Kamis, 24 Februari 2011

Di Ruang Teknik; Ketika Timnas Berlaga ...


Di kantor, ada sebuah ruangan yang berhadapan dengan call center. Pintunya model geser (jadi seperti pintu rumah rumah di Jepang :D) dan kebetulan di salah satu sudutnya difasilitasi inventaris kantor nan mengkilap yakni TV LCD yang ukurannya hampir selebar jendela kamar kos si Fandi.

Yaps! Itulah ruang Teknik.

Malam itu, sehabis main band dengan digempur lagu lagu cadas (alamak ... tolong, kalau abis main GNR, jangan langsung dilanjut main Ahmad Albar sama Andra and The Backbone, bisa kalang kabut ini pita suara .. ), akan ditayangkan laga Timnas Indonesia U-23 bertanding melawan kesebelasan antah berantah Turkmenistan.

Segera saja, ruangan teknik itu dijejali manusia (terutama kuli kontrak yang sudah pasti minggu ini akan masuk list pegawai telatan lagi ....hhihihihihi). Awak kapalnya ada Mas Van, Mas Arip, Mas Farid, Pak Soleh (entah lagi piket atau apa), Pak Dedy (sengaja ngebut dari Klakah ... :P), Mas Wewet dan Mas Ade (keduanya kemudian lenyap di dua puluh lima menit pertama pertandingan), lalu Aku. Belakangan ikut nimbrung juga Pak Manajer dan Pak Asman APP.

Dan pertandingan pun dimulai. Komentator pertandingan yang (naudzubillah) lebay itu mulai nyerocos. Memperkenalkan pemain pemain, mengomentari stadion yang sesak penonton (sudah mirip nonton meteor jatuh), rumput stadion, dan tetek bengek lainnya.

Berturut turut setelah Indonesia Raya menggema di Jakabaring, jabat tangan fair play, undian koin, salaman lagi, tukar sisi lapangan, diam diaman sebentar sambil merapikan celana dan tali sepatu, dan akhirnya wasit meniup peluit panjaaaaangggg pertandingan dimulai.

Timnas U-23 mulai mengambil inisiatif. Okta mulai ngebut dari sepanjang sayap kiri. Gubrak gubrak gubrak. Jatuh - bangun - jatuh lagi. Dioper ke Dendy, was wes wos, umpan pendek ke Titus Bonai, gubrak, priittt, dioper ke Yongki ..arrrrgghhh jatuh di kaki Turkmenistan (nama pemainnya nggak ada yang kenal) dibawa ke tengah lapangan, dijegal Egy, oper ke Okto, lariiiii kayak dikejar traktor, berkelit kelit, gubrak - dihantam bodi gajah Turkmenistan.

Esensinya adalah: 30 menit babak pertama Timnas U-23 main tanpa pola. Kalaupun ada, pola benang kusut. Tak karuan (percayalah, permainan futsal cah cah APJ lebih matang).

Entah kemudian karena satu kecerobohan kecil Turkmenistan, akhirnya pecah juga sorak sorai kami di ruang Teknik. Titus Bonai dengan lihai berhasil mengubah arah bola operan Okto dengan tumit sebelum akhirnya bersarang di gawang lawan. Sayang beribu sayang, kebahagiaan itu ternyata hanya seumur sebatang rokok Sampoerna. Si Kapten Turkmenistan lewat tendangan bebas ciamiknya berhasil memaksa Kurnia Meiga memungut bola dari sarangnya.

Alfred Riedl mulai gerah, begitu pula awak kapal di ruang Teknik. Mas Van mulai jenuh dan memilih mengambil duduk di belakang sambil mulai sedal sedul (belakangan karena keasyikan malah hampir hilang kesadaran kalau Manajer sudah ikut nimbrung, untunglah nama baik WCS masih bisa diselamatkan ... halaaahhhh .. hehehhehe).

Mar Arip malah terus berkomentar panjang lebar - ngalor ngidul - ngalah ngalahi komentator TV (bahkan setiap kali pemain Timnas salah oper hahhahaha). Yang dikomentari aneka rupa:
soal kalah garangnya pemain Timnas dengan Turkmenistan yang rata rata mirip Conan Barbarian;
soal penjajahan Belanda 350 tahun (ini ndak jelas juga juntrungannya apa .... hahaha);
soal kalah adu heading;
soal Nurdin Halid;
soal peluang Timnas yang sak'uprit (kali ini dengan nada pasrah);
soal Maman (ah, kalau ini selalu saja bikin orang orang tertawa);
soal A;
soal B;
soal C.

Benar juga analisa Mas Arip. Babak kedua, Timnas U-23 sudah seperti anak kecil kehilangan es krim. Ups, ada perumpamaan yang lebih tepat nggak sih? :P ... Dan, lewat suatu tik tak diikuti sisiran dari sayap kiri pertahanan Timnas, satu umpan datar dari flang berhasil dicocor pemain Turkmenistan ke gawang Meiga.

Goooolllll ... Turkmenistan malah sudah di atas angin saat awal awal babak kedua !!

Jakabaring mendadak hening. Ruang Teknik cuma dikepuli desahan pasrah. Asman APP langsung absen pulang. Koran geletakan tak karuan. Mas Farid cabut. Pak Soleh masih ketap ketip (entah memikirkan pertandingan atau jaringan), Mas Arip sudah sendakep geleng geleng, .... 

Aku?
Pulang nonton "KCB" ... 


Selasa, 22 Februari 2011

Ahay, Kamu! Senyummu, .... Manis Sekali ...

Bukan! Bukan denting demi denting
alunan irama itu yang melenakan jiwaku
Bukan, bukan itu!

Bukan! Bukan botol demi botol 
Coca Cola itu yang meleburkan dahagaku
Bukan, bukan itu!


Hanya, Senyumanmu
dan Sore seketika menjelma Ungu



Senin, 21 Februari 2011

Ketika Gerimis Menipis dan Senja Terpejam

.. juga akan tiba saatnya Gerimis mesti menipis dan Senja terpejam, dengan begitu seseorang bisa menjejak permulaan dalam kilau linangan dan bersandar pada bahu Malam ...
*
Begitulah memang adanya. Sesuatu yang indah; yang sama sama dicintai; yang sama sama pernah memberi angan angan sebagai bagian dari landasan dunia yang penuh keceriaan. Yang sama sama (mungkin) Kita pernah peluk erat erat dalam dekapan. Yang juga (mungkin) pernah begitu syahdu begitu kita membauinya, menyesapinya, atau mendiaminya itu, akan tiba juga waktunya untuk berjalan sendirian saja tanpa Kita.
Senja yang semburat jingga kemerahan. Yang begitu temeram menerangi langit Barat di setiap kali ujung nafas Sang Sore pelan pelan terangkat naik kembali menemui Sang Khalik itu, juga akan demikian.
Dia akan pelan pelan memudar. Seperti cat air jingga yang ditetesi tinta hitam. Sedikit demi sedikit ia akan kehilangan warna sejatinya. Selanjutnya, si hitam mengambil alih perannya dan yang dinamakan Malam itu lahirlah sudah.
Seperti halnya juga dengan Gerimis, ketika ia masih begitu tebal, ketika masih mampu menjadi tirai yang begitu mempesona jendela dunia, ia adalah media kerinduan tak tertahankan. Bisa saja, di antara rinainya, terhembus bersama desau Angin suatu berita menyejukkan dari nun jauh di sana. 
Bagi seorang yang tengah sendiri, nyanyian Gerimis yang mengalun di jalanan, di atap atap rumah dan pertokoan, di gemersik dedaunan, adalah kesejukan tersendiri bagi Hati. Ketika tiada suara yang menyanyikannya di samping telinganya; ketika tak ada yang harus dielus kepalanya seraya berkata: "Bukankah Gerimis sekedar mengingatkanku untuk tak pernah lupa memberimu kelembutan dan kehangatan, Sayangku?"
Tapi toh, setali tiga uang dengan Senja, Gerimis pun juga punya waktunya sendiri. Waktu untuk melepaskan dirinya dari Kita. Waktu untuk kembali kepada Sang Khalik yang telah meluncurkannya ke Bumi. 
Namun, bagaimanapun, ketika ada yang pergi akan selalu ada yang datang. : )
Ketika Senja dengan ikhlas memudarkan dirinya demi melahirkan Malam, ia telah dengan sangat perhatian memberikan alam Manusia sebuah bahu untuk bersandar dari lelahnya di waktu siang. Malam memberikan payungnya ketika sebagian alam manusia ingin berteduh dari kepenatan dunia. Pun, Malam adalah jalan nafkah bagi mereka yang ketika Pagi sibuk dengan dunia lainnya. 
Demikian juga dengan Gerimis. Suatu hari ia harus berhenti menghujam dan membiarkan genangan air, tanah tanah becek, dan busur Pelangi mewujudkan dirinya. Membuka selambu mendungnya untuk membiarkan cercah cercah Matahari melinangi dunia. Ketika itu terjadi, bukankah dedaunan Mapple akan orange kembali? Dan, bukankah itu juga pertanda bahwa Pagi akan menuntaskan doaku untuk sekedar melihat Senyumanmu?
Ah, kalau sudah begitu? Dimana letak akan merasa kehilangannya? : )


Jumat, 18 Februari 2011

Cahaya Bulan


Cahaya bulan,

pernah kau tahu seperti apa romannya?
kadang seperti hantu, begitu malu bertemu
selain dari balik kelambu.

ia tak mirip mentari, yang gemar menerobos
sela dedaunan jati, atau pelengkap teman imaji
yang tiap separuh hari berjalan atau menari.


Cahaya bulan,

jauh dan jauh lebih samar dari itu
ia berpendar tak demikian ganas, hingga
aku takkan merajuk kegerahan karenanya.


ia seperti selimut lembut sifatmu
yang tak kasat mata, hingga kuragu gerhana
'kan klimaks menderu kala bertemu
matahari dari balik matamu.



Rabu, 16 Februari 2011

Cassanova Gundah (bagian # 04)


APARTEMEN tujuh ruang Rivael di tingkat sembilan dipenuhi dengan hiasan balon bermacam-mcam warna, pita-pita di langit-langit, dan kado-kado dari berbagai macam kalangan. Pesta besar dirancang oleh jasa perancang pesta kelas atas. Jepretan blitz wartawan seperti lampu-lampu neon yang tidak pernah padam gemerlapnya. Sejumlah publik figur dan tokoh dunia hiburan turut hadir menyemarakkan. Kamera-
kamera stasiun televisi bersiap mengabadikan momen yang akan melonjakkan ratingprogram
infotainment mereka. 

Aku mendapat kepercayaan dari Rivael untuk menjadi penerima tamu sekaligus pembawa acara. Di antara para undangan, seorang perempuan bergaun merah, tinggi semampai, dan dengan tatanan rambut yang sudah dipersiapkan sejak lima jam lalu di salon, menghampiriku dan menanyakan keberadaan Rivael.

“Jeremy, di mana yang punya acara?” tanya Anneline. “Kita di pestanya, di apartemennya, tapi dia sendiri tidak ada. Ini bukan lelucon, kan?”

“Sebenarnya, acaranya baru dimulai nanti jam delapan, Anne,” kataku. “Kalau menurut jadwal yang diberikan manajer Rivael padaku, seharusnya dia sekarang sudah on the way kemari setalah selesai syuting. Mungkin juga sedikit terlambat sekitar sepuluh sampai lime belas menit karena kru sinetronnya pasti juga sudah merencanakan kejutan tersendiri buatnya.” 

Anneline menoleh ke sana-sini, mencari sesuatu atau seseorang.

“Aku tak melihat Jessica. Dia bersama Rivael?”

“Sebenarnya aku tidak tahu. Tapi kata Rivael, Jessy tidak bisa hadir malam ini.”

“Kenapa?”

“Entahlah? Itu bukan aku yang mengurusi,” kataku dengan mengangkat kedua bahu.

Anneline mengambil segelas minuman ringan di meja.

“Dia tidak ada di sini sementara kekasihnya akan berulang tahun?” Ia meminum sedikit minuman itu lalu menambahkan: “Aku tidak tahu apa yang menarik darinya? Bagaimana menurutmu, Jeremy?” 

“Aku tak tahu. Dia cukup cantik,” jawabku asal.

“Ya, dengan wajah yang kelihatan lugu itu,” timpal Anneline. “Dia mendapat banyak tawaran peran dengan wajah itu.”

Aku menangkap nada kurang simpati dalam kalimatnya, namun tak kutelisik lebih dalam dari
Anne.

“Kau pernah bersama-sama Rivael sebelumnya – maksudku jalan bersama.” 

“Berpacaran kalau itu maksudmu.” Anneline menukasi. “Ya dan hanya beberapa bulan sebelum dia jalan sama Agatha, lalu Prita, dan sekarang: Si Polos itu.”

“Kau tidak marah – maksudku ini sangat aneh. Dia punya banyak kekasih, walau selama menjalin hubungan Rivael memang tidak pernah menduakan kalian. Dan sekarang, kau; Agatha; dan Prita, semuanya berkumpul dalam satu ruangan tanpa perasaan tersaingi satu sama lain? Aku tak pernah mengerti itu.”

“Mungkin karena kami semua senasib,” kata Anneline. “Mestinya kau harus mencoba menjadi
pacar Rivael agar bisa tahu sendiri jawabannya.” 

“Bagaimana menurutmu kalau sekarang Rivael bersama Jessy?” tanyaku.

Aku tak mengatakan pada Anneline tentang Sara yang membakar winterkami. Anneline menimbang-nimbang.

“Sepertinya dia gadis baik-baik dan belum paham betul seluk-beluk dunia kita ini. Tak
kuherankan, dia pendatang baru di sini. Ia harus mengenal sejumlah orang sebelum memutuskan menjalani hubungan dengan Rivael. Mungkin, kalau ia sudah melakukan itu, ia tidak akan ada dalam undangan ini – atau tepatnya tak akan menanggapi undangannya.” 

Anneline meneguk sisa minumannya. “Kau tentu paham itu?” lanjutnya kemudian.

Aku tersenyum kecil. “Jessica sama seperti kebanyakan orang di luar sana. Kau dulu juga salah satu dari mereka, bukan begitu? Jangan menghakimi Jessy. Seperti kau tidak pernah mengalaminya saja.” 

“Aku hanya sedikit cemburu; dia bisa mendapatkannya lebih mudah dariku,” kata Anneline.

Senyum mengembang tipis di sudut bibirnya. Ia meninggalkanku dan beranjak menuju keramaian dan teman bicara yang lain.

“Nikmati pestanya, Anneline,” kataku saat ia telah berjalan memunggungiku.

Langkah jarum jam di dinding apartemen sudah menunjuk pukul sembilan kurang sepuluh menit. Kebosanan mulai menjalari para undangan yang kurang sabar dengan pemuncak pesta – kedatangan Rivael yang sudah terlalu terlambat. Beberapa undangan bahkan berpamitan melaluiku dan meninggalkan sepatah kalimat ucapan selamat untuk Sang Bintang yang tak pernah menjawab panggilan handphone-ku.

Raut wajah para kameraman infotainmentjuga terlihat layu. Mereka berkelompok di salah satu sudut, saling membuat lelucon untuk membunuh rasa bosan, atau hanya terdiam menunggu kelahiran berita yang diharapkan akan mengangkat tayangan program mereka.

Tepat setengah jam kemudian, dengan didahului oleh si manajer, Rivael dengan dandanan jas hitam yang membalut kemeja putih sedikit lusuh dengan kedua krah terangkat dan kancing paling atas terbuka, masuk ke dalam ruangan yang kembali hidup. Juru kamera berebutan melupakan bosan dan kantuk, datang mengerubungi Rivael, dan menodong dengan moncong-moncong kamera mereka.

“Maafkan saya, Kawan-kawan,” demikian Rivael membuka kalimatnya. “Ini pesta ulang tahun yang cukup larut untuk kita semua. So, where’s the prize?”

Setelah itu, tamu-tamu yang sudah tidak kuat menahan jenuh, bergerak hampir bersama-sama lalu menyalami dan mengucapkan selamat padanya. Rivael pun tidak ingin memperpanjang acara bahagianya ini lebih lama lagi. Rivael membisikkan sesuatu ke telingaku yang intinya agar aku memotong beberapa bagian untuk mempercepat prosesi dan pestanya.

Akhirnya, juga dengan didukung perasaan serupa dari sebagian undangan – selain para kameraman tentunya – acara diakhiri dengan pemotongan kue ulang tahun dibubuhi pembacaan doa dan pengharapan untuk kecemerlangan Rivael di masa mendatangnya.

Tentunya pesta mahal itu telah usai pada pukul sepuluh malam. Tepat seperti batas jam malam yang dikenakan oleh para orang tua protektif terhadap anak gadis mereka. Ruangan yang ramai itu sekarang sepi. Kado-kado bertumpuk dan masih terbungkus cantik tak tersentuh; gelas-gelas kosong, setengah penuh, dan yang masih benar-benar penuh dan berkilauan berjajar tak beraturan di meja; lantai kotor oleh perca-perca kertas berwarna-warni. 

 Pesta telah berakhir prematur.

Kini dalam apartemen itu hanya menyisakan diriku dan pemilik ruangan. Rivael duduk lelah,
lemas, dan tak bergairah di sofa. Ia mengendurkan ikat pinggang, membuka sebagian kancing kemejanya, ditemani segelas winetanpa alkohol di tangan kanannya.

“Ada apa denganmu, Rivael?” tanyaku yang berdiri bersandar pada dinding berjendela.

“Kau tidak terlihat bahagia malam ini? Apa ada yang salah? Ini ulang tahunmu, Teman! Kau
seharusnya bahagia.” 

Rivael diam sesaat, merenung dengan pandangan hampa. “Mungkin,” katanya.

Ia menengadah ke langit-langit, meletakkan wine, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan.

“Ya Tuhan, apa yang sudah kulakukan? Apa yang sudah kulakukan?” katanya lemah dan terisak. 

Aku berjalan mendekat dengan rasa penasaran menghinggap.

“Apa yang terjadi? Ada hal buruk yang telah terjadi di jalan; di tempat syutingmu? Itu juga
alasanmu terlambat?”

Badan Rivael bergetar. Aku duduk di sampingnya dan menyentuh pundaknya. Ia semakin
gemetar.

“Apa yang terjadi?” bisikku.

Rivael membuka wajahnya, menatapku dengan mata memerah berair.

“Aku menabrak seseorang.”

Gelas yang terapit di tanganku hampir melompat mendengar berita mengejutkan itu.

“Kau menabrak seseorang?!” kataku terperanjat.
 
“Di mana? Kapan?” 

“Di tikungan Jl. Bintang,” kata Rivael. “Kejadiannya begitu cepat, tapi kira-kira itu pukul sembilan tadi. Aku....aku....benar-benar tidak bisa mengerem saat perempuan itu mendadak muncul dari satu tikungan dan kutabrak. Astaga, Tuhan, apa yang kulakukan? Apa yang telah kulakukan?”

Rivael menutup mukanya kembali dengan kedua tangan.

“Ini benar-benar musibah. Perempuan itu selamat? Bagaimana keadaannya?”

“Entah,” kata Rivael lemah. “Semoga ia baik-baik saja, tapi kalau melihat darahnya,
aku.....aku....aku tak tahu, Jeremy! Aku tak sengaja! Aku benar-benar tak menginginkan semua ini terjadi.”

“Aku tahu, aku tahu,” kataku dengan merangkul pundaknya. “Itu insiden, hanya kecelakaan.
Bukan sebuah kesengajaan. Dia akan baik-baik saja setelah ditangani dokter yang tepat.”

“Dia tak mungkin baik-baik saja, Jeremy!” bantah Rivael dengan nada bersalah.

“Kau tidak melihat sendiri darahnya! Kau tidak melihat.......”

Aku membiarkan Rivael dengan gemuruh perasaannya. Aku membiarkannya menangis.
Kubiarkan ia mengutarakan kepedihannya dengan tangisan, karena dengan begitu ia bisa lebih tenang saat melanjutkan pembicaraan.

“Jeremy,” kata Rivael setelah ia menyelesaikan semua isaknya.

“Mungkin dia ada benarnya.”

“Dia? Dia siapa?”

“Wanita Gipsy itu; juga.......ramalan itu.”

Aku menghela nafas, mencoba membuat Rivael tegar. “Jangan ungkit hal itu! Kau bilang sendiri kalau itu hanya omong kosong! Jangan menghubung-hubungkan sesuatu yang satu dengan sesuatu yang lain yang bukan berasal dari pemikiran atau penalaran logis akal sehat! Ah, memang ini salahku telah mengungkit hal itu padamu!”

“Tidak....tidak....ini tidak begitu, Jeremy,” kata Rivael.

Dia bangkit dari sofa, berjalan dengan gelisah.

“Mungkin memang ada kebenaran yang keluar dari mulut orang Gipsy itu, Jeremy. Ini tak
mungkin terjadi kebetulan. Ini adalah......adalah hukuman! Hukuman, Jeremy! Hukumanku.....” 

Aku bangkit dari sofa. “Tenangkanlah dirimu! Pikiranmu kacau! Kau tak berpikir jernih, Rivael. Ini hanya kecelakaan biasa. Dengar: ha-nya ke-ce-la-ka-a-an bi-a-sa. Tak ada hubungannya dengan kartu dan mantra Gipsy itu,” kataku dengan gusar. Aku heran mengapa harus ikut gusar.

Namun Rivael tidak mendengar lagi kalimatku. Ia sibuk beradu dengan kecamuk pikirannya
sendiri. Pikiran dan halusinasi tentang antitesis sebuah pikiran jernih. Dia terus menyalahkan dirinya, mengumpati dirinya sendiri, lalu setelah lelah ia terisak-isak, meraung memanggil nama Tuhan.

Setelah membisu untuk beberapa saat, Rivael membuka kembali percakapan.

“Kurasa hukuman itu telah dimulai, Jeremy,” katanya pelan. “Tidak lama lagi. Tak lama lagi
Jeremy, ramalan itu akan menyeretku dalam kegalauan yang panjang. Mimpi buruk yang kelam dan panjang.”

“Itu tidak benar, Rivael,” bantahku. “Itu tidak benar. Itu cuma kecelakaan. Kau bukan yang
pertama kali menabrak orang. Itu hanya karena kurang hati-hati dan bukannya kutukan.”

“Andai aku bisa berpikir sepertimu,” kata Rivael pasrah.

Aku menjadi iba melihat wajah Rivael yang sesuram rembulan bercadar kabut di langit luar sana. Ia seakan terlihat lebih tua sepuluh tahun dari umurnya kini. Keinginanku yang sebelumnya ingin melihatnya terjatuh seketika pupus. Aku ingin merangkul dan membantunya melewati saat-saat berat ini.

Kutinggalkan dia di sofa dengan perenungan dan sesalnya sementara aku berjalan menuju
jendela. Malam belum berlanjut ke tingkat yang terlalu dalam. Lampu-lampu kota kelap-kelip berkilauan di tengah layar hitam yang menyelubungi kota. Sementara di bawah sana sungai kunang-kunang mengalir gemerlapan dengan tenang. 

*
RUMAH SAKITHarapan Manusia adalah yang terbaik – dan mungkin satu-satunya – rumah sakit dengan fasilitas terlengkap dan ter-humanisdi Indonesia. Tak ada pasien yang terlantar kehabisan darah hanya untuk menanti penanganan yang juga menunggu lancarnya proses administrasi. Tidak ada kecerobohan praktik karena para calon dokter muda yang magang langsung berada di bawah jangkauan pengawasan ketat para dokter senior dan berpengalaman. Kenyaman dan kebersihan adalah penunjang lain kemasyuran rumah sakit ini. 

Hari ini masih siang, sekitar pukul sebelas, saat aku dan Rivael duduk di kursi tunggu di depan salah satu kamar bernomor 11 – A di Paviliun Mawar. Hampir tiga puluh menit kami berdua duduk dalam gelisah menunggu pintu kayu itu terbuka dan sosok dokter yang ideal keluar dari dalamnya.

Pukul sebelas seperempat, penantian kami mencair. Dari balik pintu itu muncul seorang
bertubuh tegap, berkalung stetoskop, dan berpakaian kemeja yang dibalut jas dinas warna putih dan kontras dengan warna hitam rambutnya yang berkilatan. Ia membawa secercah sinar dan senyum di wajahnya saat menemui kami.

Kami bersamaan bangkit dari kursi saat menyambut kehadiran Dokter Ahmad.

“Bagaimana, Dokter?” tanya Rivael tidak sabar bercampur gelisah. “Bagaimana keadaan
perempuan itu? Dia baik-baik saja, kan? Aku khawatir, Dokter. Sangat khawatir. Katakan yang terjadi padanya, Dokter. Katakan yang sebenarnya. Aku yang bertanggung jawab atasnya.” 

Aku mencoba menenangkan Rivael.

“Tenanglah. Bagaimana Dokter bisa menjawab kalau kau tidak memberinya kesempatan
berbicara.”

Rivael menurunkan suaranya. “Maafkan saya, Dokter. Saya......saya hanya khawatir padanya.” 

Dokter Ahmad tersenyum pada kami. “Jangan terlalu khawatir. Setelah Cheryl menjalani pemeriksaan dan perawatan, tidak ditemukan luka atau gejala lain yang fatal dari kecelakaannya. Tak ada tulang yang patah, tak ada organ dalam yang luka, tidak ada yang parah, Mas. Semuanya baik-baik saja. Setelah beristirahat satu, dua hari lagi dia akan pulih seperti semula.”

“Tapi.......tapi darahnya,” kata Rivael, masih cemas. “Dia mengeluarkan banyak darah malam itu.”

Dokter Ahmad tertawa kecil yang membuat hati Rivael semakin tak menentu.

“Anda terlalu berlebihan cemasnya,” kata Dokter Ahmad dengan memegang pundak Rivael.

“Wajar kalau seseorang mengeluarkan darah bila kulitnya tergores, apalagi dengan benda keras, kasar seperti aspal. Itu hanya luka ringan, jangan dibesar-besarkan.”

“Tapi –“

“Anda kurang senang dengan hal itu?” tanya Dokter Ahmad.

“Tidak. Tentu tidak. Demi Tuhan, tidak. Saya senang dia selamat dan baik-baik saja. Saya hanya......”

“Ia baik-baik saja. Jangan terlalu menyalahkan diri Anda. Cheryl pun tak terlalu
mempermasalahkan hal ini. Dia sudah memaafkan Anda untuk kejadian malam itu. Benar-benar perempuan yang baik.”

Thanks, God.”

Baru kali inilah aku mendengarnya berucap syukur.

“Bagaimana dengan keluarganya?” tanyaku. “Mereka sudah mendengar hal ini?”

“Ya, bagaimana dengan mereka? Mereka sudah datang menjenguk? Saya ingin sekali meminta maaf pada mereka,” timpal Rivel.

“Tidak,” kata Dokter. “Setidaknya belum semua keluarganya tahu. Di kota ini, Cheryl hanya
tinggal bersama sepupunya, sementara ayah dan ibunya ada di luar kota. Cheryl pun berpesan kepada Anda lewat saya kalau Anda tidak perlu memberitahu keluarganya di luar kota karena kejadian malam itu. Dia tak ingin mereka panik. Dia sendiri sudah membuat sepupunya terlalu cemas dengan kejadian ini.”

“Saya benar-benar menyesal,” kata Rivael. “Boleh saya menemuinya, Dokter?”

“Tentu. Tapi jangan terlalu lama. Dia masih harus istirahat setelah ini,” kata Dokter. “Kalau begitu saya harus permisi. Masih ada pasien lain yang menunggu kehadiran saya.”

“Terima kasih, Dokter,” kata Rivael sesaat sebelum Dokter Ahmad meninggalkan kami berdua.

“Aku akan menjenguknya sebentar, Jeremy,” kata Rivael kemudian. Wajahnya terlihat lebih
tenang, walau matanya belum bisa menunjukkan rasa bersalahnya menghilang.

“Perlu kutemani?”

“Tidak, tidak perlu. Aku sendirian saja.”

“Kau yakin?”

“Ya, tentu. Aku akan baik-baik saja.”

Rivael meninggalkanku di luar untuk beberapa saat. Saat gemeletar adzan Dzuhur telah
menggema di telinga, pintu ruangan itu terbuka dan dari baliknya Rivael keluar dengan wajah yang benar-benar cerah. Senyumannya mengembang walau tipis. Ada semacam nuansa aneh yang terpancar dari roman Rivael itu.

“Bagaimana?” tanyaku. “Bagaimana keadaannya? Dia baik-baik saja?”

“Baik. Seperti kata Dokter.”

“Dia menyalahkanmu atas kejadian malam itu? Dia pasti menuntut sesuatu darimu, benar kan?”

“Tidak, Jeremy,” kata Rivael. Ia mengajakku kembali duduk. “Cheryl sangat baik. Seperti yang tadi telah dikatakan dokter, dia sudah memaafkan bahkan melupakan peristiwa malam itu.” 

Aku seakan tidak percaya dengan kalimat yang baru meluncur dari mulutnya. Perempuan itu
tidak menuntut sesuatu apapun dari Rivael? Sudah memaafkan bahkan melupakan kecelakaan yang mungkin saja bisa merenggut nyawa satu-satunya? Itu benar-benar hal yang tidak bisa dipercaya oleh akal pikiran orang yang mempunyai – walau mungkin hanya setitik – perasaan dendam sekalipun. 

Namun pemikiran “bodoh” itu lenyap dengan sendirinya ketika kusadari siapa sosok yang
sekarang duduk di sampingku. Dia adalah Rivael. Tak akan ada yang menunjukkan emosi kemarahan kepadanya, terlebih itu seorang wanita.

“Tentu, dia pasti memaafkanmu. Kau Rivael. Tak ada yang tidak memaafkan Rivael.”

Rivael tertawa kecil. “Kau salah. Wanita bernama Cheryl yang berbaring di dalam itu bahkan tidak mengenaliku. Dia tidak mengetahui kalau aku seorang yang terkenal di kota ini.” 

Ucapan Rivael inilah yang justru membuatku heran tidak percaya. Perempuan beradab macam apa di Indonesia ini yang tidak mengenalnya? Mungkin hanya perempuan sinting. 

Namun sisi lain benakku, sisi kelam di dalam pikiranku, mengatakan bahwa ini adalah salah satu bentuk awal hukuman atau kejutan dari ramalam wanita Gipsy itu. Coba bayangkan, Rivael tidak dikenali oleh seorang perempuan? Dia benar-benar sial! Tidak bisa kubayangkan wajah Rivael yang merah malu ketika akan memberikan tanda tangan atau ciuman pada
Cheryl sebagai penebus noda kesalahannya, tetapi perempuan itu menampiknya mentah-mentah. 

Aku menyesal tak menyaksikan langsung peristiwa itu. 

“Boleh aku menjenguknya?”

Rivael menahanku dengan tangannya. “Dia sedang tidur. Suster baru saja memberinya obat.” 

Seolah mendapat restu, dari balik pintu keluar seorang perawat dengan membawa nampan
kosong. Aku kecewa, namun perasaan senang sedikit menyelimuti hatiku.

**
(bersambung)