Senin, 07 November 2011

Pada November Ketiga


Ruangan Ernest berada di lantai dua di gedung bercat abu abu itu. Tidak banyak yang masih setia menemaninya di malam yang sudah melangkah di dua jam sisa waktu perputaran hari. Selain siulan sejuk AC dan secangkir cappucino dingin, praktis hanya berkas berkas di sneilhecter kuning itu yang masih tak beranjak dan sekaligus membuatnya tetap terjaga.

November memang selalu kelabu, Ernest tahu itu. Selain karena itu adalah gerbang menuju akhir tahun yang berarti Samuel, kepala divisinya yang opurtunis, akan memaksanya kerja romusha mengejar target pencapaian petutupan tahun, bulan ke sebelas seolah menjadi alarm ulang tahun yang tidak patut untuk dirayakan sekedar dengan cara yang sederhana sekalipun.

Bunyi ketukan keyboard masih ritmis berkejaran ketika tiba tiba ia merasa bahunya pegal. Berhenti mengetik malah membuat bagian tubuhnya yang lain ikut memanja. Leher, pergelangan, pinggang, punggung, lalu mata. Ia nyalakan TV untuk mencegah kantuk turut hinggap. News Flash sedang tayang di channel TV nya.

”Hhh... ’Hidup bukanlah untuk mengaduh dan mengeluh’, itu artinya kita mati.”




Ernest merasa geli sekaligus sarkastis telah menyitir puisi pujangga yang diberitakan wafat setahun lalu itu. Iapun melanjutkan percakapan dengan lawan bicara dirinya sendiri.

”Tapi kan memang tidak ada yang salah. Toh Rendra coba membuat kita bangkit. Tidak terpuruk oleh keluh. Kau seharusnya lebih tahu, dengan pendidikan dan posisimu ini, orang yang tidak kuat menanggung keluh, dia lebih pantas tidak dilahirkan.”

”Humm....jadi aku pantas dilahirkan? Ohhh.. betapa mulianya. Lalu bagaimana dengan rehat, berendam di jacuzzi, atau berbuat hal nakal di sebuah hotel yang tak satupun orang di sana mengenalmu? Apa artinya aku mati dengan memilih menyerah oleh keluhan lalu pergi berlibur?”

”Itu artinya, kau tidak menyelesaikan apa yang kau mulai.”

”Kenyataannya memang tak pernah ada yang selesai. Dalam skala besar atau kecil. Termasuk ya oportunisme Samuel, Menteri, Presiden. Dan...a a a... jangan bawa bawa teologi dulu di sini, aku tahu kau tak seberapa bijak dengan itu.“

Ernest meminum sisa cappucino-nya. Mulai menyulut rokok.

“Kau hanya lelah, atau jenuh, itu saja. Tidak ada yang salah dengan Samuel, dengan kebijakan politik Menteri yang berimbas pada perusahaan, atau dengan studi Emily, ...tidak ada. Nonsens. Kau hanya lelah. But you’re not dead yet, are you?“

Sisi lain dirinya tidak menjawab. Hanya menghela nafas. Ia kembali pada dunia nyata di sekelilingnya.

Pembawa berita News Flash itu telah selesai dengan berita mengenang si pujangga kenamaan negeri ini. Sudah lima belas menit lalu malah. Iklan berbagai macam produk kini selang seling silih berganti bermunculan.

Ernest mematikan televisinya. Ajaib, perdebatan itu membuat aliran darah ke otaknya lebih lancar. Tapi ia masih enggan menyentuh kertas dan keyboardnya kembali.

Ia buka tirai ruangan. Menatap lepas menembus jendela. Jalan searah di bawah sana cukup lengang kecuali di pinggir trotoar. Malam tumbuh semakin pekat dan gerah. Bulan tidak terlalu terlihat. Ada beberapa gerombol awan keabu abuan yang mencemari remangnya.

”Mungkin benar, hanya jenuh,” desahnya.

Ernest memijit pelan keningnya. Sejenak itu, pandangannya kembali menerawang jauh ke seberang. Sebuah suara membangunkannya dari lamunan.

”Ehm, kalau cuma ngelamun, sampai pagi juga nggak selesai lho itu,” celetuknya.

”Eh, oh – Kamu, kukira udah pulang?”

Linda, perempuan itu, menjawab:

”Yaahh, maunya. Barusan habis karaokean, eh pas nyalain mobil baru deh ingat data di flashdisc ketinggalan. Apa boleh buat, balik kucing deh. Haus. Boleh?” tanyanya kemudian seraya membuka kulkas kecil dan menunjuk sebotol Cola.

Ernest mengangguk.

”Kan besok masih bisa? Sregep amat.”

”Ow, ow, besok aku cuti dua minggu Omm... hehehehe, makanya malam ini mau ku-email datanya ke juragan besar,”
jawabnya renyah.

Lalu setengah berbisik Linda meneruskan:

”Jelang married, nggak boleh lama lama di dunia luar, nanti nggak steril.”

”Gombaall, palingan clubbing jalan terus, haha.”

”Hihihi, iya juga sih. Eh, foto ini? Masih kamu simpan toh ternyata?”

Tahu-tahu Linda sudah duduk manis di hadapan komputer Ernest. Screen saver yang tadinya gelap itu memunculkan wallpaper desktop-nya. Tampak foto lama Ernest, Linda, dan tiga kawan kerja mereka yang lain. Kelimanya duduk di pinggir sebuah kolam dengan beberapa ikan sebesar lengan bergerombol lucu di sekitar kaki mereka. Berkas sinar matahari yang jatuh di antara keempat orang itu membuat foto berkesan unik. Semua terlihat gembira.

”Iya, tadinya mau kuganti gambar Risa Tsukino telanjang, tapi nggak jadi.”

”Najis... hehehe. Ini dua tahun lalu, kan?.... humm... people changes ya?”

“Maksudmu?”

Linda menunjuk salah satu lelaki paling tua di dalam foto itu.

“Yang ini, sudah jadi Branch Manager Semarang,” jarinya menunjuk seorang lagi di ujung. ”Yang ini sudah punya apartment sendiri. Yang satu ini, sudah jadi istri Sarjana Komputer dan sebentar lagi bakal lulus kuliah S2-nya. Terusss, yang satu ini, yang puaalliing cantik, hehe, bentar lagi mau honeymoon ke Bangkok. Bye bye office. Miss you much like crazy. Nah tinggal sisanya, cowok yang satu ini .... “

Ia tak melanjutkan saat jarinya menunjuk foto Ernest dan hanya mengerling ke orang aslinya.

“Yang satu itu sudah lelah dan penuh penyesalan,” jawab Ernest.

Sebenarnya Ernest asal saja bicara, tapi tiba tiba ia terkejut sendiri telah berkata demikian.

“Hush, ngomong apa to? Gaji besar dan posisinya enak kok menyesal? Alhamdulillah harusnya, Mas. Uangnya dibeliin sesuatu apa gitu, biar jadi: Alhamdulillah ya, sesuatu,” kata Linda cengengesan.

Ernest hanya menggeleng gemas. Beberapa detik kemudian, tik tok suara hujan pelan pelan berderai. Sebuah tirai putus putus memanjang berwarna bening keperakan menjuntai dari langit ke bumi.

“Aku mesti balik, Mas. Kamu cepat pulang juga gih. Sisanya besok pagi saja,” kata Linda.

“Tanggung Lind, tinggal dikit.”

Linda tersenyum.

“Punyalah waktu untuk dirimu sendiri, .. don’t loose yourself.

“Aku tahu. Aku tahu itu.”

“Orang gampang sekali menasihati orang lain Mas, tapi kadang sukar buat menasihati dirinya sendiri. Ah, sudahlah, kamu pun pasti lebih tahu itu.”

“Jangan ngeledek deh.”

Di ambang pintu, sebelum kakinya bertolak keluar, Linda teringat hal yang menahan langkahnya.

“Ini November ketiga, kan?” tanyanya tanpa berpaling menatap Ernest. “Merseyside dan kota ini selisih tujuh jam. Aku lihat sepintas tadi di weather forecast CNN, di sana katanya juga sedang hujan. Kalian suka sekali hujan, kan? Semoga juga semenarik ini, walau masih ada matahari – ah aku nggak mengerti mainan hujan kalian -  ... Aku pulang.....”

Ernest tidak menyahut. Linda sudah lenyap dari ambang pintu. Derap derap high heels-nya tertelan keriut lift dan denting hujan.

Ia melirik kalender dinding. Ini November ketiga sejak Emily berangkat meneruskan studi. Sejak hari itu, hal hal kecil menjadi mudah dikeluhkan. Ditambah pertengkaran kemarin, ia masih galau atau lebih tepatnya rikuh untuk memulai kembali percakapan.

Bau hujan merebak. Aroma asing alam yang terbawa sayap angin terasa begitu segar. Emily suka sekali membaui hujan. Duduk berbincang sambil memandang hujan yang sama walau berbeda waktu dan tempat tentu akan membuat segalanya lebih mudah, batinnya.

Merseyside dan kota ini memang terpisah tujuh jam. Tapi, apakah di sana benar sedang turun hujan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar