Jumat, 30 Desember 2011


Jauh ... Jauh sekali 

Lalu hilang dalam kabut atau luruh dalam hujan

Jauh ... jauh sekali ...

Jumat, 16 Desember 2011

Bukumu, Jodohmu ...




Memilih buku adalah memilih jodoh. Dia ada bertebaran di mana mana:

- di rak nomor ke sekian;
- di tumpukan urutan ke sekian;
- di selipan ke sekian;

Hehehe, ... Ada banyak buku, ada banyak hati.

Namun, tidak semuanya selalu menggetarkan syaraf saat berada di dekatnya. Terkadang seseorang merasa berjodoh dengan sesuatu yang syahdu selayak Rumi. Ada pula yang terpikat materi kesederhanaan sekaligus kerumitan Sapardi. Terhenyak oleh dahsyatnya Nietszche. Bahkan, menangis haru karena bertemu Tuhan dalam Quran, Injil, Wedha, Torah, dan sebagainya...

Seseorang yang jatuh cinta kepada bukunya,
seseorang yang telah bertemu dengan jodohnya.

Lalu apa tanda kalau Kamu telah menemukan buku atau jodohmu itu?

Sepertinya halnya cinta kepada manusia, bercinta dengan buku tak bisa sembarangan. Ibaratnya, kalau Kamu memilih banyak buku, tapi kemudian menggeletakkan atau memajangnya saja sebagai hiasan di rak, maka bisa dikatakan Kamu mencintai banyak manusia hanya dari eksistensi luarnya saja. Tak pernah ingin tahu apa makna hadirnya bagimu atau pun makna hadirmu baginya.

Sebuah buku yang baik itu tidak banyak. Bisa saja banyak, tapi tidak datang bersamaan dalam satu waktu. Ia datang ketika Alam merasa Kamu membutuhkan.

Coba diingat ingat: apa pernah kamu datang ke toko buku, berjalan berkeliling dari satu rak ke rak yang lain, mengambil, memilih, mengembalikannya lagi karena kurang sreg (entah apanya), lalu mengitari lagi, memilih lagi, dan deg! ketika tatapanmu terpaku pada buku yang benar benar kamu cari – tak peduli dia di tumpukan paling atas atau tersudut di rak paling bawah – kamu dengan cekatan akan merengkuhnya.

Memandangnya penuh takzim, membaca sejenak endorsement di sampul belakangnya, mengelus, sebelum akhirnya mengajaknya pulang dan menikmati setiap kalimat yang ia tuturkan di sela aroma misterius secarik kertas.

Ya, sebuah buku yang berjodoh denganmu akan menuntun getaran hatimu kepadanya. Ia dan kata katanya akan membuatmu menangis, tertawa, melompat, merenung, berlari, berseru, bergairah, optimis, melampaui batas ruang, waktu, dan pengalamanmu  .... tapi tak pernah membuatmu jenuh.

Bukankah tak ada bedanya dengan jodoh pendamping yang ideal ? Hehehe ...


*
Selamat membaca ... : )




Kamis, 08 Desember 2011

Aku Debu ...


Aku sudah tidak punya apa apa lagi
tak juga seutas tali untuk menjaga layang layang
itu tetap berkejaran di gugusan mega.

Aku sudah patah atau menyerah berbagi
kecuali bulir bulir kata diam tak terjengkang
yang membuatmu nampak begitu berharga.

Di setiap akhir sujud sujud gamangku
Di setiap awal hari nampak begitu silau 









Selasa, 06 Desember 2011

Kamu dan Keajaiban KecilMu


Engkau - dan keajaiban kecilMu - yang membuat musim bergulir penuh warna.

Sebagai seorang Indonesia, Kamu hanya akan terpana pada dua musim, yang dahulu setiap enam bulan mereka akan bergiliran mengubah wajahnya (sekarang apa masih begitu?). Kemarau dan Penghujan. Silih berganti keduanya mewarnai bulan demi bulan perjalanan kita.

Ada kalanya langit meremang merah, dedaunan sewarna kenari, atau pernah mungkin Kamu temui hujan yang keperakan, busur busur merah - jingga - kuning – hijau di Utara, atau sekedar segerombol kelabu nakal yang begitu berat membebani langit? Itulah warna musim yang menaungi bentangan khatulistiwa ini.

Di Central Park of New York, setiap kurun tertentu hamparan Mapple itu akan menjadi saksi bagaimana oranye bisa begitu dahsyat mengalahkan birunya Lautan Pasifik. Di sepanjang Okinawa hingga Honshu, pada musim semi akan ada hanami yang menandai mekarnya putih bunga Sakura. Atau di belahan yang lain, di Montpellier, yang walau bisa dihitung jari tapi anggun dan magis salju musim dingin di sana begitu melegakan hati.

Terlepas apakah Kamu sedang tersandung dan berusaha menyelamatkan malam dengan bourbon atau yang lebih keras; terlepas dari apakah Kamu sedang melayang mendapati dirimu berada di puncak mimpi, warna warnaNya itu senantiasa sejajar dan beriringan dengan musik irama hati kita.

Warna warna ajaib musim tempat kita bersandar, merekatkan mimpi, atau sekedar menikmatinya tanpa suatu tujuan apapun selain menipu waktu. Warna warna musim yang abadi dan menjadi saksi bagaimana alam dengan penuh kasih, sabar, dan adil mengasuh dan membesarkan anak anaknya.  





Rabu, 30 November 2011

Catatan di Penghujung Jalan


 
Sekarang sedang musim kemarau. Semilir angin musimnya yang gerah seolah tak mampu disamarkan oleh sejuk AC di ruangan kecilku. Walaupun jendela tak tembus cahaya yang setiap detik silih berganti menyihir pemandangan di samping kananku menjadi warna hitam keabuan, tapi aku tahu benar warna daun gugur di sepanjang jalan ini coklat kering. Kontras dengan semburat biru atap langit Kota ini.

Kami berempat duduk di dalam mobil. Ketiga lelaki lain itu seolah diperintahkan untuk menolak anugerah Tuhan yang Maha Agung dengan sama sekali tak menggunakan mulut mereka untuk sekedar menikmati kesenian mengobrol atau saling jahil mengumpat. Sesekali mereka menerima telepon, berbicara sepotong, lalu klik diam.

Aku tak punya banyak pilihan. Ah ... aku memang tak punya pilihan. Ketenangan ini lebih mengerikan dari apa yang pernah kupikirkan. Sungguh, aku tak bisa membayangkan hal semacam itu akan diterima di Le Barca.



Untuk kau ketahui, bartender tempat itu akan menyirammu dengan seember air kencing kalau kau masuk lalu tak ambil bagian sekedar untuk mengoceh omong kosong tentang Presiden Amerika, softball, atau tetek bengek lainnya.

Aku tertawa geli. Seorang berjas hitam di sampingku melirik acuh, lalu kembali pada posisi diam tegaknya.

“Kau tahu, seorang pelajar Taipei pernah salah, dikiranya Le Barca itu bar biasa biasa ... haha, Brondy Jr itu lalu menyuguhinya air seni! Air seni! Oh ... what the fuck Brondy ... haha ..“

Aku coba berkelakar dengan menyikut lengan lelaki itu. Ia tak bergeming.

”Maafkan, ... seharusnya aku tahu ... kalian bahkan tak bisa bicara,” tawaku meledak lagi.

Ia masih tak berekspresi. Aku jenuh. Perjalanan ini, orang orang ini, pemandangan abu abu ini.

”Bisakah kalian turunkan jendelanya? Sebentar saja. Kalian tahu aku tak mungkin berbuat apa apa.”

”Kau tahu itu tidak diizinkan, Pak. Kau butuh bacaan?”

”Aku lebih suka membaca gerak bibir, kalau kau mau tahu. Benar tak kau izinkan?”

”Pak.”

”Ya, ya sudahlah.”

Kami melintasi jalan menikung. Pepohonan di sampingku berubah menjadi kelokan kanal sungai. Pemandangan itu mengingatkanku akan sungai di kampung halaman. Desa kecil, suara burung yang setiap pagi mencicit, dan aliran sungai bening yang kecipaknya adalah harmonisasi alam yang sempurna.

”Bukannya ibu sudah peringatkan, jangan kau main dengan Salmin! Sekarang tahu rasa, bajumu dihanyutkan di kali.”

”Tapi aku memang yang mulai duluan. Salmin dan aku saling bertaruh, siapa yang bisa menyeberangi sungai bolak balik dan sampai duluan dialah yang paling lelaki.”

Ibu menjewerku. Panas dan sakit sekali telingaku kala itu. Tapi, aku tahu ibu tak pernah marah. Malam itu ia malah mengajakku naik carrousel dan membelikan sepotong kemeja baru.

Sungai itu membuatku rindu rumah dan segala kesederhanannya. Pendidikan, relasi, dan monkey business  telah membuatku memiliki banyak tempat singgah. Tapi yang namanya rumah itu barulah bisa disebut rumah kalau apa yang ada di dalamnya mengizinkanmu untuk memasukinya. Bukan dengan membawa sendiri kuncinya. Itu lebih mirip pekuburan.

*

Musim kemarau ini pun akhirnya menjalar ke dalam sedan. Kini kami berada di tengah selimut polusi. Lelaki berjas hijam di sampingku mengambil sebotol air mineral lalu menyodorkannya padaku. Aku menolak. Memang haus, tapi aku tidak ingin melepaskan sedikit pun dahaga dan gerah musim kemarau ini.

Traffic light menahan laju roda kami. Di seberang jendela sana, sebuah billboard raksasa memasang pose seorang model tengah menenggak minuman ringan kalengan. Remaja. Cantik. Luar biasa cantik dan menggaraihkan bahkan.

Aku jadi teringat. Wanita bermata cerah itu. Zulaikha.

Klise, kami bertemu di tahun kedua universitas. Zulaikha memilih psikologi sementara aku ekonomi. Ia pandai mengolaborasi empati, numerologi, logika, dan emosi namun lemah dalam matematika, sementara aku cukup lihai dengan peluang tapi menyerah pada tata boga.

Itu cinta. Dan kami teracuni olehnya.

Aku beri tahu, bahwa suatu filosofi sederhana tentang cinta hanyalah bualan orang yang tak pernah jatuh cinta.

Berulang kali aku patrikan bahwa angan angan paling membumi seusai lulus universitas adalah bersama Zulaikha. Hidup terasing entah di belantara mana, tanpa telepon, tanpa internet, bahkan kalau mungkin tanpa busana sehingga setiap hari kami bisa saling menjadi pakaian bagi satu sama lain.

Kenyataan yang kuterima kemudian adalah cinta kami yang hasil perkawinan Freud dan Keynes itu berformula semakin rumit. Serumit ajaran Tuhan kami yang berseberangan.

Aku marah saat Zulaikha dengan sorot teduhnya mengujiku akan keikhlasan ber-Tuhan. Bagaimana mungkin? Sementara kami sudah terseret arus yang menenggelamkan Tuhan di dasarnya. Dua minggu setelah itu, dia mengenalkanku kepada Shalam. Kembali dadaku bergemuruh, namun kini whiskey, penghiburan usang John Lennon, dan mariyuana yang kelak menjodohkanku dengan seorang dari Cartagena mulai bisa meredakannya.

*

“Pak, Anda mau sholat dulu?,” kata lelaki di sampingku.

”Ah – oh, tidak. Kita terus saja,” kataku. ”Kita – maksudku – kalian tentu sesuai schedule harus bisa mengantarku tepat waktu.”

”Benar, Anda tidak mau?”

”Bukan, bukan begitu. Aku – ah maafkan aku, hanya saja – biarlah aku berdoa dari sini saja. Ah – eh – ya ... di sini saja.”

”Aku tidak akan demikian kalau di posisi Anda, Pak. Tidak banyak yang bisa dilakukan, selain mengadu kepada-Nya. Dan..... tentu saja kabur jika kami sampai lengah mengawal Anda.”

Aku tak tahu harus tertawa atau menangis dengan kalimat lelaki itu. Semua serba bias.

”Aku, – kita – terus saja, Pak. Aku dari sini saja,” kataku nyaris tanpa suara.

”Ya. Kalau itu kemauan Anda,” katanya datar. ”Tuhan Maha Pengasih dan ... percayalah, Dia memang seharusnya bukan akuntan yang pencemburu, Pak.”

Aku tertegun. Bertahun tahun aku dijejali ilustrasi Malaikat Maut yang berwajah sangar, menggenggam cambuk, dan gemar menyeret, kini pada kenyataan yang kusebut Malaikat Maut itu berbadan tegap, tampan, bersetelan hitam licin, bahkan wangi parfum Perancis.

Dua menit yang lalu kubah Masjid Agung itu masih tercermin di jendela, kini siluetnya pun tidak nampak. Gemetar, tanganku merogoh saku kemeja. Ada tasbih kecil pemberian istriku. Ada rasa malu, takut, juga bingung ketika menggumamkan asma agung Tuhan di setiap petikan jariku.

Aku menangis bisu. Sesak. Adzan pun pecah. Dedaunan coklat musim kemarau, sungai perak, kanal kanal elok, rumah, ibu, Zulaikha, masjid agung, dan gambar gambar hitam keabu abuan di sepanjang jalan ini sekelebat demi sekelebat terus berlarian dalam benakku.

Di ujung jalan sana, esok mungkin aku akan menerima susshi terakhir dalam hidupku dan untuk selanjutnya tak akan pernah bisa kuceritakan lagi apa yang nanti terlukis di hadapan mataku.



Rabu, 23 November 2011

Masa Pudar



SUNANDAR memarkir rombong dagangannya ke depan teras kontrakan yang kecil. Peluh lelaki itu seperti air terjun yang mengalir deras dari ujung dahi hingga pucuk dagu lancipnya. Ia bersandar sejenak di batang pohon belimbing sambil mengibas-ngibaskan topi lusuh di sekitar wajah lalu mengelap peluhnya dengan handuk yang tak kalah kecut dari keringatnya.

Pintu kontrakan tertutup rapat. Begitu pun jendela di kanan-kiri tembok. Selambu hijau kusut menutup seluruh kaca dan menghalangi cahaya yang akan masuk ruangan. Dia tahu istrinya tengah di rumah Bu RT. Ada hajatan khitanan anak perempuan gemuk paruh baya itu. Dan seperti biasa, kemahiran Marni sebagai juru masak tingkat RT dibutuhkan sebagai pakar peracik bumbu-bumbu soto jawa ataupun pengolah rempah-rempah penyedap opor.

Matahari belum berada di tahta tengah hari, tapi perutnya mulai keroncongan. Tadi pagi dia hanya memuasi lambungnya dengan mie kuah dan secangkir kopi. Marni tidak memasak karena akan membawa makanan dari hajatan.

Tapi lapar memang tak bisa ditahan. Ia ke dapur dan mencari lemari makanan. Hasratnya berharap masih ada sepotong singkong rebus sisa semalam yang bisa untuk mengganjal perutnya.

“Berengsek! Lemari begini besar cuma buat tempat piring.”

Ia banting pintu lemari keras-keras lalu pergi rebahan ke kamar. Setengah terjaga setengah terlelap, ia memandang langit-langit. Dan entah dari mana ujung-pangkalnya, kenangan silam tiba-tiba menyelinap ke dalam sel-sel otaknya. Seiring katup matanya turun, kenangan itu menyeruak semakin jelas.

Desa Gambir, tanah kelahiran sekaligus pembentuk kepribadiaan seorang Sunandar, ditasbihkan nama Sukarmanto sebagai pedagang telur dan daging ayam terkenal hingga sudut tersempit Pasar Kepanjen. Pedagang dermawan dan hidup dalam kesejahteraan cukup itu menjadi bapak ketika pecah tangis Sunandar mendebarkan jantungnya tiga puluh lima tahun lalu. Segera saja, ia yang mendambakan pewaris laki-laki itu memanjakan jagoan kecilnya dengan bermacam gelimang nikmat.

Bertambah tinggi bukan berarti bertambah dewasa bagi Sunandar. Masa mudanya dihabiskan hanya untuk bersenang-senang. Setelah pulang hanya untuk mandi atau makan, ia kembali ngelayap. Tak pernah ada yang marah meski nilai-nilai akademis selalu anjlok. Kehadiran buah hati yang dirindukan di biduk keluarga telah melenakan mereka.

Badai baru menggelora bahtera saat si ayah mendadak harus menghadap Khalik. Bersamaan dengan berkibarnya bendera kuning dan iringan keranda jenazah berselimutkan kain hijau dan ronce-ronce bunga beraroma maut menuju liang lahat, tampuk kepemimpinan mulai dipegang sang putra mahkota. Kala itu ia masuk dua puluh tiga. Dunia begitu kejam mengazab kemalasan yang kemudian menjerumuskan dia serta Marni yang baru tiga tahun dia kawini menuju kenyataan yang asam.

Gemeletar adzan menggelontor lamunan Sunandar. Bersamaan dengan itu, Marni turut menggedor-gedor pintu dan menemukan mata sayu Sunandar menyapa wajah manisnya.

“Sudah pulang?” tanya Sunandar sambil menutup pintu. “Bawa apa? Makanan?”

“Ya.”

Marni ketika kembali ke ruang tamu dengan piring dan sendok.

“Tadi pagi kan aku tidak masak. Ini aku bawa opor dan sate ayam kesukaanmu.”

Sunandar memandang hampa saat Marni menuangkan kuah opor ke mangkuk. Teringat dulu ibunya sering memasak hidangan serupa dan ia tak harus menunggu ada hajatan untuk menyantapnya.

“Kok ngelamun, Mas? Cepat dimakan. Habis ini aku mau kembali ke hajatan.”

*

BINTANG-BINTANG gemerlapan di atas langit kontrakan. Kelap-kelip anggun itu masih belum mampu menyadarkan Sunandar yang semakin terendam dalam kenangan. Ia tertawa sendiri mengenang masa-masa serunya mengejutkan orang-orang dengan ledakan petasan saat malam takbiran bersama para sahabatnya.

Jony, Bedjo, dan Kaslan nama ketiga sahabat kecilnya. Selain Jony yang anak juragan pabrik batako, Kaslan dan Bedjo hanya anak para buruh tani. Kuasa Jony dalam hal materi membuatnya sering mentraktir ketiga sahabatnya makan di pinggiran Pasar Kepanjen.

“Mana kopiku?”

Terdengar bunyi gemelitik badan sendok yang beradu dengan cangkir. Sunandar menerima kopi dari Marni. Belum sempat ditelannya seluruh air kopi itu, buru-buru dia semburkan. Pahit. Rupanya sudah tidak ada gula yang tersisa sesendokpun di dapur.

Bersamaan dengan kopi pahit itu, kenangan pahit ikut pula menyeruak dalam benaknya.

Selepas empat puluh hari kematian sang ayah, amanat orang tua itu beberapa hari sebelum ajalnya benar-benar membuat Sunandar kelimpungan. Sebagai putra dari seorang yang dekat dengan ayam, dia tak pernah menguasai dengan benar tekhnik cara beternak, mengontrol telur-telur, hingga hal pemasaran. Selain membersihkan kandang dan memberikan dedak, praktis tugasnya hanya penikmat hasil olahan ratusan ayam itu.

Buahnya bisa dipastikan masak lebih cepat dari penghitungan quick count Pemilu Gubernur. Usaha Sunandar bangkrut. Bukan hanya karena kurang terampil mengelola bisnis warisan itu, dukungan wabah flu burung turut andil membumihanguskannya.

Didorong oleh kenekatan dan terlebih angan hidup mewah, usaha ayam gulung tikar dan ia menjual sepetak sawah warisan untuk ongkos menuju ibukota.

Keras. Nyata. Hanya dua itu yang dikecapnya ketika menginjakkan kaki di jantung perkotaan. Tidak ada opor atau recehan sekalipun yang turun tiba-tiba. Keduanya bisa diraih dengan imbalan kerja, sementara pintu perusahaan menutup diri untuk golongan berijazah rendah dan tak berkualitas semacamnya.

Setelah dua tahun serabutan, secercah harapan menghampiri ketika salah seorang kenalan barunya menawarkan pekerjaan di pabrik kulit. Sayang, aroma menusuk kulit hewan yang dijemur sering membuat Sunandar mual dan muntah. Mandor pabrikpun mendepak.

Beberapa minggu kemudian seorang tetangga yang hendak pulang kampung menawarkan rombong bekas. Dengan sedikit tambal sana-sini, pompa ban kanan-kiri, dan sapuan cat baru, rombong usang itupun mulai setia menemaninya berkeliling menjajakan bubur.

*

“Bangun, Mas. Sudah kusiapkan semuanya. Tidak jualan kamu hari ini?”

“Malas.”

“Kalau kamu nggak kerja, darimana kita dapat uang? Mana Kang Eman terus nagih sewa, tagihan di warung membengkak. Ahh......aku pusing, Mas. Ayolah, kerja.”

“Capek, Mar. Aku ngider ke sana-sini nggak ada hasil. Kau tahu sendiri, jualan kita kemarin-kemarin cuma dapat berapa? Sedikit, Mar. Sedikit.”

“Apa orang perumahan sudah bosan sama bubur kita ya, Mas?”

“Bukan. Bukan begitu. Mereka itu sama saja seperti kita.”

“Sama bagaimana?”

“Sama-sama susah.”

Marni mengernyit. Sunandar membalik badan, menatap Marni.

“Kau kira yang rumahnya magrong-magrong itu hidupnya nggak susah? Mereka sama saja dengan kita.
Malahan lebih susah. Hutang kita di sana-sini paling besar sampai dua ratus ribu, mereka.......jutaan! Itu yang bikin mereka tidak lagi memesan bubur. Mereka juga sedang krisis!”

“Jangan ngomong sembarangan. Tahu dari mana, Mas?”

“Kang Parjo, tukang kebun di kediaman Pak Haryo. Majikannya sering memesan bubur setiap pagi. Tapi sudah seminggu ini, mereka tak mencegat rombongku lagi. Kata dia, majikannya itu sedang diusut dan diancam akan disel gara-gara menyelewengkan dana perusahaan. Korupsi. Sementara, anaknya sudah duluan merasakan prodeo. Gara-garanya apalagi kalau bukan pil-pil laknat itu. Siapa sangka, keluarga mereka yang hidup serba mewah itu ternyata nggak lebih baik dari kita.”
Suasana hening.

“Aku kok kangen sama masa-masa lalu ya, Mar? Sebelum Bapak meninggal, waktu kita masih jadi pengantin baru. Hidup waktu itu enak ya, Mar? Serba mudah. Nggak seperti sekarang ini.”

“Sekarang, juga enak. Walau kekurangan, aku masih bersyukur bisa terus hidup sama kamu, Mas.”

“Sudah lama kita di sini. Ternyata, yang kuangan-angankan nggak pernah menjadi kenyataan. Apa yang kita punya belum tentu menyelamatkan kita.”

Sunandar mulai mengoceh menyesali kemalasannya belajar semasa muda, penghasilan yang kecil, serta
keputusannya melabuhkan masa depan di kota. Peristiwa masa lalu semakin meracuninya. Masa lalu membuatnya berpikir harus melawan masalahnya kini dengan kembali ke garis awal.

Lalu tanpa ujung-pangkal, ia menyebut Jony sebagai kunci pemecah persoalan.

“Aku mau mencari Jony.”

“Jony? Mau apa?”

“Minta kerja. Kau tahu siapa dia. Bapaknya punya pabrik batako bagus di pinggiran kota. Aku kan berkawan baik dengan anaknya. Pasti dia bisa membantu.”

*

SETENGAH jam perjalanan dan angkot berlabuh ke riuhnya Terminal Gadang. Para makelar berkeliaran mencari calon penumpang bus yang hendak menuju kabupaten. Sejak lebaran tiga tahun lalu, dia belum lagi mengunjungi ibunya yang kini tinggal bersama bibinya. Niatnya selain mencari Jony juga sowan.

Belum genap melangkah di jalan aspal yang kumuh itu, seorang lelaki berlengan gempal menariknya.
Sunandar kaget dan ingin mengumpati sebelum senyum lelaki itu meredam amarahnya.

“Jo! Bikin kaget saja kamu.”

“Ndar, Ndar. Dari kecil kamu memang kagetan! Baru dibeginikan, kagetnya sudah setengah mati.”
Kedua sahabat itu berpelukan. Dengan bujukan Bedjo, mereka mampir sejenak ke warung kopi.

“Kau mau cari Jony? Ada urusan apa sama dia?”

“Minta kerja. Dia pasti bisa membantuku masuk ke pabrik batako bapaknya.”

“Nah, kau bilang kau di kota sudah punya kerjaan?”

“Aku di kota itu bukan jadi orang kantoran. Jadi tukang bubur keliling. Ah, kenapa harus jauh-jauh ke kota kalau cuma jadi tukang bubur. Nah, kalau misalnya aku bisa jadi karyawan di pabrik bapaknya, upahku kan bisa lebih besar. Koneksiku dengan Jony pasti bisa melicinkan jalanku masuk ke sana. Itulah, kenapa sekarang aku mesti mencarinya.”

Bedjo nyeruput kopinya.

“Sebaiknya jangan. Temui saja ibumu, lalu pulang,” kata Bedjo dingin.

“Kok?”

“Tak ada lagi yang sekarang bisa diharapkan dari Jony selain ocehan ngawur!! Tak ada yang bisa diharapkan dari orang yang sudah nggak waras seperti dia!”

“Gila?! Jony gila?! Kenapa bisa gila? Kesambet jin gardu?"

“Judi.”

“Judi?!”

Bedjo menertawakan Sunandar yang ketinggalan berita.

“Kujelaskan, Ndar. Bapak sama anak sama saja. Dulu, kupikir kalau omongan orang-orang tentang bapaknya si Jony yang suka judi itu cuma isapan jempol. Eh, sekarang terbukti kalau itu benar. Permainan setan itu benar-benar menjarah habis harta mereka.”

“Kau bohong kan?”

“Apa untungnya aku bohong? Ini kenyataan, Ndar! Mereka sudah jatuh miskin. Rumah, uang, mobil
semua ludes. Termasuk pabrik. Sekarang mereka lebih parah dari kita. Kere! Gila lagi!”

Sunandar tercengang-cengang.

“Astaga! Dimana dia sekarang?”

“Mau cari Jony? Noh, di rumah angker Mbah Sukri. Jadi gembel. Sableng. Gimbal nggak karuan”

“Nah anak-istrinya ke mana?”

“Mana punya istri dia! Istrinya ya dadu sama kartu itu. Tapi mungkin sekarang dia sudah punya pendamping. Ya siapa lagi kalau bukan kuntilanak di rumah tua Mbah Sukri itu. Hahaha..!!”

Sunandar termangu. Satu demi satu bus perlahan terdorong meninggalkan terminal. Seperti aroma wine yang menguap begitu cepatnya.

Kamis, 10 November 2011

Dream(s)


mimpi mimpi kita ada di seberang
di antara kelip pelita Eiffel. Di lorong lorong
gelap Bakersfield. Di tiap ketukan not panjang,
juga di dinding dinding kubah opera.

mimpi mimpi kita lapang terbentang
di sepanjang gugusan bintang Vega,
di hempas sembujung samudra Hindia,
juga yang terduduk manis di rahim ibunda.

sementara sibuk menerjemahkannya
dia datang sendirinya. Berkata bahasa
sederhana: Hidup tumbuh bersamaku, ketika asa
sepertinya sudah jatuh terjuntai.

dan mimpi mimpi kita (terus) berbicara
sementara kita (terlalu) sibuk menerjemahkannya

Senin, 07 November 2011

Pada November Ketiga


Ruangan Ernest berada di lantai dua di gedung bercat abu abu itu. Tidak banyak yang masih setia menemaninya di malam yang sudah melangkah di dua jam sisa waktu perputaran hari. Selain siulan sejuk AC dan secangkir cappucino dingin, praktis hanya berkas berkas di sneilhecter kuning itu yang masih tak beranjak dan sekaligus membuatnya tetap terjaga.

November memang selalu kelabu, Ernest tahu itu. Selain karena itu adalah gerbang menuju akhir tahun yang berarti Samuel, kepala divisinya yang opurtunis, akan memaksanya kerja romusha mengejar target pencapaian petutupan tahun, bulan ke sebelas seolah menjadi alarm ulang tahun yang tidak patut untuk dirayakan sekedar dengan cara yang sederhana sekalipun.

Bunyi ketukan keyboard masih ritmis berkejaran ketika tiba tiba ia merasa bahunya pegal. Berhenti mengetik malah membuat bagian tubuhnya yang lain ikut memanja. Leher, pergelangan, pinggang, punggung, lalu mata. Ia nyalakan TV untuk mencegah kantuk turut hinggap. News Flash sedang tayang di channel TV nya.

”Hhh... ’Hidup bukanlah untuk mengaduh dan mengeluh’, itu artinya kita mati.”




Ernest merasa geli sekaligus sarkastis telah menyitir puisi pujangga yang diberitakan wafat setahun lalu itu. Iapun melanjutkan percakapan dengan lawan bicara dirinya sendiri.

”Tapi kan memang tidak ada yang salah. Toh Rendra coba membuat kita bangkit. Tidak terpuruk oleh keluh. Kau seharusnya lebih tahu, dengan pendidikan dan posisimu ini, orang yang tidak kuat menanggung keluh, dia lebih pantas tidak dilahirkan.”

”Humm....jadi aku pantas dilahirkan? Ohhh.. betapa mulianya. Lalu bagaimana dengan rehat, berendam di jacuzzi, atau berbuat hal nakal di sebuah hotel yang tak satupun orang di sana mengenalmu? Apa artinya aku mati dengan memilih menyerah oleh keluhan lalu pergi berlibur?”

”Itu artinya, kau tidak menyelesaikan apa yang kau mulai.”

”Kenyataannya memang tak pernah ada yang selesai. Dalam skala besar atau kecil. Termasuk ya oportunisme Samuel, Menteri, Presiden. Dan...a a a... jangan bawa bawa teologi dulu di sini, aku tahu kau tak seberapa bijak dengan itu.“

Ernest meminum sisa cappucino-nya. Mulai menyulut rokok.

“Kau hanya lelah, atau jenuh, itu saja. Tidak ada yang salah dengan Samuel, dengan kebijakan politik Menteri yang berimbas pada perusahaan, atau dengan studi Emily, ...tidak ada. Nonsens. Kau hanya lelah. But you’re not dead yet, are you?“

Sisi lain dirinya tidak menjawab. Hanya menghela nafas. Ia kembali pada dunia nyata di sekelilingnya.

Pembawa berita News Flash itu telah selesai dengan berita mengenang si pujangga kenamaan negeri ini. Sudah lima belas menit lalu malah. Iklan berbagai macam produk kini selang seling silih berganti bermunculan.

Ernest mematikan televisinya. Ajaib, perdebatan itu membuat aliran darah ke otaknya lebih lancar. Tapi ia masih enggan menyentuh kertas dan keyboardnya kembali.

Ia buka tirai ruangan. Menatap lepas menembus jendela. Jalan searah di bawah sana cukup lengang kecuali di pinggir trotoar. Malam tumbuh semakin pekat dan gerah. Bulan tidak terlalu terlihat. Ada beberapa gerombol awan keabu abuan yang mencemari remangnya.

”Mungkin benar, hanya jenuh,” desahnya.

Ernest memijit pelan keningnya. Sejenak itu, pandangannya kembali menerawang jauh ke seberang. Sebuah suara membangunkannya dari lamunan.

”Ehm, kalau cuma ngelamun, sampai pagi juga nggak selesai lho itu,” celetuknya.

”Eh, oh – Kamu, kukira udah pulang?”

Linda, perempuan itu, menjawab:

”Yaahh, maunya. Barusan habis karaokean, eh pas nyalain mobil baru deh ingat data di flashdisc ketinggalan. Apa boleh buat, balik kucing deh. Haus. Boleh?” tanyanya kemudian seraya membuka kulkas kecil dan menunjuk sebotol Cola.

Ernest mengangguk.

”Kan besok masih bisa? Sregep amat.”

”Ow, ow, besok aku cuti dua minggu Omm... hehehehe, makanya malam ini mau ku-email datanya ke juragan besar,”
jawabnya renyah.

Lalu setengah berbisik Linda meneruskan:

”Jelang married, nggak boleh lama lama di dunia luar, nanti nggak steril.”

”Gombaall, palingan clubbing jalan terus, haha.”

”Hihihi, iya juga sih. Eh, foto ini? Masih kamu simpan toh ternyata?”

Tahu-tahu Linda sudah duduk manis di hadapan komputer Ernest. Screen saver yang tadinya gelap itu memunculkan wallpaper desktop-nya. Tampak foto lama Ernest, Linda, dan tiga kawan kerja mereka yang lain. Kelimanya duduk di pinggir sebuah kolam dengan beberapa ikan sebesar lengan bergerombol lucu di sekitar kaki mereka. Berkas sinar matahari yang jatuh di antara keempat orang itu membuat foto berkesan unik. Semua terlihat gembira.

”Iya, tadinya mau kuganti gambar Risa Tsukino telanjang, tapi nggak jadi.”

”Najis... hehehe. Ini dua tahun lalu, kan?.... humm... people changes ya?”

“Maksudmu?”

Linda menunjuk salah satu lelaki paling tua di dalam foto itu.

“Yang ini, sudah jadi Branch Manager Semarang,” jarinya menunjuk seorang lagi di ujung. ”Yang ini sudah punya apartment sendiri. Yang satu ini, sudah jadi istri Sarjana Komputer dan sebentar lagi bakal lulus kuliah S2-nya. Terusss, yang satu ini, yang puaalliing cantik, hehe, bentar lagi mau honeymoon ke Bangkok. Bye bye office. Miss you much like crazy. Nah tinggal sisanya, cowok yang satu ini .... “

Ia tak melanjutkan saat jarinya menunjuk foto Ernest dan hanya mengerling ke orang aslinya.

“Yang satu itu sudah lelah dan penuh penyesalan,” jawab Ernest.

Sebenarnya Ernest asal saja bicara, tapi tiba tiba ia terkejut sendiri telah berkata demikian.

“Hush, ngomong apa to? Gaji besar dan posisinya enak kok menyesal? Alhamdulillah harusnya, Mas. Uangnya dibeliin sesuatu apa gitu, biar jadi: Alhamdulillah ya, sesuatu,” kata Linda cengengesan.

Ernest hanya menggeleng gemas. Beberapa detik kemudian, tik tok suara hujan pelan pelan berderai. Sebuah tirai putus putus memanjang berwarna bening keperakan menjuntai dari langit ke bumi.

“Aku mesti balik, Mas. Kamu cepat pulang juga gih. Sisanya besok pagi saja,” kata Linda.

“Tanggung Lind, tinggal dikit.”

Linda tersenyum.

“Punyalah waktu untuk dirimu sendiri, .. don’t loose yourself.

“Aku tahu. Aku tahu itu.”

“Orang gampang sekali menasihati orang lain Mas, tapi kadang sukar buat menasihati dirinya sendiri. Ah, sudahlah, kamu pun pasti lebih tahu itu.”

“Jangan ngeledek deh.”

Di ambang pintu, sebelum kakinya bertolak keluar, Linda teringat hal yang menahan langkahnya.

“Ini November ketiga, kan?” tanyanya tanpa berpaling menatap Ernest. “Merseyside dan kota ini selisih tujuh jam. Aku lihat sepintas tadi di weather forecast CNN, di sana katanya juga sedang hujan. Kalian suka sekali hujan, kan? Semoga juga semenarik ini, walau masih ada matahari – ah aku nggak mengerti mainan hujan kalian -  ... Aku pulang.....”

Ernest tidak menyahut. Linda sudah lenyap dari ambang pintu. Derap derap high heels-nya tertelan keriut lift dan denting hujan.

Ia melirik kalender dinding. Ini November ketiga sejak Emily berangkat meneruskan studi. Sejak hari itu, hal hal kecil menjadi mudah dikeluhkan. Ditambah pertengkaran kemarin, ia masih galau atau lebih tepatnya rikuh untuk memulai kembali percakapan.

Bau hujan merebak. Aroma asing alam yang terbawa sayap angin terasa begitu segar. Emily suka sekali membaui hujan. Duduk berbincang sambil memandang hujan yang sama walau berbeda waktu dan tempat tentu akan membuat segalanya lebih mudah, batinnya.

Merseyside dan kota ini memang terpisah tujuh jam. Tapi, apakah di sana benar sedang turun hujan?

Selasa, 01 November 2011

Waktu Hujan Turun ...


Waktu Hujan turun, ...
ada derai manis yang entah itu bermakna bagaimana
juga kesibukan kecil, sekedar menangkap Cakrawala
atau bercermin pada genangan di jalanan.


Ada hiruk pikuk yang sibuk mengitari kita:
bunyi serakan kertas, derap pantofel coklat
atau sekedar siulan yang tiada henti berkelabat
dan menelusupkan kata kata bijaksana.


Waktu Hujan turun, ...
aku menarikmu yang tersuruk di setumpuk
berkas berkas kontrak. Menyandarkanmu
agar Hujan, Langit, dan Cakrawala itu dapat kita lipat


sebagai album kenang kenangan ketika
Anak Anak Jibril berkejaran sepanjang siang ...





Sabtu, 08 Oktober 2011

Tentang: Ibu dan Rahasianya ...



Pada suatu sore, ketika matahari sayup sayup menenggelamkan diri di ufuk Barat. Ketika jam kantor sudah sedikit reda dari traffic selama delapan jam.

“Aku jadi pengen ketemu ibune sampean, mau nanya: gimana caranya mendidik anak supaya bisa berhasil kayak sampean ... “, begitu kira kira kalimat yang keluar dari mulut si Mbak pada suatu sore itu.

Aku tercenung, tapi berusaha acuh saja. Aku pikir, si Mbak cuma sedang asal saja bicara. Tapi salah, nampaknya si Mbak serius. Sambil merapikan dan menyusun berkas ia menambahkan: “Pasti ibunya sampean bangga, anaknya sukses. Apa sih rahasianya?”

Rahasianya? Humm... kata itu menggelitik sekali. Iya, rahasia apa yang membuat seorang ibu bisa menjadikan anaknya sukses. Setidaknya, si anak sukses berdiri di atas kakinya sendiri. Mandiri, orang bilang. Bisa menafkahi dirinya sendiri (dan terlebih anak istrinya).



Kalau menilik ke belakang, memang tak dapat dipungkiri pengorbanan seorang ibu begitu luar biasa. Sejak dari ia mengandung, melahirkan, menyusui, menimang, membersihkan popok bau, memandikan ... ah, coba lihat ... itu yang baru di kisaran anak berusia balita. Coba diandai andai: kalau sampai Kamu berumur seusia sekarang, betapa besar pengorbanan dan kegigihan seorang ibu untuk mencintaimu.

Kalau ibuku sendiri, dia bukan orang berpendidikan tinggi. Bukan sarjana. Bukan ahli apapun. Ia tumbuh dan mengakar pada budaya pedesaan. Yang menjadi pegangan hanya pepatah leluhur dan kebijaksanaan ajaran agama Allah. Tapi di luar itu semua, dia tetaplah perempuan yang tahu bagaimana menjadi dirinya sendiri.

Ibu tahu bagaimana caranya untuk berbohong. Lihai menyembunyikan sesuatu yang khawatir akan membuat anaknya cemas dan jatuh. Ibu tahu bagaimana menenangkan hati anaknya ketika ia tahu bahwa keadaan sedang sulit. Ibu juga tahu bagaimana membuat anaknya selalu kembali pulang dengan menyanggupi akan memasakkan sekedar nasi kuning atau lentho atau orem orem tempe.

Dan Ibu juga tahu bagaimana ia harus teguh berjalan dengan kakinya sendiri ketika takdir Allah menghendaki seorang yang menjadi penyeimbang dan penopang langkahnya pergi.

“Apa mas rahasianya?” si Mbak bertanya lagi.

“Rahasianya, ya ... si Ibu memainkan perannya sebagai Ibu dengan sebaik baiknya. Itu saja. Nggak ada Ibu yang gagal,” jawabku.

Si Mbak masih kurang percaya. Ditawarkannya problem problem antara lingkungan si ibu dan anak. Menurutnya pasti ada sesuatu yang lebih logis dari jawaban ambiguku itu. Hehehe.... Tapi, ia kemudian menyudahi sendiri pembicaraannya. 

Seiring dengan hal itu matahari kini benar benar tenggelam di peraduan Barat.


* P.S.:
1. Untuk Ibu di rumah: terima kasih ya, Bu ... maafkan anak lelakimu yang belum bisa jadi orang yang baik ini ...
2. Untuk sahabat sahabatku yang sudah dan akan menjadi seorang ibu: be a great mom, ya ... : )
  


Senin, 26 September 2011

Pertama Kali ..


There will always be "the First Time",
(in Everything) ....


Yang sedang belajar mengatasi dan membiasakan diri dengan keadaan yang semakin jauh dan menuju selesai ...


Jumat, 23 September 2011

Wah .. wah ... wah :D




Wah ..wah .. wah ... :D
sekotak penuh, ada aroma coklatnya, ada juga taburan kacangnya
dimaem satu potong, manisnya nggak karuan 
jadi harus diimbangi dengan tegukan Nescaffe (kayaknya bikinnya kurang ada pahitnya) :D

Hehehe...., makasih ya, Bawel
(kalau ada rezeki, nanti pas balikin kotaknya tak isi sesuatu deh ... InsyaAllah) :D

Rabu, 21 September 2011

Patience



Bukan hanya dalam kesengsaraan Kamu harus bersabar ...,

bahkan dalam kenikmatan pun Kamu harusnya bisa bersabar untuk tak berlebih-lebihan ...


*
suara AC di ruangan ini masih menderit,
yang lain sibuk dengan hari esok dan esok yang lain lagi,
bagaimana hidup? terus berjalan, menuju selesai...



Minggu, 18 September 2011

Lost in Your Eyes




I get lost in your eyes and I feel my spirits rise
and soar like the wind. Is it love that I am in?

I get weak in a glance. Isn't that what's called romance?
and now I know 'cause when I'm lost I can't let go
 

I don't mind not knowing what I'm headed for
You can take me to the skies...
It's like being lost in heaven when I'm lost in your eyes
 
I just fell, don't know why. Something's there we can't deny
and when I first knew was when I first looked at you

And if I can't find my way,
If salvation seems worlds away
Oh, I'll be found when I am lost in your eyes
 
 

I don't mind not knowing what I'm headed for
You can take me to the skies...
It's like being lost in heaven when I'm lost in your eyes



I get weak in a glance. Isn't this what's called romance?
Oh, I'll be found when I am lost in your eyes


*
... walau sudah  tergerus waktu, (selalu) akan ada yang berkata: "Terima kasih, untuk hal hal berkesan selama ini .... " : )

Selasa, 13 September 2011

Ruang Gelap


Dia lebih membiarkan ruangan itu gelap. Hanya punya seberkas lampu tempel tanpa nur listrik. Tiada yang tahu dan tak pelu sok tahu untuk tahu sejak kapan dia memilih ruangan itu. Mereka, yang ada di ruang terang hanya tahu dia masuk ke kamar gelapnya, tanpa suara, tanpa derak derak kursi, bahkan mungkin tanpa nafas. Lalu setelah terdengar derit pintu dan bunyi "klik", begitu pun semua suara seolah ikut terserap masuk ke dalam ruang kecil itu.



Dan begitu saja, ruang gelap itu dan dia telah menjadi noktah di antara pelangi warna tetangga kamarnya.

Setiap 31 Desember kamar gelap itu hening. Sementara kamar lain hiruk pikuk dengan terompet, musik dansa, dan gelak tawa. Lima  tahun sekali, tembok kamar itu cuma jadi korban tempelan pamflet dan poster pemilik salah satu kamar terang. Dan tak jarang ketika dia pulang kuliah, pemilik kamar terang lain menguliahi atau menyindir soal sholat dan ibadah.

Namun, kamar itu masih saja gelap. Dan ini membuat kamar kamar mulai gerah.

Setiap kali 31 Desember datang, pemilik kamar terang di ujung beramai ramai menyulut petasan. Menggedor. Meniup terompet sekencang kencangnya di depan pintu dia dan kamar gelapnya. Lalu beberapa saat kemudian sepi dan hanya ada denting botol Carlsberg menggelinding.

Pemilik kamar terang lain semakin gila menempeli dinding dengan poster calon raja. Slogan slogan tak bernyawa. Tak ada yang mengerti sampai sekarang, kenapa juga dia pernah jumpai poster serupa di tempat sampah? Apakah karena Tikus memang habitat asalnya sampah?


Pemilik kamar terang lain yang mengaku orang beragama, mulai bosan juga menguliahi soal sholat dan ibadah. Dia dan kamar gelapnya yang juga tak kalah bosan dengan suasana yang sama itu, tanpa ada sebab lalu dituduh bid'ah. Cucunya Dajjal. Oohhh... semoga neraka membakar sampai hangus, begitu pernah dia dengar kata melompat darinya.

Sementara dia tahu, walau ilmunya belum sundul langit, tapi ia tahu benar bahwa Tuhan Maha Penyayang. Maha pemaaf. Bahkan dari cerita ibunya dia pernah dengar bahwa Kanjeng Rasul juga tak pernah marah kalau mengajari sahabat ilmu Quran.

Dan dia lebih memilih dan membiarkan ruangan itu gelap. Membiarkan dirinya tidak diketahui atau di-sok ketahui orang lain. Membiarkan orang menilai dia golongan tauhid atau iluminati; oposisi atau pengabdi; kanan atau kiri. Kadang dia heran dan bahkan lucu dengan tetek bengek itu.

Kenapa kalian tak masuk saja ke dalam?
Lihat aku lebih dekat karena pasti kunyalakan lampu untuk kalian ..


Sabtu, 10 September 2011

a Letter to Love


Hey, Cinta ... 

Kamu :

Unik, Nakal, Lucu, Menggemaskan, Menyedihkan, Menggembirakan, Melemahkan, Menyembuhkan, Meluruskan, Menyembunyikan, ....
 
Cinta .... Misterius sekali kamu ini ... 




Selasa, 06 September 2011

Dia, Tidak Cepat maupun Lambat. Dia Ada ...

Hey, kadang hidup menjadi begitu pendek, ya?
seolah siang, sore, dan malam berebut saling berdahulu
lalu tanpa permisi maut tiba tiba bersalaman
tinggal hampa menelusup ruang kenangan.


Hey, kadang hidup juga menjadi begitu panjang, ya?
seolah butir hujan lembut merinai sepanjang bulan
dan bunga merah itu, rekah senyumanmu itu
mekar bersemi tanpa hirau jengkalan waktu.

Tapi kadang, hidup menjadi tak begitu pendek atau panjang
beberapa terlewatkan, namun lekas dipertemukan
tiga jam ia melambat, tak ada satu jam ia berlari cepat

satu pohon digugurkan, kala beberapa tunas disemikan




Aku tersenyum - menangis, untuk si cepat dan si lambat
demi yang berkesan atau yang menikam

karena sungguh anugerah Allah itu
seperti halnya dirimu, bukanlah sesuatu yang didikte waktu

Kamu, Aku, Kita, ...
hidup lalu tiada di dalam anugerah itu
sampai kelak tiba hari tak ada lagi yang berdebat :

"Mengapa daun diciptakan, kalau untuk digugurkan?"

Selasa, 30 Agustus 2011

Dan Daun Daun pun Berguguran



Dan daun daun pun berguguran. Musim kemarau di Kota ini memang menggelisahkan. Bukan hanya karena suhu udara yang melenguh atau warna taman kota yang tiba tiba coklat kusam, kemarau tahun ini pun dengan sentimentil meranggaskan hal lain yang hilang tertimbun berita skandal.

Siang itu, di salah satu rumah dari sekian deret rumah di Jl. Bengawan. Suhu udara menguap di angka 390 C. Kipas angin full speed itu serasa belum juga cukup menangkis gerah, keringat, dan keributan kecil di ruang tamu.

Tasya dan beberapa kardus besarnya berjibaku. Satu demi satu lipatan baju masuk menindih satu demi satu lipatan sebelumnya. Lalu celana jins, beberapa potong T-shirt, dan sandangan wanita lain sudah jadi satu kardus tersendiri. Satu kardus lainnya dijejali buku-buku hidupnya: Umar Kayam bertumpuk dengan Walt Disney; Karl May berdempetan dengan Agatha Christie; Aoyama Gosho berimpit dengan Karen Armstrong.

“Yang ini dibawa juga?” Wilman meringis mengibas-ngibaskan Modelling di tangannya. “Astaga, kamu baca beginian? Ternyataaa, perempuan memang malu-malu. Sok jaga image. Setomboy tomboynya, pasti pengen tahu – mungkin nyoba – maskara, eyeliner, lipstick, ini itu ... Hahaha.”

Tasya melemparkan bantal sofa ke Wilman yang mengekeh.

“Cerewet, mending kamu daripada sibuuuk sama jus sama semangka, sini gih bantuin. Lakban, gunting. Itu ah, kok kelupaan belum dimasukin. Bongkar lagi sedikit nih. Hmmfffff.... Sini siniin, lakban ... iya yang coklat, eh nggak yang bening saja deh. Gunting. Nah untung muat fiuuuh .... gerahnya ..... Kamu? Lho? Hmpppfff jangan dihabisin semangkanya.”

Pukul satu siang, keributan itu menurun hening. Lima kardus itu sudah tersusun rapi di pojok. Dua jam lagi jasa pengangkutan akan datang membawanya ke Luar Kota. Udara yang ganas membuat hari berjalan seolah lebih lambat.

“Jadi, tahun pertama nanti baru Oktober ya?”

“Iya, tahun pertama Hubungan Internasional-ku. Humm... sungguh aku tak sabar, Wil. Kan kamu tahu sendiri. Setelah lulus nanti, aku ingin sekali pergi jauh ke London, Paris, Amsterdam. Tapi bukan sebagai pelancong bodoh. Be a smart, have a lot of friends outside the border. Maybe work outhere. Ya, semacam itulah. Bukan datang ke Eiffel, satu dua jam. Potret sana sini, lalu narsis-narsisan. Ah.. gimme a break.”

Wilman menyelonjorkan kakinya di meja. Tasya mengikuti. Angin menerobos sela-sela jendela.

“Dan, tentu nanti kalau musim gugur pasti kamu akan ke New York. Melihat mapple yang merah dan jingga itu jatuh satu demi satu di Central Park. Ah, romantis sekali kelihatannya.”

“Dan aku akan punya seorang kekasih dari Cheszka!” tambah Tasya cepat.

“He, dari ... mana? Ches-zka .... “

“Ya, dari Cheszka! Seperti Cech atau Pavlyuchenko itu!” jawab Tasya berjingkat-jingkat. Kaki lonjornya ia naik turunkan dengan gemas.

Wilman tertawa terkekeh-ngekeh. Sudah seperti seseorang yang melihat akrobat di depannya. Ia tenggak jus yang tinggal separuh itu, menuang hingga setengah gelas lagi, menenggaknya cepat, lalu menghabiskan sisa tawanya.  Tasya menatap heran.

“Apanya yang lucu coba? Apa, Wil? Heh! Jangan ketawa terus,” katanya sambil menarik narik lengan kaus laki-laki dua puluh lima tahun itu. “Memang ada yang aneh punya kekasih Cheszka? Yaaa ..walaupun hidungnya kemerahan. Seperti hidung monyet kecil. Hiiihi... Heh! Stop tertawa, apanya sih yang lucu?”

“Uhuk, uhuk, uhuk”, Wilman tersedak. “Coba lihat, benar-benar calon mahasiswi hubungan internasional yang sebenar-benarnya. Kuliah di Indonesia, kerja di Amsterdam, punya rumah di Paris, berteman dengan orang Albania, dan sekarang .... Masya Allah, bercita-cita menikah dengan orang Cheszka! Hahaha ... sungguh, aku tak bisa membayangkan siapa nama anakmu nanti. Ah, mungkin begini: Karel Andrezhevisc van Rommedhal, hahaha ... “

Tasya menekuk bibirnya.

“Siapa yang bilang aku akan menikah, dodol?! Aku bilang: punya ke-ka-sih. Kekasih, dodol. Bukan su-a-mi. Huh... “

Angin musim kemarau membawa lenguhan gelisah dan hawa gerah. Tasya mengumpati kipas angin tuanya. Itu pemberian ayahnya, dua tahun lalu sebelum ia berlabuh dengan keputusan ingin hidup menjauh dari orang tuanya. Mengontrak di Jl. Bengawan dan bohemian sebagai freelancer. Hidup sebagai penulis lepas, pembantu wartawan koran lokal, sampai pelukis mural. Dinding stadion Kota ini dulu pernah ia ubah jadi lembaran komik dengan goresan lincah jarinya.

Wilman, yang hidup dari panggung ke panggung mengusung idealisme Indie itu menimpali:

“Lho lho lho bukannya tujuan punya kekasih juga akan jadi suami? Yaaaa kecuali kalau orientasi kehidupanmu sudah konyol ke-Barat-baratan. Menikah hari ini, empat jam kemudian boom!! Finished.”

“Lho bentar, bentar. Musikmu itu Indie Barat! Cih, sok menguliahi orientasi kekonyolan Barat. Ini globalisasi, Wil. Timur dan Barat sudah tidak ada arti. Justin Bieber bisa saja lahir di Sragen, dan Didi Kempot akan mengguncang London Philharmonic!”

“Hahahaha ... “

“Hahaha .... “

Keduanya yang duduk di satu sofa merah itu saling berpandangan. Merasa lucu dengan mimik satu sama lain. Ah, betapa musim panas itu membuat otak kehilangan akal sehat.

Daun kering di musim gugur melayang, menyelinap kain selambu, dan ajaib jatuh di pangkuan Wilman. Laki-laki itu melepas kaca matanya, memperhatikan daun dan gurat tulang daunnya yang menguning. Seperti jiwa yang menjemput ajal.

“Tentu kamu akan menjadi sarjana yang hebat, Tas.”

Daun kering di tangannya ia main-mainkan.

“Aku tahu itu. Kamu akan lulus cumlaude, lalu pergi ke Washington. Bekerja di VoA, atau yang lain. Bahkan mungkin jadi diplomat. Dan ... kamu akan ..... punya seorang Cheszka.... anakmu pasti cantik. Kombinasi Timur dan Barat. Seperti Kristin Kreux,” tambahnya pelan.

“Kenapa kamu ini?” tanya Tasya heran. “Melamun jauh sekali. Diplomat, humm... kok kesannya 11 / 12 sama mafia eksekutif hehehehe .... Dan, he kan sudah aku bilang: Cuma ke-ka-sih, bukan su-a-mi. Humm... kamu ini. Tapi soal cumlaude, VoA hmm... bolehlah lah aku amini ya?”

No, no, no ...wait, listen to me: Kamu akan lulus cumlaude, lalu pergi ke Washington atau New York, punya karir, bersuami seorang Cheszka dan anakmu cantik kombinasi Barat dan Timur. Ah ... look at that. Mrs. Tasya Andresyevic atau Mrs. Tasya Rosicky.”

Tasya menatap hening. Tiba-tiba entah perasaan macam apa yang mengetuk, tapi kini ia merasa jauh sekali. Seharusnya ia tak perlu risau. Hidup merantau telah mengajarkannya banyak hal. Tapi, angan angan Wilman itu kini melemparnya jauh sekali.

Sekali lagi, Wilman tersenyum berujar pelan:

“... Anakmu pasti cantik. Kombinasi Timur dan Barat.... Umur 5 – 6 tahun ia akan masuk Nanny 911, hehehe ... Kebiasaannya merengek, mengompol, corat-coret, malas sarapan ..... Rascal kecil yang merepotkan ...”

Ia amati lagi daun kering di tangannya. Jiwa yang menanti ajal itu.

“... Dan, kalian bisa melihat daun daun gugur yang lebih imajinatif dari ini. Yang walau kering, tapi selalu bisa meneduhkan jiwa.... di Central Park. Aku lihat ‘My Sassy Girl’, ajaib sekali musim gugur di sana ... Luar Negeri memang penuh misteri....”

“... Dan, kalau sudah petang, kalian akan duduk bersantai di dekat perapian. Saling memeluk. Apakah itu musim dingin? Ah ya, pasti begitu. Lalu, Tas, putarlah lagu romantis: ‘Trully’, ... lalu tepat ketika kamu dan suamimu berdansa pelan dalam irama Lionel Richie itu diam diam Kristin Kreux-mu terjaga dan cekikikan melihat ibunya lebih kekanak-kanakan darinya. Hehehe.... “

Tasya tersudut hening dan semakin terlempar jauh. Ia, Wilman, Luar Kota, Luar Negeri, itu serasa jauh sekali. Tidak terjamah cengkeraman globalisasi. Seakan ia sendirian, hidup di dalam kotak.

Pelan, ia menggamit jemari Wilman.

“Dasar, .... kamu membuatku takut,” katanya tersenyum.

Wilman membalas senyum itu.

“Aku juga, percayalah .... Sisa hidupku cuma berteman ketakutan .... “

Kemarau berjalan semakin lambat sebelum tiba tiba dari kejauhan samar samar mengalun adzan Ashar. Lalu beruntun: derum mobil pengangkut barang, bunyi pintu diketuk, derap derap sepatu, lalu celoteh tukang angkut dan sopir.

Daun daun gugur itu masih saja hening.