Senin, 31 Januari 2011

Cassanova Gundah (bagian # 02)


**
Aku memutar badan lalu menatap Rivael.

“Kau sudah keterlaluan,” kataku. “Ingat, kita tak di Indonesia. Kau harus menjaga sikapmu pada orang-orang di sini. Jangan membuat malu negaramu.”

Rivael memutar badannya menghadap ke meja.

“Aku tahu, aku tahu hal itu. Tapi rasanya kesal juga aku sama orang gendut tadi. Biarpun tubuhku lebih kecil darinya, aku tidak akan menyerah kalah sebelum dia benar-benar membuatku jatuh. Sayang Thomas tua itu buru-buru mencegah.”

Aku memutar badan kembali.

“Sudah lupakan hal tadi. Lihatlah ke luar. Kita seharusnya merasa beruntung bisa berada di
London, terlebih saat winter. Memang terdengar seperti anak kecil, tapi aku suka sekali melihat salju.” 

“Benar,” kata Rivael dengan menengok ke luar. “Suatu saat aku harus mengajak Jessy kemari.”

“Jessy?” tanyaku setengah terkejut.

“Ehem.”

“Tunggu dulu. Jessy yang mana, hah?”

Rivael cepat menatapku dengan pandangan heran. “Jessy yang mana? Apa maksudmu? Yang mana lagi kalau bukan Jessica! Kau sudah pernah bertemu dengannya sewaktu acara jumpa fans di Bandung waktu itu. Kau sudah lupa acara jumpa fans yang masih belum genap dua bulan lalu itu?” kata Rivael. 

“Oh! Jessy! Jessica yang itu! Apa? Apa maksudmu ingin mengajaknya kemari? Jangan bilang kau dan dia..........”

Rivael memberiku isyarat melalui matanya.

“Ya, kami sudah hampir dua minggu. Dia wanita yang mudah dibaca. Terlalu polos untuk bergelut dalam dunia entertaint seperti kita.”

“Kau benar-benar tidak mudah terbuka pada orang lain. Kalian menutupinya dengan sangat baik, kupikir. Sampai-sampai pers tidak mencium hubungan kalian. Kau serius dengannya?”

Rivael mengelak. 

“Yaahh.....kau tahu sendiri bagaimana aku,” katanya santai, terkesan meremehkan. “Aku pengagum keindahan. Aku sangat mencintai perempuan yang menarik perhatian seperti Jessica atau mereka yang dulu-dulu itu. Perempuan yang bisa mengombinasikan kecantikan, feminisme, dan intelektual. Tapi satu hal yang pasti: aku tidak mungkin menikah muda, Jeremy. Hidup masih terlalu nikmat untuk cepat-cepat diakhiri dengan sebuah ikatan dan rutinitas rumah tangga.”

“Berarti masih akan ada lagi yang lain setelah Jessy?” selidikku.
Rivael mengangkat kedua lengannya. “How could I know? Tapi pastinya aku masih lajang sampai lima tahun ke depan!” tambahnya seraya terkekeh.

Aku menanggapi tawa mengekeh Rivael itu dengan senyum manis yang penuh dengan kepura-puraan. Sesungguhnya dalam hatiku yang terdalam, aku merasa orang seperti dia itu sungguh-sungguh menjengkelkan. Dia bisa meraih segalanya hanya dengan membalik tangan. 

Dia begitu dicintai Dewi Fortuna dan dengan demikian semakin memupus harapan-harapan lain untuk mendapatkan kejayaan seperti dirinya. Dia seperti seorang Goliath yang berkuasa menindas. 

Walaupun kami berteman sejak era modelling, namun aku masih manusia biasa yang tentu juga menaruh benih-benih kecemburuan terhadap segala yang dimilikinya.

*

KEESOKAN paginya, selepas sarapan, kami meninggalkan hotel dengan mobil yang berisi segala macam perlengkapan untuk keperluan syuting. Hari ini kami akan mengambil lokasi di dekat Sungai Thames. Aku tak mendapati Rivael sejak sarapan tadi. Kru-kru pun sempat dibuat bingung, jengkel, dan tentunya cemas akan kenihilan Rivael dari tengah-tengah mereka.

Namun, tak berapa lama sebelum kami semua berangkat, kecemasan itu sedikit sirna walaupun rasa jengkel tentu masih saja menghinggap. Rivael telah meninggalkan pesan kepada seorang pegawai hotel. Ia mengatakan kalau ia telah berangkat lebih awal ke Thames, menikmati pemandangan dari sebuah jembatan bernama Waterloo Bridge.

Mungkin ia benar-benar bosan dengan pemandangan jendela hotel menginap kami yang hampir tak pernah berubah.

Setibanya di lokasi, rombongan kami yang malah dibuat terkejut oleh kehadiran seorang
perempuan cantik, berkulit seterang bulan, berambut pirang sebahu, dan dengan tubuh yang terbungkus oleh jaket tebal dan kedua tangan yang terselubungi sarung tangan. Rivael merangkul perempuan itu lalu membawanya ke tempat kami berdiri mematung.

“Perkenalkan semua, ini Sara. Sara Winterburn. Dia benar-benar membakar musim dingin ini, kan?” kata Rivael dengan bangga seolah itu adalah kerabatnya.

“Nice to meet you all guys,” sapa Sara dengan ramah.

“Nice to meet you too, Sara,” balasku mewakili semua kru. “So, you and my friend........”

“Kami bertemu semalam. Dia baik sekali mau menemani dan membantuku membawakan
belanjaan saat aku mau pulang ke apartemen. Dan....begitu saja! Kami beruda saling akrab dan cepat berkomunikasi.”

Aku melirik ke arah Rivael. Ia membalasnya dengan senyum.

“Rivael, Jeremy, persiapan syuting!” teriak sutradara dari jauh. “Ambil dan pelajari naskah kalian baik-baik. Kita tak akan lama di sini. Kita harus bergegas agar tidak kehilangan matahari. Cepatlah! Sial! Di sini dingin sekali! Djoko ambilkan aku syal!”

“I’ve got to go, My Dear,” kata Rivael kepada Sara. “Setelah semuanya sekesai, aku akan
menemuimu.”

“Kau juga sudah berjanji padaku. Kita akan pergi malam ini, kau ingat?”

“Tentu aku ingat. Pastinya. Kita akan ke Stamford Bridge, kan? Kita akan menyaksikan kehebatan pasukan The Blues di lapangan.”

Sutradara membentak lagi dari kejauhan.

“Cepat! Kita tidak punya banyak waktu di sini!”

“Kita harus pergi syuting,” kataku pada Rivael. “Sutradara tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

Kau sudah cukup membuatnya kesal beberapa hari ini.”

Rivael mengejek. “Dia masih bertahan di film ini karena aku, Jeremy. Karya dan karirnya boleh jadi sekarang ada di tanganku, Jeremy. Dia boleh menganggapku bodoh atau malas. Tapi dia juga tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa kehadiranku atau kita di sini. Dia sudah melepas idealismenya untuk menggarap film ini; apa mungkin dia juga akan melepas citra baiknya di industri ini dengan mendepakku keluar dari proyek? Kalau dia merasa pintar, dia harus memikirkan hal itu dua, tiga kali.” 

Rivael berpaling pada Sara.

“I’m gonna miss you for five to eight hours again, My Dear,” katanya mesra.

Dia mendekatkan bibirnya dan mencium pipi Sara yang putih.

“Call me if you’re ready to go, Riva,” kata Sara. Setelah saling tersenyum padaku dan tentunya Rivael, ia meninggalkan kami di tengah lalu lalang manusia lainnya.

“Sepertinya aku akan memberitahu Jessy soal semua ini.”

“You won’t do that.”

Dia merangkul pundakku lalu kami bersama-sama berjalan menuju kru dan sutradara yang tentu sudah masam mukanya sementara tangannya tak pernah lepas mencengkeram lembar-lembar skenario.

“Oke! Bersiap kalian untuk takeadegan ke 24!” teriak sutradara dari kursinya.

Ia melirik Rivael dari ekor matanya lalu dengan satu isyarat menyuruh salah seorang kru
membawa Rivael untuk di make-up. Samar-samar aku mendengar ia bergumam:

“Orang yang menjengkelkan. Kuharap aku terlahir sebagai pelatih hewan!”

Sementara itu, para pemain dengan bayaran rendah saling berbisik-bisik dengan perasaan iri.

“Kita hanya dibayar beberapa juta untuk adegan yang lebih panjang dan scene yang lebih banyak dari dia. Sementara kita berkejaran dengan waktu, dia malah asyik bermain dengan perempuan.”

“Kita harus melakoni 20 scenesampai kepala mau pindah ke kaki untuk menyamai satu scene
yang ia kerjakan.”

“Andai aku adalah dia, tentu sudah puluhan wanita mengejar-ngejarku.”

“Jangankan wanita, duniapun bisa kau dapatkan hanya dengan bermodal senyum.”

Semua bisik-bisik itu membuatku sejenak berpikir kalau perasaanku pun sebenarnya tidak jauh berbeda dengan mereka yang rata-rata masih hijau itu. Walau honorku untuk film ini masih jauh rata-rata di atas mereka, namun perasaan iri bisa tumbuh dan dimiliki oleh siapa pun, dari golongan mana pun, dan tak mengenal batasan gender atau budaya.

Benakku menemukan pemikiran paling utopis. Aku adalah manusia yang seberuntung dan
seagung Rivael, tentu jika itu benar maka betapa kecilnya dunia ini di tanganku.
Namun mendadak aku melontar jauh angan-angan yang terlanjur sempurna itu. Air ludahku
terasa seperti cairan empedu dan jaringan otakku membeku bila memikirkan angan yang tidak mungkin dan tidak ingin kuwujudkan itu.

Biarlah detik-detik ini Rivael sepuasnya menikmati kejayaannya; biarlah Rivael leluasa
memuaskan hasratnya dengan winedan perempuan; biarlah dia bergelimang nikmatnya. Namun seharusnya ia mengingat bahwa semua itu tak akan lama ada dalam gengamannya.

Semua yang ia miliki akan sirna dan berganti dengan kegalauan panjang seiring kehadiran wanita itu dalam hari-harinya. Dan aku termasuk yang penasaran ingin membuktikan kebenaran hukuman itu.

*

Tidak dapat kupungkiri kalau kepergianku bersama Rivael serta beberapa kru film ketika
memenuhi undangan sebuah rumah produksi tempat kami dikontrak ke Italia beberapa tahun silam masih menyisakan sejejak rasa penasaran – dan mungkin kegusaran pada diri Rivael sendiri.

Malam itu, saat menikmati sajian karnaval menjelang Paskah, disela-sela menonton atraksi lucu para badut dan tarian dari para wanita bergaun rumbai-rumbai berwarna merah-putih-hijau, ada sebuah sudut janggal yang menarik minat Rivael. Ia mengajakku ke tenda milik peramal Gipsy yang berada di salah satu sudut keramaian.

Kupikir tenda itu hanya bagian pemanis belaka dan tak ada kekuatan magis atau yang
semacamnya menyelubunginya. Rivael mengatakan bahwa dia penasaran dengan masa depan. Entah apakah dia benar-benar percaya akan hal-hal magis semacam itu ataukah hanya ingin mempermainkan si tukang ramal – dan memikatnya bila mungkin ia seorang wanita. 

“Peramal Gipsy? Oh, ternyata kau percaya juga dengan hal semacam itu. Apa tak kurang banyak pembaca nasib di negeri kita? Mereka tak kalah hebat dari Gipsy itu. Karnaval begitu menarik, mengapa mesti merusaknya dengan pergi ke tempat menakutkan itu?”

“Menakutkan?” katanya disusul tawa mengejek.

“Ayolah, Jeremy. Kau tak sepengecut itu, kan?”
“Aku cuma.....tak ingin terlalu percaya. Kita tak bisa percaya dengan hal semacam itu.” 

Rivael tertawa dan langsung merangkulku masuk ke dalam tenda.

Di dalam tenda, perasaan kami benar-benar hening senyap. Ruangan kain itu begitu remang dan langsung membangkitkan bulu kudukku. Cahaya berkelip-kelip hanya berasal dari sejumlah lilin yang menyala di atas meja sebelah kanan dan kiri, sementara warna ungu pekat dari kain tenda itu tidak mampu memantulkan cahaya lilin dan hanya membuat ruangan semakin gelap, suram, dan seram

Angin yang berhembus melalui sela-sela tenda membuat api lilin menari-nari.
Rivael terlihat tenang. Dia mantap melepas lalu meletakkan ranselnya di lantai beralas karpet merah untuk kemudian duduk. Aku mengikuti apa yang dia lakukan, seolah itu adalah ritual dan bila kami langgar akan mendapat kutukan dari sang peramal yang duduk di hadapan kami sambil memainkan bola kristalnya yang berkilatan.

Goodnight, Signore1,” sapa peramal Gipsy itu ramah. Suaranya mampu membuatku tenang.

“Jangan terlalu gugup, Signore.

Peramal itu menyalakan sebatang lilin lagi di mejanya. Kini kami dapat melihat sosok pemilik suara lembut sekaligus misterius itu. Ia seorang perempuan, usianya sekitar dua puluhan akhir, bermata kecoklatan, berambut bergelombang, dan......cantik. Dia mengenakan jubah dan aksesoris Gipsy yang sering kulihat di film-film. Tangan kirinya mengambil setumpuk kartu lalu menanyakan pada kami siapa yang ingin diramal.

“Aku, Madame2. Namanku Rivael. Aku hanya ingin tahu sedikit tentang masa depan.”

Peramal itu menyerahkan tumpukan kartu ramalan pada Rivael dan menyuruhnya mengocok.

“Masa depan bisa sangat mengerikan, Signore,” desis peramal itu. “Banyak yang hilang akal atau mati paranoid karena mereka terlalu banyak melihat.”

“Kalau begitu, aku sedikit dari orang yang beruntung itu, Madame. Aku tidak akan gila hanya
karena masa depan. Sekarang saja, aku memiliki apa yang kebanyakan orang tak mampu memilikinya bahkan dalam mimpi. Aku punya fans yang mencintaiku. Aku kaya; populer. Aku punya kekuasaan. Hidupku sangat luar biasa, Madame. Dan aku yakin masa depan takkan merampasnya begitu saja.”

Rivael memberikan kartunya pada si peramal yang tak pernah menyebut namanya.

“Anda terlalu banyak bercerita, Tuan. Sepertinya, Signoreadalah orang yang bisa mewujudkan masa depan sesuai keinginan. Mengapa menemuiku lagi?” katanya seraya menyebarkan beberapa kartu di meja.

“Hanya main-main; benar kan Jeremy?” kata Rivael.

“Ramalan bukan sekedar permainan, Tuan,” kata peramal sambil membuka kartu dan
mencermati.

“Pada zaman masyarakat kuno, ramalan bisa mendapat kepercayaan bahkan melebihi takdir.”

Setelah mengambil beberapa kartu bergambar aneh dan tak banyak kumengerti, peramal
termenung sejenak lalu dengan tiba-tiba berkata:

“Ah! Rupanya Tuan memang diberkati.”

Temanku tersenyum puas, sementara aku seakan tak percaya dengan apa yang baru saja
kudengar. Rivael diberkati? Dengan semua tindakannya selama ini? Setelah perilakunya yang suka mempermainkan perempuan dan cinta; setelah kesombongan atau kesewanang-wenangannya terhadap kru dan dunia sosial; dia diberkati?! Tidak mungkin! Ramalan itu pasti salah. 

Ramalan itu bohong!

“Lihatlah gambar ini,” kata peramal itu seraya menunjukkan sebuah gambar dari salah satu
kartunya. “Tuan akan mendapat kesejahteraan melimpah dalam beberapa bulan ke depan. Dan, sepertinya Tuan akan sangat dicintai oleh banyak wanita.”

Senyum Rivael semakin lebar. Peramal itu membalik sebuah kartu lagi dan kali ini wajahnya
terlihat berkerut. Rivael buru-buru mempertanyakan perubahannya itu.

“Ada apa? Ada yang salah dengan masa depanku?”

“Tidak, Signore. Hanya saja –”

“Hanya apa? Katakanlah,” kejar Rivael.

Peramal itu tersenyum. “Signore akan mendapat kejutan di ulang tahun yang ke 27.”
Rivael menarik sedikit tubuhnya ke belakang.

“Syukurlah. Kupikir apa. Aku suka kejutan.”

Peramal itu segera menambahkan. “Bukan kejutan yang mudah, Signore. Kejutan itu akan membuat Tuan sangat bahagia. Namun, bila Tuan tidak mampu mengatasinya, Tuan akan mendapat musibah. Semua yang Tuan miliki akan rata dengan tanah. Tuan takkan memiliki apapun, bahkan mungkin sesendok gula!” 

Kami terhenyak dengan penuturan peramal itu. Kata-katanya beraroma magis dan terdengar
seperti sebuah takdir. Rivael akan menemui kejutan di ulang tahun ke 27 dan hal itu bisa memberinya kebahagiaan namun juga bencana. Aku menerka-nerka sekaligus tidak sabar menantikan bentuk kejutan itu. 

Sedikit demi sedikit aku mulai percaya dengan ramalan itu.

“Itu sebuah hukuman, Tuan,” kata peramal.

“Hukuman? Hukuman apa? Apa kesalahanku?” tanya Rivael.

“Tuan dikerumuni oleh banyak cinta namun Tuan suka mempermainkan cinta mereka, apakah yang saya katakan ini ada benarnya, Tuan?” kata peramal itu.

“Tapi mereka tak menolaknya! Aku cuma memberi apa yang mereka inginkan. Aku manusia
biasa. Aku pun gampang tergoda. Dan kuakui, mereka sangat pintar menggodaku,” bela Rivael.

“Apakah kejutan yang Anda maksud itu adalah seorang perempuan? Kalau begitu akan sangat
mudah mengatasinya.”

Peramal itu tersenyum kecil. “Signore memang diberkati! Bisa menebak masa depan.”

“Apa ada cara menghindarinya, Madame?” tanyaku yang menganggap ini sebuah malapetaka.

Rivael menoleh padaku seakan pertanyaanku telah meremehkannya.

“Tak ada yang perlu dihindari,” kata peramal wanita itu semakin berteka-teki. “Apakah Signore akan membiarkan segentong berlian teronggok begitu saja? Selalu ada kebaikan dalam setiap kegagalan, Tuan. Anda hanya harus lebih bijak memetiknya karena buah kebaikan itu tersembunyi di balik lebatnya dedaunan dan ranting-ranting. Sekarang, apakah Tuan akan menyerah?” 

Rivael dengan mata menyala menatap ke arahku.

“Aku tak akan membiarkannya, Jeremy! Percayalah, tidak ada wanita yang sanggup
mengalahkanku. Terutama dalam masalah cinta,” katanya tegas.

Konfidensi Rivael itu lebih terdengar seperti sebuah keangkuhan – dan memang itulah wataknya. 

Aku menjadi tak sabar melihatnya jatuh karenanya. Aku tak sabar menantikan melambungnya balon-balon ulang tahun di apartemennya, sementara ia sendiri tak dapat menikmati kegembiraan pesta

**
(bersambung)

Tahukah Anda ... ?


What was on January, 31th? 
Ini beberapa di antaranya:
  1. 1747 - Klinik penyakit kelamin pertama dibuka di Rumah Sakit London Lock.
  2. 1862 - Alvan Graham Clark menemukan bintang katai putih Sirius B, tetangga Sirius, dengan teleskop 18,5 inci yang sekarang ada di Universitas Northwestern.
  3. 1865 - Perang Saudara Amerika: Kongres Amerika Serikat mengajukan Amandemen ke-13 Konstitusi Amerika Serikat yang menghapuskan perbudakan, mengirimkannya ke negara-negara bagian untuk diratifikasi.
  4. 1900 - Datu Muhammad Salleh dibunuh rahasia di Kampung Teboh, Tambunan, mengakhiri Pemberontakan Mat Salleh.
  5. 1942 - Perang Dunia II: Pasukan Sekutu dikalahkan oleh Jepang di Pertempuran Malaya dan mundur ke pulau Singapura.
  6. 1946 - Di Yugoslavia, sebuah Konstitusi Enam menetapkan pembentukan Republik Baru konstituen: Bosnia-Herzegovina, Kroasia, Makedonia, Montenegro, Serbia dan Slovenia.
  7. 1953 - Banjir Laut Utara menyebabkan lebih dari 1.800 kematian di Belanda.
  8. 1958 - James Van Allen menemukan sabuk radiasi Van Allen.
  9. 1961 - Seekor simpanse Bernama Ham menjadi hominid Pertama Yang diluncurkan ke luar angkasa.
  10. 1968 - Viet Cong melancarkan serangan ke kedutaan Amerika Serikat di Saigon dan serangan-serangan lain di pagi hari, yang kemudian disebut sebagai Serangan Tet.
  11. 2010 - ......


Minggu, 30 Januari 2011

Cassanova Gundah (bagian # 01)

DARI puncak julangan gedung-gedung bertingkat tinggi-megah di bumi metropolitan hingga ke sudut gang tersempit di sebuah kampung; dari sampul majalah, foto-foto dalam surat kabar, hingga selebaran-selebaran kecil; dan berita-berita televisi sampai permainannya di layar perak, semua orang mengenal sosoknya sebagai seorang pria muda dan tampan dengan segala keunggulan fisik, berlimpah materi,selebritis papan atas, serta bisa dipastikan waniat mana pun yang menjalin hubungan dengannya tidak akan mendapat sepah, walaupun akhirnya dia menelantarkan mereka semua seperti handuk basah.

Lelaki yang dalam dunia-dunia tertentu memiliki popularitas bahkan melebihi seorang Presiden Republik Indonesia itu menyandang nama Rivael sebagai tanda pengenal dan sapaan dalam dunianya yang gemerlap. Nama sejati buah karya kedua orang tuanya sepertinya sudah tenggelam di dasar bumi seiring meroketnya pamor dalam dunia kepura-puraan yang menjadi lahan impian hampir setiap manusia di negeri ini.

Harus diakui bahwa Rivael tidak mendapat semua nikmatnya saat ini tanpa pengorbanan yang besar dan cucuran keringat yang andaikan ditampung sejak pertama kali ia kucurkan untuk menggeluti dunianya itu cukup untuk menggenangi jalan sedalam setengah kaki.
Namun, keberuntungan bukannya tidak berperan dalam usahanya itu. Rivael yang masih awam sangat beruntung bertemu dengan pakar film dan sutradara senior Rahardja. Melalui tangan dingin lelaki itulah untuk pertama kali setelah 21 tahun hidupnya ia dikenal luas oleh Indonesia. 

Keberuntungannya beranak-pinak. Setelah film perdananya yang sukses luar biasa itu, pelukan Sang Dewi Fortuna tak pernah lepas dari dirinya. Dalam beberapa tahun berikutnya dia telah menerima pinangan sejumlah film, iklan, model, peragawan busana desainer terkenal, hingga opera sabun konyolnya di beberapa stasiun televisi. Pundi uangnya mengalir deras seiring banyaknya pihak yang memakai wajah atau sepotong senyum kecilnya yang memang bernilai emas.


Sekarang sepertinya Rivael dapat memiliki segalanya. Tentu itu sudah termasuk apartemen tujuh ruangnya yang mewah di kawasan elite, BMW hitamnya yang anggun, dan furnituredan pakaian dan yang paling terbaik di dunia: wanita cantik dan berkelas. Dia telah bersama Bernadette di acara AMI Awards, dia bergandengan dengan Agatha dalam sebuah pementasan amal, dan yang baru-baru ini dia terlihat mesra ditemani Prita di sampingnya.

Dan semua itu semakin membuat Rivael besar kepala.

Beberapa bulan setelah break dengan peragawati dan penyanyi cantik itu, ia memilih cara asal- asalan namun bernilai jual untuk melambungkan popularitas – dan yang terpenting eksistensinya dalam merambah berbagai bidang. Ia menulis sebuh buku biografi oret-oretan. Kontroversi dan kritikan tentang kelayakan karyanya itu langsung tertelan oleh gelora para peminat yang tak tanggung besarnya. Gelar Best sellerdan cetak ulang disandang hanya dalam hitungan hari

Para penyanjungnya seakan termantrai daya pikat dan tidak pernah memusingkan kalau buku setebal kamus besar ensiklopedia itu hanya memuat sekitar dua puluh ribu kata dan cukup mahal. Foto-foto manis berkesan eksklusif di dalam setiap babnya telah melambungkan minat dan histeria mereka. Kegilaan fanatik itu terjadi dua pekan sebelum kami berangkat ke luar negeri.

*

Namaku sendiri adalah Jeremy Iskandar.

Aku adalah kawan sekaligus lawan main Rivael dalam suatu film terbaru kami yang sekarang
sedang melangsungkan syuting di negeri Elizabeth. Sudah hampir dua bulan kami meninggalkan Indonesia untuk menginap di sebuah hotel di kawasan utara London. 

Keseriusan dan ambisi telah membawa kru kami untuk pertama kalinya melakukan syuting di salah satu kota tertua di dunia itu. Kami melakukan pengambilan gambar saat London sedang terjangkit musim dingin yang putih dan bersalju. Aku malu mengatakannya, namun rombongan kami terlihat seperti bocah ingusan dari kampung yang kegirangan dan ternganga karena butir-butir salju yang murni itu.

Sayangnya suasana yang ajaib itu tiba-tiba dirusak oleh keengganan Rivael meneruskan syuting. Tubuhnya tidak tahan dengan udara dingin dan kadang juga berangin itu. Dia tiba-tiba berhenti dan dengan angkuhnya meninggalkan lokasi syuting. Seolah tanah luas ini adalah kebun di halaman rumahnya sendiri, dia mengambil jaket tebalnya dan langsung meninggalkan kami.

Memang mudah baginya melakukan yang demikian, terlebih tekanan dari para produser yang
tidak ingin merugi dengan budgetmiliarannya. Satu pesannya kepada sutradara sebelum bertolak ke bandara hanya:

“Manjakan Rivael; lakukan apapun untuknya, dia anugerah untuk rumah produksiku dan
tentunya karirmu. Ia bisa menarik jutaan orang ke bioskop. Ingat, turuti apa keinginannya atau kuhentikan produksi di tengah jalan!”

Menyadari bahwa London adalah bukan Jakarta, Rivael lalu menyuruh seorang kru mengambil peta saku untuknya kemudian mengajakku pergi ke bar yang tenang bersamanya. Kami memanggil taksi kuning dan berkendara di jalan-jalan London yang masih berlapis tipis hamparan salju. 

Atap-atap gedung dan toko dikotori selimut lembut dari langit. Jendela-jendela mengembun sementara seorang pemuda bertutup kepala sedang sibuk membersihkan salju dengan sekopnya. Negeri itu benar-benar cantik walau saat cuaca muram sekalipun.

Setelah melewati lika-liku sejumlah blok, atas rekomendari supir taksi, kami berlabuh di sebuah bar bernama Lighten Up. Bangunannya berukuran sedang namun terkesan nyaman dan hangat. Kami masuk ke dalam ruangan yang bersih dengan telah dihadiri beberapa pria pirang yang duduk menyebar tanpa teman di sampingnya. 

Mereka sibuk dengan keheningan masing-masing dan terpuaskan oleh whiskey di mejanya serta kepulan sigaret. 

What can I do for you?” sapa seorang pelayan bar berumur kira-kira enam puluh tahun ketika aku dan Rivael duduk di meja bar.

“Bir, please,” kata Rivael.

Ia kemudian duduk memunggungi pelayan bar dengan bersandar pada salah satu sikunya di
meja.

And you.....,” kata pelayan itu lagi seraya menatapku.

“Anda punya minuman ringan di sini? Coke, Cola, atau sejenisnya?”

“Tentu, tentu saja. Aku punya banyak jenis minuman di sini anak muda, termasuk susu perah asli dari pedesaan Sussex, tapi aku yakin bukan itu yang kau inginkan sekarang. Orang dewasa tak akan susah-susah pergi ke bar hanya demi segelas susu. Benar begitu, kan? Aku hanya sekedar menawarkan susu untuk adik kecil Timmy yang kemarin datang bersamanya. Tahulah kalian, agar James tak rewel sementara Timmy asyik berpacaran dengan Leshlie,” kata pelayan itu sambil berjalan ke sudut lalu membelakangi
kami.

“Kalian dari Asia?” tanyanya saat kembali dan menyuguhkan kedua jenis minuman itu di 
meja kami.

“Ya.”

“Dari mana?” tambah pelayan itu lagi. “Aku pernah sekali datang ke Asia, tepatnya Asia Timur, ke Korea Selatan. Tapi itu sudah lama. Katanya Asia punya wisata pantai yang indah-indah. Benar begitu,Anak muda?”

Aku meneguk minumanku, begitu pun dengan Rivael. Namun dia masih saja dingin dan belum
memandang wajah pelayan bar itu.

“Sudah pernah dengar tentang Bali?” tanyaku.

Lelaki itu tampak mengingat-ingat dan sejurus kemudian aku simpulkan bahwa dia belum pernah mendengar tentang kemilau Pulau Dewata.

“Bali mempunyai banyak pantai yang indah. Kuta, Sanur, dan banyak lagi yang lainnya. Mungkin Anda juga belum pernah mendangar tentang pantai-pantai di negeri kami yang juga indah di Pulau Lombok dan di sebagian Nusa Tenggara. Well, jika Anda belum mendengar itu semua berarti dapat saya simpulkan Anda belum pernah mendengar nama Indonesia.”

“Indonesia?” kata lelaki itu setengah terkejut. “Kalian dari sana? Di Asia sebelah tenggara,
bukan?”

“Ya, rupanya Anda tahu juga.”

Aku setengah memuji. Sambil mengambil kursi lalu duduk di atasnya, lelaki yang terpisahkan oleh aku dan Rivael hanya dengan sebuah meja panjang berwarna coklat itu berkata:

“Tentu aku tahu – setidaknya pernah dengar tentang rumah kalian! Perlu kalian tahu, walaupun aku memang seorang pelayan bar kecil, tapi aku tidak sempit pengetahuan, Kawan! Aku tahu tentang Bali; aku tahu dari buku dan juga gambar pantainya dari kartu pos yang pernah dikirim sepupuku, David, saat dia melancong ke Asia. ‘Bali such a paradise’,begitu tulisnya di kartu. Kalian beruntung punya rumah seperti itu.”

Aku meneguk sisa minumanku. “Ya, tapi kami berdua dari Jawa, pulau panjang di sebelah barat Bali. Did you ever heard about Jakarta?”

“Jakarta; of course, of course,” katanya. “Kalian dari sana rupanya?”

Aku mengangguk. Aku berniat menyambung dan menceritakan lebih banyak lagi tentang
Indonesia sebelum Rivael memutar badannya dan menatap langsung kepada pelayan bar yang mukanya sedikit keriput, dengan hidung merah berbentuk seperti buah jambu air, dan rambut yang sudah beruban itu.

“Cukup pembicaraan kalian!” katanya dengan nada sedikit kesal.

Dua orang pirang di meja belakang kami memandang secara hampir bersamaan ke arah Rivael yang sekarang ganti memunggungi mereka.

“I am looking for some quiet and warm drink in your damned bar! I didnt’t come here for
speaking. So, please don’t make my ears tired with the talking from both of you. That’s enough for Bali; for Indonesia; or beach; or whatever. Give me more drink, old man. Your country has a terrible weather,” tambahnya seraya menyodorkan gelas minumannya yang telah kosong. 

Pelayan itu menekuk wajahnya saat mengambil gelas Rivael dan pergi ke sudut untuk
menuangkan birnya.

“Keramahan orang Asia, hah?” celetuk pria gendut di samping jendela sambil merokok. “Biar aku cek kapan pertama kali kudengar ungkapan itu. Oh! Sepertinya aku teringat Nenek-ku mengatakannya tiga puluh tahun lalu sebelum ia meninggal.”

Rivael acuh tak acuh menanggapi sindiran itu. Ia hanya minum dan minum lalu menghela puas. Ia menyodorkan gelas kepada pelayan bar itu berkali-kali setelah kerongkongannya dibasahi oleh alkohol yang memabukkan. Sekarang sudah gelas keempat yang diteguknya.

“Hati-hati dengan yang kau minum, Little Asia! Kau bisa menyetir seperti monyet gila kalau masih terus minum sampai tetes akhir galon milik Thomas. Tapi aku tidak heran. Asia memang telah gila sebelum mereka menenggak whiskyterlebih dulu. Karena itulah mereka nekad mengebom Pearl Harbour tanpa tahu bahaya apa yang bisa diperbuat oleh Amerika setelahnya,” kata orang di samping jendela itu.

Beberapa orang di meja di belakang kami tertawa dengan hal yang mereka anggap bodoh itu. Rivael menenggak habis minumannya lalu menyodorkan untuk yang kelima kalinya kepada Thomas.

“Lihat! Asia itu tambah lagi! Dia minum lagi!” teriak orang di samping jendela itu.

Ia menatapku dan Rivael seperti sedang menatap binatang dalam pertunjukan tolol.

“Kau merasa masih sanggup main Kabuki setelah minum, Asia?” tambahnya seraya tertawa.
Rivael menanggapi dingin.

“Kabuki dari Jepang. We’re Indonesian. Did you ever heard about that?”

Pria di samping jendela itu bangkit dari kursinya seraya berkacak pinggang.

“Apa? Indonesia?” katanya dengan gaya berlagak. “Kalian dengar itu? Indonesia. Aku bahkan tak menemukan namanya di peta! Pantas kalau kau begitu menikmati minuman itu dengan rasa puas. Di sana tak ada yang seperti itu?! Memangnya apa yang mungkin ada di sana? Monyet minum sekerat bir murahan? Beberapa orang sepertimu berkeliaran dengan Nike atau Prada palsu sambil menenteng kesombongan di wajahnya?!”

Untuk sekali ini Rivael menatap wajah pria berkaos coklat yang terbungkus jaket hitam tebalnya, berusia sekitar 30 tahunan, dan mengenakan penutup kepala hingga hanya ujung-ujung rambutnya saja yang kelihatan menutupi kedua telinga. Mereka beradu pandang untuk beberapa saat. Tidak ada sindiran bahkan bisikan yang mencuat dari mulut keduanya.

Thomas yang mencium gelagat buruk ini segera meninggalkan posnya dan maju menengahi.

“Oke, cukup sampai di sini, Ashley! Sekarang pulanglah. Jimmy kidal pasti sudah menunggumu di tempatnya. Kau terlalu banyak minum, pulanglah. Ayo pulanglah, Nak. Kau tak ingin melewatkan terapimu, kan?” kata Thomas melerai.

Ashley sedikit membantah.

“Aku tidak minum banyak! Omong kosong apa yang kau katakan itu, Thomas? Kau tahu sendiri, aku hanya memanggilmu dua kali untuk membawakan minuman kemari. Tapi sepertinya kesombongan orang inilah yang membuatku ingin minum lebih banyak.”

Thomas mendekati bahu Ashley.

“Jangan buat keributan di sini,” bisiknya. “Aku sudah cukup lelah dengan begundal lain selain dirimu. Sekarang pergilah!”

Ashley berteriak keras sambil menggebrak meja. Thomas mundur selangkah.

“Aku tidak akan membuat keributan, Thomas! Aku sudah tahu rasanya penjara; tak ada ruang untuk kebebasan. Dan perkelahian hampir jadi menu harian selama dulu aku di sana. Aku hanya kurang senang dengan sikap orang ini terhadap bar milikmu dan terlebih negara kita. Dia semestinya harus lulus dua kali sekolah dasar agar tahu cara menghormati negara lain.” 

“Begitu pula denganmu,” kata Thomas. Dia mendekat dan meraih lengan Ashley. “Ayolah,
Ashley. Orang itu hanya mabuk dan mungkin belum pernah datang kemari saat sedang musim dingin. Biasalah itu. Dia bukan yang pertama. Kau tahulah, adaptasi. Aku tahu kau paham akan arti adaptasi di lingkungan baru itu melebihi siapapun di sini.”

Ashley membuang mukanya dari Rivael. Dia membuka dompetnya, menaruh beberapa lembar uang di meja, kemudian pergi meninggalkan Lighten Up. Suasana kembali dingin. Orang-orang di meja di belakang kami kembali dengan kesepian dan minumannya. Asap-asap putih sigaret masih berkerumun di ruangan. Thomas tua kembali pada posnya di balik meja bar. 

Thank you, Thomas. Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Maafkan juga atas sikap kami. Kami benar-benar tak bermaksud menyinggung negara Anda,” kataku.

Aku menatap Rivael namun ia mengelak. Ia kembali memunggungi si pelayan bar seperti semula.

“Aku mengerti,” kata Thomas. “Tak perlu mencemaskannya. Ashley memang kadang suka
meledak saat ada yang kurang berkenan menurut hatinya. Hati seseorang, siapa yang bisa mengukur benar-salahnya? Dia pernah setahun dipenjara, dan sekarang sedang menjalani terapi untuk meredam kemarahan. Kuharap kalian bisa mengerti. Kalian asepertinya orang baik. Memang aku yang semestinya tidak berbicara banyak dengan kalian yang terlihat.......lelah. Aku hanya pelayan dan bukan teman berbicara yang baik untuk orang asing yang lelah dan butuh ketenangan.”

Aku tersenyum simpul, merasa kurang enak hati dengan kerendahan diri Thomas.

“Kami baru saja selesai syuting untuk film. Beberapa blok di dekat sini,” kataku. “Dan saya mohon jangan berkata kalau Anda seorang yang buruk untuk kami. Anda sangat menyenangkan, Thomas. Anda cukup tahu tentang negara kami dan pantai-pantainya. Kami sangat menghargainya. Kuharap saya dan Anda bisa berbicara lebih banyak lagi.”
“Thanks, actor,” kata Thomas diiringi senyum kecil

“Aku juga sangat mengharagainya. Mungkin lain waktu kita bisa berbicara lebih banyak lagi, Saudara...”

“Jeremy,” sambungku cepat. “Namaku Jeremy.”

“Ya, Jeremy. Mungkin kita bisa berbicara banyak lain waktu, kalau kalian masih lama di London ini. Sekarang.......sepertinya aku harus meninggalkan kalian berdua. Aku yakin temanmu butuh seseorang untuk diajak bicara. Minuman keras tidak akan berguna kalau tak ada teman minum dan lawan bicara yang tepat,” kata Thomas.

Dia kemudian meninggalkan kami dan menyibukkan dirinya dengan mengelap gelas-gelas dan
merapikan barnya. Angin dingin bertiup di sela-sela ventilasi bar dan menerjang ruangan di dalam. Lonceng kecil yang terkait dengan bagian atas pintu masuk bergemerincing seperti nyanyian bidadari di tengah malam-malam sepi. Kaca di sepanjang bar tampak mengembun, sementara di seberang jalan yang kotor oleh serakan salju kendaraan-kendaraan melaju dengan tenang.

**

(bersambung)