Konon, pada suatu hari di sekitar Jl. Juanda Jakarta, Asrul Sani dan Chairil Anwar tengah memasuki salah satu toko buku dengan koleksi luar biasa. Dari sekian koleksi itu yang menyita perhatian Si Binatang Jalang adalah Zarathustra. Maka, seperti kebiasaannya yang nyeleneh, Chairil berniat mencuri buku filsafat Nietzsche itu. Asrul Sani disuruhnya mengawasi penjaga toko sementara Chairil cepat-cepat mengantongi Zarathustra ke dalam saku celananya. Begitu meninggalkan toko buku Van Dorp terkejutlah mereka bahwa yang diambil ternyata adalah Injil.
*
Gagasan mencuri Zarathustra timbul dalam diri Chairil yang haus akan bahan bacaan. Sastrawan Angkatan 45 ini memang lebih doyan "makan" buku ketimbang nasi -- yang seolah semakin menguatkan citra bohemian dalam dirinya. Apa yang dilakukan Chairil seperti bentuk perlawanan. Buku tersedia. Minat membaca ada. Tapi harga buku tidak terjangkau. Chairil sendiri penyair yang tergolong kere. Maka hal tidak terpuji (tapi terasa heroik) tadi adalah jalan terjal yang harus dilalui agar hasrat menggali pengetahuan dapat dicapai. Walaupun akhirnya Tuhan guyon dengan menukar buku filsafat itu dengan kitab suci Nasrani.
Hasrat membeli sebuah buku adalah karena ingin memuaskan dahaga. Rasa haus akan pengetahuan, dunia asing, kebudayaan bangsa-bangsa, hingga sekedar ingin menghibur diri. Jika memasuki salah satu toko dan penerbit buku tak terhitung bilangan jari buku-buku bertengger di rak-raknya. Bahkan Zarathustra yang melegenda itu pun masih dicetak ulang. Dan, tentu saja, dengan harga yang bisa membuat Chairil bangkit dari Karet dan berusaha mencurinya kembali.
Tapi, anak muda pengunjung toko buku bukanlah orang sejalang Chairil dalam hal berliterasi. Mereka tidak akan mencuri Zarathustra. Mungkin karena kebutuhan dan standard bacaan yang tidak selevel Chairil, atau karena pada hari-hari ini anak muda telah menetapkan standard bacaan kekinian (novel populer). Intinya tidak ada kode-kode dan gelagat mencurigakan untuk mencuri literatur yang makin hari makin mahal itu lalu merayakannya ketika lolos dari alat deteksi dan satpam toko.
Ada yang salah dengan masyarakat (yang mengaku) doyan membaca ini. Anda tidak terlalu menjaga moral untuk tidak mencuri buku yang Anda inginkan, kan?
Dari gelaran Frankfurt Book Fair 2015, sebuah komparasi mencengangkan ditemukan: Rasio melek huruf Indonesia diatas 90%, namun rasio minat baca hanya 1 per 1000. Hanya 1 dari 1000 orang yang membaca buku. Mengerikan. Minat membaca sangat rendah. Bandingkan dengan Frankfurt yang berpenduduk 700.000 orang, namun jumlah kunjungan ke perpustakaan mencapai 1,5 juta orang per tahun. Dan entah apa ada di antara mereka yang juga mencuri buku seperti Chairil.
Pak Anies Baswedan memang akan merancang kurikulum baru untuk menumbuhkan minat berliterasi. Namun, masalah tentu belum selesai di situ. Bagaimana mau membaca kalau gairahnya tidak menyala? Bagaimana mau memilili buku kalau harganya melangit? Oh, iya, ada perpustakaan. Eits, tapi buku itu ibarat kekasih, kan? Bagaimana mungkin Anda terus meminjam tanpa memiliki? Bagaimana mau memiliki kalau harga satu buku saja bisa untuk 3 kali makan? Dan, subhanAllah, untuk urusan literasi ini masyarakat kita sangat bermoral dan tidak pilih bentrok dengan kepolisian.
Bapak Menteri, buku-buku itu rindu dijumpai oleh orang seperti Chairil. Mungkin jika mereka punya mulut akan berkata: "Ayo, pilihlah aku! Bawa aku pulang." Tapi, puji Tuhan, masyarakat literasi kita sangat bermoral. Mungkin takut salah membawa pulang Buku Azab Kubur alih-alih Zarathustra.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar