Minggu, 30 Januari 2011

Cassanova Gundah (bagian # 01)

DARI puncak julangan gedung-gedung bertingkat tinggi-megah di bumi metropolitan hingga ke sudut gang tersempit di sebuah kampung; dari sampul majalah, foto-foto dalam surat kabar, hingga selebaran-selebaran kecil; dan berita-berita televisi sampai permainannya di layar perak, semua orang mengenal sosoknya sebagai seorang pria muda dan tampan dengan segala keunggulan fisik, berlimpah materi,selebritis papan atas, serta bisa dipastikan waniat mana pun yang menjalin hubungan dengannya tidak akan mendapat sepah, walaupun akhirnya dia menelantarkan mereka semua seperti handuk basah.

Lelaki yang dalam dunia-dunia tertentu memiliki popularitas bahkan melebihi seorang Presiden Republik Indonesia itu menyandang nama Rivael sebagai tanda pengenal dan sapaan dalam dunianya yang gemerlap. Nama sejati buah karya kedua orang tuanya sepertinya sudah tenggelam di dasar bumi seiring meroketnya pamor dalam dunia kepura-puraan yang menjadi lahan impian hampir setiap manusia di negeri ini.

Harus diakui bahwa Rivael tidak mendapat semua nikmatnya saat ini tanpa pengorbanan yang besar dan cucuran keringat yang andaikan ditampung sejak pertama kali ia kucurkan untuk menggeluti dunianya itu cukup untuk menggenangi jalan sedalam setengah kaki.
Namun, keberuntungan bukannya tidak berperan dalam usahanya itu. Rivael yang masih awam sangat beruntung bertemu dengan pakar film dan sutradara senior Rahardja. Melalui tangan dingin lelaki itulah untuk pertama kali setelah 21 tahun hidupnya ia dikenal luas oleh Indonesia. 

Keberuntungannya beranak-pinak. Setelah film perdananya yang sukses luar biasa itu, pelukan Sang Dewi Fortuna tak pernah lepas dari dirinya. Dalam beberapa tahun berikutnya dia telah menerima pinangan sejumlah film, iklan, model, peragawan busana desainer terkenal, hingga opera sabun konyolnya di beberapa stasiun televisi. Pundi uangnya mengalir deras seiring banyaknya pihak yang memakai wajah atau sepotong senyum kecilnya yang memang bernilai emas.


Sekarang sepertinya Rivael dapat memiliki segalanya. Tentu itu sudah termasuk apartemen tujuh ruangnya yang mewah di kawasan elite, BMW hitamnya yang anggun, dan furnituredan pakaian dan yang paling terbaik di dunia: wanita cantik dan berkelas. Dia telah bersama Bernadette di acara AMI Awards, dia bergandengan dengan Agatha dalam sebuah pementasan amal, dan yang baru-baru ini dia terlihat mesra ditemani Prita di sampingnya.

Dan semua itu semakin membuat Rivael besar kepala.

Beberapa bulan setelah break dengan peragawati dan penyanyi cantik itu, ia memilih cara asal- asalan namun bernilai jual untuk melambungkan popularitas – dan yang terpenting eksistensinya dalam merambah berbagai bidang. Ia menulis sebuh buku biografi oret-oretan. Kontroversi dan kritikan tentang kelayakan karyanya itu langsung tertelan oleh gelora para peminat yang tak tanggung besarnya. Gelar Best sellerdan cetak ulang disandang hanya dalam hitungan hari

Para penyanjungnya seakan termantrai daya pikat dan tidak pernah memusingkan kalau buku setebal kamus besar ensiklopedia itu hanya memuat sekitar dua puluh ribu kata dan cukup mahal. Foto-foto manis berkesan eksklusif di dalam setiap babnya telah melambungkan minat dan histeria mereka. Kegilaan fanatik itu terjadi dua pekan sebelum kami berangkat ke luar negeri.

*

Namaku sendiri adalah Jeremy Iskandar.

Aku adalah kawan sekaligus lawan main Rivael dalam suatu film terbaru kami yang sekarang
sedang melangsungkan syuting di negeri Elizabeth. Sudah hampir dua bulan kami meninggalkan Indonesia untuk menginap di sebuah hotel di kawasan utara London. 

Keseriusan dan ambisi telah membawa kru kami untuk pertama kalinya melakukan syuting di salah satu kota tertua di dunia itu. Kami melakukan pengambilan gambar saat London sedang terjangkit musim dingin yang putih dan bersalju. Aku malu mengatakannya, namun rombongan kami terlihat seperti bocah ingusan dari kampung yang kegirangan dan ternganga karena butir-butir salju yang murni itu.

Sayangnya suasana yang ajaib itu tiba-tiba dirusak oleh keengganan Rivael meneruskan syuting. Tubuhnya tidak tahan dengan udara dingin dan kadang juga berangin itu. Dia tiba-tiba berhenti dan dengan angkuhnya meninggalkan lokasi syuting. Seolah tanah luas ini adalah kebun di halaman rumahnya sendiri, dia mengambil jaket tebalnya dan langsung meninggalkan kami.

Memang mudah baginya melakukan yang demikian, terlebih tekanan dari para produser yang
tidak ingin merugi dengan budgetmiliarannya. Satu pesannya kepada sutradara sebelum bertolak ke bandara hanya:

“Manjakan Rivael; lakukan apapun untuknya, dia anugerah untuk rumah produksiku dan
tentunya karirmu. Ia bisa menarik jutaan orang ke bioskop. Ingat, turuti apa keinginannya atau kuhentikan produksi di tengah jalan!”

Menyadari bahwa London adalah bukan Jakarta, Rivael lalu menyuruh seorang kru mengambil peta saku untuknya kemudian mengajakku pergi ke bar yang tenang bersamanya. Kami memanggil taksi kuning dan berkendara di jalan-jalan London yang masih berlapis tipis hamparan salju. 

Atap-atap gedung dan toko dikotori selimut lembut dari langit. Jendela-jendela mengembun sementara seorang pemuda bertutup kepala sedang sibuk membersihkan salju dengan sekopnya. Negeri itu benar-benar cantik walau saat cuaca muram sekalipun.

Setelah melewati lika-liku sejumlah blok, atas rekomendari supir taksi, kami berlabuh di sebuah bar bernama Lighten Up. Bangunannya berukuran sedang namun terkesan nyaman dan hangat. Kami masuk ke dalam ruangan yang bersih dengan telah dihadiri beberapa pria pirang yang duduk menyebar tanpa teman di sampingnya. 

Mereka sibuk dengan keheningan masing-masing dan terpuaskan oleh whiskey di mejanya serta kepulan sigaret. 

What can I do for you?” sapa seorang pelayan bar berumur kira-kira enam puluh tahun ketika aku dan Rivael duduk di meja bar.

“Bir, please,” kata Rivael.

Ia kemudian duduk memunggungi pelayan bar dengan bersandar pada salah satu sikunya di
meja.

And you.....,” kata pelayan itu lagi seraya menatapku.

“Anda punya minuman ringan di sini? Coke, Cola, atau sejenisnya?”

“Tentu, tentu saja. Aku punya banyak jenis minuman di sini anak muda, termasuk susu perah asli dari pedesaan Sussex, tapi aku yakin bukan itu yang kau inginkan sekarang. Orang dewasa tak akan susah-susah pergi ke bar hanya demi segelas susu. Benar begitu, kan? Aku hanya sekedar menawarkan susu untuk adik kecil Timmy yang kemarin datang bersamanya. Tahulah kalian, agar James tak rewel sementara Timmy asyik berpacaran dengan Leshlie,” kata pelayan itu sambil berjalan ke sudut lalu membelakangi
kami.

“Kalian dari Asia?” tanyanya saat kembali dan menyuguhkan kedua jenis minuman itu di 
meja kami.

“Ya.”

“Dari mana?” tambah pelayan itu lagi. “Aku pernah sekali datang ke Asia, tepatnya Asia Timur, ke Korea Selatan. Tapi itu sudah lama. Katanya Asia punya wisata pantai yang indah-indah. Benar begitu,Anak muda?”

Aku meneguk minumanku, begitu pun dengan Rivael. Namun dia masih saja dingin dan belum
memandang wajah pelayan bar itu.

“Sudah pernah dengar tentang Bali?” tanyaku.

Lelaki itu tampak mengingat-ingat dan sejurus kemudian aku simpulkan bahwa dia belum pernah mendengar tentang kemilau Pulau Dewata.

“Bali mempunyai banyak pantai yang indah. Kuta, Sanur, dan banyak lagi yang lainnya. Mungkin Anda juga belum pernah mendangar tentang pantai-pantai di negeri kami yang juga indah di Pulau Lombok dan di sebagian Nusa Tenggara. Well, jika Anda belum mendengar itu semua berarti dapat saya simpulkan Anda belum pernah mendengar nama Indonesia.”

“Indonesia?” kata lelaki itu setengah terkejut. “Kalian dari sana? Di Asia sebelah tenggara,
bukan?”

“Ya, rupanya Anda tahu juga.”

Aku setengah memuji. Sambil mengambil kursi lalu duduk di atasnya, lelaki yang terpisahkan oleh aku dan Rivael hanya dengan sebuah meja panjang berwarna coklat itu berkata:

“Tentu aku tahu – setidaknya pernah dengar tentang rumah kalian! Perlu kalian tahu, walaupun aku memang seorang pelayan bar kecil, tapi aku tidak sempit pengetahuan, Kawan! Aku tahu tentang Bali; aku tahu dari buku dan juga gambar pantainya dari kartu pos yang pernah dikirim sepupuku, David, saat dia melancong ke Asia. ‘Bali such a paradise’,begitu tulisnya di kartu. Kalian beruntung punya rumah seperti itu.”

Aku meneguk sisa minumanku. “Ya, tapi kami berdua dari Jawa, pulau panjang di sebelah barat Bali. Did you ever heard about Jakarta?”

“Jakarta; of course, of course,” katanya. “Kalian dari sana rupanya?”

Aku mengangguk. Aku berniat menyambung dan menceritakan lebih banyak lagi tentang
Indonesia sebelum Rivael memutar badannya dan menatap langsung kepada pelayan bar yang mukanya sedikit keriput, dengan hidung merah berbentuk seperti buah jambu air, dan rambut yang sudah beruban itu.

“Cukup pembicaraan kalian!” katanya dengan nada sedikit kesal.

Dua orang pirang di meja belakang kami memandang secara hampir bersamaan ke arah Rivael yang sekarang ganti memunggungi mereka.

“I am looking for some quiet and warm drink in your damned bar! I didnt’t come here for
speaking. So, please don’t make my ears tired with the talking from both of you. That’s enough for Bali; for Indonesia; or beach; or whatever. Give me more drink, old man. Your country has a terrible weather,” tambahnya seraya menyodorkan gelas minumannya yang telah kosong. 

Pelayan itu menekuk wajahnya saat mengambil gelas Rivael dan pergi ke sudut untuk
menuangkan birnya.

“Keramahan orang Asia, hah?” celetuk pria gendut di samping jendela sambil merokok. “Biar aku cek kapan pertama kali kudengar ungkapan itu. Oh! Sepertinya aku teringat Nenek-ku mengatakannya tiga puluh tahun lalu sebelum ia meninggal.”

Rivael acuh tak acuh menanggapi sindiran itu. Ia hanya minum dan minum lalu menghela puas. Ia menyodorkan gelas kepada pelayan bar itu berkali-kali setelah kerongkongannya dibasahi oleh alkohol yang memabukkan. Sekarang sudah gelas keempat yang diteguknya.

“Hati-hati dengan yang kau minum, Little Asia! Kau bisa menyetir seperti monyet gila kalau masih terus minum sampai tetes akhir galon milik Thomas. Tapi aku tidak heran. Asia memang telah gila sebelum mereka menenggak whiskyterlebih dulu. Karena itulah mereka nekad mengebom Pearl Harbour tanpa tahu bahaya apa yang bisa diperbuat oleh Amerika setelahnya,” kata orang di samping jendela itu.

Beberapa orang di meja di belakang kami tertawa dengan hal yang mereka anggap bodoh itu. Rivael menenggak habis minumannya lalu menyodorkan untuk yang kelima kalinya kepada Thomas.

“Lihat! Asia itu tambah lagi! Dia minum lagi!” teriak orang di samping jendela itu.

Ia menatapku dan Rivael seperti sedang menatap binatang dalam pertunjukan tolol.

“Kau merasa masih sanggup main Kabuki setelah minum, Asia?” tambahnya seraya tertawa.
Rivael menanggapi dingin.

“Kabuki dari Jepang. We’re Indonesian. Did you ever heard about that?”

Pria di samping jendela itu bangkit dari kursinya seraya berkacak pinggang.

“Apa? Indonesia?” katanya dengan gaya berlagak. “Kalian dengar itu? Indonesia. Aku bahkan tak menemukan namanya di peta! Pantas kalau kau begitu menikmati minuman itu dengan rasa puas. Di sana tak ada yang seperti itu?! Memangnya apa yang mungkin ada di sana? Monyet minum sekerat bir murahan? Beberapa orang sepertimu berkeliaran dengan Nike atau Prada palsu sambil menenteng kesombongan di wajahnya?!”

Untuk sekali ini Rivael menatap wajah pria berkaos coklat yang terbungkus jaket hitam tebalnya, berusia sekitar 30 tahunan, dan mengenakan penutup kepala hingga hanya ujung-ujung rambutnya saja yang kelihatan menutupi kedua telinga. Mereka beradu pandang untuk beberapa saat. Tidak ada sindiran bahkan bisikan yang mencuat dari mulut keduanya.

Thomas yang mencium gelagat buruk ini segera meninggalkan posnya dan maju menengahi.

“Oke, cukup sampai di sini, Ashley! Sekarang pulanglah. Jimmy kidal pasti sudah menunggumu di tempatnya. Kau terlalu banyak minum, pulanglah. Ayo pulanglah, Nak. Kau tak ingin melewatkan terapimu, kan?” kata Thomas melerai.

Ashley sedikit membantah.

“Aku tidak minum banyak! Omong kosong apa yang kau katakan itu, Thomas? Kau tahu sendiri, aku hanya memanggilmu dua kali untuk membawakan minuman kemari. Tapi sepertinya kesombongan orang inilah yang membuatku ingin minum lebih banyak.”

Thomas mendekati bahu Ashley.

“Jangan buat keributan di sini,” bisiknya. “Aku sudah cukup lelah dengan begundal lain selain dirimu. Sekarang pergilah!”

Ashley berteriak keras sambil menggebrak meja. Thomas mundur selangkah.

“Aku tidak akan membuat keributan, Thomas! Aku sudah tahu rasanya penjara; tak ada ruang untuk kebebasan. Dan perkelahian hampir jadi menu harian selama dulu aku di sana. Aku hanya kurang senang dengan sikap orang ini terhadap bar milikmu dan terlebih negara kita. Dia semestinya harus lulus dua kali sekolah dasar agar tahu cara menghormati negara lain.” 

“Begitu pula denganmu,” kata Thomas. Dia mendekat dan meraih lengan Ashley. “Ayolah,
Ashley. Orang itu hanya mabuk dan mungkin belum pernah datang kemari saat sedang musim dingin. Biasalah itu. Dia bukan yang pertama. Kau tahulah, adaptasi. Aku tahu kau paham akan arti adaptasi di lingkungan baru itu melebihi siapapun di sini.”

Ashley membuang mukanya dari Rivael. Dia membuka dompetnya, menaruh beberapa lembar uang di meja, kemudian pergi meninggalkan Lighten Up. Suasana kembali dingin. Orang-orang di meja di belakang kami kembali dengan kesepian dan minumannya. Asap-asap putih sigaret masih berkerumun di ruangan. Thomas tua kembali pada posnya di balik meja bar. 

Thank you, Thomas. Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Maafkan juga atas sikap kami. Kami benar-benar tak bermaksud menyinggung negara Anda,” kataku.

Aku menatap Rivael namun ia mengelak. Ia kembali memunggungi si pelayan bar seperti semula.

“Aku mengerti,” kata Thomas. “Tak perlu mencemaskannya. Ashley memang kadang suka
meledak saat ada yang kurang berkenan menurut hatinya. Hati seseorang, siapa yang bisa mengukur benar-salahnya? Dia pernah setahun dipenjara, dan sekarang sedang menjalani terapi untuk meredam kemarahan. Kuharap kalian bisa mengerti. Kalian asepertinya orang baik. Memang aku yang semestinya tidak berbicara banyak dengan kalian yang terlihat.......lelah. Aku hanya pelayan dan bukan teman berbicara yang baik untuk orang asing yang lelah dan butuh ketenangan.”

Aku tersenyum simpul, merasa kurang enak hati dengan kerendahan diri Thomas.

“Kami baru saja selesai syuting untuk film. Beberapa blok di dekat sini,” kataku. “Dan saya mohon jangan berkata kalau Anda seorang yang buruk untuk kami. Anda sangat menyenangkan, Thomas. Anda cukup tahu tentang negara kami dan pantai-pantainya. Kami sangat menghargainya. Kuharap saya dan Anda bisa berbicara lebih banyak lagi.”
“Thanks, actor,” kata Thomas diiringi senyum kecil

“Aku juga sangat mengharagainya. Mungkin lain waktu kita bisa berbicara lebih banyak lagi, Saudara...”

“Jeremy,” sambungku cepat. “Namaku Jeremy.”

“Ya, Jeremy. Mungkin kita bisa berbicara banyak lain waktu, kalau kalian masih lama di London ini. Sekarang.......sepertinya aku harus meninggalkan kalian berdua. Aku yakin temanmu butuh seseorang untuk diajak bicara. Minuman keras tidak akan berguna kalau tak ada teman minum dan lawan bicara yang tepat,” kata Thomas.

Dia kemudian meninggalkan kami dan menyibukkan dirinya dengan mengelap gelas-gelas dan
merapikan barnya. Angin dingin bertiup di sela-sela ventilasi bar dan menerjang ruangan di dalam. Lonceng kecil yang terkait dengan bagian atas pintu masuk bergemerincing seperti nyanyian bidadari di tengah malam-malam sepi. Kaca di sepanjang bar tampak mengembun, sementara di seberang jalan yang kotor oleh serakan salju kendaraan-kendaraan melaju dengan tenang.

**

(bersambung)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar