Senin, 31 Januari 2011

Cassanova Gundah (bagian # 02)


**
Aku memutar badan lalu menatap Rivael.

“Kau sudah keterlaluan,” kataku. “Ingat, kita tak di Indonesia. Kau harus menjaga sikapmu pada orang-orang di sini. Jangan membuat malu negaramu.”

Rivael memutar badannya menghadap ke meja.

“Aku tahu, aku tahu hal itu. Tapi rasanya kesal juga aku sama orang gendut tadi. Biarpun tubuhku lebih kecil darinya, aku tidak akan menyerah kalah sebelum dia benar-benar membuatku jatuh. Sayang Thomas tua itu buru-buru mencegah.”

Aku memutar badan kembali.

“Sudah lupakan hal tadi. Lihatlah ke luar. Kita seharusnya merasa beruntung bisa berada di
London, terlebih saat winter. Memang terdengar seperti anak kecil, tapi aku suka sekali melihat salju.” 

“Benar,” kata Rivael dengan menengok ke luar. “Suatu saat aku harus mengajak Jessy kemari.”

“Jessy?” tanyaku setengah terkejut.

“Ehem.”

“Tunggu dulu. Jessy yang mana, hah?”

Rivael cepat menatapku dengan pandangan heran. “Jessy yang mana? Apa maksudmu? Yang mana lagi kalau bukan Jessica! Kau sudah pernah bertemu dengannya sewaktu acara jumpa fans di Bandung waktu itu. Kau sudah lupa acara jumpa fans yang masih belum genap dua bulan lalu itu?” kata Rivael. 

“Oh! Jessy! Jessica yang itu! Apa? Apa maksudmu ingin mengajaknya kemari? Jangan bilang kau dan dia..........”

Rivael memberiku isyarat melalui matanya.

“Ya, kami sudah hampir dua minggu. Dia wanita yang mudah dibaca. Terlalu polos untuk bergelut dalam dunia entertaint seperti kita.”

“Kau benar-benar tidak mudah terbuka pada orang lain. Kalian menutupinya dengan sangat baik, kupikir. Sampai-sampai pers tidak mencium hubungan kalian. Kau serius dengannya?”

Rivael mengelak. 

“Yaahh.....kau tahu sendiri bagaimana aku,” katanya santai, terkesan meremehkan. “Aku pengagum keindahan. Aku sangat mencintai perempuan yang menarik perhatian seperti Jessica atau mereka yang dulu-dulu itu. Perempuan yang bisa mengombinasikan kecantikan, feminisme, dan intelektual. Tapi satu hal yang pasti: aku tidak mungkin menikah muda, Jeremy. Hidup masih terlalu nikmat untuk cepat-cepat diakhiri dengan sebuah ikatan dan rutinitas rumah tangga.”

“Berarti masih akan ada lagi yang lain setelah Jessy?” selidikku.
Rivael mengangkat kedua lengannya. “How could I know? Tapi pastinya aku masih lajang sampai lima tahun ke depan!” tambahnya seraya terkekeh.

Aku menanggapi tawa mengekeh Rivael itu dengan senyum manis yang penuh dengan kepura-puraan. Sesungguhnya dalam hatiku yang terdalam, aku merasa orang seperti dia itu sungguh-sungguh menjengkelkan. Dia bisa meraih segalanya hanya dengan membalik tangan. 

Dia begitu dicintai Dewi Fortuna dan dengan demikian semakin memupus harapan-harapan lain untuk mendapatkan kejayaan seperti dirinya. Dia seperti seorang Goliath yang berkuasa menindas. 

Walaupun kami berteman sejak era modelling, namun aku masih manusia biasa yang tentu juga menaruh benih-benih kecemburuan terhadap segala yang dimilikinya.

*

KEESOKAN paginya, selepas sarapan, kami meninggalkan hotel dengan mobil yang berisi segala macam perlengkapan untuk keperluan syuting. Hari ini kami akan mengambil lokasi di dekat Sungai Thames. Aku tak mendapati Rivael sejak sarapan tadi. Kru-kru pun sempat dibuat bingung, jengkel, dan tentunya cemas akan kenihilan Rivael dari tengah-tengah mereka.

Namun, tak berapa lama sebelum kami semua berangkat, kecemasan itu sedikit sirna walaupun rasa jengkel tentu masih saja menghinggap. Rivael telah meninggalkan pesan kepada seorang pegawai hotel. Ia mengatakan kalau ia telah berangkat lebih awal ke Thames, menikmati pemandangan dari sebuah jembatan bernama Waterloo Bridge.

Mungkin ia benar-benar bosan dengan pemandangan jendela hotel menginap kami yang hampir tak pernah berubah.

Setibanya di lokasi, rombongan kami yang malah dibuat terkejut oleh kehadiran seorang
perempuan cantik, berkulit seterang bulan, berambut pirang sebahu, dan dengan tubuh yang terbungkus oleh jaket tebal dan kedua tangan yang terselubungi sarung tangan. Rivael merangkul perempuan itu lalu membawanya ke tempat kami berdiri mematung.

“Perkenalkan semua, ini Sara. Sara Winterburn. Dia benar-benar membakar musim dingin ini, kan?” kata Rivael dengan bangga seolah itu adalah kerabatnya.

“Nice to meet you all guys,” sapa Sara dengan ramah.

“Nice to meet you too, Sara,” balasku mewakili semua kru. “So, you and my friend........”

“Kami bertemu semalam. Dia baik sekali mau menemani dan membantuku membawakan
belanjaan saat aku mau pulang ke apartemen. Dan....begitu saja! Kami beruda saling akrab dan cepat berkomunikasi.”

Aku melirik ke arah Rivael. Ia membalasnya dengan senyum.

“Rivael, Jeremy, persiapan syuting!” teriak sutradara dari jauh. “Ambil dan pelajari naskah kalian baik-baik. Kita tak akan lama di sini. Kita harus bergegas agar tidak kehilangan matahari. Cepatlah! Sial! Di sini dingin sekali! Djoko ambilkan aku syal!”

“I’ve got to go, My Dear,” kata Rivael kepada Sara. “Setelah semuanya sekesai, aku akan
menemuimu.”

“Kau juga sudah berjanji padaku. Kita akan pergi malam ini, kau ingat?”

“Tentu aku ingat. Pastinya. Kita akan ke Stamford Bridge, kan? Kita akan menyaksikan kehebatan pasukan The Blues di lapangan.”

Sutradara membentak lagi dari kejauhan.

“Cepat! Kita tidak punya banyak waktu di sini!”

“Kita harus pergi syuting,” kataku pada Rivael. “Sutradara tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

Kau sudah cukup membuatnya kesal beberapa hari ini.”

Rivael mengejek. “Dia masih bertahan di film ini karena aku, Jeremy. Karya dan karirnya boleh jadi sekarang ada di tanganku, Jeremy. Dia boleh menganggapku bodoh atau malas. Tapi dia juga tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa kehadiranku atau kita di sini. Dia sudah melepas idealismenya untuk menggarap film ini; apa mungkin dia juga akan melepas citra baiknya di industri ini dengan mendepakku keluar dari proyek? Kalau dia merasa pintar, dia harus memikirkan hal itu dua, tiga kali.” 

Rivael berpaling pada Sara.

“I’m gonna miss you for five to eight hours again, My Dear,” katanya mesra.

Dia mendekatkan bibirnya dan mencium pipi Sara yang putih.

“Call me if you’re ready to go, Riva,” kata Sara. Setelah saling tersenyum padaku dan tentunya Rivael, ia meninggalkan kami di tengah lalu lalang manusia lainnya.

“Sepertinya aku akan memberitahu Jessy soal semua ini.”

“You won’t do that.”

Dia merangkul pundakku lalu kami bersama-sama berjalan menuju kru dan sutradara yang tentu sudah masam mukanya sementara tangannya tak pernah lepas mencengkeram lembar-lembar skenario.

“Oke! Bersiap kalian untuk takeadegan ke 24!” teriak sutradara dari kursinya.

Ia melirik Rivael dari ekor matanya lalu dengan satu isyarat menyuruh salah seorang kru
membawa Rivael untuk di make-up. Samar-samar aku mendengar ia bergumam:

“Orang yang menjengkelkan. Kuharap aku terlahir sebagai pelatih hewan!”

Sementara itu, para pemain dengan bayaran rendah saling berbisik-bisik dengan perasaan iri.

“Kita hanya dibayar beberapa juta untuk adegan yang lebih panjang dan scene yang lebih banyak dari dia. Sementara kita berkejaran dengan waktu, dia malah asyik bermain dengan perempuan.”

“Kita harus melakoni 20 scenesampai kepala mau pindah ke kaki untuk menyamai satu scene
yang ia kerjakan.”

“Andai aku adalah dia, tentu sudah puluhan wanita mengejar-ngejarku.”

“Jangankan wanita, duniapun bisa kau dapatkan hanya dengan bermodal senyum.”

Semua bisik-bisik itu membuatku sejenak berpikir kalau perasaanku pun sebenarnya tidak jauh berbeda dengan mereka yang rata-rata masih hijau itu. Walau honorku untuk film ini masih jauh rata-rata di atas mereka, namun perasaan iri bisa tumbuh dan dimiliki oleh siapa pun, dari golongan mana pun, dan tak mengenal batasan gender atau budaya.

Benakku menemukan pemikiran paling utopis. Aku adalah manusia yang seberuntung dan
seagung Rivael, tentu jika itu benar maka betapa kecilnya dunia ini di tanganku.
Namun mendadak aku melontar jauh angan-angan yang terlanjur sempurna itu. Air ludahku
terasa seperti cairan empedu dan jaringan otakku membeku bila memikirkan angan yang tidak mungkin dan tidak ingin kuwujudkan itu.

Biarlah detik-detik ini Rivael sepuasnya menikmati kejayaannya; biarlah Rivael leluasa
memuaskan hasratnya dengan winedan perempuan; biarlah dia bergelimang nikmatnya. Namun seharusnya ia mengingat bahwa semua itu tak akan lama ada dalam gengamannya.

Semua yang ia miliki akan sirna dan berganti dengan kegalauan panjang seiring kehadiran wanita itu dalam hari-harinya. Dan aku termasuk yang penasaran ingin membuktikan kebenaran hukuman itu.

*

Tidak dapat kupungkiri kalau kepergianku bersama Rivael serta beberapa kru film ketika
memenuhi undangan sebuah rumah produksi tempat kami dikontrak ke Italia beberapa tahun silam masih menyisakan sejejak rasa penasaran – dan mungkin kegusaran pada diri Rivael sendiri.

Malam itu, saat menikmati sajian karnaval menjelang Paskah, disela-sela menonton atraksi lucu para badut dan tarian dari para wanita bergaun rumbai-rumbai berwarna merah-putih-hijau, ada sebuah sudut janggal yang menarik minat Rivael. Ia mengajakku ke tenda milik peramal Gipsy yang berada di salah satu sudut keramaian.

Kupikir tenda itu hanya bagian pemanis belaka dan tak ada kekuatan magis atau yang
semacamnya menyelubunginya. Rivael mengatakan bahwa dia penasaran dengan masa depan. Entah apakah dia benar-benar percaya akan hal-hal magis semacam itu ataukah hanya ingin mempermainkan si tukang ramal – dan memikatnya bila mungkin ia seorang wanita. 

“Peramal Gipsy? Oh, ternyata kau percaya juga dengan hal semacam itu. Apa tak kurang banyak pembaca nasib di negeri kita? Mereka tak kalah hebat dari Gipsy itu. Karnaval begitu menarik, mengapa mesti merusaknya dengan pergi ke tempat menakutkan itu?”

“Menakutkan?” katanya disusul tawa mengejek.

“Ayolah, Jeremy. Kau tak sepengecut itu, kan?”
“Aku cuma.....tak ingin terlalu percaya. Kita tak bisa percaya dengan hal semacam itu.” 

Rivael tertawa dan langsung merangkulku masuk ke dalam tenda.

Di dalam tenda, perasaan kami benar-benar hening senyap. Ruangan kain itu begitu remang dan langsung membangkitkan bulu kudukku. Cahaya berkelip-kelip hanya berasal dari sejumlah lilin yang menyala di atas meja sebelah kanan dan kiri, sementara warna ungu pekat dari kain tenda itu tidak mampu memantulkan cahaya lilin dan hanya membuat ruangan semakin gelap, suram, dan seram

Angin yang berhembus melalui sela-sela tenda membuat api lilin menari-nari.
Rivael terlihat tenang. Dia mantap melepas lalu meletakkan ranselnya di lantai beralas karpet merah untuk kemudian duduk. Aku mengikuti apa yang dia lakukan, seolah itu adalah ritual dan bila kami langgar akan mendapat kutukan dari sang peramal yang duduk di hadapan kami sambil memainkan bola kristalnya yang berkilatan.

Goodnight, Signore1,” sapa peramal Gipsy itu ramah. Suaranya mampu membuatku tenang.

“Jangan terlalu gugup, Signore.

Peramal itu menyalakan sebatang lilin lagi di mejanya. Kini kami dapat melihat sosok pemilik suara lembut sekaligus misterius itu. Ia seorang perempuan, usianya sekitar dua puluhan akhir, bermata kecoklatan, berambut bergelombang, dan......cantik. Dia mengenakan jubah dan aksesoris Gipsy yang sering kulihat di film-film. Tangan kirinya mengambil setumpuk kartu lalu menanyakan pada kami siapa yang ingin diramal.

“Aku, Madame2. Namanku Rivael. Aku hanya ingin tahu sedikit tentang masa depan.”

Peramal itu menyerahkan tumpukan kartu ramalan pada Rivael dan menyuruhnya mengocok.

“Masa depan bisa sangat mengerikan, Signore,” desis peramal itu. “Banyak yang hilang akal atau mati paranoid karena mereka terlalu banyak melihat.”

“Kalau begitu, aku sedikit dari orang yang beruntung itu, Madame. Aku tidak akan gila hanya
karena masa depan. Sekarang saja, aku memiliki apa yang kebanyakan orang tak mampu memilikinya bahkan dalam mimpi. Aku punya fans yang mencintaiku. Aku kaya; populer. Aku punya kekuasaan. Hidupku sangat luar biasa, Madame. Dan aku yakin masa depan takkan merampasnya begitu saja.”

Rivael memberikan kartunya pada si peramal yang tak pernah menyebut namanya.

“Anda terlalu banyak bercerita, Tuan. Sepertinya, Signoreadalah orang yang bisa mewujudkan masa depan sesuai keinginan. Mengapa menemuiku lagi?” katanya seraya menyebarkan beberapa kartu di meja.

“Hanya main-main; benar kan Jeremy?” kata Rivael.

“Ramalan bukan sekedar permainan, Tuan,” kata peramal sambil membuka kartu dan
mencermati.

“Pada zaman masyarakat kuno, ramalan bisa mendapat kepercayaan bahkan melebihi takdir.”

Setelah mengambil beberapa kartu bergambar aneh dan tak banyak kumengerti, peramal
termenung sejenak lalu dengan tiba-tiba berkata:

“Ah! Rupanya Tuan memang diberkati.”

Temanku tersenyum puas, sementara aku seakan tak percaya dengan apa yang baru saja
kudengar. Rivael diberkati? Dengan semua tindakannya selama ini? Setelah perilakunya yang suka mempermainkan perempuan dan cinta; setelah kesombongan atau kesewanang-wenangannya terhadap kru dan dunia sosial; dia diberkati?! Tidak mungkin! Ramalan itu pasti salah. 

Ramalan itu bohong!

“Lihatlah gambar ini,” kata peramal itu seraya menunjukkan sebuah gambar dari salah satu
kartunya. “Tuan akan mendapat kesejahteraan melimpah dalam beberapa bulan ke depan. Dan, sepertinya Tuan akan sangat dicintai oleh banyak wanita.”

Senyum Rivael semakin lebar. Peramal itu membalik sebuah kartu lagi dan kali ini wajahnya
terlihat berkerut. Rivael buru-buru mempertanyakan perubahannya itu.

“Ada apa? Ada yang salah dengan masa depanku?”

“Tidak, Signore. Hanya saja –”

“Hanya apa? Katakanlah,” kejar Rivael.

Peramal itu tersenyum. “Signore akan mendapat kejutan di ulang tahun yang ke 27.”
Rivael menarik sedikit tubuhnya ke belakang.

“Syukurlah. Kupikir apa. Aku suka kejutan.”

Peramal itu segera menambahkan. “Bukan kejutan yang mudah, Signore. Kejutan itu akan membuat Tuan sangat bahagia. Namun, bila Tuan tidak mampu mengatasinya, Tuan akan mendapat musibah. Semua yang Tuan miliki akan rata dengan tanah. Tuan takkan memiliki apapun, bahkan mungkin sesendok gula!” 

Kami terhenyak dengan penuturan peramal itu. Kata-katanya beraroma magis dan terdengar
seperti sebuah takdir. Rivael akan menemui kejutan di ulang tahun ke 27 dan hal itu bisa memberinya kebahagiaan namun juga bencana. Aku menerka-nerka sekaligus tidak sabar menantikan bentuk kejutan itu. 

Sedikit demi sedikit aku mulai percaya dengan ramalan itu.

“Itu sebuah hukuman, Tuan,” kata peramal.

“Hukuman? Hukuman apa? Apa kesalahanku?” tanya Rivael.

“Tuan dikerumuni oleh banyak cinta namun Tuan suka mempermainkan cinta mereka, apakah yang saya katakan ini ada benarnya, Tuan?” kata peramal itu.

“Tapi mereka tak menolaknya! Aku cuma memberi apa yang mereka inginkan. Aku manusia
biasa. Aku pun gampang tergoda. Dan kuakui, mereka sangat pintar menggodaku,” bela Rivael.

“Apakah kejutan yang Anda maksud itu adalah seorang perempuan? Kalau begitu akan sangat
mudah mengatasinya.”

Peramal itu tersenyum kecil. “Signore memang diberkati! Bisa menebak masa depan.”

“Apa ada cara menghindarinya, Madame?” tanyaku yang menganggap ini sebuah malapetaka.

Rivael menoleh padaku seakan pertanyaanku telah meremehkannya.

“Tak ada yang perlu dihindari,” kata peramal wanita itu semakin berteka-teki. “Apakah Signore akan membiarkan segentong berlian teronggok begitu saja? Selalu ada kebaikan dalam setiap kegagalan, Tuan. Anda hanya harus lebih bijak memetiknya karena buah kebaikan itu tersembunyi di balik lebatnya dedaunan dan ranting-ranting. Sekarang, apakah Tuan akan menyerah?” 

Rivael dengan mata menyala menatap ke arahku.

“Aku tak akan membiarkannya, Jeremy! Percayalah, tidak ada wanita yang sanggup
mengalahkanku. Terutama dalam masalah cinta,” katanya tegas.

Konfidensi Rivael itu lebih terdengar seperti sebuah keangkuhan – dan memang itulah wataknya. 

Aku menjadi tak sabar melihatnya jatuh karenanya. Aku tak sabar menantikan melambungnya balon-balon ulang tahun di apartemennya, sementara ia sendiri tak dapat menikmati kegembiraan pesta

**
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar