca di meja mereka. Setelah itu semuanya hening, hanya hujan yang bernyanyi.
"Minumlah," kata Adolf.
Evelyn mengecap sedikit.
"Ah,,,tak sama. Memang tak sama. Serasa tak di rumah aku."
Dia diam sejenak lalu meneruskan.
"Ada mocca yang enak, di Bourdoun, tak terlalu manis memang, ada coklat-coklat kecil
sebesar kancing dan stick waffer. Pemanisnya cherry. Cherry merah mengkilat. Aneh, memang. Tapi aku suka."
Dia diam lagi. Menatap fokus pada gelas kaca itu sesaat lalu kembali ke luar jendela.
"Aku ingin mocca di Bourdoun, Sayang. Kangen aku. Juga pada Kaslan. Dia walaupun ada
hujan nuklirpun pasti mau kusuruh pergi membelikan mocca yang enak di Bourdoun. Itulah
yang paling aku kangen darinya."
"Kaslan?"
"Ya. Kaslan. Kau ingat dia, Sayang?"
Adolf berpikir sejenak. "Ah keledai itu," katanya sejurus kemudian.
"Apa? Apa katamu? Siapa yang kau maksud, hah?"
"Ya mantan pembantu kita itu lho, Lyn. Dulu aku sering mengumpatinya 'keledai'"
"Kau kasar sekali sih," kata Evelyn. "Dia baik orangnya. Penurut lagi. Itu yang paling aku suka.
Hahaha."
"Kau tahu, Lyn? Betapa jengkelnya aku waktu dengar dia bicara sok filsuf ke telingaku."
"Memang apa katanya? Hahaha...."
"Keledai itu, pernah bilang kepadaku: 'Tuan, Tuan tahu, saya pernah memikirkan dalam hidup ini apa yang paling baik buat saya, dan setelah saya pikir-pikir pekerjaan almarhum paman saya itulah yang paling baik, setidaknya buat istrinya - bibi saya - walaupun paman saya baru menyadari pentingnya pekerjaan itu saat dia hampir tutup usia'."
"Lalu?" tanya Evelyn.
"Dia bilang lagi: 'Paman saya itu mati muda, Tuan. Waktu itu baru mau masuk lima puluh.
Tapi di ujung umurnya itu Paman saya pernah membuat satu pekerjaan yang membuat Bibi
saya tak kesusahan lagi.'"
"Memang apa kerjanya?" tanya Evelyn lagi. Ia teguk mocca murahan itu.
"Tukang payung keliling, Lyn."
"Tukang payung? Aku tak mengerti. Lantas apa yang sampai membuatmu kesal bukan main?"
"Nah itu, Lyn! Yang satu itu yang sangat menyinggungku. Begitu dia jelaskan kalau Pamannya
itu tukang payung, dia bilang begini: 'Sejak jadi tukang itulah kehidupan Paman saya lebih
berguna, ada saja orang yang betulin payung ke dia, hubungannya dengan Gusti Pengeran
lebih dekat, mungkin karena Paman saya tak pernah membiarkan orang-orang kepanasan dan
kehujanan ya Tuan? Jadinya dia begitu bahagia."
"Nah, kata-katanya yang terakhir itulah yang bikin panas kupingku, Lyn! Dikiranya apa aku
ini? Dia sengaja ya menusukku dengan kalimat itu?! Keledai itu secara tak langsung sudah
meludahiku dengan mengatakan kalau kerjaan kita tak bisa membuat kita lebih dekat dengan Tuhan, padahal kau tahu sendiri, Lyn. Kita toh tak pernah absen menyumbang untuk bencana alam kan? Kita selalu hadiri pengumpulan dana buat fakir miskin? Lalu si Keledai itu
mengatai kalau pekerjaan kita tak lebih baik dari Pamannya? Aku tersinggung!"
Evelyn tak mengatakan apa pun. Adolf masih terengah, berusaha mengumpulkan nafas. Hujan merinai dengan lembut. Sinar bulan semakin redup. Kabut akan turun menjuntai di sepanjang esok pagi.
"Kenapa kau diam, Lyn? Katakanlah sesuatu."
Evelyn menahan pandangan lelaki yang telah lima belas tahun bersamanya itu. Ia amati
wajah dan cambang yang menyelimuti tepian wajahnya. Lelaki itu seperti setan yang telalu
lemah untuk memburu lagi.
"Kau terlalu perasa mungkin, Sayang. Kaslan tak mungkin seperti itu niatannya. Kau tahu
sendiri dia hidupnya bagaimana. Dusunnya terpencil, anaknya lima masih bocah waktu itu,
sementara istrinya cuma buruh tani. Kau tahu keadaan semacam itu akan membawa apa
baginya? Ilusi. Ilusi, Sayang. Ilusi. Tapi ilusi kadang lebih berharga dari yang indrawi, kan?"
Ia tandaskan mocca itu hingga tak bersisa lagi. Adolf hening keheranan.
"Kau membela dia ya? Bah, sekarang kau membela dia. Aku tak ingat lagi kapan terakhir kau
sependapat denganku....."
"Ya memang aku tak ingat pernah membelamu....tapi....," kata-katanya terpotong.
"Memang apa lagi yang kau ingat selain Milan, Prada, Bourdoune, Gucci, London, dan tetek
bengek semacamnya itu...."
Evelyn tak menjawab. Adolf pun sama. Detik jam membeku dan hanya dentingan lonceng
restoran yang lirih memanggil Dewi Malam. Dari wajah Evelyn yang belum paruh baya itu,
sinar redup meleleh dan membuatnya terlihat menua. Adolf menggamit jemari tangan istrinya itu dan mengusapnya lembut.
"Aku tahu, maafkan aku....Aku harap masih ada waktu," bisik Adolf.
Evelyn melirik ke jam di dinding.
"Sudah pukul 10 malam. Tempat ini mesti tutup. Ayolah, aku tak mau bangun kesiangan untuk
besok," katanya seraya bangkit dari duduknya.
"Hmmffhh...aku tahu. Kita sudah sepakat. Tapi, besok biar aku sendiri yang menjemputmu ke Pengadilan."
Langit menahan peri-peri kecil yang akan turun ke bumi. Ia kenakan cadar yang tipis dan
terawang, sementara bulan pelan-pelan menyeringai walau hanya terlihat sepotong.
Sudirman yang didampingi dua hingga tiga bangunan tua lebih tinggi darinya. Satu bangunan
senyap itu adalah Gereja St. Maria dan satunya lagi hanya sebuah gedung bercat kuning
luntur yang sudah kehilangan kemeriahannya.
Malam itu, di medio November yang terus menangis sepanjang sore hingga hampir larut
malam, dua orang itu terburu-buru masuk ke dalam Lighten Up dengan pakaian hampir basah
oleh hujan.
Yang lelaki nampak bercambang dan tampak risau dengan supir taksi yang tak memberinya
uang kembalian. Sementara yang perempuan tampak sibuk mengebas-ngebaskan gaunnya
sembari sesekali mengusap lengan dan wajanya dengan tissue.
"Kau serius mau makan di sini?" tanya si perempuan tanpa mengacuhkan suaminya.
Si lelaki memperhatikan sejenak ke dalam melalui kaca depan Lighten Up.
"Tampaknya tak cukup bagus. Tapi....." Ia menengok ke atas. "Tak ada pilihan lain. Aku lapar. Lagipula ini tempat yang aman. Tak ada nyamuk nyamuk berkamera."
Si perempuan masih tampak acuh. Ia merapikan rambut panjangnya.
"Kau yang membawa kita ke sini. Cih, sial," umpatnya pelan.
"Hah! Sudahlah. Kau mau masuk tidak? Aku tak mau berdebat di sini."
Perempuan empat puluh tahun itu menekuk bibirnya. Si lelaki yang tak suka membaca gerak
tubuh istrinya itu langsung menerjang masuk Lighten Up, memilih meja di dekat kaca, dan
acuh mengamati tingkah istrinya yang berucap kosong.
Hujan menderu semakin kencang. Jalanan di luar sana licin dan mendecit sesekali saat
sebuah angkutan umum menurunkan penumpangnya. Sekumpulan laron berkerumun
mengerubung bola lampu kuning restoran. Kehidupan seperti akan tidur lelap malam itu.
"Hhh,,,,kenapa kau membawa kita kemarih sih, Sayang?" gerutu Evelyn. "Huhh,,,kau kan bisa membawa kita kemana....tapi nggak ke sini."
Evelyn mengamati sekitar. Hanya segelintir orang ditemani asap rokok yang meliuk-liuk
seperti gemulai malaikat maut memeluk leher mereka. Semua ditemani kesepian dan rasa
bosan, mungkin. Entah bosan akan apa.
Adolf menyalakan sebatang rokok.
"Kau kan tahu sendiri, cuma yang seperti ini yang sekarang muat di kantong kita. Lagian ini
tempat yang bagus. Dulu aku sering kemari," jawabnya.
"Dulu? Kapan?"
"Yaa...dulu, waktu aku kecil."
Evelyn tertawa miris. "Waiter, mmm....aku pantaskan menyebutnya waiter? Waiter...hehe..lucu juga kedengarannya. Waiter...hihii. Tak merasakah kau lucu, Sayang."
"Hah sama saja. Sok inggris." Adolf menghembuskan asap rokoknya dengan gusar.
Evelyn melengos.
"Hmm...dasar. Tak tersisakah rasa humormu, Sayang?" tanyanya kosong.
"Dasar pleghmatis. Untung aku bisa mengimbangimu. Kalau tidak...aaahhh...kau sudah mati
bosan pastinya."
Evelyn tertawa. Adolf tak mengacuhkan. Ia tekan puntung rokoknya lalu menyalakan sebatang lagi. Seorang pelayan muda datang menghampiri meja mereka.
"Kau pesan apa, Sayang? Mmffhh...tak ada yang bagus...tak adakah Fettucini, mmfhh
mengesalkan...Sayang kau apa? Aku ikut kau saja."
"Kopi," jawab Adolf singkat. Ia bahkan tak membuka buku menu itu.
"Huh...kau ini, Sayang. Hmmffh...baiklah. Aku mocca saja," katanya seraya mengembalikan
buku menu kepada si pelayan.
"Huff...Sayang, aku masih tak habis pikir kenapa sih kita kemari. Kau tahu sendiri tak satupun kenangan manis pernah kita buat di tempat ini, Hmmpphh....kalau saja...."
"Kalau saja apa?" tanya Adolf dingin.
"Kalau saja kita masih seperti dulu...kau tahu sendiri Sayang, mainan kita bukan di
sini...Hypermall, Rainbow, eksklusif...Brrr...bukan tempat dingin seperti ini...aku belum
nenek-nenek, Sayang. Aku tak cocok di tempat ini. Kalau saja kita ke Hollander
sekarang..hahaha....good looking waiters, ring ring bell, hehe...ah....dan kau tahu yang paling kusuka darinya....Peking Duck dengan asam manis....Mmm...haha."
Evelyn terus mengoceh membiarkan Adolf dalam kebekuan. Malaikat maut menari-nari di
leher Adolf sementara istrinya yang bergaun merah itu tak tengah termabuk-mabuk oleh semu.
Kini ia tersangkut ke negeri tetangga.
"Sayang, kau ingat dulu waktu sponsor mengajak kita ke London? Ingat kau, Sayang? Ah..benar apa kata orang-orang sponsor itu. London romantis dan magis. Aku berharap bertemu Sherlock, tapi aku tak butuh dongeng itu lagi sekarang. Haha....lalu Milan, ah..Leonardo, orang jangkung itu yang mengajakku menjelajah Prada dan Dolce-Gabanna. Haha...sebenarnya orang itu manis juga, tapi....apalah artinya...siapapun bisa jatuh cinta pada siapa saja di Milan."
Evelyn semakin melayang-layang. Sampai tiba-tiba satu siulan angin yang menyelinap dari
ventilasi ruangan diiringi butir-butir air menamparnya pelan.
"Brengsek!" umpat Evelyn tiba-tiba. Adolf hanya memincing dan terus merokok. "Pelayanan
macam apa ini...cuma dua cangkir minuman sampai lama begini. Hhh.....aku butuh yang hangat bukan udara dingin ini. Damned!"
"Apalagi yang bisa kita perbuat," sekali lagi Adolf menengahi dengan dingin. "Kau tahu
sendiri, aku tak punya cukup uang lagi sekarang. Tak ada sponsor. Cuma yang semacam ini
yang sekarang bisa kita masuki. Tak ada lagi Rainbow, Hollander, bah...kau kira aku senang?
Lagi pula ini tempat yang aman dari nyamuk-nyamuk kamera."
Evelyn meraih lengan Adolf. "Kau marah ya? Ya pasti kau marah?"
"Aku tak marah."
"Ya kau memang marah. Aku tahu itu. Aku memang cerewet."
"Sudahlah."
Evelyn menarik tangannya lagi. Ia topang dagunya dan berpaling ke luar kaca. Pelayan datang dengan kopi dan mocca di meja mereka. Setelah itu semuanya hening, hanya hujan yang bernyanyi.
"Minumlah," kata Adolf.
Evelyn mengecap sedikit.
"Ah,,,tak sama. Memang tak sama. Serasa tak di rumah aku."
Dia diam sejenak lalu meneruskan.
"Ada mocca yang enak, di Bourdoun, tak terlalu manis memang, ada coklat-coklat kecil
sebesar kancing dan stick waffer. Pemanisnya cherry. Cherry merah mengkilat. Aneh, memang. Tapi aku suka."
Dia diam lagi. Menatap fokus pada gelas kaca itu sesaat lalu kembali ke luar jendela.
"Aku ingin mocca di Bourdoun, Sayang. Kangen aku. Juga pada Kaslan. Dia walaupun ada
hujan nuklirpun pasti mau kusuruh pergi membelikan mocca yang enak di Bourdoun. Itulah
yang paling aku kangen darinya."
"Kaslan?"
"Ya. Kaslan. Kau ingat dia, Sayang?"
Adolf berpikir sejenak. "Ah keledai itu," katanya sejurus kemudian.
"Apa? Apa katamu? Siapa yang kau maksud, hah?"
"Ya mantan pembantu kita itu lho, Lyn. Dulu aku sering mengumpatinya 'keledai'"
"Kau kasar sekali sih," kata Evelyn. "Dia baik orangnya. Penurut lagi. Itu yang paling aku suka.
Hahaha."
"Kau tahu, Lyn? Betapa jengkelnya aku waktu dengar dia bicara sok filsuf ke telingaku."
"Memang apa katanya? Hahaha...."
"Keledai itu, pernah bilang kepadaku: 'Tuan, Tuan tahu, saya pernah memikirkan dalam hidup ini apa yang paling baik buat saya, dan setelah saya pikir-pikir pekerjaan almarhum paman saya itulah yang paling baik, setidaknya buat istrinya - bibi saya - walaupun paman saya baru menyadari pentingnya pekerjaan itu saat dia hampir tutup usia'."
"Lalu?" tanya Evelyn.
"Dia bilang lagi: 'Paman saya itu mati muda, Tuan. Waktu itu baru mau masuk lima puluh.
Tapi di ujung umurnya itu Paman saya pernah membuat satu pekerjaan yang membuat Bibi
saya tak kesusahan lagi.'"
"Memang apa kerjanya?" tanya Evelyn lagi. Ia teguk mocca murahan itu.
"Tukang payung keliling, Lyn."
"Tukang payung? Aku tak mengerti. Lantas apa yang sampai membuatmu kesal bukan main?"
"Nah itu, Lyn! Yang satu itu yang sangat menyinggungku. Begitu dia jelaskan kalau Pamannya
itu tukang payung, dia bilang begini: 'Sejak jadi tukang itulah kehidupan Paman saya lebih
berguna, ada saja orang yang betulin payung ke dia, hubungannya dengan Gusti Pengeran
lebih dekat, mungkin karena Paman saya tak pernah membiarkan orang-orang kepanasan dan
kehujanan ya Tuan? Jadinya dia begitu bahagia."
"Nah, kata-katanya yang terakhir itulah yang bikin panas kupingku, Lyn! Dikiranya apa aku
ini? Dia sengaja ya menusukku dengan kalimat itu?! Keledai itu secara tak langsung sudah
meludahiku dengan mengatakan kalau kerjaan kita tak bisa membuat kita lebih dekat dengan Tuhan, padahal kau tahu sendiri, Lyn. Kita toh tak pernah absen menyumbang untuk bencana alam kan? Kita selalu hadiri pengumpulan dana buat fakir miskin? Lalu si Keledai itu
mengatai kalau pekerjaan kita tak lebih baik dari Pamannya? Aku tersinggung!"
Evelyn tak mengatakan apa pun. Adolf masih terengah, berusaha mengumpulkan nafas. Hujan merinai dengan lembut. Sinar bulan semakin redup. Kabut akan turun menjuntai di sepanjang esok pagi.
"Kenapa kau diam, Lyn? Katakanlah sesuatu."
Evelyn menahan pandangan lelaki yang telah lima belas tahun bersamanya itu. Ia amati
wajah dan cambang yang menyelimuti tepian wajahnya. Lelaki itu seperti setan yang telalu
lemah untuk memburu lagi.
"Kau terlalu perasa mungkin, Sayang. Kaslan tak mungkin seperti itu niatannya. Kau tahu
sendiri dia hidupnya bagaimana. Dusunnya terpencil, anaknya lima masih bocah waktu itu,
sementara istrinya cuma buruh tani. Kau tahu keadaan semacam itu akan membawa apa
baginya? Ilusi. Ilusi, Sayang. Ilusi. Tapi ilusi kadang lebih berharga dari yang indrawi, kan?"
Ia tandaskan mocca itu hingga tak bersisa lagi. Adolf hening keheranan.
"Kau membela dia ya? Bah, sekarang kau membela dia. Aku tak ingat lagi kapan terakhir kau
sependapat denganku....."
"Ya memang aku tak ingat pernah membelamu....tapi....," kata-katanya terpotong.
"Memang apa lagi yang kau ingat selain Milan, Prada, Bourdoune, Gucci, London, dan tetek
bengek semacamnya itu...."
Evelyn tak menjawab. Adolf pun sama. Detik jam membeku dan hanya dentingan lonceng
restoran yang lirih memanggil Dewi Malam. Dari wajah Evelyn yang belum paruh baya itu,
sinar redup meleleh dan membuatnya terlihat menua. Adolf menggamit jemari tangan istrinya itu dan mengusapnya lembut.
"Aku tahu, maafkan aku....Aku harap masih ada waktu," bisik Adolf.
Evelyn melirik ke jam di dinding.
"Sudah pukul 10 malam. Tempat ini mesti tutup. Ayolah, aku tak mau bangun kesiangan untuk
besok," katanya seraya bangkit dari duduknya.
"Hmmffhh...aku tahu. Kita sudah sepakat. Tapi, besok biar aku sendiri yang menjemputmu ke Pengadilan."
Langit menahan peri-peri kecil yang akan turun ke bumi. Ia kenakan cadar yang tipis dan
terawang, sementara bulan pelan-pelan menyeringai walau hanya terlihat sepotong.
* terima kasih untuk Pak Umar, walau belum sehalus Bapak .. : )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar