Membaca To Kill a Mockingbird
karangan pemenang Pulitzer, Harper Lee, adalah seperti melihat jauh ke dalam kemanusiaan
itu sendiri. Menyadarkan bahwa, dalam tingkatan strata, kelas sosial, atau
warna kulit, manusia adalah tentang bagaimana seseorang mau sejenak saja merasakan
dirinya dalam posisi orang yang lain. Memahami kehidupan sehari-hari orang yang
dalam berbagai perspektif tidak selalu sama. Dan, ya! Pada akhirnya mengetahui
bahwa anggapan pribadi adalah tolak ukur yang tidak selalu benar – ketika pada
akhirnya mengetahui kebenaran itu sendiri.
Pada tahun-tahun itu (1930-an), karena sejarah dan marjinalisasi, kaum
kulit hitam Amerika mendapat perlakuan berbeda. Tak terkecuali dalam lembaga peradilan.
To Kill a Mockingbird mengkritiknya lewat
tokoh Atticus Finch. Atticus, seorang pengacara, berusaha mencari keadilan bagi
seorang negro, Tom Robinson, yang dituduh memperkosa seorang wanita kulit
putih. Tak sampai di situ, saat Robinson dipenjara, Atticus merelakan diri menjaga
dan melindungi penjara Robinson dari tindakan main hakim sendiri masyarakat
kulit putih yang sentimen.
Apa yang dihadapi Atticus jauh lebih besar dari sekedar kasus yang salah
tuduh. Ia menghadapi sentimen masyarakat Amerika. To Kill a A Mockingbird menyuguhkan masalah yang jauh lebih “berat”
dalam hal perbedaan (rasial dan sosial) dibanding yang terjadi di Indonesia. Masyarakat
Indonesia terbiasa berbeda sejak nation
ini bahkan belum bernama. Yang menjadi polemik adalah ketika perbedaan itu menjadi
pemicu mengukur kebenaran dengan menilai orang lain yang tidak sejenis harus
dimarjinalkan dan dikebiri hak-haknya. Bahwasanya sejarah berulang bisa dinilai
dari gejala. Tetapi, tidak terkesan arif jika dititikberatkan kepada sejarah.
Karena bagaimanapun yang membangun dan menjadikan sebuah sejarah adalah manusia
di dalamnya. Apakah gejala substantif yang terjadi dalam To Kill a Mockingbird justru melanda di Indonesia setelah 50 tahun
buku itu terbit?
Rasanya sudah terlalu lelah mendengar intrik siapa yang salah dalam krisis
tahun 1965. Terlalu ngeri membuka lembaran hitam tahun 1998. Banyak cerita
buram betapa sulitnya memandang dari sisi orang lain yang berbeda. Apakah kita telah
kalah menjaga kemanusiaan dalam perbedaan itu? Apakah kita terlanjur terikat
dengan sudut pandang sempit yang menilai kebenaran dari persepektif pribadi dan
mulai memerangi yang lain? Sebuah perenungan yang disampaikan Atticus kepada
Jean Louise setidaknya bisa menjadi penyemangat untuk tidak takut menghadapi
tantangan hidup dalam perbedaan: “…… Keberanian
adalah saat kau tahu kau akan kalah sebelum memulai, tetapi kau tetap memulai
dan merampungkannya, apa pun yang terjadi. Kau jarang menang, tetapi
kadang-kadang kau bisa menang.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar