Selasa, 01 Maret 2016

Proletarier aller Länder vereinigt Euch


Proletarier aller Länder vereinigt Euch --

Kalimat yang ditemukan dalam Manifesto Komunis (1848) oleh Karl Marx dan Engels di atas adalah seruan bagi para buruh (kaum proletar) di seluruh negeri untuk bersatu. Untuk melawan.

*

Andai saja Marx pada saat sidang Partai Komunis tahun 1848 berhalangan hadir karena asyik nonton Dangdut Academy, dan Frederich Engels ketiduran karena saking bosannya melihat permainan Manchester United; maka kita tidak akan menjumpai Henk Sneevliet berjalan-jalan di bumi Nusantara menenteng buku Das Capital dan pamflet-pamflet merah Marxisme.

Jika Sneevliet tidak menenteng Das Capital lalu bertamu ke kediaman Tjokroaminoto dan meracuni Serikat Islam sehingga membelahnya menjadi dua polar yang putih dan merah; maka kita hari ini bisa santai saja menghadapi lawakan status Facebook si penulis terkenal yang namanya mirip penyanyi "Awal yang Indah" itu.

Tapi, Tuhan agaknya sedang ingin bercanda dengan masyarakat Indonesia yang lucu-lucu ini. Tentu bercandanya Tuhan punya tujuan (yang bisa dipastikan) baik.

Begitulah, ketika Mas Penulis kita ini mengatakan tidak ada pahlawan pejuang kemerdekaan Indonesia yang menganut ideologi komunis, liberalis, dan sosialis, saya ngeri membayangkan betapa malangnya nasib Tan Malaka ketika beliau tidak bisa membela jargonnya sendiri: "Di dalam kubur suaraku akan lebih nyaring didengar."

Mohon maaf Tuan Malaka, tapi boro-boro didengar, suara panjenengan sudah kalah oleh zaman yang dikuasi Retweet dan Like. Suara Tuan Malaka bukan lagi mungsret, bahkan bisa jadi dituduh ketinggalan zaman. Kalau sudah demikian, Bapak Malaka tidak perlu baper kalau hari ini kami tidak ingat njenengan sebagai pejuang muslim yang simpatik pada sosialisme. Tidak perlu kami tahu kalau Tan Malaka berlayar berpuluh-puluh hari demi menghadiri sidang Komite Central Komunis di Soviet untuk mengenalkan Pan Islamisme di negeri yang sedang dijajah kolonial Belanda.

Gagasan Pan Islamisme yang ditawarkan dalam sidang Komunis mementingkan perlunya dukungan kamerad terhadap perjuangan muslim di Nusantara. Bagaimanapun, semangat orang-orang miskin dan tertindas melawan tirani adalah sama halnya dengan spirit sosialisme yang menekankan kesetaraan. Proletarier aller Länder vereinigt Euch.

Tapi, yah, buat apa?

Wong menurut Mas Penulis kita ini para sosialis tidak punya peran dalam catatan sejarah kemerdekaan, kok. Padahal dalam ingatan kami yang samar, Tan Malaka anti benar kolonialisme. Kalau Syahrir (ah, perlu diingat juga kah penganut sosialisme satu ini?), Hatta, dan Soekarno sendiri lebih memilih pendekatan dialog, Tuan Malaka justru senang bergerilya dengan senapan.

Tapi Tan Malaka nggak perlu minder. Panjenengan banyak rewangnya. Nanti di alam sana cobalah silaturahim ke rumah Tjokroaminoto, Pramoedya, Kartosuwiryo, atau Soekarno. Barangkali, kalau mereka tahu situasi sosmed terkini, -- Soekarno mungkin --- akan nyegat Malaikat Jibril dan nitip manual book Nasakom untuk digetokkan ke jidat Mas Penulis kita.

*

Tapi ya namanya Tuhan lagi guyon, ya kita ikuti saja fitrahnya untuk tertawa. Gagasan ideologi manapun selalu punya potensi disimpangkan. Termasuk agama (baik secara institusi atau ajaran).

Sumonggo, panjenengan tidak setuju komunisme gaya Semaoen. Emoh tenan ke sikap liberalnya Goenawan Muhammad. Demokrasi, kok. Tapi ya mbok jangan dihantam kromo ahistoris begitu.

Menurut njenengan, apakah ulama sekaliber KH. Ahmad Dahlan saat mengubah arah shaff masjid agung Jogja agar sudutnya pas mengarah ke Kakbah tidak disebut liberal (dan radikal)? Apakah Haji Misbach yang ikut Serikat Islam Merah tidak religius?

Bagusnya, alhamdulillah, Mas Penulis kita juga mengingatkan agar jangan terlena paham luar dan lupa kearifan lokal Nusantara. Ini keren, tapi sayangnya saya belum sempat mention-kan ke Front Nganu Itu yang agaknya mau mengikis kearifan lokal Nusantara menjadi serupa kearifan lokal negeri padang pasir.

*

Jadi, untunglah Marx dan Engels hadir on time di rapat tahun 1848 itu. Akibatnya Manifesto bagi para buruh marjinal agar bersatu minimal bisa kita dengar hari ini. Dan, kalau nanti Mas Penulis kita mau ikut demo menentang tirani dan ketimpangan sosial, jangan sungkan berteriak: "Proletarier aller Länder vereinigt Euch."

Toh, panjenengan juga buruh bagi industri perbukuan, kan?

***

Jumat, 19 Februari 2016

Piano Man


2 November 1973 Piano Man dirilis. Sebagai salah satu karya intelektual Billy Joel, lirik naratif Piano Man seolah sangat akrab dan dekat dengan keseharian kita.

Banyak produk satir yang dilagukan dalam Piano Man. John yang menyimpan hasrat jadi bintang film tapi terpenjara di balik meja bartender. Davy yang sampai akhir hayat (tak banyak pilihan selain) di Angkatan Laut. Paul si marketing real estate yang tak pernah punya waktu untuk istrinya. Termasuk si Pelayan (menceritakan istri pertama Billy sendiri) sebagai "politikus" bagi para pekerja kantoran yang kesepian.

Dan, Bar di Sabtu malam itulah kiblat pelarian para manusia. Tempat gin, tonic, sigaret, dan pelampiasan kejenuhan bertemu. Di sanalah dunia dilupakan (sesaat). Duduk sebagai Sang Penghibur adalah Bill Martin dan tuts-tuts pianonya. Dialah The Piano Man.

*

Modern ini, "Piano Man" banyak modelnya. Sedangkan "bar"-nya adalah layar televisi, seminar motivasi, bahkan gadget. Jika saja - dan sayangnya demikian - kita adalah robot dalam suatu era yang banal, dimana semua hal bisa dikomoditikan, lalu ke manakah pilihan "bar" dan lebih-lebih: siapakah Piano Man-mu?

Apakah "bar" dan Sang Penghibur itu sudah tepat sesuai akal sehat dan kebaikan nurani? Ataukah ia Bill Martin? Yang hidup dari tip pengunjung dan (tak sadar) bagian dari kooperasi jahat kapitalis?

Karena, jika kita dengar lagi, di bagian ujung lagu, Piano Man juga punya Manajer...... dan dia menikmati hasil jualan "pelepas penat" para pendatang bar.

***

Kamis, 21 Januari 2016

Kunang-Kunang Kayam

Malam itu bulan duduk dengan anggun di atas gedung-gedung sombong yang berpendaran beragam warna. Kota ini tidak pernah mengantuk, apalagi tertidur. Saat lampu-lampu di dinding hotel, mall, dan apartemen bergairah menarik pundi-pundi uang dan pelampiasan dari celana penduduk kota, aku tengah menikmatinya dari sebuah balkon lantai 4 kantorku.

Ketika Umar Kayam memperkenalkan Jane, Marno, dan New York pada tahun 1972, kukira kota yang terkenal dengan Central Park-nya itu telah menginspirasi ratusan kota lain untuk tidak naik ranjang dan tidur terlalu cepat. Bahkan, dalam perjalanannya, ia menjungkirkan kodrat alam dengan melarang malam untuk mengistirahatkan raga dan jiwa manusia.

Begitulah, kini, 44 tahun kemudian, di Hongkong, Dubai, Taipei, bahkan Jakarta telah terjangkit insomnia komunal. Kunang-kunang Kayam di Manhattan hijrah ke belahan bumi lain. Hewan dengan suar senoktah itu kini merubung Burj Khalifa di Dubai, kasino di Taipei, dan gedung-gedung mewah Jakarta. Tentu saja, ketika melihat itu dengan kretek sisa setengah dan kesepian yang normal, aku menerima kenyataan bahwa kota ini telah dijejali oleh Jane, Marno, atau Madame Schlitzs. Dan Sang Raksasa dengan mulutnya yang selalu lapar menelan mereka satu demi satu. 

Dengan dramatis, mau tak mau aku teringat suasana di kampung 20 tahun lalu yang rumah-rumahnya hanya diterangi listrik 450 Watt serta suara mengkerik jangkrik. Saat jam menunjukkan pukul 23 
alam terdengar hening dan khidmat. Esok subuh penduduk akan saling salam menuju surau. Dan dengan alaminya kekeluargaan itu datang tanpa diminta.

Tapi, jika kau bersamaku malam ini, maka kita akan tak saling mengenal untuk hal yang remeh sekalipun. Kita secara alami terikat dengan individualisme, kekosongan jiwa, dan rasa takut kesepian yang -- Demi Tuhan! -- diam-diam menggerogoti. Seperti kanker. Atau virus. Dan sudut-sudut gemerlap di kangkangan Tugu Obelisk inilah resep dokter yang diberikan kepada kami setiap hari. Untuk merayakan kekecewaan dan kekalahan.

Ketika angin datang kau bisa segera mencium bau kota ini. Aroma kapitalisme. Jangan tanya bagaimana pengap dan busuknya perkampungan kelas bawah yang hanya sanggup termangu melihat tayangan Burj Khalifa di TV karena mereka sudah terlanjur cinta dan tak sanggup berlari. Di balik selimut dan tajamnya udara yang menerobos dinding triplek, mereka merenda angan suatu hari gemerlap hedonisme akan datang di pintu rumah mereka.

Hari ini, aku telah menjadi Jane yang dimakan Sang Raksasa. Sebagaimana pengalaman Kayam di New York, hari ini pun aku telah merasakan kebudayaan kota ini bukanlah kebudayaan yang sehat. Dan dengan menyedihkan harus kuakui bahwa lama-kelamaan virus kota ini akan menjalar ke seluruh negeri. Orang takkan tertarik lagi mengenal satu sama lain. Seperti di Dubai, New York, atau Jakarta. Semua terikat dengan pagi yang terburu-buru dan malam yang tak membuat tidur.

Sabtu, 09 Januari 2016

Sastra yang Menarik



Apa yang menjadikan sastra menarik?


Tentu akan banyak sekali pandangan dari pertanyaan di atas. Lagipula, bagaimana standard sastra bisa menarik? Dari ceritanya? Penjualannya? Karena menjadi topik diskursus atau diadaptasi menjadi film layar lebar?

Sastra, bacaan yang baik, adalah sastra yang membuat pembacanya "hidup" di dalamnya. Merasai apa yang dirasakan para tokohnya. Mendengar apa yang mereka dengar. Turut mengalami sepi atau hingar bingar di sekeliling mereka. Ibaratnya, bacaan sastra yang baik, seolah membicarakan kisah kita sendiri. Sastra dikatakan berhasil jika ia bukan fiksi yang sekedar hadir dalam imajinasi atau selingan sambil minum kopi di hari Minggu, tapi mampu membawa pembacanya merenung dan berpikir ketika telah menyelesaikan titik terakhir.

Sastra adalah pesan. Pesan itu baru bernilai ketika si penerima tidak apatis terhadap isinya. Tentu saja kandungan nilai dalam pesan bisa berbeda-beda. Novel “Amba” karya Laksmi Pamuntjak, misalnya, membawa kita kembali kepada pernak-pernik Indonesia pada tahun 1965. Laksmi membawa kita bernostalgia ketika komunis baru tumbuh lalu mencoba menjadi bagian dari negara yang baru saja lahir. Melalui Amba dan Bhisma, Laksmi mengajak pembaca melihat kejatuhan paham bawaan Soviet – yang sekaligus menjadikan para simpatisan (atau dianggap simpatisan) partai kiri itu disingkirkan. Diasingkan sebagai tahanan politik di Pulau Buru dan harus “bekerja” untuk membangun pulau itu dengan “bonus” penyakit dan kehilangan kebebasan. Laksmi mengajak mengilas balik sejarah lewat sastra dan “meramaikan” tanda tanya penting di balik tragedi kemanusiaan di Indonesia: sudah siapkah bangsa ini membuka dan mengkaji kembali lembaran penuh tanda tanya dalam sejarah mereka sendiri?

Sastra membentuk pertanyaan dan perubahan. Pertanyaan tentang korelasi yang tertuang di alam fiksi dengan realita. Setelah terbentuk pertanyaan dan paradigma, mampukah ia menjadikan pembacanya “bergeser” dari tempatnya berdiri saat ini?

“Bergeser” ini pun bermakna bahwa membaca sastra adalah cara “melunakkan” hati. Sastra membawa sebuah dunia yang sebelumnya belum dijamah. Pengalaman-pengalaman. Sudut pandang tentang sesuatu hal yang sudah atau bahkan belum pernah diketahui. Dari situlah sastra menjadi obat agar hati tidak kaku menerima realita kebudayaan di dunia yang tak selalu sesuai dengan kaca mata kita.

Pesan sastra tidak tentang benar atau salah. Pembaca bisa menarik paradigma tentang dua kutub itu dari perbandingan pengalaman pribadi dan kandungan bacaan. Ramayana versi India maupun Jawa mainstream-nya menghadirkan Rahwana sebagai tokoh yang bersalah karena menculik istri Rama. Namun dalam novel musikal Rahvayana (1 dan 2), Sudjiwo Tejo mencoba membela Rahwana dengan mengajak pembaca tidak terjebak dalam polarisasi hitam-putih. Sudjiwo Tejo sendiri dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Rahwana adalah laku dari kandungan sastra tertinggi, yakni Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Menurutnya, label benar-salah itu sejatinya tidak ada. Hidup adalah paradoks. Tuhan sendirilah yang mengizinkan seorang supir bus dihibur lelahnya oleh pelacur Pantura saat mengantar beras yang mana beras itu nanti akhirnya dinikmati bahkan oleh mereka yang menjunjung etika dan moral.

Ah, sudahlah. Ambil saja buku sastra yang bagus, lalu mulailah masuk ke kehidupan orang lain.  

Senin, 16 November 2015

Dear Jean Louise ...


Parang Tritis, Jogjakarta
22 Mei 1997



Dear Jean Louise,

Ketika aku menulis surat ini dari sebuah rumah yang menghadap laut, aku telah berada berkilo-kilometer dari tempat tinggalmu. Gerimis belum berhenti turun dari langit yang semakin abu-abu pekat. Gerimis yang semakin tajam sejak kali pertama kita melihatnya dari balkon La Fave. Tepatnya di lantai tujuh.

Aroma gerimis ini tak kalah wangi dengan Ekspresso dan Macchiato yang ada di gelas kita malam itu. Kau tahu, Jean, aku suka sekali hujan (kau pun demikian, kan?). Bagiku hujan membuat segalanya lebih ajaib....dan gaib.

Kau benar, Jean. Pandanganku tentangmu terjungkir 180 derajad. Ibarat cangkir kecil kopi kita yang harusnya berisi setengah saja, tetapi ternyata malah meluber ke bibir gelas.

Kau tahu, Bodoh? Kau memberiku banyak kegembiraan dan ketakutan pada waktu yang sama.

Dear Jean,

Yang mempertemukan kita adalah takdir. Tuhan menyelipkannya dalam matamu dan rasa ingin tahuku. Takdir itu membangun jembatan maya antara duniaku dan duniamu yang terpisah beratus-ratus kilometer. Dari sanalah pesan-pesan kita berpapasan. Saling mengenal. Mencurigai. Ingin tahu. Meraba-raba. 

Dan pada suatu pagi yang tenang aku sudah berlabuh di sini. 

Sejak pertama mata kita bertaut aku tahu kau menyimpan banyak hal. Dengan diantar pandangan mata itulah kita meleleh. Aku suka pandangan matamu, Jean. Kadang tajam. Kadang polos. Tapi yang pasti ia menyimpan sesuatu yang dalam. Rahasia.

Laut di luar sana meraung. Mungin badai akan datang. Langit sedikit-sedikit menggerutu. 

Ah, Jean. Seolah baru semenit lalu aku melewati katedral yang menghiasi kotamu. Aku ingat saat itu kau menggandengku dan – dengan cerdiknya – menipuku. Kau mengatakan katedral berkubah bulat putih yang ingin kulihat sudah dekat. Namun nyatanya, kau membawaku hampir mengelilingi seluruh kota. Lengkap dengan riak dan gelombang kehidupan yang berserakan di kanan-kirinya.

Jean, …. Kau tahu mimpi itu dibuat dari apa?

Bangunan mimpi itu dibuat dari harapan dan spekulasi, Jean. Mimpi kita – mimpimu tepatnya, adalah apa yang menyadarkan bahwa sudut pandangku tentangmu selama ini mengabur (atau kau yang terlalu pandai menyembunyikan?). 

Jean, salah satu hal yang menghentikanku menyentuhmu adalah aku tak mau bangunan mimpi – yang rapuh itu – hancur!! 

Tapi, Tuhan selalu menyediakan teka-teki. Bukan begitu, Jean? Kita menyaksikan dengan mata kita sendiri bagaimana kita adalah hewan yang lapar. Gagasan tentang moralitas dan keanggunan tiba-tiba berubah menjadi monster yang berbalik ingin memakanku. 

Setan bermain melody yang merdu sekaligus membuat tuli. Dalam beberapa saat aku tahu ini terasa benar. 

“I just wanna know, I just wanna know,” itu yang kau bisikkan. 

Tapi, tiba-tiba aku sadar. Apa yang terjadi hanyalah gelombang rasa ingin tahumu. Gelombang dan emosi yang terlalu besar. Kesepianmu. Kebutuhan untuk didengar.

Ketika hujan malam itu barulah aku tahu engkau bukan lagi yang kukenal lima jam sebelumnya. Kau adalah friksi dan mistisme. 

Dear Jean,

Kau ingat percakapan kita di ruang gelap? Saat aku katakan ingin melihatmu sepuluh tahun lagi?

Mungkin, ketika hari itu itu tiba, kita bukanlah dua orang yang tersesat. Mungkin kau bukan lagi perempuan yang memakai flat shoes atau membawa kipas plastik, tissue bayi dan parfum coklat. Satu dekade nanti apakah kau akan melihatku sama seperti saat pertama kita bertemu?

Oh, Jean...

Laut semakin marah. Tiba-tiba aku merasa Poseidon akan datang dan meluluhlantakkan rumahku. 


Shalom.

Chairil.

***

Minggu, 01 November 2015

Zarathustra dan Minat Baca


Konon, pada suatu hari di sekitar Jl. Juanda Jakarta, Asrul Sani dan Chairil Anwar tengah memasuki salah satu toko buku dengan koleksi luar biasa. Dari sekian koleksi itu yang menyita perhatian Si Binatang Jalang adalah Zarathustra. Maka, seperti kebiasaannya yang nyeleneh, Chairil berniat mencuri buku filsafat Nietzsche itu. Asrul Sani disuruhnya mengawasi penjaga toko sementara Chairil cepat-cepat mengantongi Zarathustra ke dalam saku celananya. Begitu meninggalkan toko buku Van Dorp terkejutlah mereka bahwa yang diambil ternyata adalah Injil.

*

Gagasan mencuri Zarathustra timbul dalam diri Chairil yang haus akan bahan bacaan. Sastrawan Angkatan 45 ini memang lebih doyan "makan" buku ketimbang nasi -- yang seolah semakin menguatkan citra bohemian dalam dirinya. Apa yang dilakukan Chairil seperti bentuk perlawanan. Buku tersedia. Minat membaca ada. Tapi harga buku tidak terjangkau. Chairil sendiri penyair yang tergolong kere. Maka hal tidak terpuji (tapi terasa heroik) tadi adalah jalan terjal yang harus dilalui agar hasrat menggali pengetahuan dapat dicapai. Walaupun akhirnya Tuhan guyon dengan menukar  buku filsafat itu dengan kitab suci Nasrani.

Hasrat membeli sebuah buku adalah karena ingin memuaskan dahaga. Rasa haus akan pengetahuan, dunia asing, kebudayaan bangsa-bangsa, hingga sekedar ingin menghibur diri. Jika memasuki salah satu toko dan penerbit buku tak terhitung bilangan jari buku-buku bertengger di rak-raknya. Bahkan Zarathustra yang melegenda itu pun masih dicetak ulang. Dan, tentu saja, dengan harga yang bisa membuat Chairil bangkit dari Karet dan berusaha mencurinya kembali.

Tapi, anak muda pengunjung toko buku bukanlah orang sejalang Chairil dalam hal berliterasi. Mereka tidak akan mencuri Zarathustra. Mungkin karena kebutuhan dan standard bacaan yang tidak selevel Chairil, atau karena pada hari-hari ini anak muda telah menetapkan standard bacaan kekinian (novel populer). Intinya tidak ada kode-kode dan gelagat mencurigakan untuk mencuri literatur yang makin hari makin mahal itu lalu merayakannya ketika lolos dari alat deteksi dan satpam toko.

Ada yang salah dengan masyarakat (yang mengaku) doyan membaca ini. Anda tidak terlalu menjaga moral untuk tidak mencuri buku yang Anda inginkan, kan?

Dari gelaran Frankfurt Book Fair 2015, sebuah komparasi mencengangkan ditemukan: Rasio melek huruf Indonesia diatas 90%, namun rasio minat baca hanya 1 per 1000. Hanya 1 dari 1000 orang yang membaca buku. Mengerikan. Minat membaca sangat rendah. Bandingkan dengan Frankfurt yang berpenduduk 700.000 orang, namun jumlah kunjungan ke perpustakaan mencapai 1,5 juta orang per tahun. Dan entah apa ada di antara mereka yang juga mencuri buku seperti Chairil.

Pak Anies Baswedan memang akan merancang kurikulum baru untuk menumbuhkan minat berliterasi. Namun, masalah tentu belum selesai di situ. Bagaimana mau membaca kalau gairahnya tidak menyala? Bagaimana mau memilili buku kalau harganya melangit? Oh, iya, ada perpustakaan. Eits, tapi buku itu ibarat kekasih, kan? Bagaimana mungkin Anda terus meminjam tanpa memiliki? Bagaimana mau memiliki kalau harga satu buku saja bisa untuk 3 kali makan? Dan, subhanAllah, untuk urusan literasi ini masyarakat kita sangat bermoral dan tidak pilih bentrok dengan kepolisian.

Bapak Menteri, buku-buku itu rindu dijumpai oleh orang seperti Chairil. Mungkin jika mereka punya mulut akan berkata: "Ayo, pilihlah aku! Bawa aku pulang." Tapi, puji Tuhan, masyarakat literasi kita sangat bermoral. Mungkin takut salah membawa pulang Buku Azab Kubur alih-alih Zarathustra.

***

Sabtu, 17 Oktober 2015

KALA

Ketika akan memasuki maghrib matahari yang sudah jingga bersusah payah mempertahankan sisa-sisa cahayanya agar tidak ditelan kegelapan. Jalanan kota ini tidak berbeda jauh dengan Jakarta atau Surabaya. Setiap orang seolah ingin lebih dahulu sampai di rumah demi secangkir kopi atau masakan yang sudah dipanaskan. Lampu-lampu di tepi jalan mulai menyala kuning dan dari langit yang ungu seolah-olah akan muncul mulut raksasa yang ingin menelan setiap kepala yang berkejaran di bawah gedung-gedung itu.

Saat itulah aku teringat Kala. Sosok misterius bertaring tajam dari zaman yang lebih tua dari nenek buyutku yang kisahnya tak putus-putus disampaikan dari generasi ke generasi. Kala selalu muncul bersamaan dengan tenggelamnya matahari. Telingaku kali pertama mendengar nama itu saat ibu menghardikku pada suatu maghrib agar pulang bermain dan menakut-nakuti kalau Kala akan memakanku karena berkeliaran di luar rumah.

“Masuk ke rumah, kalau nggak dimakan Kala nanti,” kata Ibu.

“Siapa Kala?”

“Orang jahat. 1000 kali lebih jahat dari Genderuwo.”

“Dan lebih seram?”

Ibu mengelus kepalaku. “Kau takkan bisa membayangkan seberapa tajam taringnya,” kata ibu sambil menutup selambu ruang tamu.

“Ibu pernah bertemu Kala?”

“Ibu kan anak perempuan dan nggak suka keluyuran kayak kamu ini. Jadi ibu selalu jadi anak baik yang diam di rumah,” katanya sambil menuntunku ke ruang makan, menuangkan teh dan menyiapkan makan malam.

Aku menatap tak percaya.

“Sampai kapan Kala mengincar anak-anak nakal, Bu?” tanyaku.

“Sampai anak itu cukup dewasa dan tidak nakal lagi,” jawabnya.

“Bagaimana kalau aku sudah dewasa dan aku masih nakal?”

Ibu tersenyum lelah padaku. “Kau takkan berani, coba saja.”

“Oh ya? Kenapa begitu?” tantangku.

“Kala suka ngremus mentah-mentah kepala anak nakal. Kau dengar? Mentah-mentah  Langsung dari ubun-ubunmu. Kau bahkan takkan punya kesempatan berteriak minta tolong.”

Begitulah, ibu akhirnya berhasil membuatku bergidik. Saat itu usiaku 8 tahun. Aku tak berani membayangkan seberapa tajam taring Kala saat meremukkan kepala bocah sepertiku. Karena itulah kemudian saat matahari sudah menandakan akan tenggelam aku berlari pulang cepat-cepat.

Sampai aku cukup akil baligh ditandai dengan berkhitan pada usia 13 tahun, aku tak pernah sekalipun bertemu dengan Kala. Kata ibu, karena aku telah dikhitan dan patuh, Kala berhenti memata-mataiku. Aku dicoret dari daftarnya. Biarpun demikian, cerita tentang Kala tak berhenti dibicarakan. Anehnya lagi, cerita Kala selalu dituturkan oleh pihak perempuan dalam pohon keluarga dari pihak ibu. Nenek buyutku, nenekku, dan ibuku adalah yang turun temurun menuturkan kekejaman Kala kepada kami para lelaki. Entah ini semacam konspirasi atau apa, suatu hari aku memberanikan diri bertanya kepada ibu.

“Kenapa cuma perempuan yang tahu cerita soal Kala?”

Saat itu umurku 19 tahun dan sedang pulang berlibur dari studi di Bandung.

Ibu tertawa. “Kok kamu ingat cerita itu, Le? Kukira sudah nggak ingat lagi?"

“Yah, memang…” kataku ragu. “Hanya penasaran saja. Apa karena aku nggak punya kakak atau adik perempuan, jadi cerita Kala berhenti sampai di Ibu saja?”

“Kala nggak suka diceritakan dari mulut laki-laki, Le,” kata ibu pelan.

Aku mengamati garis-garis yang melintas di kening saat ibu mengatakan kalimat itu padaku. Beberapa helai uban menghiasi rambut di tepian pelipisnya.

“Kenapa? Gimana kalau aku tiba-tiba cerita soal Kala? Atau Mas Tirta, atau sepupu laki-laki lain cerita?”

“Ya nggak apa-apa, tapi ya nggak akan berhasil.”

“Nggak berhasil? Lho, kok gitu?”

Ibu melakukan kebiasaannya yang selalu saja membuatku masih terlihat kanak-kanak.

“Ya, Kala nggak akan datang. Dia itu cuma mau menampakkan diri kalau yang menceritakan kisahnya adalah perempuan,” jawabnya sambil mengusap kepalaku.

“Jadi ibu pernah lihat Kala?”

Ibu menggeleng. “Ibu sudah bilang, ibu itu anak perempuan. Nggak nakal dan bandel kayak anak lelaki.”

“Terus bagaimana Ibu tahu Kala itu ada dan dia melakukan semua perbuatan mengerikan itu?”

Ibu tersenyum. Memandangku lembut dari kaca mata bacanya.

“Ibu hanya percaya saja, Le. Kala-lah yang menjaga orang-orang seperti ibu, nenek, dan perempuan lain dalam keluarga kita.”

Aku tak mengerti apa maksud ibu. Pun enggan meneruskan keingintahuanku. Kala bagiku tersisa sebagai khayalan yang sengaja diciptakan untuk menakut-nakuti anak kecil. Belakangan, aku malah disibukkan oleh tugas-tugas. Kala tertimbun modul dan file-file kuliah yang seolah tiada habisnya. Lambat laun, aku semakin yakin bahwa skripsi dan job seeker adalah hal yang lebih menyita perhatian dan memakan tempat dalam kepalaku ketimbang cerita mistis keluarga. Akhirnya, Kala benar-benar punah ketika aku bertemu dengan Joseline.

Kini, di usiaku yang ada di pertengahan tiga puluhan dan Joseline sedang dalam kehamilan pertamanya, senja di kota ini mengembalikan ingatanku tentang Kala. Entah bagaimana nama kuno itu tiba-tiba datang menelusup ke sel otakku. Sesampainya di rumah, Joseline dengan usia kehamilan  3 bulannya nampak agak sebal saat aku lupa membelikan jus mangga yang sedari siang dia inginkan.

“Bawaan bayi nih, kok kamu lupa?” rajuknya.

Aku nyengir menahan rasa bersalah. “Maaf, tadi aku teringat sesuatu pas di jalan. Eh, tahu-tahu udah jauh dari tokonya.”

Joseline merengut menggigit bibirnya.

“Joseline, kamu pernah dengar soal Kala?” tanyaku.

Kami duduk di ruang makan dan sambil menuangkan kopi ia menjawab, “Kala? Film Joko Anwar?”

“Bukan. Kala, makhluk yang menculik anak nakal dan memakan kepala mereka.”

Joseline menggeleng. Tapi ia malah bertopang dagu memperhatikanku. Lalu aku berusaha mengumpulkan kembali cerita lama tentang Kala. Joseline tak kusangka menikmati cerita itu dan melupakan ngidam jus mangganya. Sesekali ia menelengkan kepala ketika mendengar cerita tak masuk akal yang kusampaikan.

“Kala, kata ibuku, hanya diceritakan oleh para perempuan. Kata ibu, Kala yang menjaga perempuan-perempuan dalam keluargaku.”

“Maksudnya?” tanya Joseline mengernyit.

“Entahlah,” kataku mengangkat bahu. “Tapi nanti,” lanjutku seraya mengelus perut Joseline, “aku nggak mau Kala memakan anak kita.”

“Kamu terlalu lelah, Dear. Mandilah sana, lalu kita ceritakan hal lain.”

Aku terdiam. “Tapi, Dear, “ kataku kemudian, “…maukah kau nanti menceritakan soal Kala kepada anak kita?”

Joseline memandangku heran. “Ya,” katanya akhirnya, “Kala the warrior princess.”

“Tapi dia laki-laki,” bantahku.

“Tapi kau, bahkan ibumu, tak pernah bilang soal gender, kan? Bagaimana kalau dia perempuan?”

Aku terlalu capek untuk membahas ini lebih jauh. Lagipula aku tak punya bahan. Sampai pada suatu subuh yang dingin  serbuan telepon dari ibu di handphone membangunkanku.

Le, ibu coba hubungi kamu tapi nggak ada jawaban. Syukur, Le, yang ini kamu angkat,” kata ibu cemas.

“Yah?” tanyaku menggeliat. “Kenapa, Bu? Ini baru jam 4 pagi.”

Joseline pelan-pelan mengucek matanya yang masih layu.

“Kala mengejarmu, Le.”

Kecemasan itu masih terdengar dari suaranya. Missed calls di handphone tercatat 8 kali.

“Siapa? Bagaimana?”

“Kala mengejarmu, Le. Cepatlah pulang."

“Apa yang ibu katakan?” tanyaku. "Aku nggak apa-apa, kok. Tenang, Bu."

Lampu kamar menyala. Joseline nampak bingung dan khawatir.

“Kala akan memakanmuApa yang kamu lakukan, Le? Kenapa Kala datang dalam mimpi ibu dan mau memakanmu.”

“Aku nggak lakukan apa-apa. Ayolah, Bu, ini masih pagi dan ibu meracau,” keluhku.

“Ibu nggak meracau. Ini soal kamu, ibu mesti memperingatkan!”

Aku memegang tengkukku.

“Bu… Kala itu nggak ada. Itu cuma dongeng. Oh, Bu, maafkan aku, tapi aku nggak percaya lagi sama Kala.”

Aku tak mendengar suara. Nafas ibu seperti halus merambat melalui rongga udara telepon. Ini masih pukul 04.15 dan aku belum bisa berpikir rasional. Keheningan memakan kami bertiga. Suara ibu tidak lagi menandakan cemas. Suara itu kini bergetar seperti suara ketika ia mengabarkan bahwa ayah tidak akan pulang karena pertengkaran hebat yang takkan aku mengerti di usia anak SD. Seperti ketika ibu dengan lirih mengatakan bahwa ayah meninggalkan kami karena perempuan lain yang merasuki hatinya. Persis ketika pada suatu maghrib yang hening, ibu memelukku dan berbisik bahwa ayah tidak selamat dalam kecelakaan pesawat yang menerbangkannya ke Jakarta.

Sambungan telepon itu terputus. Joseline membelai lembut pipiku.

“Kenapa, Dear?”

“Bukan apa-apa,” jawabku lelah.

Joseline tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia menyelimuti tubuhku lalu merebahkan kepalanya di dadaku. Saat itulah aku merasa tubuhku lemas seperti kekurangan cairan. Bayangan asing bertaring yang telah terkubur itu kembali menebar teror. Sambil mengelap rambut Joseline dan keningnya yang lembab, kuteringat bagaimana pada senja kemarin aku menelepon istriku di Surabaya dan berbohong mengatakan bahwa penugasanku di Bandung diperpanjang dan baru akan kembali minggu depan.
Tiba-tiba, samar-samar, aku teringat apa yang ibu bisikkan pada malam hari ketika ayah pergi:

“Kala selalu melindungi perempuan-perempuan keluarga kita, Le. Kini Kala memakan ayahmu.”

***