Ketika akan memasuki maghrib matahari yang sudah jingga bersusah payah mempertahankan sisa-sisa cahayanya agar tidak ditelan kegelapan. Jalanan kota ini tidak berbeda jauh dengan Jakarta atau Surabaya. Setiap orang seolah ingin lebih dahulu sampai di rumah demi secangkir kopi atau masakan yang sudah dipanaskan. Lampu-lampu di tepi jalan mulai menyala kuning dan dari langit yang ungu seolah-olah akan muncul mulut raksasa yang ingin menelan setiap kepala yang berkejaran di bawah gedung-gedung itu.
Saat itulah aku teringat Kala. Sosok misterius bertaring tajam dari zaman yang lebih tua dari nenek buyutku yang kisahnya tak putus-putus disampaikan dari generasi ke generasi. Kala selalu muncul bersamaan dengan tenggelamnya matahari. Telingaku kali pertama mendengar nama itu saat ibu menghardikku pada suatu maghrib agar pulang bermain dan menakut-nakuti kalau Kala akan memakanku karena berkeliaran di luar rumah.
“Masuk ke rumah, kalau nggak dimakan Kala nanti,” kata Ibu.
“Siapa Kala?”
“Orang jahat. 1000 kali lebih jahat dari Genderuwo.”
“Dan lebih seram?”
Ibu mengelus kepalaku. “Kau takkan bisa membayangkan seberapa tajam taringnya,” kata ibu sambil menutup selambu ruang tamu.
“Ibu pernah bertemu Kala?”
“Ibu kan anak perempuan dan nggak suka keluyuran kayak kamu ini. Jadi ibu selalu jadi anak baik yang diam di rumah,” katanya sambil menuntunku ke ruang makan, menuangkan teh dan menyiapkan makan malam.
Aku menatap tak percaya.
“Sampai kapan Kala mengincar anak-anak nakal, Bu?” tanyaku.
“Sampai anak itu cukup dewasa dan tidak nakal lagi,” jawabnya.
“Bagaimana kalau aku sudah dewasa dan aku masih nakal?”
Ibu tersenyum lelah padaku. “Kau takkan berani, coba saja.”
“Oh ya? Kenapa begitu?” tantangku.
“Kala suka ngremus mentah-mentah kepala anak nakal. Kau dengar? Mentah-mentah Langsung dari ubun-ubunmu. Kau bahkan takkan punya kesempatan berteriak minta tolong.”
Begitulah, ibu akhirnya berhasil membuatku bergidik. Saat itu usiaku 8 tahun. Aku tak berani membayangkan seberapa tajam taring Kala saat meremukkan kepala bocah sepertiku. Karena itulah kemudian saat matahari sudah menandakan akan tenggelam aku berlari pulang cepat-cepat.
Sampai aku cukup akil baligh ditandai dengan berkhitan pada usia 13 tahun, aku tak pernah sekalipun bertemu dengan Kala. Kata ibu, karena aku telah dikhitan dan patuh, Kala berhenti memata-mataiku. Aku dicoret dari daftarnya. Biarpun demikian, cerita tentang Kala tak berhenti dibicarakan. Anehnya lagi, cerita Kala selalu dituturkan oleh pihak perempuan dalam pohon keluarga dari pihak ibu. Nenek buyutku, nenekku, dan ibuku adalah yang turun temurun menuturkan kekejaman Kala kepada kami para lelaki. Entah ini semacam konspirasi atau apa, suatu hari aku memberanikan diri bertanya kepada ibu.
“Kenapa cuma perempuan yang tahu cerita soal Kala?”
Saat itu umurku 19 tahun dan sedang pulang berlibur dari studi di Bandung.
Ibu tertawa. “Kok kamu ingat cerita itu, Le? Kukira sudah nggak ingat lagi?"
“Yah, memang…” kataku ragu. “Hanya penasaran saja. Apa karena aku nggak punya kakak atau adik perempuan, jadi cerita Kala berhenti sampai di Ibu saja?”
“Kala nggak suka diceritakan dari mulut laki-laki, Le,” kata ibu pelan.
Aku mengamati garis-garis yang melintas di kening saat ibu mengatakan kalimat itu padaku. Beberapa helai uban menghiasi rambut di tepian pelipisnya.
“Kenapa? Gimana kalau aku tiba-tiba cerita soal Kala? Atau Mas Tirta, atau sepupu laki-laki lain cerita?”
“Ya nggak apa-apa, tapi ya nggak akan berhasil.”
“Nggak berhasil? Lho, kok gitu?”
Ibu melakukan kebiasaannya yang selalu saja membuatku masih terlihat kanak-kanak.
“Ya, Kala nggak akan datang. Dia itu cuma mau menampakkan diri kalau yang menceritakan kisahnya adalah perempuan,” jawabnya sambil mengusap kepalaku.
“Jadi ibu pernah lihat Kala?”
Ibu menggeleng. “Ibu sudah bilang, ibu itu anak perempuan. Nggak nakal dan bandel kayak anak lelaki.”
“Terus bagaimana Ibu tahu Kala itu ada dan dia melakukan semua perbuatan mengerikan itu?”
Ibu tersenyum. Memandangku lembut dari kaca mata bacanya.
“Ibu hanya percaya saja, Le. Kala-lah yang menjaga orang-orang seperti ibu, nenek, dan perempuan lain dalam keluarga kita.”
Aku tak mengerti apa maksud ibu. Pun enggan meneruskan keingintahuanku. Kala bagiku tersisa sebagai khayalan yang sengaja diciptakan untuk menakut-nakuti anak kecil. Belakangan, aku malah disibukkan oleh tugas-tugas. Kala tertimbun modul dan file-file kuliah yang seolah tiada habisnya. Lambat laun, aku semakin yakin bahwa skripsi dan job seeker adalah hal yang lebih menyita perhatian dan memakan tempat dalam kepalaku ketimbang cerita mistis keluarga. Akhirnya, Kala benar-benar punah ketika aku bertemu dengan Joseline.
Kini, di usiaku yang ada di pertengahan tiga puluhan dan Joseline sedang dalam kehamilan pertamanya, senja di kota ini mengembalikan ingatanku tentang Kala. Entah bagaimana nama kuno itu tiba-tiba datang menelusup ke sel otakku. Sesampainya di rumah, Joseline dengan usia kehamilan 3 bulannya nampak agak sebal saat aku lupa membelikan jus mangga yang sedari siang dia inginkan.
“Bawaan bayi nih, kok kamu lupa?” rajuknya.
Aku nyengir menahan rasa bersalah. “Maaf, tadi aku teringat sesuatu pas di jalan. Eh, tahu-tahu udah jauh dari tokonya.”
Joseline merengut menggigit bibirnya.
“Joseline, kamu pernah dengar soal Kala?” tanyaku.
Kami duduk di ruang makan dan sambil menuangkan kopi ia menjawab, “Kala? Film Joko Anwar?”
“Bukan. Kala, makhluk yang menculik anak nakal dan memakan kepala mereka.”
Joseline menggeleng. Tapi ia malah bertopang dagu memperhatikanku. Lalu aku berusaha mengumpulkan kembali cerita lama tentang Kala. Joseline tak kusangka menikmati cerita itu dan melupakan ngidam jus mangganya. Sesekali ia menelengkan kepala ketika mendengar cerita tak masuk akal yang kusampaikan.
“Kala, kata ibuku, hanya diceritakan oleh para perempuan. Kata ibu, Kala yang menjaga perempuan-perempuan dalam keluargaku.”
“Maksudnya?” tanya Joseline mengernyit.
“Entahlah,” kataku mengangkat bahu. “Tapi nanti,” lanjutku seraya mengelus perut Joseline, “aku nggak mau Kala memakan anak kita.”
“Kamu terlalu lelah, Dear. Mandilah sana, lalu kita ceritakan hal lain.”
Aku terdiam. “Tapi, Dear, “ kataku kemudian, “…maukah kau nanti menceritakan soal Kala kepada anak kita?”
Joseline memandangku heran. “Ya,” katanya akhirnya, “Kala the warrior princess.”
“Tapi dia laki-laki,” bantahku.
“Tapi kau, bahkan ibumu, tak pernah bilang soal gender, kan? Bagaimana kalau dia perempuan?”
Aku terlalu capek untuk membahas ini lebih jauh. Lagipula aku tak punya bahan. Sampai pada suatu subuh yang dingin serbuan telepon dari ibu di handphone membangunkanku.
“Le, ibu coba hubungi kamu tapi nggak ada jawaban. Syukur, Le, yang ini kamu angkat,” kata ibu cemas.
“Yah?” tanyaku menggeliat. “Kenapa, Bu? Ini baru jam 4 pagi.”
Joseline pelan-pelan mengucek matanya yang masih layu.
“Kala mengejarmu, Le.”
Kecemasan itu masih terdengar dari suaranya. Missed calls di handphone tercatat 8 kali.
“Siapa? Bagaimana?”
“Kala mengejarmu, Le. Cepatlah pulang."
“Apa yang ibu katakan?” tanyaku. "Aku nggak apa-apa, kok. Tenang, Bu."
Lampu kamar menyala. Joseline nampak bingung dan khawatir.
“Kala akan memakanmu. Apa yang kamu lakukan, Le? Kenapa Kala datang dalam mimpi ibu dan mau memakanmu.”
“Aku nggak lakukan apa-apa. Ayolah, Bu, ini masih pagi dan ibu meracau,” keluhku.
“Ibu nggak meracau. Ini soal kamu, ibu mesti memperingatkan!”
Aku memegang tengkukku.
“Bu… Kala itu nggak ada. Itu cuma dongeng. Oh, Bu, maafkan aku, tapi aku nggak percaya lagi sama Kala.”
Aku tak mendengar suara. Nafas ibu seperti halus merambat melalui rongga udara telepon. Ini masih pukul 04.15 dan aku belum bisa berpikir rasional. Keheningan memakan kami bertiga. Suara ibu tidak lagi menandakan cemas. Suara itu kini bergetar seperti suara ketika ia mengabarkan bahwa ayah tidak akan pulang karena pertengkaran hebat yang takkan aku mengerti di usia anak SD. Seperti ketika ibu dengan lirih mengatakan bahwa ayah meninggalkan kami karena perempuan lain yang merasuki hatinya. Persis ketika pada suatu maghrib yang hening, ibu memelukku dan berbisik bahwa ayah tidak selamat dalam kecelakaan pesawat yang menerbangkannya ke Jakarta.
Sambungan telepon itu terputus. Joseline membelai lembut pipiku.
“Kenapa, Dear?”
“Bukan apa-apa,” jawabku lelah.
Joseline tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia menyelimuti tubuhku lalu merebahkan kepalanya di dadaku. Saat itulah aku merasa tubuhku lemas seperti kekurangan cairan. Bayangan asing bertaring yang telah terkubur itu kembali menebar teror. Sambil mengelap rambut Joseline dan keningnya yang lembab, kuteringat bagaimana pada senja kemarin aku menelepon istriku di Surabaya dan berbohong mengatakan bahwa penugasanku di Bandung diperpanjang dan baru akan kembali minggu depan.
Tiba-tiba, samar-samar, aku teringat apa yang ibu bisikkan pada malam hari ketika ayah pergi:
“Kala selalu melindungi perempuan-perempuan keluarga kita, Le. Kini Kala memakan ayahmu.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar