Tempatnya terlihat jelas, namun dia jarang - bahkan tidak pernah - sering terlihat mengundang seseorang untuk barang sekedar menyalami keheningannya. Ketika Kamu menuju ke arahnya, setelah sebelumnya meniti satu demi satu anak tangga licin itu; bergelut sedikit dengan palang besi dan seng yang mangkrak membujur membatasi langkah; lalu ups! harus merunduk agar tidak terantuk atap sengnya, Kamu akan mendapati liarnya keadaan di sana.
Ada bangkai kayu yang sudah hitam lapuk dimakan matahari dan gerimis. Lalu tumbuhan hijau nakal yang seiring desir hujan menjadi penghuni komunitas kecil di sana. Dan .. entah antah berantah apa lagi yang nyungsep di plesterannya yang kehitam hitaman.
Ketika sudah berdiri di sana, coba tengok ke berbagai arah penjuru sekitarmu. Kalau menghadap Barat, maka di depan dan disamping kirimu adalah rumah tetangga sebelah kantor. Di depanmu ada pohon tinggi rimbun - begitu juga di rumah sebelah kirimu yang ternyata pohon mangga. Kadang dari sana terdengar ada kesibukan kecil - suara orang men-deplok bubuk kopi. Namun ini jarang sekali, selebihnya kedua rumah itu selalu terlihat lengang. Sangat lengang.
Kalau Kamu berada di atapnya, lalu musim sedang hangat hangatnya di sore hari, kamu bisa melihat langit setingkat lebih dekat dari biasanya. Mengagumi lautan yang tidak berombak itu dengan puas. Lalu bercanda dengan siulan Angin yang menelusup di sela helai rambutmu atau sekedar memain mainkan ujung lengan bajumu. Ya ... makhluk tak berbentuk itu selalu ada di sana.
Satu hal yang luput dari perhatian adalah ketika Kamu berada di atasnya, lalu menengok ke arah Timur, akan ada tulisan jelas di sana: Klub Lare Osing .. bla bla bla... Entah ini semacam catatan peninggalan para kuli dari Banyuwangi yang dulu mengerjakan rehab gedung ini atau sekedar keisengan untuk mengerjai Panitia Kualitas Barang, namun harus diakui mereka sukses mengelabuhi pandangan mata kami akan "gantengnya" kantor ini ketika menatapnya dari jalanan di depan.
*
Angin sedang bagus hari itu dan Gusti yang Maha Kuasa rupanya mengabulkan tentang kerinduanku akan matahari sore yang dengan sangat ajaibnya berhasil membujuk gerimis untuk mengalah sehari saja. Halaman kecil di atap Lahta itu memanggilku untuk menyalaminya. Selalu saja sama, bahkan corat coret kegelisahanku di dinding itu masih belum dilunturkan gerimis, walau memang tulisannya sudah acak acakan tak jelas lagi (lha, memang sejak kapan tulisanku pernah bagus??? Ah, sial! mengapa jadi mengungkit tulisan sendiri begini?? >,<)
Kebetulan di sana ada batu bata merah. Pecah pecah tak utuh lagi. Iseng iseng di lantainya, aku gambar satu buah kotak; lalu tiga kotak; satu kotak lagi; tiga kotak lagi; lalu satu kotak, satu lagi; dan satu lagi. Yup! Jadi sudah kotak permainan engklek yang legendaris itu. Hehehe .... (jadi main engklek deh, walau sebentar saja hehehe ....).
Ah, suatu tempat di atap Lahta. Mungkin jika nanti orang orang di sini memperhatikanmu, lalu membenahi dirimu pasti kau akan terlihat sangat manis sekali. Dengan begitu mungkin, ketika Malam Tahun Baru, akan ada yang mau menyambangimu, membawa panggangan jagung atau barbekyu dan sekerat minuman dingin, lalu menyalakan kembang api di detik detik yang menutup seluruh perjalanan suatu tahun. : )
Yah ... semoga saja akan ada yang seperti itu ....
Kamis, 31 Maret 2011
Senin, 28 Maret 2011
Di Tengah Rindu Matahari Sore ..
Entah mengapa, matahari sore yang selalu dengan anggun menggerlap gerlapkan selendang cahayanya itu semakin jarang menampakkan barang sekedar seutas senyum manisnya. Saat saat jatuh cintanya yang singkat kepada Senja, waktu waktu ketika ia dengan manja harus berdansa dengan Angin sebelum meliak liukkan layang layang itu di hamparan biru nan luas.
Ah ya, saat saat itu, bukankah semakin jarang ia menuntaskan rasa rindunya kepada pengagum matahari senja yang memerah seperti layaknya buah chery muda yang bergelantungan di pohon di samping lapangan luas itu?
Rinai gerimis - setidaknya di kota ini - ketika separuh hari sudah berjalan, tak pernah lagi membiarkan matahari unjuk gigi lebih lama. Ia bawa segerombolan awan kelabu nan bandel untuk menutup keriangan matahari lalu kemudian dengan nakalnya melumuri kanvas biru langit dengan nuansa kental kopi pekat.
Ah, kalau sudah demikian, Kamu akan tinggal menunggu saja ketika nada nada gerimis itu mengalun menjamah kesepian yang begitu dalam ini. Memupus habis harapan untuk naik ke "atap" lalu duduk mengawang awang mega ditemani linangan hangat matahari.
Bulir bulir gerimis baru akan berhenti ketika masjid di sana itu sudah menggetarkan gema adzan Maghrib atau kadang Isya', tergantung seberapa lebat ia akan menjamah tanah tanah kota ini.
"Bukankah itu bagus?" katamu kemudian.
"Ya, memang bagus. Aku suka sekali gerimis yang kadang bahkan mengingatkanku pada senyumanmu itu, namun .. bukankah orang juga rindu kepada musimnya matahari sore. Apakah kau tak merasa demikian?"
Sungguh, aku pun cinta kepada Hujan dan segala kesyahduannya, namun aku juga kangen kepada matahari sore itu;
Matahari sore yang selalu saja hangat, tak pandang hari apa ia melaksanakan kodradnya;
Matahari sore .. yang selalu mengingatkanku untuk tak pernah lupa akan apa yang ada di balik kedua bola matamu.
Ah ya, saat saat itu, bukankah semakin jarang ia menuntaskan rasa rindunya kepada pengagum matahari senja yang memerah seperti layaknya buah chery muda yang bergelantungan di pohon di samping lapangan luas itu?
Rinai gerimis - setidaknya di kota ini - ketika separuh hari sudah berjalan, tak pernah lagi membiarkan matahari unjuk gigi lebih lama. Ia bawa segerombolan awan kelabu nan bandel untuk menutup keriangan matahari lalu kemudian dengan nakalnya melumuri kanvas biru langit dengan nuansa kental kopi pekat.
Ah, kalau sudah demikian, Kamu akan tinggal menunggu saja ketika nada nada gerimis itu mengalun menjamah kesepian yang begitu dalam ini. Memupus habis harapan untuk naik ke "atap" lalu duduk mengawang awang mega ditemani linangan hangat matahari.
Bulir bulir gerimis baru akan berhenti ketika masjid di sana itu sudah menggetarkan gema adzan Maghrib atau kadang Isya', tergantung seberapa lebat ia akan menjamah tanah tanah kota ini.
"Bukankah itu bagus?" katamu kemudian.
"Ya, memang bagus. Aku suka sekali gerimis yang kadang bahkan mengingatkanku pada senyumanmu itu, namun .. bukankah orang juga rindu kepada musimnya matahari sore. Apakah kau tak merasa demikian?"
Sungguh, aku pun cinta kepada Hujan dan segala kesyahduannya, namun aku juga kangen kepada matahari sore itu;
Matahari sore yang selalu saja hangat, tak pandang hari apa ia melaksanakan kodradnya;
Matahari sore .. yang selalu mengingatkanku untuk tak pernah lupa akan apa yang ada di balik kedua bola matamu.
Jumat, 25 Maret 2011
Bicaralah; Kami Dengarkan ...
Rambipuji - Kalisat - Jember Kota;
Lumajang - Tempeh;
*
Dapat dikatakan bahwa selama dua hari ini lebih banyak waktu yang tersita untuk mendengar. Mendengar apa kata hati sendiri. Mendengar curhatan teman teman sekerja. Mendengar rikuh dan rapuhnya perasaan seorang teman. Mendengar ... mendengar .. mendengar ...
Yah, bukahkan untuk itu Gusti Allah menganugerahi Aku dan Kamu dengan sepasang Telinga ini? Dan, bukankah pula Dia dengan segala Keagungan-Nya telah meletakkan sesuatu di bagian dalam perut kita yang mana senantiasa tajam dan peka menganalisa setiap apa yang disampaikan oleh Telinga? Ya, itulah yang kemudian fasih kita sebut dengan Hati.
Roda penggerak Mendengar akan terjadi hanya jika ia dengan ikhlas mau menerima apa yang disampaikan oleh seseorang atau sesuatu yang berbicara kepadanya. Seperti halnya ketika kami mengunjungi kelima tempat di atas - yang beraneka rupa wujudnya - dalam rangka penyampaian misi khusus mengenai program canangan Direksi yang diteruskan kepada atasan kami.
Persinggahan pertama adalah sebuah bangunan di samping Alun Alun kota yang pada waktu waktu tertentu sibuk dengan Pasar Malam, Sirkus Russia, dan kemeriahan lainnya. Kedatangan kami disambut hangat oleh beberapa rekan yang pada jam jam itu sedang bergelut di balik meja pelayanan sebelum digiring masuk ke dalam ruangan Kepala Kantor.
Proses berbicara dan mendengarpun terjadi di ruangan yang tak seberapa luas itu. Beberapa rekan, dengan cukup antusias mendengar apa yang kami bicarakan. Pada intinya, kami menyelesaikan proses berbicara kami selama tak kurang dari 20 menit, dan selebihnya kamilah yang akan mendengarkan.
Secara pribadi, Aku sadar betul bahwa misi yang kami emban itu dalam bahasa Eufimisme-nya disebut dengan istilah "Sosialisasi" dan Aku - lagi lagi secara pribadi - menilai ini sesuatu yang tumpang tindih, kontradiksi, how loose reaches a hope, namun kami coba untuk mendengar. Apapun itu, kami coba dengar. Walau kami - dalam salah satu kunjungan di tempat lain - sampai dikuliahi hampir 1,5 jam untuk sekedar sesuatu yang (ah .. ) sangat mendasar.
Namun, apapun itu kami dengarkan. Dan - sungguh - we thank full for that.
Mengapa?
Ketika terjadi proses transfer kata dari Mulut mereka semua kepada Telinga kami, saat itulah kami mengerti tentang kejujuran apa yang coba tersurat maupun tersirat disampaikan. Tentang apa itu kegelisahan, kerikuhan, kekecewaan, keraguan, kegembiraan, kebengalan, kecemerlangan, ketakutan, kerinduan, yang selama ini tak ada, atau mungkin, hanya sekelumit Telinga yang cukup tebal untuk menangkapnya.
Dari mendengar itulah seseorang bisa belajar untuk lebih bijak menghadapi medan di depannya. Dengan mendengar itulah, seseorang - dengan Hatinya - punya kendali untuk tidak grusa-grusu dalam menjinakkan apa yang ada di sekelilingnya. Sekali lagi dengan mendengar itulah, seseorang - setidaknya - dapat mencoba untuk meresapi keadaan diri yang lain ketika apa yang disampaikan oleh si pembicara terasa benar ada sesuatu yang salah; sesuatu yang bertolak belakang; sesuatu yang unfair; sesuatu yang (kalau tega) akan dibanting banting berkeping keping; dan semacamnya.
Semua yang tersampaikan kepada kami coba kami dokumentasi sebaik mungkin. Dan, ketika nanti redaksional telah tersusun rapi, giliran kami kembalilah yang akan menyampaikan. Tentu kali ini kepada atasan yang lebih berhak untuk memutuskan. Dari sana, atasan akan mem-feed back kembali apa yang dia dengarkan. Dan seterusnya kami julurkan kembali apa yang kami dengarkan kepada para rekan di kelima tempat tadi.
It seems like the occurrance of the rain ... : )
Namun, pada akhirnya, semua yang diterima oleh Telinga akan disampaikan juga kepada Hati. Dan sekarang, tergantung kepada Hati apakah dia telah cukup rela untuk membuka lebar pintu masuknya atau tidak?
Apakah Hati sudah begitu ikhlas menerima sekedar saran, petunjuk, bahkan sebuah kata penyesalan "Maaf, Aku tak sengaja menyebut namanya" sebagaimana Hati dengan lancarnya mengeluarkan ribuan kata melalui Mulut?
Ah, ... mari kita kembalikan pada diri kita sendiri.
Bagaimanapun (jika Kamu pernah tahu) dalam Stairway to Heaven ketika Jimmy Page menyuarakan dawai dawai Fender-nya, dia akan tetap menyeimbangkan diri dengan mendengar tuts-tuts keyboard John Paul Jones ... dan melodi ajaib itu tetap abadi - hingga kini.
Lumajang - Tempeh;
*
Dapat dikatakan bahwa selama dua hari ini lebih banyak waktu yang tersita untuk mendengar. Mendengar apa kata hati sendiri. Mendengar curhatan teman teman sekerja. Mendengar rikuh dan rapuhnya perasaan seorang teman. Mendengar ... mendengar .. mendengar ...
Yah, bukahkan untuk itu Gusti Allah menganugerahi Aku dan Kamu dengan sepasang Telinga ini? Dan, bukankah pula Dia dengan segala Keagungan-Nya telah meletakkan sesuatu di bagian dalam perut kita yang mana senantiasa tajam dan peka menganalisa setiap apa yang disampaikan oleh Telinga? Ya, itulah yang kemudian fasih kita sebut dengan Hati.
Roda penggerak Mendengar akan terjadi hanya jika ia dengan ikhlas mau menerima apa yang disampaikan oleh seseorang atau sesuatu yang berbicara kepadanya. Seperti halnya ketika kami mengunjungi kelima tempat di atas - yang beraneka rupa wujudnya - dalam rangka penyampaian misi khusus mengenai program canangan Direksi yang diteruskan kepada atasan kami.
Persinggahan pertama adalah sebuah bangunan di samping Alun Alun kota yang pada waktu waktu tertentu sibuk dengan Pasar Malam, Sirkus Russia, dan kemeriahan lainnya. Kedatangan kami disambut hangat oleh beberapa rekan yang pada jam jam itu sedang bergelut di balik meja pelayanan sebelum digiring masuk ke dalam ruangan Kepala Kantor.
Proses berbicara dan mendengarpun terjadi di ruangan yang tak seberapa luas itu. Beberapa rekan, dengan cukup antusias mendengar apa yang kami bicarakan. Pada intinya, kami menyelesaikan proses berbicara kami selama tak kurang dari 20 menit, dan selebihnya kamilah yang akan mendengarkan.
Secara pribadi, Aku sadar betul bahwa misi yang kami emban itu dalam bahasa Eufimisme-nya disebut dengan istilah "Sosialisasi" dan Aku - lagi lagi secara pribadi - menilai ini sesuatu yang tumpang tindih, kontradiksi, how loose reaches a hope, namun kami coba untuk mendengar. Apapun itu, kami coba dengar. Walau kami - dalam salah satu kunjungan di tempat lain - sampai dikuliahi hampir 1,5 jam untuk sekedar sesuatu yang (ah .. ) sangat mendasar.
Namun, apapun itu kami dengarkan. Dan - sungguh - we thank full for that.
Mengapa?
Ketika terjadi proses transfer kata dari Mulut mereka semua kepada Telinga kami, saat itulah kami mengerti tentang kejujuran apa yang coba tersurat maupun tersirat disampaikan. Tentang apa itu kegelisahan, kerikuhan, kekecewaan, keraguan, kegembiraan, kebengalan, kecemerlangan, ketakutan, kerinduan, yang selama ini tak ada, atau mungkin, hanya sekelumit Telinga yang cukup tebal untuk menangkapnya.
Dari mendengar itulah seseorang bisa belajar untuk lebih bijak menghadapi medan di depannya. Dengan mendengar itulah, seseorang - dengan Hatinya - punya kendali untuk tidak grusa-grusu dalam menjinakkan apa yang ada di sekelilingnya. Sekali lagi dengan mendengar itulah, seseorang - setidaknya - dapat mencoba untuk meresapi keadaan diri yang lain ketika apa yang disampaikan oleh si pembicara terasa benar ada sesuatu yang salah; sesuatu yang bertolak belakang; sesuatu yang unfair; sesuatu yang (kalau tega) akan dibanting banting berkeping keping; dan semacamnya.
Semua yang tersampaikan kepada kami coba kami dokumentasi sebaik mungkin. Dan, ketika nanti redaksional telah tersusun rapi, giliran kami kembalilah yang akan menyampaikan. Tentu kali ini kepada atasan yang lebih berhak untuk memutuskan. Dari sana, atasan akan mem-feed back kembali apa yang dia dengarkan. Dan seterusnya kami julurkan kembali apa yang kami dengarkan kepada para rekan di kelima tempat tadi.
It seems like the occurrance of the rain ... : )
Namun, pada akhirnya, semua yang diterima oleh Telinga akan disampaikan juga kepada Hati. Dan sekarang, tergantung kepada Hati apakah dia telah cukup rela untuk membuka lebar pintu masuknya atau tidak?
Apakah Hati sudah begitu ikhlas menerima sekedar saran, petunjuk, bahkan sebuah kata penyesalan "Maaf, Aku tak sengaja menyebut namanya" sebagaimana Hati dengan lancarnya mengeluarkan ribuan kata melalui Mulut?
Ah, ... mari kita kembalikan pada diri kita sendiri.
Bagaimanapun (jika Kamu pernah tahu) dalam Stairway to Heaven ketika Jimmy Page menyuarakan dawai dawai Fender-nya, dia akan tetap menyeimbangkan diri dengan mendengar tuts-tuts keyboard John Paul Jones ... dan melodi ajaib itu tetap abadi - hingga kini.
Selasa, 22 Maret 2011
Sending to: Frida @ News
Frida Lidwina Tanadinata adalah presenter berita Metro TV. Ia biasa tampil dalam program berita Indonesia Now,
News Flash, Metro Malam, Metro World News dan beberapa program lainnya.
Sejak duduk di bangku SD, Frida sudah menunjukkan ketertarikannya di bidang jurnalistik sehingga kelak ia
mengambil kuliah di bidang tersebut di University of California, Berkeley setelah menyelesaikan pendidikan
menengahnya di BPK Penabur. Selain itu ia juga berhasil meraih gelar master dalam bidang finance di University of
Western Australia, Perth.
Sekembalinya ke Indonesia ia sempat bekerja di sebuah perusahaan investasi properti dan mengawali kariernya di bidang jurnalisme sebagai reporter di Trans TV. Tahun 2004, ia bergabung dengan Metro TV. Dalam tahun pertamanya di stasiun TV itu, ia sering turun ke lapangan untuk meliput berbagai peristiwa di tanah air.
Tak lama kemudian ia dipercaya untuk memandu acara Sports Corner (SC) atas rekomendasi dari Boy Noya, rekannya sesama presenter di Metro TV. Ia juga kadang-kadang membawa berita dalam Bahasa Inggris dalam program berita tiga bahasa karena kefasihannya dalam bahasa tersebut. Sejak awal 2008, ia menjadi pemandu tetap program Indonesia Now bersama Dalton Tanonaka.
(sumber: Wikipedia.com)
*
Well, kok tiba tiba teringat dengan sosok perempuan yang - pada pertengahan masa SMU dulu - pernah sangat saya kagumi ini, ya? :D
Hehehe ... tiba tiba terkenang tentang caranya bernada dan bertutur kata atau tentang bagaimana Mbak yang satu ini dengan tepat sekali harus memposisikan senyumnya (percayalah, walaupun mungkin saat itu Arema kalah telak 0-5 tapi senyumnya Mbak Frida ini benar benar bisa jadi obat penyembuh nan mujarab).
Seperti catatan Wikipedia di atas, dulu Mbak Frida ini sempat jadi presentar Sport Corner. Yup, tontonan yang sangat memacu keringat. Bukan apa apa, pasalnya acara ini dulu ditayangkan tiap Sabtu, pukul 13.30 WIB - atau dengan kata lain setelah bel sekolah berdentang tiga kali. Jadi, kalau kami tak ingin melewatkan review Liga Champions atau Serie-A Italy; maka larilah sekencang mungkin .... atau Kamu akan melewatkan segalanya - termasuk senyum manja Mbak Frida ini .. :D
Dulu, waktu masih remaja, ada ajang berkirim email ke salah satu acara yang dipandu Mbak Frida ini. Intinya sih sharing dari pemirsa seputar kritik dan saran acara. Eh, alih alih ngasih saran buat programnya, email yang aku kirim adalah kurang lebih bunyinya begini:
News Flash, Metro Malam, Metro World News dan beberapa program lainnya.
Sejak duduk di bangku SD, Frida sudah menunjukkan ketertarikannya di bidang jurnalistik sehingga kelak ia
mengambil kuliah di bidang tersebut di University of California, Berkeley setelah menyelesaikan pendidikan
menengahnya di BPK Penabur. Selain itu ia juga berhasil meraih gelar master dalam bidang finance di University of
Western Australia, Perth.
Sekembalinya ke Indonesia ia sempat bekerja di sebuah perusahaan investasi properti dan mengawali kariernya di bidang jurnalisme sebagai reporter di Trans TV. Tahun 2004, ia bergabung dengan Metro TV. Dalam tahun pertamanya di stasiun TV itu, ia sering turun ke lapangan untuk meliput berbagai peristiwa di tanah air.
Tak lama kemudian ia dipercaya untuk memandu acara Sports Corner (SC) atas rekomendasi dari Boy Noya, rekannya sesama presenter di Metro TV. Ia juga kadang-kadang membawa berita dalam Bahasa Inggris dalam program berita tiga bahasa karena kefasihannya dalam bahasa tersebut. Sejak awal 2008, ia menjadi pemandu tetap program Indonesia Now bersama Dalton Tanonaka.
(sumber: Wikipedia.com)
*
Well, kok tiba tiba teringat dengan sosok perempuan yang - pada pertengahan masa SMU dulu - pernah sangat saya kagumi ini, ya? :D
Hehehe ... tiba tiba terkenang tentang caranya bernada dan bertutur kata atau tentang bagaimana Mbak yang satu ini dengan tepat sekali harus memposisikan senyumnya (percayalah, walaupun mungkin saat itu Arema kalah telak 0-5 tapi senyumnya Mbak Frida ini benar benar bisa jadi obat penyembuh nan mujarab).
Seperti catatan Wikipedia di atas, dulu Mbak Frida ini sempat jadi presentar Sport Corner. Yup, tontonan yang sangat memacu keringat. Bukan apa apa, pasalnya acara ini dulu ditayangkan tiap Sabtu, pukul 13.30 WIB - atau dengan kata lain setelah bel sekolah berdentang tiga kali. Jadi, kalau kami tak ingin melewatkan review Liga Champions atau Serie-A Italy; maka larilah sekencang mungkin .... atau Kamu akan melewatkan segalanya - termasuk senyum manja Mbak Frida ini .. :D
Dulu, waktu masih remaja, ada ajang berkirim email ke salah satu acara yang dipandu Mbak Frida ini. Intinya sih sharing dari pemirsa seputar kritik dan saran acara. Eh, alih alih ngasih saran buat programnya, email yang aku kirim adalah kurang lebih bunyinya begini:
...."Sarannya, buat Mbak Frida, jangan berhenti tersenyum, karena senyumnya Mbak Frida .... bla bla bla .." haha :D
Kontan waktu acara ditayangkan, email itu tidak dibacakan - mungkin karena kalah "kritis" dengan email lainnya - namun ketika acara ditayangkan Mbak Frida-nya tak pernah berhenti tersenyum senyum sendiri sembari tertawa kecil. :D
Bagi saya pribadi (maaf, kalau ini menjadi sedikit beraroma subjektif) perempuan seperti Mbak Frida ini ialah sosok perempuan yang (sungguh) ideal. Cerdas, berkepribadian, lucu, easy going, terus .... Ups, tak stop wis, kok jadi sok tahu begini jadinya ... :D
Anyway, bolehlah saya sedikit memuji Mbak yang satu ini. Seorang perempuan yang - sedikit saya kutip dari "Sarinah" karya Presiden Sukarno - tidak melulu diposisikan dirinya di balik tirai kelambu. Namun, perempuan yang tidak "kehilangan" dirinya sendiri. Perempuan yang tidak kehilangan mimpi, daya bermain dan berpetualang, dan (yang utamanya) tidak kehilangan ilmunya.
Dan, menurut saya (baca: kami, lelaki Adam) itu ... luar biasa !! : )
Bagi saya pribadi (maaf, kalau ini menjadi sedikit beraroma subjektif) perempuan seperti Mbak Frida ini ialah sosok perempuan yang (sungguh) ideal. Cerdas, berkepribadian, lucu, easy going, terus .... Ups, tak stop wis, kok jadi sok tahu begini jadinya ... :D
Anyway, bolehlah saya sedikit memuji Mbak yang satu ini. Seorang perempuan yang - sedikit saya kutip dari "Sarinah" karya Presiden Sukarno - tidak melulu diposisikan dirinya di balik tirai kelambu. Namun, perempuan yang tidak "kehilangan" dirinya sendiri. Perempuan yang tidak kehilangan mimpi, daya bermain dan berpetualang, dan (yang utamanya) tidak kehilangan ilmunya.
Dan, menurut saya (baca: kami, lelaki Adam) itu ... luar biasa !! : )
Senin, 21 Maret 2011
Uhuk, Uhuk, Uhuk ...
Uhuk, uhuk, uhuk .. >,<
Tiba tiba saja tenggorokan ini begitu bandel. Agak serak. Kurang bersahabat seperti biasanya. Jadi, saking bandelnya kalau mau bicara harus irit, ditambah lagi setiap 3 menit sekali kalau mau ngomong sesuatu mesti ke-seselan "uhuk, uhuk, uhuk", tadi.
Kalau selidik punya selidik, yang menjadi penyebab hinggapnya rasa nggak nyaman di tenggorokan ini ditengarai ada beberapa hal:
- Es Monalisa sewaktu Malam Minggu yang dilanjutkan dengan Wedang Cor plus gorengan. Asumsi yang muncul dari penyebab di atas adalah Es monalisa itu dingin, manisnya bertubi tubi, lalu abis kena adem digelontor pake wedang panas lalu gorengan deh ..
- Analisa penyebab kedua: AC di ruangan yang mematikan tubuh, bahkan mikroba pun pakai syal dan selendang hangat di ruangan ini. Heran mengapa pak ketua kelas bisa sangat betah dengan udara semacam itu? >,<
- Satu hari full hanya maem Mie Gelas ... >,< (ini karena saya nggak ada yang masakin). Yang bikin bandel tenggorokan di kemudian hari mungkin gara gara bumbu Mie Gelas rasa Baso Special kucampur jadi satu dengan bumbu Rasa Ayam Special (maklum, sudah kepepet)
- Belum bisa menikmati film yang sudah disewa beberapa hari lalu (sampai saat ini Eat Pray and Love dan Letter For Juliet itu masih nangkring di jendela kamar kos Fandi);
- Kebanyakan kirim kiriman surat sama Mas Van (main beginian kok ya sama cowok? ... -,-")
Humm.. anyway setelah menyewa Sherlock untuk menganalisa bagaimana si "Uhuk uhuk uhuk" ini tiba tiba dengan setia menemani suaraku, ternyata kelima tersangka di atas punya alibi masing-masing yang kuat.
- Alibi tersangka 1: Saya benar benar mencintai Es Monalisa, sehingga dengan begitu diapun yang telah saya cintai itu tak akan tega untuk menghadirkan "uhuk, uhuk, uhuk" ini di lajur tenggorokan saya;
- Alibi tersangka 2: Walaupun saya tega sekali mematikan AC, namun hingga saat ini udara AC ini belum membawa debu gurun Sahara yang bisa menyesakkan hidung lalu masuk ke tenggorokan, jadi alibinya bisa dimaklumi;
- Alibi tersangka 3: Mie gelas itu - percayalah - hanya untuk mereka yang nggak tahu cita rasa makanan (celakanya saya "terpaksa" menjadi bagian dari mereka). Walaupun memang ada secuil rasa curiga terhadapnya, namun saya tak sampai tega menuduhnya telah mengganggu kenyamanan saya;
- Ah, ini tersangka yang tidak masuk hitungan.
- Andaikata dalam surat suratan itu Mas Van mengirimkan kata kata mesranya barulah saya akan menjadikan tersangka nomor 5 ini Tersangka Utama. tapi (Alhamdulillah) itu tidak terjadi. Selamatlah kodrad kami berdua.
Humm... Sherlock mulai menggaruk garuk kepala, pipanya dimain-mainkan tanda gelisah. Dia berjalan, kesana kemari, memegangi kening, janggut, ah ... lalu berkata: "Professor James Moriarty dan Jack the Ripper pelakunyaa!!" sambil menggebrak pintu dan berlari keluar seperti orang gila.
Ah...
Bagaimanapun datangnya si "uhuk uhuk uhuk" ini di laring tenggoranku, biarlah dia ada. Toh, mungkin dia itu hanya mengingatkan bahwa tenggorokanpun juga perlu istirahat, nggak teriak teriak lagunya Ipang dulu, nggak harus berbicara hal yang nggak perlu lagi (kalau nggak mau di-seseli sama "uhuk uhuk-nya"), dan ya ... mungkin ada baiknya mencoba menyambangi Indomart lalu membeli Komix di sana (toh selama ini saya tak pernah membelinya, jadi apa salahnya mencoba satu kali dalam bulan ini?)
Ah ya, mungkin demikian. Ups, hampir lupa, kalau ada yang jadi kurang berkenan dengan mood saya hari ini tolong dimaafkan ya.
Uhuk, uhuk, uhuk ...
Sabtu, 19 Maret 2011
It Makes Right, Whatever the Situation ...
"Hay, Assalamualaykum, ... Selamat pagi! Apa kabar? Kok berseri seri gitu kamu? Oh iya, kemarin aku jalan jalan sama sepupumu, nonton .. mau aku ceritakan filmnya?"
*
"Ups, maaf, maaf, nggak sengaja. Buru buru nih, nanti telat absen.. Eh, kemarin MU menang ya? Sayang, aku ketiduran ... "
*
"Ahay, sore yang mendung ya? .. Heran, hari ini hujan kok malu malu mau turun, .. menggantung saja di langit. Kamu mau coklat nggak? Aku punya. Sambil menunggu hujan turun. Toh kamu nggak ada yang harus terburu buru, kan? ... "
*
"Aduh, .. kemarilah sebentar. Sebentar saja. Ujung selimutku tersingkap .. selimuti aku ya, Sayang. Aku tadi beli buku baru, bagus sepertinya, judulnya bla bla bla .. mau menceritakannya buat aku? Ayolah, ya ... "
*
".. Bangun, bangun .. kamunya yang manja, atau suaraku yang terlalu lembut sih? Sudah subuh, kamu nggak sholat dulu? .. Aku buatin kopi ya .. "
".. Bangun, bangun .. kamunya yang manja, atau suaraku yang terlalu lembut sih? Sudah subuh, kamu nggak sholat dulu? .. Aku buatin kopi ya .. "
* Menyapalah dengan manis .. : )
Rabu, 09 Maret 2011
Me and Happines ...
Sudah hampir, setengah lima .. ah, bukan, bukan, ... sudah setengah lima pas .. ! : )
Pada suatu masa yang pernah dilalui, pada jam jam ini - ya jam jam ketika matahari beringsut pelan pelan menyambangi peraduan di Barat; ketika Senja ditunggu kehadirannya oleh sekelompok anak yang tak ingat akan apa PR dari bu guru buat besok; ketika ah .. ya ketika suara ibu sudah kedengaran dari jauh ... : "Gie, maghrib, ayo muleh .. muleh, .. " - tentu bukankah dulu akan selalu ada jam jam yang seperti itu? : )
Pada suatu masa yang pernah dilalui, pada jam jam ini - ya jam jam ketika matahari beringsut pelan pelan menyambangi peraduan di Barat; ketika Senja ditunggu kehadirannya oleh sekelompok anak yang tak ingat akan apa PR dari bu guru buat besok; ketika ah .. ya ketika suara ibu sudah kedengaran dari jauh ... : "Gie, maghrib, ayo muleh .. muleh, .. " - tentu bukankah dulu akan selalu ada jam jam yang seperti itu? : )
Ya, seandainya Kamu ada pada jam jam itu, pasti Kamu akan mendapati Aku di sana: Main bentengan dengan senangnya bersama tujuh atau sepuluh anak lainnya, atau berdebu debu ria di lapangan petak di pinggir jalan (yang pada waktu waktu tertentu selalu diguguri daun coklat mirip kitiran), atau di rumah saja menunggu masakan Ibu atau naik genteng rumah bersusah payah memainkan layangan. : )
Dan pada malam harinya, ya kebahagiaan kecil mengubah wujudnya. Seperti apakah itu? Perjalanan. Ya, perjalanan pendek entah ke mana. Entah ketika itu sedang hujan atau bulan meringis terang, entah ketika Ayah akan membelikanmu sesuatu atau hanya sekedar mengajakmu menjemput Kakak; entah apapun situasinya tetapi yang utama Aku ada di sana: duduk di tengah dihimpit Ayah yang menyetir motor dan Ibu yang memeluk dari belakang.
Ah .. seperti baru kemarin, seperti baru kemarin semua itu hadir ..
Jujur, Aku bukan orang yang selalu "update". Dalam pengertian: Aku nggak selalu update handphone baru ketika semua orang sibuk melakukannya (dan kemudian berbondong bondong migrasi ke Blakcberry di kemudian hari). Aku pun acuh saja - cuek - waktu pilihan musik orang hari ini seperti "itu" (maaf, tapi yang semacam 80's itu masih jauh lebih baik); pun Aku tak pernah pergi ke tempat yang menurutku orang orang menjadi bahagia sekali sepulang dari sana dan bisa berkisah tentang apa saja.
Ya, .. ini Aku-nya yang kuper (nggak njamani) atau .. memang sedikit sekali yang bisa membuatku bahagia, ya? : )
Tapi benar lho, (kok jadi curhat .. hehe), sedikit sekali yang bisa membuatku senang - terlebih bahagia. Sedikit sekali. Jadi seandainya suatu ketika Kamu mendapati Aku menolak suatu tawaran sesuatu, mengertilah bahwa itulah titik tertentu dalam hatiku bahwa Aku tak bisa memaksakan diriku. Walau sebisa mungkin, Aku akan mencoba menyenangkan atau tak membuat kecewa Kamu atau orang lain. Tapi, ... ketika aku benar benar tidak ada di sana, mengertilah... (toh, kehilangan Aku pun tak akan mengubah banyak hal sepertinya ... )
Tapi, bukan berarti karena sangat sedikitnya sesuatu yang bisa membuatku bahagia itu, lantas Aku sulit berbahagia. Bukan, ... bukan seperti itu pengertiannya. Kalaulah Aku tak tertawa atau minimal tersenyum ketika Kamu dan yang lainnya tenggelam dalam tawa kalian itu, bukan lantas berarti aku hilang dari kesenangan kalian. Aku ada, kok. Aku di sana. Hanya mungkin caraku menanggapinya tak sama dengan cara kalian. Bukankah, setiap orang punya cara tersendiri untuk tertawa atau tersenyum? Dan, justru bukankah hal semacam itu yang membuat keunikan di antara kita itu begitu terasa .. : )
Astaghfirullah... Astaghfirullah... Astaghfirullah...
Kalaulah ada, khilafku di setiap detik ke-Aku-anku itu, ampunilah Aku, karena Engkaulah yang Selalu Mengerti ...
Pun karena semuanya dari Engkau dan (pada akhirnya) akan kembali kepada-Mu ...
Semuanya ....
Senin, 07 Maret 2011
Letto - Kepada Hati Itu .. : )
Betapa diriku terus mencoba
Tapi merasa ku tak berdaya
Sepanjang waktumu tak kau biarkan - tak kau lepaskan keinginanmu
Mencoba bertahan dari hatiku
Keinginanku memilikinya
Kepada hati itu aku terlena
Dimana kau berada Aku terbawa
Kepada hati itu kuterus mencoba
Dimana kau berada engkau milik-Nya
Harumnya nafasmu sangat sejuk - sangat pantas di jiwamu
Begitu terasa lapar dahaga kasih dan cinta yang engkau punya
Kepada hati itu aku terlena
Dimana kau berada Aku terbawa
Kepada hati itu kuterus mencoba
Dimana kau berada engkau milik-Nya
* kalau ada Hati yang seperti itu, ah indahnya ..
Minggu, 06 Maret 2011
In Around We Be eL ..
Tik tak .. tik .. tak .. tik ..
Hehe, sekedar menghituk tik tak detik waktu dari pengantar Februari hingga akhirnya dituntaskan juga pada 05 Maret 2011. Tajuknya, sederhana sekali: Kunjungan kelurga besar Sekum APJ - hmmff .. tapi kok malah Aku yang belum bawa keluarga :( - ke Lamongan atau ke mana lagi kalau bukan Wisata Bahari Lamongan a.k.a. WBL. : )
Iya, sebenarnya ini bisa dibilang agenda rahasia orang orang Sekum yang nampaknya sudah ter-planning dengan rapi jauh jauh hari. Saking rahasianya, sampai sampai orang orang Akuntansi, SDM, Keuangan, dan bahkan Pak Bosnya sendiri dilarang gabung dalam agenda rapat (hehehe .. lebay .. :D ). Tapi di luar itu,memang ini liburan untuk pelepas penat warga Sekum saja. Sumber SKKO nya pun dari hasil menyisihkan sebagian uang dinas luar pegawai dan OS nya.
Rasa rasanya, cuma dengan hal seperti ini yang justru berhasil memutar roda niat untuk sekedar liburan ringan atau dalam bahasa WCS-nya lazim disebut Family Gathering ketimbang mem-planning sedemikian rumit namun belum juga ada juntrungannya ... :(
Perjalanan sendiri di mulai tepat tengah malam. Pukul 24.00 WIB, para awak bus: Keluarga Mas Rizal, keluarga Mas Anis, keluarga Mas Agung, dan beberapa keluarga kecil lainnya sudah nampak duduk duduk di halaman kantor. Tak lupa, para anak kecil di tengah impitan ibunya sambil ngantuk ngantuk menunggu jam keberangkatan.
Aku sendiri sampai lupa maem lupa tidur supaya nggak ketinggalan si Akas Asri .. -,-"
Akhirnya, si Akas menderum juga. Tas tas mulai diangkut satu demi satu ke dalam badan bus. Anak anak kecil, ibu ibu muda, dan mas mas dari Kopkar sudah duduk di tempat masing masing. Peet ! Trip penyulang kota mengiringi hiruk pikuk dini hari. 1 menit reclose ternyata berhasil. Tinggal nunggu Bu Nyai Sekum dan Pak Ketua Kelas. Pak Ketua Kelas sendiri ternyata baru pulang dari Rapat RT jam 12 malem (rapat macam apa itu? :D).
Setelah awak bus komplit, sisa perjalanan ditemani 2 hal: Ngantuk tapi sulit bobok dan semilir AC nan dingin. Enam jam ternyata cukup singkat juga (bagiku sih). Entah mengapa justru lebih lama kalau pulang ke Malang. Kami menjejak di tanah Lamongan tepat pukul 06.00! Tahu artinya? Yup! Tempatnya belum buka .. hahaha! Kepagian.. hehehehe, sampai sampai Pak Ketua Kelas berkelakar: "Ntar kalau ada yang nanya: rombongan dari mana?' , jawab saja: dari Jakarta." :D
*
Kesan pertama dari WBL ialah kepiting kuning raksasa yang mencengkeram gerbang pintu masuk. Tempatnya yang biru dan mirip stadion bola. Dan, aih .. ada ... (ups, ndak usah ditulis wis.. :P). Kalau bagian dalamnya, tak jauh beda dengan Jatim Park di Batu. Wahananya pun beragam, dari yang sifatnya edukatif sampai ajang iseng isengan belaka.
Untuk bagian wahana ini, biarlah Aku kisahkan sedikit.
Begini, karena kami: Aku, Wyse Cekidot, sama Mbak Listri tergolong dalam kategori manusia "berumur" maka diputuskan wahana yang akan dijajal pun adalah yang sudah 17 plus, alias cukup untuk nggak mempermalukan diri sendiri atau berebut antrian dengan bocah bocah kecil. :D
Ada 3 yang dipilih: Namanya Drop Zone, Ranger, dan satu lagi gila gilaan mobil (lupa namanya). Drop Zone adalah permainan di mana kamu akan didudukkan bersama 11 orang lainnya secara terpisah di empat sisi tempat duduknya. Pelan pelan kamu akan diangkat sampai ketinggian tertentu, lalu tanpa permisi tiba tiba di-anjlok-kan drastis. Dinaikin lagi, lalu di drop lagi. Gitu terus persis ngocok obat batuk. \(~ ~)/
Merasa kurang menantang adrenalin, diputuskan naik gila gilaan mobil. Di sini kamu dan satu orang teman kamu duduk di sabuah mobil, dipasangi alat keamanan sederhana dan minim berupa seat belt pinggang, lalu diluncurkan di atas rel dengan kecepatan penuh sampai hampir terpental di tiap tikungannya. Maksudku, benar benar terpental kalau saja alat keamanan tadi tiba tiba kendor.. >,<
Kesimpulan permainan kedua: Wyse mulai cenat cenut (belakangan dia ngaku kalau sedari awal nggak berani buka mata sampai sampai si Om yang jadi temen semobilnya bilang ke penjaga wahana: "Mas, Mas tolong ditenangkan anak ini..." :D
Wahana yang setelah itu namanya Rangers, yaitu permainan bandul ayun dua sisi. Di sana, kamu akan didudukkan dalam satu ruangan kecil dengan standard keamanan cukup. Kamu akan mulai diayun ayunkan ke depan dan belakang perlahan, mirip ibu yang menimang bayinya di ayunan. Lalu pelan tapi pasti, ayunan dipercepat, semakin cepat, seeeemaaakiin cepat, dan pungkasannya kamu akan diputar 360 derajad! Itu artinya: Hukum Newton berlaku, kakimu berada di atas dan kepalamu menengadah ke bawah. Kalau ingin tahu rasanya jadi cicak inilah tempat yang pas!
Lambungku sudah mulai uring uringan di putaran pertama 360 derajad. Mbak listri sudah tak kuasa membuka mata. Kakinya terangkat naik. Bagian bawah jilbabnya menutupi muka. Begitu pintu dibuka, kami nggak sampai pingsan. Tapi mual mual itu bertahan sampai kami pulang. >,<
*
Satu hal lagi yang harus kamu ingat kalau suatu saat nanti bermain ke tempat ini yaitu: bersabarlah dengan makan dan minum. Bukan tidak ada mie ayam atau Coca Cola, tapi prosedurnya itu lho yang ribet banget. Sebenarnya konsepnya mirip seperti Pujasera Jember, hanya saja tidak dibayar langsung di si penjual tapi ke kasir (belakangan hal ini membuat Wyse bingung karena rata rata orang kok membayar pakai uang monopoli. Aku pun sampai butuh beberapa menit sampai baru benar benar mengerti bagaimana alur proses bisnis maem, minum, kasir, dan uang monopoli ini). :D
Ups, belum berhenti sampai di sana lho. Proses nunggu maemnya jadi ini juga yang menuntut kesabaran ekstra. Pasalnya, maem tidak diantar ke meja kami, tapi harus ditunggui. Persis antre masuk liat Arema di Kanjuruhan. Dan, untuk maeman yang sedikit ribet 20 menitan lah kamu harus berdiri dengan lambung sudah berdendang lagu Melayu. Jadi opsi paling aman kalau sudah ndak kuat dengan lapar ya cuma 1 dan itu tersedia hampir di setiap stand: Pop Mie !! :D
*
Hamparannya berpasir kuning. Sangat kuning. Di sana, di tiap sepasang nyiur dipasang tempat tidur jaring. Sekumpulan keluarga bermain di ayunan yang dijajar rapi. Lalu para anak kecil dengan lincah memainkan bola plastik. Lari sana sini, tendang sana sini. Dan di depan sana .. dekat, begitu dekat, kamu akan melihat hamparan luas pantainya sejauh apapun kedua matamu coba menerawangnya. : )
Lama sekali aku harus memandangnya. Memandang dengan menyipitkan mata karena tak kuasa dengan panah panah terik harinya. Memandang dengan tenang bagaimana pantai selalu bisa menyadarkan manusia akan lapangnya jiwa yang ia punya. Memandang dengan diam sembari menerka kira kira apa yang Kaka SLANK pikirkan di tepian Anyer akankah sama dengan yang terjadi pada siang itu... : )
Aku sendiri sampai lupa maem lupa tidur supaya nggak ketinggalan si Akas Asri .. -,-"
Akhirnya, si Akas menderum juga. Tas tas mulai diangkut satu demi satu ke dalam badan bus. Anak anak kecil, ibu ibu muda, dan mas mas dari Kopkar sudah duduk di tempat masing masing. Peet ! Trip penyulang kota mengiringi hiruk pikuk dini hari. 1 menit reclose ternyata berhasil. Tinggal nunggu Bu Nyai Sekum dan Pak Ketua Kelas. Pak Ketua Kelas sendiri ternyata baru pulang dari Rapat RT jam 12 malem (rapat macam apa itu? :D).
Setelah awak bus komplit, sisa perjalanan ditemani 2 hal: Ngantuk tapi sulit bobok dan semilir AC nan dingin. Enam jam ternyata cukup singkat juga (bagiku sih). Entah mengapa justru lebih lama kalau pulang ke Malang. Kami menjejak di tanah Lamongan tepat pukul 06.00! Tahu artinya? Yup! Tempatnya belum buka .. hahaha! Kepagian.. hehehehe, sampai sampai Pak Ketua Kelas berkelakar: "Ntar kalau ada yang nanya: rombongan dari mana?' , jawab saja: dari Jakarta." :D
*
Kesan pertama dari WBL ialah kepiting kuning raksasa yang mencengkeram gerbang pintu masuk. Tempatnya yang biru dan mirip stadion bola. Dan, aih .. ada ... (ups, ndak usah ditulis wis.. :P). Kalau bagian dalamnya, tak jauh beda dengan Jatim Park di Batu. Wahananya pun beragam, dari yang sifatnya edukatif sampai ajang iseng isengan belaka.
Untuk bagian wahana ini, biarlah Aku kisahkan sedikit.
Begini, karena kami: Aku, Wyse Cekidot, sama Mbak Listri tergolong dalam kategori manusia "berumur" maka diputuskan wahana yang akan dijajal pun adalah yang sudah 17 plus, alias cukup untuk nggak mempermalukan diri sendiri atau berebut antrian dengan bocah bocah kecil. :D
Ada 3 yang dipilih: Namanya Drop Zone, Ranger, dan satu lagi gila gilaan mobil (lupa namanya). Drop Zone adalah permainan di mana kamu akan didudukkan bersama 11 orang lainnya secara terpisah di empat sisi tempat duduknya. Pelan pelan kamu akan diangkat sampai ketinggian tertentu, lalu tanpa permisi tiba tiba di-anjlok-kan drastis. Dinaikin lagi, lalu di drop lagi. Gitu terus persis ngocok obat batuk. \(~ ~)/
Merasa kurang menantang adrenalin, diputuskan naik gila gilaan mobil. Di sini kamu dan satu orang teman kamu duduk di sabuah mobil, dipasangi alat keamanan sederhana dan minim berupa seat belt pinggang, lalu diluncurkan di atas rel dengan kecepatan penuh sampai hampir terpental di tiap tikungannya. Maksudku, benar benar terpental kalau saja alat keamanan tadi tiba tiba kendor.. >,<
Kesimpulan permainan kedua: Wyse mulai cenat cenut (belakangan dia ngaku kalau sedari awal nggak berani buka mata sampai sampai si Om yang jadi temen semobilnya bilang ke penjaga wahana: "Mas, Mas tolong ditenangkan anak ini..." :D
Wahana yang setelah itu namanya Rangers, yaitu permainan bandul ayun dua sisi. Di sana, kamu akan didudukkan dalam satu ruangan kecil dengan standard keamanan cukup. Kamu akan mulai diayun ayunkan ke depan dan belakang perlahan, mirip ibu yang menimang bayinya di ayunan. Lalu pelan tapi pasti, ayunan dipercepat, semakin cepat, seeeemaaakiin cepat, dan pungkasannya kamu akan diputar 360 derajad! Itu artinya: Hukum Newton berlaku, kakimu berada di atas dan kepalamu menengadah ke bawah. Kalau ingin tahu rasanya jadi cicak inilah tempat yang pas!
Lambungku sudah mulai uring uringan di putaran pertama 360 derajad. Mbak listri sudah tak kuasa membuka mata. Kakinya terangkat naik. Bagian bawah jilbabnya menutupi muka. Begitu pintu dibuka, kami nggak sampai pingsan. Tapi mual mual itu bertahan sampai kami pulang. >,<
*
Satu hal lagi yang harus kamu ingat kalau suatu saat nanti bermain ke tempat ini yaitu: bersabarlah dengan makan dan minum. Bukan tidak ada mie ayam atau Coca Cola, tapi prosedurnya itu lho yang ribet banget. Sebenarnya konsepnya mirip seperti Pujasera Jember, hanya saja tidak dibayar langsung di si penjual tapi ke kasir (belakangan hal ini membuat Wyse bingung karena rata rata orang kok membayar pakai uang monopoli. Aku pun sampai butuh beberapa menit sampai baru benar benar mengerti bagaimana alur proses bisnis maem, minum, kasir, dan uang monopoli ini). :D
Ups, belum berhenti sampai di sana lho. Proses nunggu maemnya jadi ini juga yang menuntut kesabaran ekstra. Pasalnya, maem tidak diantar ke meja kami, tapi harus ditunggui. Persis antre masuk liat Arema di Kanjuruhan. Dan, untuk maeman yang sedikit ribet 20 menitan lah kamu harus berdiri dengan lambung sudah berdendang lagu Melayu. Jadi opsi paling aman kalau sudah ndak kuat dengan lapar ya cuma 1 dan itu tersedia hampir di setiap stand: Pop Mie !! :D
*
Hamparannya berpasir kuning. Sangat kuning. Di sana, di tiap sepasang nyiur dipasang tempat tidur jaring. Sekumpulan keluarga bermain di ayunan yang dijajar rapi. Lalu para anak kecil dengan lincah memainkan bola plastik. Lari sana sini, tendang sana sini. Dan di depan sana .. dekat, begitu dekat, kamu akan melihat hamparan luas pantainya sejauh apapun kedua matamu coba menerawangnya. : )
Lama sekali aku harus memandangnya. Memandang dengan menyipitkan mata karena tak kuasa dengan panah panah terik harinya. Memandang dengan tenang bagaimana pantai selalu bisa menyadarkan manusia akan lapangnya jiwa yang ia punya. Memandang dengan diam sembari menerka kira kira apa yang Kaka SLANK pikirkan di tepian Anyer akankah sama dengan yang terjadi pada siang itu... : )
Jumat, 04 Maret 2011
Jumat - Medio Sore
... Sabar dan selalu sabarkan diri ini dari Desir yang tiap kali tanpa permisi menyalami hati ...
Karena semua dari-Mu dan (pada akhirnya) akan kembali pada-Mu ...
Langganan:
Komentar (Atom)

