Malam itu bulan duduk dengan anggun di atas gedung-gedung sombong yang berpendaran beragam warna. Kota ini tidak pernah mengantuk, apalagi tertidur. Saat lampu-lampu di dinding hotel, mall, dan apartemen bergairah menarik pundi-pundi uang dan pelampiasan dari celana penduduk kota, aku tengah menikmatinya dari sebuah balkon lantai 4 kantorku.
Ketika Umar Kayam memperkenalkan Jane, Marno, dan New York pada tahun 1972, kukira kota yang terkenal dengan Central Park-nya itu telah menginspirasi ratusan kota lain untuk tidak naik ranjang dan tidur terlalu cepat. Bahkan, dalam perjalanannya, ia menjungkirkan kodrat alam dengan melarang malam untuk mengistirahatkan raga dan jiwa manusia.
Begitulah, kini, 44 tahun kemudian, di Hongkong, Dubai, Taipei, bahkan Jakarta telah terjangkit insomnia komunal. Kunang-kunang Kayam di Manhattan hijrah ke belahan bumi lain. Hewan dengan suar senoktah itu kini merubung Burj Khalifa di Dubai, kasino di Taipei, dan gedung-gedung mewah Jakarta. Tentu saja, ketika melihat itu dengan kretek sisa setengah dan kesepian yang normal, aku menerima kenyataan bahwa kota ini telah dijejali oleh Jane, Marno, atau Madame Schlitzs. Dan Sang Raksasa dengan mulutnya yang selalu lapar menelan mereka satu demi satu.
Dengan dramatis, mau tak mau aku teringat suasana di kampung 20 tahun lalu yang rumah-rumahnya hanya diterangi listrik 450 Watt serta suara mengkerik jangkrik. Saat jam menunjukkan pukul 23
alam terdengar hening dan khidmat. Esok subuh penduduk akan saling salam menuju surau. Dan dengan alaminya kekeluargaan itu datang tanpa diminta.
Tapi, jika kau bersamaku malam ini, maka kita akan tak saling mengenal untuk hal yang remeh sekalipun. Kita secara alami terikat dengan individualisme, kekosongan jiwa, dan rasa takut kesepian yang -- Demi Tuhan! -- diam-diam menggerogoti. Seperti kanker. Atau virus. Dan sudut-sudut gemerlap di kangkangan Tugu Obelisk inilah resep dokter yang diberikan kepada kami setiap hari. Untuk merayakan kekecewaan dan kekalahan.
Ketika angin datang kau bisa segera mencium bau kota ini. Aroma kapitalisme. Jangan tanya bagaimana pengap dan busuknya perkampungan kelas bawah yang hanya sanggup termangu melihat tayangan Burj Khalifa di TV karena mereka sudah terlanjur cinta dan tak sanggup berlari. Di balik selimut dan tajamnya udara yang menerobos dinding triplek, mereka merenda angan suatu hari gemerlap hedonisme akan datang di pintu rumah mereka.
Hari ini, aku telah menjadi Jane yang dimakan Sang Raksasa. Sebagaimana pengalaman Kayam di New York, hari ini pun aku telah merasakan kebudayaan kota ini bukanlah kebudayaan yang sehat. Dan dengan menyedihkan harus kuakui bahwa lama-kelamaan virus kota ini akan menjalar ke seluruh negeri. Orang takkan tertarik lagi mengenal satu sama lain. Seperti di Dubai, New York, atau Jakarta. Semua terikat dengan pagi yang terburu-buru dan malam yang tak membuat tidur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar