Entah mengapa, matahari sore yang selalu dengan anggun menggerlap gerlapkan selendang cahayanya itu semakin jarang menampakkan barang sekedar seutas senyum manisnya. Saat saat jatuh cintanya yang singkat kepada Senja, waktu waktu ketika ia dengan manja harus berdansa dengan Angin sebelum meliak liukkan layang layang itu di hamparan biru nan luas.
Ah ya, saat saat itu, bukankah semakin jarang ia menuntaskan rasa rindunya kepada pengagum matahari senja yang memerah seperti layaknya buah chery muda yang bergelantungan di pohon di samping lapangan luas itu?
Rinai gerimis - setidaknya di kota ini - ketika separuh hari sudah berjalan, tak pernah lagi membiarkan matahari unjuk gigi lebih lama. Ia bawa segerombolan awan kelabu nan bandel untuk menutup keriangan matahari lalu kemudian dengan nakalnya melumuri kanvas biru langit dengan nuansa kental kopi pekat.
Ah, kalau sudah demikian, Kamu akan tinggal menunggu saja ketika nada nada gerimis itu mengalun menjamah kesepian yang begitu dalam ini. Memupus habis harapan untuk naik ke "atap" lalu duduk mengawang awang mega ditemani linangan hangat matahari.
Bulir bulir gerimis baru akan berhenti ketika masjid di sana itu sudah menggetarkan gema adzan Maghrib atau kadang Isya', tergantung seberapa lebat ia akan menjamah tanah tanah kota ini.
"Bukankah itu bagus?" katamu kemudian.
"Ya, memang bagus. Aku suka sekali gerimis yang kadang bahkan mengingatkanku pada senyumanmu itu, namun .. bukankah orang juga rindu kepada musimnya matahari sore. Apakah kau tak merasa demikian?"
Sungguh, aku pun cinta kepada Hujan dan segala kesyahduannya, namun aku juga kangen kepada matahari sore itu;
Matahari sore yang selalu saja hangat, tak pandang hari apa ia melaksanakan kodradnya;
Matahari sore .. yang selalu mengingatkanku untuk tak pernah lupa akan apa yang ada di balik kedua bola matamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar