Jumat, 25 Maret 2011

Bicaralah; Kami Dengarkan ...

Rambipuji - Kalisat - Jember Kota;
Lumajang - Tempeh;


*

Dapat dikatakan bahwa selama dua hari ini lebih banyak waktu yang tersita untuk mendengar. Mendengar apa kata hati sendiri. Mendengar curhatan teman teman sekerja. Mendengar rikuh dan rapuhnya perasaan seorang teman. Mendengar ... mendengar .. mendengar ...

Yah, bukahkan untuk itu Gusti Allah menganugerahi Aku dan Kamu dengan sepasang Telinga ini? Dan, bukankah pula Dia dengan segala Keagungan-Nya telah meletakkan sesuatu di bagian dalam perut kita yang mana senantiasa tajam dan peka menganalisa setiap apa yang disampaikan oleh Telinga? Ya, itulah yang kemudian fasih kita sebut dengan Hati.

Roda penggerak Mendengar akan terjadi hanya jika ia dengan ikhlas mau menerima apa yang disampaikan oleh seseorang atau sesuatu yang berbicara kepadanya. Seperti halnya ketika kami mengunjungi kelima tempat di atas - yang beraneka rupa wujudnya - dalam rangka penyampaian misi khusus mengenai program canangan Direksi yang diteruskan kepada atasan kami.

Persinggahan pertama adalah sebuah bangunan di samping Alun Alun kota yang pada waktu waktu tertentu sibuk dengan Pasar Malam, Sirkus Russia, dan kemeriahan lainnya. Kedatangan kami disambut hangat oleh beberapa rekan yang pada jam jam itu sedang bergelut di balik meja pelayanan sebelum digiring masuk ke dalam ruangan Kepala Kantor.

Proses berbicara dan mendengarpun terjadi di ruangan yang tak seberapa luas itu. Beberapa rekan, dengan cukup antusias mendengar apa yang kami bicarakan. Pada intinya, kami menyelesaikan proses berbicara kami selama tak kurang dari 20 menit, dan selebihnya kamilah yang akan mendengarkan.

Secara pribadi, Aku sadar betul bahwa misi yang kami emban itu dalam bahasa Eufimisme-nya disebut dengan istilah "Sosialisasi" dan Aku - lagi lagi secara pribadi - menilai ini sesuatu yang tumpang tindih, kontradiksi, how loose reaches a hope, namun kami coba untuk mendengar. Apapun itu, kami coba dengar. Walau kami - dalam salah satu kunjungan di tempat lain - sampai dikuliahi hampir 1,5 jam untuk sekedar sesuatu yang (ah .. ) sangat mendasar.

Namun, apapun itu kami dengarkan.  Dan - sungguh - we thank full for that.

Mengapa?

Ketika terjadi proses transfer kata dari Mulut mereka semua kepada Telinga kami, saat itulah kami mengerti tentang kejujuran apa yang coba tersurat maupun tersirat disampaikan. Tentang apa itu kegelisahan, kerikuhan, kekecewaan, keraguan, kegembiraan, kebengalan, kecemerlangan, ketakutan, kerinduan, yang selama ini tak ada, atau mungkin, hanya sekelumit Telinga yang cukup tebal untuk menangkapnya.

Dari mendengar itulah seseorang bisa belajar untuk lebih bijak menghadapi medan di depannya. Dengan mendengar itulah, seseorang - dengan Hatinya - punya kendali untuk tidak grusa-grusu dalam menjinakkan apa yang ada di sekelilingnya. Sekali lagi dengan mendengar itulah, seseorang - setidaknya - dapat mencoba untuk meresapi keadaan diri yang lain ketika apa yang disampaikan oleh si pembicara terasa benar ada sesuatu yang salah; sesuatu yang bertolak belakang; sesuatu yang unfair; sesuatu yang (kalau tega) akan dibanting banting berkeping keping; dan semacamnya.

Semua yang tersampaikan kepada kami coba kami dokumentasi sebaik mungkin. Dan, ketika nanti redaksional telah tersusun rapi, giliran kami kembalilah yang akan menyampaikan. Tentu kali ini kepada atasan yang lebih berhak untuk memutuskan. Dari sana, atasan akan mem-feed back kembali apa yang dia dengarkan. Dan seterusnya kami julurkan kembali apa yang kami dengarkan kepada para rekan di kelima tempat tadi.

It seems like the occurrance of the rain ... : )

Namun, pada akhirnya, semua yang diterima oleh Telinga akan disampaikan juga kepada Hati. Dan sekarang, tergantung kepada Hati apakah dia telah cukup rela untuk membuka lebar pintu masuknya atau tidak?

Apakah Hati sudah begitu ikhlas menerima sekedar saran, petunjuk, bahkan sebuah kata penyesalan "Maaf, Aku tak sengaja menyebut namanya" sebagaimana Hati dengan lancarnya mengeluarkan ribuan kata melalui Mulut?

Ah, ... mari kita kembalikan pada diri kita sendiri.

Bagaimanapun (jika Kamu pernah tahu) dalam Stairway to Heaven ketika Jimmy Page menyuarakan dawai dawai Fender-nya, dia akan tetap menyeimbangkan diri dengan mendengar tuts-tuts keyboard John Paul Jones ... dan melodi ajaib itu tetap abadi - hingga kini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar