Selasa, 01 Maret 2016

Proletarier aller Länder vereinigt Euch


Proletarier aller Länder vereinigt Euch --

Kalimat yang ditemukan dalam Manifesto Komunis (1848) oleh Karl Marx dan Engels di atas adalah seruan bagi para buruh (kaum proletar) di seluruh negeri untuk bersatu. Untuk melawan.

*

Andai saja Marx pada saat sidang Partai Komunis tahun 1848 berhalangan hadir karena asyik nonton Dangdut Academy, dan Frederich Engels ketiduran karena saking bosannya melihat permainan Manchester United; maka kita tidak akan menjumpai Henk Sneevliet berjalan-jalan di bumi Nusantara menenteng buku Das Capital dan pamflet-pamflet merah Marxisme.

Jika Sneevliet tidak menenteng Das Capital lalu bertamu ke kediaman Tjokroaminoto dan meracuni Serikat Islam sehingga membelahnya menjadi dua polar yang putih dan merah; maka kita hari ini bisa santai saja menghadapi lawakan status Facebook si penulis terkenal yang namanya mirip penyanyi "Awal yang Indah" itu.

Tapi, Tuhan agaknya sedang ingin bercanda dengan masyarakat Indonesia yang lucu-lucu ini. Tentu bercandanya Tuhan punya tujuan (yang bisa dipastikan) baik.

Begitulah, ketika Mas Penulis kita ini mengatakan tidak ada pahlawan pejuang kemerdekaan Indonesia yang menganut ideologi komunis, liberalis, dan sosialis, saya ngeri membayangkan betapa malangnya nasib Tan Malaka ketika beliau tidak bisa membela jargonnya sendiri: "Di dalam kubur suaraku akan lebih nyaring didengar."

Mohon maaf Tuan Malaka, tapi boro-boro didengar, suara panjenengan sudah kalah oleh zaman yang dikuasi Retweet dan Like. Suara Tuan Malaka bukan lagi mungsret, bahkan bisa jadi dituduh ketinggalan zaman. Kalau sudah demikian, Bapak Malaka tidak perlu baper kalau hari ini kami tidak ingat njenengan sebagai pejuang muslim yang simpatik pada sosialisme. Tidak perlu kami tahu kalau Tan Malaka berlayar berpuluh-puluh hari demi menghadiri sidang Komite Central Komunis di Soviet untuk mengenalkan Pan Islamisme di negeri yang sedang dijajah kolonial Belanda.

Gagasan Pan Islamisme yang ditawarkan dalam sidang Komunis mementingkan perlunya dukungan kamerad terhadap perjuangan muslim di Nusantara. Bagaimanapun, semangat orang-orang miskin dan tertindas melawan tirani adalah sama halnya dengan spirit sosialisme yang menekankan kesetaraan. Proletarier aller Länder vereinigt Euch.

Tapi, yah, buat apa?

Wong menurut Mas Penulis kita ini para sosialis tidak punya peran dalam catatan sejarah kemerdekaan, kok. Padahal dalam ingatan kami yang samar, Tan Malaka anti benar kolonialisme. Kalau Syahrir (ah, perlu diingat juga kah penganut sosialisme satu ini?), Hatta, dan Soekarno sendiri lebih memilih pendekatan dialog, Tuan Malaka justru senang bergerilya dengan senapan.

Tapi Tan Malaka nggak perlu minder. Panjenengan banyak rewangnya. Nanti di alam sana cobalah silaturahim ke rumah Tjokroaminoto, Pramoedya, Kartosuwiryo, atau Soekarno. Barangkali, kalau mereka tahu situasi sosmed terkini, -- Soekarno mungkin --- akan nyegat Malaikat Jibril dan nitip manual book Nasakom untuk digetokkan ke jidat Mas Penulis kita.

*

Tapi ya namanya Tuhan lagi guyon, ya kita ikuti saja fitrahnya untuk tertawa. Gagasan ideologi manapun selalu punya potensi disimpangkan. Termasuk agama (baik secara institusi atau ajaran).

Sumonggo, panjenengan tidak setuju komunisme gaya Semaoen. Emoh tenan ke sikap liberalnya Goenawan Muhammad. Demokrasi, kok. Tapi ya mbok jangan dihantam kromo ahistoris begitu.

Menurut njenengan, apakah ulama sekaliber KH. Ahmad Dahlan saat mengubah arah shaff masjid agung Jogja agar sudutnya pas mengarah ke Kakbah tidak disebut liberal (dan radikal)? Apakah Haji Misbach yang ikut Serikat Islam Merah tidak religius?

Bagusnya, alhamdulillah, Mas Penulis kita juga mengingatkan agar jangan terlena paham luar dan lupa kearifan lokal Nusantara. Ini keren, tapi sayangnya saya belum sempat mention-kan ke Front Nganu Itu yang agaknya mau mengikis kearifan lokal Nusantara menjadi serupa kearifan lokal negeri padang pasir.

*

Jadi, untunglah Marx dan Engels hadir on time di rapat tahun 1848 itu. Akibatnya Manifesto bagi para buruh marjinal agar bersatu minimal bisa kita dengar hari ini. Dan, kalau nanti Mas Penulis kita mau ikut demo menentang tirani dan ketimpangan sosial, jangan sungkan berteriak: "Proletarier aller Länder vereinigt Euch."

Toh, panjenengan juga buruh bagi industri perbukuan, kan?

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar