Apa yang menjadikan
sastra menarik?
Tentu akan banyak
sekali pandangan dari pertanyaan di atas. Lagipula, bagaimana standard sastra
bisa menarik? Dari ceritanya? Penjualannya? Karena
menjadi topik diskursus atau diadaptasi menjadi film layar lebar?
Sastra, bacaan yang
baik, adalah sastra yang membuat pembacanya "hidup"
di dalamnya. Merasai apa yang dirasakan para tokohnya. Mendengar apa yang
mereka dengar. Turut mengalami sepi atau hingar bingar di sekeliling
mereka. Ibaratnya, bacaan sastra yang baik, seolah membicarakan
kisah kita sendiri. Sastra dikatakan berhasil jika ia bukan fiksi yang sekedar
hadir dalam imajinasi atau selingan sambil minum kopi di hari Minggu, tapi
mampu membawa pembacanya merenung dan berpikir ketika telah menyelesaikan titik
terakhir.
Sastra adalah pesan. Pesan itu baru bernilai ketika si penerima tidak
apatis terhadap isinya. Tentu saja kandungan nilai dalam pesan bisa berbeda-beda.
Novel “Amba” karya Laksmi Pamuntjak, misalnya, membawa kita kembali kepada pernak-pernik
Indonesia pada tahun 1965. Laksmi membawa kita bernostalgia ketika komunis baru
tumbuh lalu mencoba menjadi bagian dari negara yang baru saja lahir. Melalui
Amba dan Bhisma, Laksmi mengajak pembaca melihat kejatuhan paham bawaan Soviet –
yang sekaligus menjadikan para simpatisan (atau dianggap simpatisan) partai
kiri itu disingkirkan. Diasingkan sebagai tahanan politik di Pulau Buru dan
harus “bekerja” untuk membangun pulau itu dengan “bonus” penyakit dan
kehilangan kebebasan. Laksmi mengajak mengilas balik sejarah lewat sastra dan “meramaikan”
tanda tanya penting di balik tragedi kemanusiaan di Indonesia: sudah siapkah
bangsa ini membuka dan mengkaji kembali lembaran penuh tanda tanya dalam
sejarah mereka sendiri?
Sastra membentuk pertanyaan dan perubahan. Pertanyaan tentang korelasi yang
tertuang di alam fiksi dengan realita. Setelah terbentuk pertanyaan dan
paradigma, mampukah ia menjadikan pembacanya “bergeser” dari tempatnya berdiri
saat ini?
“Bergeser” ini pun bermakna bahwa membaca sastra adalah cara “melunakkan”
hati. Sastra membawa sebuah dunia yang sebelumnya belum dijamah. Pengalaman-pengalaman.
Sudut pandang tentang sesuatu hal yang sudah atau bahkan belum pernah diketahui.
Dari situlah sastra menjadi obat agar hati tidak kaku menerima realita kebudayaan
di dunia yang tak selalu sesuai dengan kaca mata kita.
Pesan sastra tidak tentang benar atau salah. Pembaca bisa menarik
paradigma tentang dua kutub itu dari perbandingan pengalaman pribadi dan
kandungan bacaan. Ramayana versi India maupun Jawa mainstream-nya menghadirkan Rahwana
sebagai tokoh yang bersalah karena menculik istri Rama. Namun dalam novel
musikal Rahvayana (1 dan 2), Sudjiwo Tejo mencoba membela Rahwana dengan
mengajak pembaca tidak terjebak dalam polarisasi hitam-putih. Sudjiwo Tejo sendiri
dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Rahwana adalah
laku dari kandungan sastra tertinggi, yakni Sastrajendra Hayuningrat
Pangruwating Diyu. Menurutnya, label benar-salah itu sejatinya tidak ada. Hidup
adalah paradoks. Tuhan sendirilah yang mengizinkan seorang supir bus dihibur
lelahnya oleh pelacur Pantura saat mengantar beras yang mana beras itu nanti akhirnya
dinikmati bahkan oleh mereka yang menjunjung etika dan moral.
Ah, sudahlah. Ambil saja buku sastra yang bagus,
lalu mulailah masuk ke kehidupan orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar