Sabtu, 09 Januari 2016

Sastra yang Menarik



Apa yang menjadikan sastra menarik?


Tentu akan banyak sekali pandangan dari pertanyaan di atas. Lagipula, bagaimana standard sastra bisa menarik? Dari ceritanya? Penjualannya? Karena menjadi topik diskursus atau diadaptasi menjadi film layar lebar?

Sastra, bacaan yang baik, adalah sastra yang membuat pembacanya "hidup" di dalamnya. Merasai apa yang dirasakan para tokohnya. Mendengar apa yang mereka dengar. Turut mengalami sepi atau hingar bingar di sekeliling mereka. Ibaratnya, bacaan sastra yang baik, seolah membicarakan kisah kita sendiri. Sastra dikatakan berhasil jika ia bukan fiksi yang sekedar hadir dalam imajinasi atau selingan sambil minum kopi di hari Minggu, tapi mampu membawa pembacanya merenung dan berpikir ketika telah menyelesaikan titik terakhir.

Sastra adalah pesan. Pesan itu baru bernilai ketika si penerima tidak apatis terhadap isinya. Tentu saja kandungan nilai dalam pesan bisa berbeda-beda. Novel “Amba” karya Laksmi Pamuntjak, misalnya, membawa kita kembali kepada pernak-pernik Indonesia pada tahun 1965. Laksmi membawa kita bernostalgia ketika komunis baru tumbuh lalu mencoba menjadi bagian dari negara yang baru saja lahir. Melalui Amba dan Bhisma, Laksmi mengajak pembaca melihat kejatuhan paham bawaan Soviet – yang sekaligus menjadikan para simpatisan (atau dianggap simpatisan) partai kiri itu disingkirkan. Diasingkan sebagai tahanan politik di Pulau Buru dan harus “bekerja” untuk membangun pulau itu dengan “bonus” penyakit dan kehilangan kebebasan. Laksmi mengajak mengilas balik sejarah lewat sastra dan “meramaikan” tanda tanya penting di balik tragedi kemanusiaan di Indonesia: sudah siapkah bangsa ini membuka dan mengkaji kembali lembaran penuh tanda tanya dalam sejarah mereka sendiri?

Sastra membentuk pertanyaan dan perubahan. Pertanyaan tentang korelasi yang tertuang di alam fiksi dengan realita. Setelah terbentuk pertanyaan dan paradigma, mampukah ia menjadikan pembacanya “bergeser” dari tempatnya berdiri saat ini?

“Bergeser” ini pun bermakna bahwa membaca sastra adalah cara “melunakkan” hati. Sastra membawa sebuah dunia yang sebelumnya belum dijamah. Pengalaman-pengalaman. Sudut pandang tentang sesuatu hal yang sudah atau bahkan belum pernah diketahui. Dari situlah sastra menjadi obat agar hati tidak kaku menerima realita kebudayaan di dunia yang tak selalu sesuai dengan kaca mata kita.

Pesan sastra tidak tentang benar atau salah. Pembaca bisa menarik paradigma tentang dua kutub itu dari perbandingan pengalaman pribadi dan kandungan bacaan. Ramayana versi India maupun Jawa mainstream-nya menghadirkan Rahwana sebagai tokoh yang bersalah karena menculik istri Rama. Namun dalam novel musikal Rahvayana (1 dan 2), Sudjiwo Tejo mencoba membela Rahwana dengan mengajak pembaca tidak terjebak dalam polarisasi hitam-putih. Sudjiwo Tejo sendiri dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Rahwana adalah laku dari kandungan sastra tertinggi, yakni Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Menurutnya, label benar-salah itu sejatinya tidak ada. Hidup adalah paradoks. Tuhan sendirilah yang mengizinkan seorang supir bus dihibur lelahnya oleh pelacur Pantura saat mengantar beras yang mana beras itu nanti akhirnya dinikmati bahkan oleh mereka yang menjunjung etika dan moral.

Ah, sudahlah. Ambil saja buku sastra yang bagus, lalu mulailah masuk ke kehidupan orang lain.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar