APARTEMEN tujuh ruang Rivael di tingkat sembilan dipenuhi dengan hiasan balon bermacam-mcam warna, pita-pita di langit-langit, dan kado-kado dari berbagai macam kalangan. Pesta besar dirancang oleh jasa perancang pesta kelas atas. Jepretan blitz wartawan seperti lampu-lampu neon yang tidak pernah padam gemerlapnya. Sejumlah publik figur dan tokoh dunia hiburan turut hadir menyemarakkan. Kamera-
kamera stasiun televisi bersiap mengabadikan momen yang akan melonjakkan ratingprogram
infotainment mereka.
Aku mendapat kepercayaan dari Rivael untuk menjadi penerima tamu sekaligus pembawa acara. Di antara para undangan, seorang perempuan bergaun merah, tinggi semampai, dan dengan tatanan rambut yang sudah dipersiapkan sejak lima jam lalu di salon, menghampiriku dan menanyakan keberadaan Rivael.
“Jeremy, di mana yang punya acara?” tanya Anneline. “Kita di pestanya, di apartemennya, tapi dia sendiri tidak ada. Ini bukan lelucon, kan?”
“Sebenarnya, acaranya baru dimulai nanti jam delapan, Anne,” kataku. “Kalau menurut jadwal yang diberikan manajer Rivael padaku, seharusnya dia sekarang sudah on the way kemari setalah selesai syuting. Mungkin juga sedikit terlambat sekitar sepuluh sampai lime belas menit karena kru sinetronnya pasti juga sudah merencanakan kejutan tersendiri buatnya.”
Anneline menoleh ke sana-sini, mencari sesuatu atau seseorang.
“Aku tak melihat Jessica. Dia bersama Rivael?”
“Sebenarnya aku tidak tahu. Tapi kata Rivael, Jessy tidak bisa hadir malam ini.”
“Kenapa?”
“Entahlah? Itu bukan aku yang mengurusi,” kataku dengan mengangkat kedua bahu.
Anneline mengambil segelas minuman ringan di meja.
“Dia tidak ada di sini sementara kekasihnya akan berulang tahun?” Ia meminum sedikit minuman itu lalu menambahkan: “Aku tidak tahu apa yang menarik darinya? Bagaimana menurutmu, Jeremy?”
“Aku tak tahu. Dia cukup cantik,” jawabku asal.
“Ya, dengan wajah yang kelihatan lugu itu,” timpal Anneline. “Dia mendapat banyak tawaran peran dengan wajah itu.”
Aku menangkap nada kurang simpati dalam kalimatnya, namun tak kutelisik lebih dalam dari
Anne.
“Kau pernah bersama-sama Rivael sebelumnya – maksudku jalan bersama.”
“Berpacaran kalau itu maksudmu.” Anneline menukasi. “Ya dan hanya beberapa bulan sebelum dia jalan sama Agatha, lalu Prita, dan sekarang: Si Polos itu.”
“Kau tidak marah – maksudku ini sangat aneh. Dia punya banyak kekasih, walau selama menjalin hubungan Rivael memang tidak pernah menduakan kalian. Dan sekarang, kau; Agatha; dan Prita, semuanya berkumpul dalam satu ruangan tanpa perasaan tersaingi satu sama lain? Aku tak pernah mengerti itu.”
“Mungkin karena kami semua senasib,” kata Anneline. “Mestinya kau harus mencoba menjadi
pacar Rivael agar bisa tahu sendiri jawabannya.”
“Bagaimana menurutmu kalau sekarang Rivael bersama Jessy?” tanyaku.
Aku tak mengatakan pada Anneline tentang Sara yang membakar winterkami. Anneline menimbang-nimbang.
“Sepertinya dia gadis baik-baik dan belum paham betul seluk-beluk dunia kita ini. Tak
kuherankan, dia pendatang baru di sini. Ia harus mengenal sejumlah orang sebelum memutuskan menjalani hubungan dengan Rivael. Mungkin, kalau ia sudah melakukan itu, ia tidak akan ada dalam undangan ini – atau tepatnya tak akan menanggapi undangannya.”
Anneline meneguk sisa minumannya. “Kau tentu paham itu?” lanjutnya kemudian.
Aku tersenyum kecil. “Jessica sama seperti kebanyakan orang di luar sana. Kau dulu juga salah satu dari mereka, bukan begitu? Jangan menghakimi Jessy. Seperti kau tidak pernah mengalaminya saja.”
“Aku hanya sedikit cemburu; dia bisa mendapatkannya lebih mudah dariku,” kata Anneline.
Senyum mengembang tipis di sudut bibirnya. Ia meninggalkanku dan beranjak menuju keramaian dan teman bicara yang lain.
“Nikmati pestanya, Anneline,” kataku saat ia telah berjalan memunggungiku.
Langkah jarum jam di dinding apartemen sudah menunjuk pukul sembilan kurang sepuluh menit. Kebosanan mulai menjalari para undangan yang kurang sabar dengan pemuncak pesta – kedatangan Rivael yang sudah terlalu terlambat. Beberapa undangan bahkan berpamitan melaluiku dan meninggalkan sepatah kalimat ucapan selamat untuk Sang Bintang yang tak pernah menjawab panggilan handphone-ku.
Raut wajah para kameraman infotainmentjuga terlihat layu. Mereka berkelompok di salah satu sudut, saling membuat lelucon untuk membunuh rasa bosan, atau hanya terdiam menunggu kelahiran berita yang diharapkan akan mengangkat tayangan program mereka.
Tepat setengah jam kemudian, dengan didahului oleh si manajer, Rivael dengan dandanan jas hitam yang membalut kemeja putih sedikit lusuh dengan kedua krah terangkat dan kancing paling atas terbuka, masuk ke dalam ruangan yang kembali hidup. Juru kamera berebutan melupakan bosan dan kantuk, datang mengerubungi Rivael, dan menodong dengan moncong-moncong kamera mereka.
“Maafkan saya, Kawan-kawan,” demikian Rivael membuka kalimatnya. “Ini pesta ulang tahun yang cukup larut untuk kita semua. So, where’s the prize?”
Setelah itu, tamu-tamu yang sudah tidak kuat menahan jenuh, bergerak hampir bersama-sama lalu menyalami dan mengucapkan selamat padanya. Rivael pun tidak ingin memperpanjang acara bahagianya ini lebih lama lagi. Rivael membisikkan sesuatu ke telingaku yang intinya agar aku memotong beberapa bagian untuk mempercepat prosesi dan pestanya.
Akhirnya, juga dengan didukung perasaan serupa dari sebagian undangan – selain para kameraman tentunya – acara diakhiri dengan pemotongan kue ulang tahun dibubuhi pembacaan doa dan pengharapan untuk kecemerlangan Rivael di masa mendatangnya.
Tentunya pesta mahal itu telah usai pada pukul sepuluh malam. Tepat seperti batas jam malam yang dikenakan oleh para orang tua protektif terhadap anak gadis mereka. Ruangan yang ramai itu sekarang sepi. Kado-kado bertumpuk dan masih terbungkus cantik tak tersentuh; gelas-gelas kosong, setengah penuh, dan yang masih benar-benar penuh dan berkilauan berjajar tak beraturan di meja; lantai kotor oleh perca-perca kertas berwarna-warni.
Pesta telah berakhir prematur.
Kini dalam apartemen itu hanya menyisakan diriku dan pemilik ruangan. Rivael duduk lelah,
lemas, dan tak bergairah di sofa. Ia mengendurkan ikat pinggang, membuka sebagian kancing kemejanya, ditemani segelas winetanpa alkohol di tangan kanannya.
“Ada apa denganmu, Rivael?” tanyaku yang berdiri bersandar pada dinding berjendela.
“Kau tidak terlihat bahagia malam ini? Apa ada yang salah? Ini ulang tahunmu, Teman! Kau
seharusnya bahagia.”
Rivael diam sesaat, merenung dengan pandangan hampa. “Mungkin,” katanya.
Ia menengadah ke langit-langit, meletakkan wine, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan.
“Ya Tuhan, apa yang sudah kulakukan? Apa yang sudah kulakukan?” katanya lemah dan terisak.
Aku berjalan mendekat dengan rasa penasaran menghinggap.
“Apa yang terjadi? Ada hal buruk yang telah terjadi di jalan; di tempat syutingmu? Itu juga
alasanmu terlambat?”
Badan Rivael bergetar. Aku duduk di sampingnya dan menyentuh pundaknya. Ia semakin
gemetar.
“Apa yang terjadi?” bisikku.
Rivael membuka wajahnya, menatapku dengan mata memerah berair.
“Aku menabrak seseorang.”
Gelas yang terapit di tanganku hampir melompat mendengar berita mengejutkan itu.
“Kau menabrak seseorang?!” kataku terperanjat.
“Di mana? Kapan?”
“Di tikungan Jl. Bintang,” kata Rivael. “Kejadiannya begitu cepat, tapi kira-kira itu pukul sembilan tadi. Aku....aku....benar-benar tidak bisa mengerem saat perempuan itu mendadak muncul dari satu tikungan dan kutabrak. Astaga, Tuhan, apa yang kulakukan? Apa yang telah kulakukan?”
Rivael menutup mukanya kembali dengan kedua tangan.
“Ini benar-benar musibah. Perempuan itu selamat? Bagaimana keadaannya?”
“Entah,” kata Rivael lemah. “Semoga ia baik-baik saja, tapi kalau melihat darahnya,
aku.....aku....aku tak tahu, Jeremy! Aku tak sengaja! Aku benar-benar tak menginginkan semua ini terjadi.”
“Aku tahu, aku tahu,” kataku dengan merangkul pundaknya. “Itu insiden, hanya kecelakaan.
Bukan sebuah kesengajaan. Dia akan baik-baik saja setelah ditangani dokter yang tepat.”
“Dia tak mungkin baik-baik saja, Jeremy!” bantah Rivael dengan nada bersalah.
“Kau tidak melihat sendiri darahnya! Kau tidak melihat.......”
Aku membiarkan Rivael dengan gemuruh perasaannya. Aku membiarkannya menangis.
Kubiarkan ia mengutarakan kepedihannya dengan tangisan, karena dengan begitu ia bisa lebih tenang saat melanjutkan pembicaraan.
“Jeremy,” kata Rivael setelah ia menyelesaikan semua isaknya.
“Mungkin dia ada benarnya.”
“Dia? Dia siapa?”
“Wanita Gipsy itu; juga.......ramalan itu.”
Aku menghela nafas, mencoba membuat Rivael tegar. “Jangan ungkit hal itu! Kau bilang sendiri kalau itu hanya omong kosong! Jangan menghubung-hubungkan sesuatu yang satu dengan sesuatu yang lain yang bukan berasal dari pemikiran atau penalaran logis akal sehat! Ah, memang ini salahku telah mengungkit hal itu padamu!”
“Tidak....tidak....ini tidak begitu, Jeremy,” kata Rivael.
Dia bangkit dari sofa, berjalan dengan gelisah.
“Mungkin memang ada kebenaran yang keluar dari mulut orang Gipsy itu, Jeremy. Ini tak
mungkin terjadi kebetulan. Ini adalah......adalah hukuman! Hukuman, Jeremy! Hukumanku.....”
Aku bangkit dari sofa. “Tenangkanlah dirimu! Pikiranmu kacau! Kau tak berpikir jernih, Rivael. Ini hanya kecelakaan biasa. Dengar: ha-nya ke-ce-la-ka-a-an bi-a-sa. Tak ada hubungannya dengan kartu dan mantra Gipsy itu,” kataku dengan gusar. Aku heran mengapa harus ikut gusar.
Namun Rivael tidak mendengar lagi kalimatku. Ia sibuk beradu dengan kecamuk pikirannya
sendiri. Pikiran dan halusinasi tentang antitesis sebuah pikiran jernih. Dia terus menyalahkan dirinya, mengumpati dirinya sendiri, lalu setelah lelah ia terisak-isak, meraung memanggil nama Tuhan.
Setelah membisu untuk beberapa saat, Rivael membuka kembali percakapan.
“Kurasa hukuman itu telah dimulai, Jeremy,” katanya pelan. “Tidak lama lagi. Tak lama lagi
Jeremy, ramalan itu akan menyeretku dalam kegalauan yang panjang. Mimpi buruk yang kelam dan panjang.”
“Itu tidak benar, Rivael,” bantahku. “Itu tidak benar. Itu cuma kecelakaan. Kau bukan yang
pertama kali menabrak orang. Itu hanya karena kurang hati-hati dan bukannya kutukan.”
“Andai aku bisa berpikir sepertimu,” kata Rivael pasrah.
Aku menjadi iba melihat wajah Rivael yang sesuram rembulan bercadar kabut di langit luar sana. Ia seakan terlihat lebih tua sepuluh tahun dari umurnya kini. Keinginanku yang sebelumnya ingin melihatnya terjatuh seketika pupus. Aku ingin merangkul dan membantunya melewati saat-saat berat ini.
Kutinggalkan dia di sofa dengan perenungan dan sesalnya sementara aku berjalan menuju
jendela. Malam belum berlanjut ke tingkat yang terlalu dalam. Lampu-lampu kota kelap-kelip berkilauan di tengah layar hitam yang menyelubungi kota. Sementara di bawah sana sungai kunang-kunang mengalir gemerlapan dengan tenang.
*
RUMAH SAKITHarapan Manusia adalah yang terbaik – dan mungkin satu-satunya – rumah sakit dengan fasilitas terlengkap dan ter-humanisdi Indonesia. Tak ada pasien yang terlantar kehabisan darah hanya untuk menanti penanganan yang juga menunggu lancarnya proses administrasi. Tidak ada kecerobohan praktik karena para calon dokter muda yang magang langsung berada di bawah jangkauan pengawasan ketat para dokter senior dan berpengalaman. Kenyaman dan kebersihan adalah penunjang lain kemasyuran rumah sakit ini.
Hari ini masih siang, sekitar pukul sebelas, saat aku dan Rivael duduk di kursi tunggu di depan salah satu kamar bernomor 11 – A di Paviliun Mawar. Hampir tiga puluh menit kami berdua duduk dalam gelisah menunggu pintu kayu itu terbuka dan sosok dokter yang ideal keluar dari dalamnya.
Pukul sebelas seperempat, penantian kami mencair. Dari balik pintu itu muncul seorang
bertubuh tegap, berkalung stetoskop, dan berpakaian kemeja yang dibalut jas dinas warna putih dan kontras dengan warna hitam rambutnya yang berkilatan. Ia membawa secercah sinar dan senyum di wajahnya saat menemui kami.
Kami bersamaan bangkit dari kursi saat menyambut kehadiran Dokter Ahmad.
“Bagaimana, Dokter?” tanya Rivael tidak sabar bercampur gelisah. “Bagaimana keadaan
perempuan itu? Dia baik-baik saja, kan? Aku khawatir, Dokter. Sangat khawatir. Katakan yang terjadi padanya, Dokter. Katakan yang sebenarnya. Aku yang bertanggung jawab atasnya.”
Aku mencoba menenangkan Rivael.
“Tenanglah. Bagaimana Dokter bisa menjawab kalau kau tidak memberinya kesempatan
berbicara.”
Rivael menurunkan suaranya. “Maafkan saya, Dokter. Saya......saya hanya khawatir padanya.”
Dokter Ahmad tersenyum pada kami. “Jangan terlalu khawatir. Setelah Cheryl menjalani pemeriksaan dan perawatan, tidak ditemukan luka atau gejala lain yang fatal dari kecelakaannya. Tak ada tulang yang patah, tak ada organ dalam yang luka, tidak ada yang parah, Mas. Semuanya baik-baik saja. Setelah beristirahat satu, dua hari lagi dia akan pulih seperti semula.”
“Tapi.......tapi darahnya,” kata Rivael, masih cemas. “Dia mengeluarkan banyak darah malam itu.”
Dokter Ahmad tertawa kecil yang membuat hati Rivael semakin tak menentu.
“Anda terlalu berlebihan cemasnya,” kata Dokter Ahmad dengan memegang pundak Rivael.
“Wajar kalau seseorang mengeluarkan darah bila kulitnya tergores, apalagi dengan benda keras, kasar seperti aspal. Itu hanya luka ringan, jangan dibesar-besarkan.”
“Tapi –“
“Anda kurang senang dengan hal itu?” tanya Dokter Ahmad.
“Tidak. Tentu tidak. Demi Tuhan, tidak. Saya senang dia selamat dan baik-baik saja. Saya hanya......”
“Ia baik-baik saja. Jangan terlalu menyalahkan diri Anda. Cheryl pun tak terlalu
mempermasalahkan hal ini. Dia sudah memaafkan Anda untuk kejadian malam itu. Benar-benar perempuan yang baik.”
“Thanks, God.”
Baru kali inilah aku mendengarnya berucap syukur.
“Bagaimana dengan keluarganya?” tanyaku. “Mereka sudah mendengar hal ini?”
“Ya, bagaimana dengan mereka? Mereka sudah datang menjenguk? Saya ingin sekali meminta maaf pada mereka,” timpal Rivel.
“Tidak,” kata Dokter. “Setidaknya belum semua keluarganya tahu. Di kota ini, Cheryl hanya
tinggal bersama sepupunya, sementara ayah dan ibunya ada di luar kota. Cheryl pun berpesan kepada Anda lewat saya kalau Anda tidak perlu memberitahu keluarganya di luar kota karena kejadian malam itu. Dia tak ingin mereka panik. Dia sendiri sudah membuat sepupunya terlalu cemas dengan kejadian ini.”
“Saya benar-benar menyesal,” kata Rivael. “Boleh saya menemuinya, Dokter?”
“Tentu. Tapi jangan terlalu lama. Dia masih harus istirahat setelah ini,” kata Dokter. “Kalau begitu saya harus permisi. Masih ada pasien lain yang menunggu kehadiran saya.”
“Terima kasih, Dokter,” kata Rivael sesaat sebelum Dokter Ahmad meninggalkan kami berdua.
“Aku akan menjenguknya sebentar, Jeremy,” kata Rivael kemudian. Wajahnya terlihat lebih
tenang, walau matanya belum bisa menunjukkan rasa bersalahnya menghilang.
“Perlu kutemani?”
“Tidak, tidak perlu. Aku sendirian saja.”
“Kau yakin?”
“Ya, tentu. Aku akan baik-baik saja.”
Rivael meninggalkanku di luar untuk beberapa saat. Saat gemeletar adzan Dzuhur telah
menggema di telinga, pintu ruangan itu terbuka dan dari baliknya Rivael keluar dengan wajah yang benar-benar cerah. Senyumannya mengembang walau tipis. Ada semacam nuansa aneh yang terpancar dari roman Rivael itu.
“Bagaimana?” tanyaku. “Bagaimana keadaannya? Dia baik-baik saja?”
“Baik. Seperti kata Dokter.”
“Dia menyalahkanmu atas kejadian malam itu? Dia pasti menuntut sesuatu darimu, benar kan?”
“Tidak, Jeremy,” kata Rivael. Ia mengajakku kembali duduk. “Cheryl sangat baik. Seperti yang tadi telah dikatakan dokter, dia sudah memaafkan bahkan melupakan peristiwa malam itu.”
Aku seakan tidak percaya dengan kalimat yang baru meluncur dari mulutnya. Perempuan itu
tidak menuntut sesuatu apapun dari Rivael? Sudah memaafkan bahkan melupakan kecelakaan yang mungkin saja bisa merenggut nyawa satu-satunya? Itu benar-benar hal yang tidak bisa dipercaya oleh akal pikiran orang yang mempunyai – walau mungkin hanya setitik – perasaan dendam sekalipun.
Namun pemikiran “bodoh” itu lenyap dengan sendirinya ketika kusadari siapa sosok yang
sekarang duduk di sampingku. Dia adalah Rivael. Tak akan ada yang menunjukkan emosi kemarahan kepadanya, terlebih itu seorang wanita.
“Tentu, dia pasti memaafkanmu. Kau Rivael. Tak ada yang tidak memaafkan Rivael.”
Rivael tertawa kecil. “Kau salah. Wanita bernama Cheryl yang berbaring di dalam itu bahkan tidak mengenaliku. Dia tidak mengetahui kalau aku seorang yang terkenal di kota ini.”
Ucapan Rivael inilah yang justru membuatku heran tidak percaya. Perempuan beradab macam apa di Indonesia ini yang tidak mengenalnya? Mungkin hanya perempuan sinting.
Namun sisi lain benakku, sisi kelam di dalam pikiranku, mengatakan bahwa ini adalah salah satu bentuk awal hukuman atau kejutan dari ramalam wanita Gipsy itu. Coba bayangkan, Rivael tidak dikenali oleh seorang perempuan? Dia benar-benar sial! Tidak bisa kubayangkan wajah Rivael yang merah malu ketika akan memberikan tanda tangan atau ciuman pada
Cheryl sebagai penebus noda kesalahannya, tetapi perempuan itu menampiknya mentah-mentah.
Aku menyesal tak menyaksikan langsung peristiwa itu.
“Boleh aku menjenguknya?”
Rivael menahanku dengan tangannya. “Dia sedang tidur. Suster baru saja memberinya obat.”
Seolah mendapat restu, dari balik pintu keluar seorang perawat dengan membawa nampan
kosong. Aku kecewa, namun perasaan senang sedikit menyelimuti hatiku.
**
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar