TIDAK ADA yang lebih menyedihkan bagiku selain meninggalkan London yang bersejarah, misterius, dan eksotis. Namun pengambilan gambar telah selesai dan kewajiban selanjutnya memaksa kami untuk segera kembali ke Tanah Air. Beberapa waktu yang lalu kami telah bertolak dari bandara dan kini tengah berada di atas gugusan Eropa yang terlihat hijau, kecil, dan terselubung awan.
Di dalam ruangan pesawat, duduk kami dengan para kru terpencar. Rivael dan aku berada di
kursi kelima dari depan. Ia duduk di samping jendela bundar di sebelah kananku, aku duduk di tengah, sementara di samping kiriku adalah seorang lelaki berkebangsaan Belanda yang dalam hitungan beberapa jam ke depan akan bersama-sama kami mendarat di Bandara Sukarno-Hatta.
“Kalian membuatku senang dengan kejutan kecil itu,” kata Rivael sambil membaca majalah yang ia tekuk halamannya.
“Syukurlah kalau kau suka,” kataku. “Sebenarnya itu tadi idenya Norma.”
Rivael tidak menyahut. Ia menyibukkan diri dengan majalahnya kembali.
Norma – asisten sutradara – dengan idenya telah meluangkan sedikit waktu sebelum
meninggalkan Hotel Sun tempat kami menginap untuk memberi kejutan kecil menjelang perayaan hari ulang tahunnya. Sebuah tart mini yang krim gulanya tidak terlalu meluber ke tepi dan penuh menjadi kado pertama Rivael. Beruntun setelah itu ucapan selamat dan doa serta harapan bergantian menyalaminya. Semoga dia semakin dewasa tahun ini, pikirku.
Menjelang akhir Desember nanti, tepatnya tanggal 21, dia akan genap 27 tahun. Aku yang waktu itu tiba-tiba teringat peramalan wanita Gipsy di karnaval, masih menunggu kepekaan ingatan Rivael terhadap peringatan dari mulut wanita cantik itu.
Namun, dari raut dan senyumnya yang berseri-seri, apakah Rivael telah terlupa oleh segala kartu dan Gipsy itu; atau apakah dalam diam dan senyumnya itu sesungguhnya dia telah menyusun siasat yang benar-benar tepat guna menghadapinya? Aku tidak bisa membaca wajahnya.
Penasaran membuatku mengajaknya mengungkit masa lalu.
“Rivael, aku bahagia dengan ulang tahunmu. Pasti ada banyak kemeriahan dalam pestamu,”
kataku.
Ia menjawab tanpa melepaskan pandangan pada majalahnya.
“Thanks. Aku pun tak sabar ingin cepat-cepat merayakan. Ini tahun yang sangat menggembirakan bagiku. Semoga akan ada banyak kejutan menarik di tahun-tahun selanjutnya.”
Aku menjawab dengan nada rikuh.
“Ya, semoga begitu. Tapi.....”
Rivael menukasi. “Kau ingin aku lebih memperhatikan Jessy, kan? Sudahlah aku tahu hal itu. Tidak baik memang membiarkan ia sendirian. Aku akan mengajaknya jalan-jalan atau shoppingsetelah berjumpa dia nanti.”
“Ya, itu memang juga benar, tapi bukan itu yang ingin kukatakan padamu,” kataku mencoba
serius.
Rivael membalik halaman majalahnya tanpa memandangku.
“Bukan itu, lalu?”
“Eeee.....Rivael, begini. Apa kau masih ingat kemana kita pergi 3 tahun yang lalu?”
“Mmm.....ya. Ada banyak tempat yang kita datangi waktu itu. Tempat mana yang kau maksud?”
“Roma.”
“Roma? Ada apa memangnya dengan Roma?”
“Astaga, tidakkah kau ingat walau secuil apa yang terjadi di sana? Karnaval, champagne, tarian, badut, dan.....Gipsy. Ramalan wanita Gipsy itu, tidakkah kau ingat? Sekarang kau hampir 27 tahun.”
Rivael menutup majalahnya dan mulai memperhatikanku. Ia menatapku cukup lama.
“Rupanya kau menantikannya? Tidak kusangka kau masih mengingatnya,” kata Rivael kemudian.
Aku menjadi malu.
“Aku hanya ingin mengingatkan. Tak ada salahnya, kan?”
Rivael menaikkan majalahnya kembali.
“Itu sudah cukup lama, Jeremy. Tiga tahun silam. Aku sudah tidak percaya lagi. Wanita peramal itu cuma ingin uang. Takkan terjadi apa-apa padaku,” katanya acuh.
Aku coba membantah. Entah kerasukan apa diriku ini sehingga terus mempercayai ramalan itu.
“Tak ada salahnya berjaga-jaga, kan?” kataku mempertahankan.
Suaraku yang cukup keras membuat panumpang dari Belanda di samping terjaga dari tidurnya. Setelah meminta maaf dan Flying Dutchmanitu kembali terpejam dengan penutup matanya, aku melanjutkan potongan ucapanku.
“Tidak ada salahnya, kan?” kataku setengah berbisik pada Rivael.
“Jangan anggap remeh omongan orang lain, Rivael. Kau harus bersiap, bahkan mungkin untuk yang terburuk sekalipun. Apalagi mengingat kejutan yang akan datang itu datang dari seorang wanita. Kau harus berhati-hati. Jangan-jangan, semua yang pernah kau kencani akan datang beramai-ramai menghajarmu. Ingat, kalau tak bisa mengatasinya, kau akan hancur!”
“Hell no!” kata Rivael acuh dan sombong. “Apa kau sudah gila dengan omonganmu itu, hah?”
“Setidaknya aku peduli padamu.”
“Kau bisa memberiku Mercy mewah sebagai kado kalau itu yang kau maksud dengan peduli.
Astaga Jeremy! Masak kau percaya mentah-mentah begitu saja omongan wanita peramal itu? Kurasa ia hanya ingin uang dari kita.”
Orang Belanda di sampingku membuka penutup matanya kembali.
“Tak bisakah kalian tenang? Aku sedang mencoba tidur,” katanya masam.
“Pardon us, Meneer,” kata Rivael.
Orang Belanda itu memandangi kami sejenak lalu menutup matanya kembali. Aku dan Rivael memelankan suara kami saat menyusun percakapan.
“Akuilah, Rivael. Sebenarnya kau pun ingin mengetahui kebenarannya, kan?” pancingku. Rivael menutup majalahnya. Ia menunjukkan perhatian sekaligus tantangan kepadaku.
“Aku menangkap sebuah pengharapan jelek yang menari-nari dalam matamu, Jeremy,” kata
Rivael.
Aku memalingkan pandangan darinya.
“Aku tak tahu apa maksudmu ingin membuatku ingat pada hal yang sudah tiga tahun berlalu itu.
Tapi, baiklah. Kita bersama-sama akan mencari tahu. Entah itu kebenaran atau hanya permainan, kita akan membuktikannya,” lanjutnya.
Aku melandaikan sandaran kursiku. “Semoga semuanya hanya sekedar permainan kata-kata dan kartu,” kataku datar. “Eh! Bagaimana dengan Sara? Kau menjanjikan sesuatu padanya sebelum pergi?”
Rivael tak menanggapi. Ia melandaikan sandaran kursinya setara denganku dan mencoba tidur.
*
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar