Rabu, 14 Oktober 2015

Buah Tangan "To Kill a Mockingbird"








Membaca To Kill a Mockingbird karangan pemenang Pulitzer, Harper Lee, adalah seperti melihat jauh ke dalam kemanusiaan itu sendiri. Menyadarkan bahwa, dalam tingkatan strata, kelas sosial, atau warna kulit, manusia adalah tentang bagaimana seseorang mau sejenak saja merasakan dirinya dalam posisi orang yang lain. Memahami kehidupan sehari-hari orang yang dalam berbagai perspektif tidak selalu sama. Dan, ya! Pada akhirnya mengetahui bahwa anggapan pribadi adalah tolak ukur yang tidak selalu benar – ketika pada akhirnya mengetahui kebenaran itu sendiri.

Pada tahun-tahun itu (1930-an), karena sejarah dan marjinalisasi, kaum kulit hitam Amerika mendapat perlakuan berbeda. Tak terkecuali dalam lembaga peradilan. To Kill a Mockingbird mengkritiknya lewat tokoh Atticus Finch. Atticus, seorang pengacara, berusaha mencari keadilan bagi seorang negro, Tom Robinson, yang dituduh memperkosa seorang wanita kulit putih. Tak sampai di situ, saat Robinson dipenjara, Atticus merelakan diri menjaga dan melindungi penjara Robinson dari tindakan main hakim sendiri masyarakat kulit putih yang sentimen.

Apa yang dihadapi Atticus jauh lebih besar dari sekedar kasus yang salah tuduh. Ia menghadapi sentimen masyarakat Amerika. To Kill a A Mockingbird menyuguhkan masalah yang jauh lebih “berat” dalam hal perbedaan (rasial dan sosial) dibanding yang terjadi di Indonesia. Masyarakat Indonesia terbiasa berbeda sejak nation ini bahkan belum bernama. Yang menjadi polemik adalah ketika perbedaan itu menjadi pemicu mengukur kebenaran dengan menilai orang lain yang tidak sejenis harus dimarjinalkan dan dikebiri hak-haknya. Bahwasanya sejarah berulang bisa dinilai dari gejala. Tetapi, tidak terkesan arif jika dititikberatkan kepada sejarah. Karena bagaimanapun yang membangun dan menjadikan sebuah sejarah adalah manusia di dalamnya. Apakah gejala substantif yang terjadi dalam To Kill a Mockingbird justru melanda di Indonesia setelah 50 tahun buku itu terbit?

Rasanya sudah terlalu lelah mendengar intrik siapa yang salah dalam krisis tahun 1965. Terlalu ngeri membuka lembaran hitam tahun 1998. Banyak cerita buram betapa sulitnya memandang dari sisi orang lain yang berbeda. Apakah kita telah kalah menjaga kemanusiaan dalam perbedaan itu? Apakah kita terlanjur terikat dengan sudut pandang sempit yang menilai kebenaran dari persepektif pribadi dan mulai memerangi yang lain? Sebuah perenungan yang disampaikan Atticus kepada Jean Louise setidaknya bisa menjadi penyemangat untuk tidak takut menghadapi tantangan hidup dalam perbedaan: “…… Keberanian adalah saat kau tahu kau akan kalah sebelum memulai, tetapi kau tetap memulai dan merampungkannya, apa pun yang terjadi. Kau jarang menang, tetapi kadang-kadang kau bisa menang.” 


***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar