Senin, 16 November 2015

Dear Jean Louise ...


Parang Tritis, Jogjakarta
22 Mei 1997



Dear Jean Louise,

Ketika aku menulis surat ini dari sebuah rumah yang menghadap laut, aku telah berada berkilo-kilometer dari tempat tinggalmu. Gerimis belum berhenti turun dari langit yang semakin abu-abu pekat. Gerimis yang semakin tajam sejak kali pertama kita melihatnya dari balkon La Fave. Tepatnya di lantai tujuh.

Aroma gerimis ini tak kalah wangi dengan Ekspresso dan Macchiato yang ada di gelas kita malam itu. Kau tahu, Jean, aku suka sekali hujan (kau pun demikian, kan?). Bagiku hujan membuat segalanya lebih ajaib....dan gaib.

Kau benar, Jean. Pandanganku tentangmu terjungkir 180 derajad. Ibarat cangkir kecil kopi kita yang harusnya berisi setengah saja, tetapi ternyata malah meluber ke bibir gelas.

Kau tahu, Bodoh? Kau memberiku banyak kegembiraan dan ketakutan pada waktu yang sama.

Dear Jean,

Yang mempertemukan kita adalah takdir. Tuhan menyelipkannya dalam matamu dan rasa ingin tahuku. Takdir itu membangun jembatan maya antara duniaku dan duniamu yang terpisah beratus-ratus kilometer. Dari sanalah pesan-pesan kita berpapasan. Saling mengenal. Mencurigai. Ingin tahu. Meraba-raba. 

Dan pada suatu pagi yang tenang aku sudah berlabuh di sini. 

Sejak pertama mata kita bertaut aku tahu kau menyimpan banyak hal. Dengan diantar pandangan mata itulah kita meleleh. Aku suka pandangan matamu, Jean. Kadang tajam. Kadang polos. Tapi yang pasti ia menyimpan sesuatu yang dalam. Rahasia.

Laut di luar sana meraung. Mungin badai akan datang. Langit sedikit-sedikit menggerutu. 

Ah, Jean. Seolah baru semenit lalu aku melewati katedral yang menghiasi kotamu. Aku ingat saat itu kau menggandengku dan – dengan cerdiknya – menipuku. Kau mengatakan katedral berkubah bulat putih yang ingin kulihat sudah dekat. Namun nyatanya, kau membawaku hampir mengelilingi seluruh kota. Lengkap dengan riak dan gelombang kehidupan yang berserakan di kanan-kirinya.

Jean, …. Kau tahu mimpi itu dibuat dari apa?

Bangunan mimpi itu dibuat dari harapan dan spekulasi, Jean. Mimpi kita – mimpimu tepatnya, adalah apa yang menyadarkan bahwa sudut pandangku tentangmu selama ini mengabur (atau kau yang terlalu pandai menyembunyikan?). 

Jean, salah satu hal yang menghentikanku menyentuhmu adalah aku tak mau bangunan mimpi – yang rapuh itu – hancur!! 

Tapi, Tuhan selalu menyediakan teka-teki. Bukan begitu, Jean? Kita menyaksikan dengan mata kita sendiri bagaimana kita adalah hewan yang lapar. Gagasan tentang moralitas dan keanggunan tiba-tiba berubah menjadi monster yang berbalik ingin memakanku. 

Setan bermain melody yang merdu sekaligus membuat tuli. Dalam beberapa saat aku tahu ini terasa benar. 

“I just wanna know, I just wanna know,” itu yang kau bisikkan. 

Tapi, tiba-tiba aku sadar. Apa yang terjadi hanyalah gelombang rasa ingin tahumu. Gelombang dan emosi yang terlalu besar. Kesepianmu. Kebutuhan untuk didengar.

Ketika hujan malam itu barulah aku tahu engkau bukan lagi yang kukenal lima jam sebelumnya. Kau adalah friksi dan mistisme. 

Dear Jean,

Kau ingat percakapan kita di ruang gelap? Saat aku katakan ingin melihatmu sepuluh tahun lagi?

Mungkin, ketika hari itu itu tiba, kita bukanlah dua orang yang tersesat. Mungkin kau bukan lagi perempuan yang memakai flat shoes atau membawa kipas plastik, tissue bayi dan parfum coklat. Satu dekade nanti apakah kau akan melihatku sama seperti saat pertama kita bertemu?

Oh, Jean...

Laut semakin marah. Tiba-tiba aku merasa Poseidon akan datang dan meluluhlantakkan rumahku. 


Shalom.

Chairil.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar