Rabu, 23 November 2011

Masa Pudar



SUNANDAR memarkir rombong dagangannya ke depan teras kontrakan yang kecil. Peluh lelaki itu seperti air terjun yang mengalir deras dari ujung dahi hingga pucuk dagu lancipnya. Ia bersandar sejenak di batang pohon belimbing sambil mengibas-ngibaskan topi lusuh di sekitar wajah lalu mengelap peluhnya dengan handuk yang tak kalah kecut dari keringatnya.

Pintu kontrakan tertutup rapat. Begitu pun jendela di kanan-kiri tembok. Selambu hijau kusut menutup seluruh kaca dan menghalangi cahaya yang akan masuk ruangan. Dia tahu istrinya tengah di rumah Bu RT. Ada hajatan khitanan anak perempuan gemuk paruh baya itu. Dan seperti biasa, kemahiran Marni sebagai juru masak tingkat RT dibutuhkan sebagai pakar peracik bumbu-bumbu soto jawa ataupun pengolah rempah-rempah penyedap opor.

Matahari belum berada di tahta tengah hari, tapi perutnya mulai keroncongan. Tadi pagi dia hanya memuasi lambungnya dengan mie kuah dan secangkir kopi. Marni tidak memasak karena akan membawa makanan dari hajatan.

Tapi lapar memang tak bisa ditahan. Ia ke dapur dan mencari lemari makanan. Hasratnya berharap masih ada sepotong singkong rebus sisa semalam yang bisa untuk mengganjal perutnya.

“Berengsek! Lemari begini besar cuma buat tempat piring.”

Ia banting pintu lemari keras-keras lalu pergi rebahan ke kamar. Setengah terjaga setengah terlelap, ia memandang langit-langit. Dan entah dari mana ujung-pangkalnya, kenangan silam tiba-tiba menyelinap ke dalam sel-sel otaknya. Seiring katup matanya turun, kenangan itu menyeruak semakin jelas.

Desa Gambir, tanah kelahiran sekaligus pembentuk kepribadiaan seorang Sunandar, ditasbihkan nama Sukarmanto sebagai pedagang telur dan daging ayam terkenal hingga sudut tersempit Pasar Kepanjen. Pedagang dermawan dan hidup dalam kesejahteraan cukup itu menjadi bapak ketika pecah tangis Sunandar mendebarkan jantungnya tiga puluh lima tahun lalu. Segera saja, ia yang mendambakan pewaris laki-laki itu memanjakan jagoan kecilnya dengan bermacam gelimang nikmat.

Bertambah tinggi bukan berarti bertambah dewasa bagi Sunandar. Masa mudanya dihabiskan hanya untuk bersenang-senang. Setelah pulang hanya untuk mandi atau makan, ia kembali ngelayap. Tak pernah ada yang marah meski nilai-nilai akademis selalu anjlok. Kehadiran buah hati yang dirindukan di biduk keluarga telah melenakan mereka.

Badai baru menggelora bahtera saat si ayah mendadak harus menghadap Khalik. Bersamaan dengan berkibarnya bendera kuning dan iringan keranda jenazah berselimutkan kain hijau dan ronce-ronce bunga beraroma maut menuju liang lahat, tampuk kepemimpinan mulai dipegang sang putra mahkota. Kala itu ia masuk dua puluh tiga. Dunia begitu kejam mengazab kemalasan yang kemudian menjerumuskan dia serta Marni yang baru tiga tahun dia kawini menuju kenyataan yang asam.

Gemeletar adzan menggelontor lamunan Sunandar. Bersamaan dengan itu, Marni turut menggedor-gedor pintu dan menemukan mata sayu Sunandar menyapa wajah manisnya.

“Sudah pulang?” tanya Sunandar sambil menutup pintu. “Bawa apa? Makanan?”

“Ya.”

Marni ketika kembali ke ruang tamu dengan piring dan sendok.

“Tadi pagi kan aku tidak masak. Ini aku bawa opor dan sate ayam kesukaanmu.”

Sunandar memandang hampa saat Marni menuangkan kuah opor ke mangkuk. Teringat dulu ibunya sering memasak hidangan serupa dan ia tak harus menunggu ada hajatan untuk menyantapnya.

“Kok ngelamun, Mas? Cepat dimakan. Habis ini aku mau kembali ke hajatan.”

*

BINTANG-BINTANG gemerlapan di atas langit kontrakan. Kelap-kelip anggun itu masih belum mampu menyadarkan Sunandar yang semakin terendam dalam kenangan. Ia tertawa sendiri mengenang masa-masa serunya mengejutkan orang-orang dengan ledakan petasan saat malam takbiran bersama para sahabatnya.

Jony, Bedjo, dan Kaslan nama ketiga sahabat kecilnya. Selain Jony yang anak juragan pabrik batako, Kaslan dan Bedjo hanya anak para buruh tani. Kuasa Jony dalam hal materi membuatnya sering mentraktir ketiga sahabatnya makan di pinggiran Pasar Kepanjen.

“Mana kopiku?”

Terdengar bunyi gemelitik badan sendok yang beradu dengan cangkir. Sunandar menerima kopi dari Marni. Belum sempat ditelannya seluruh air kopi itu, buru-buru dia semburkan. Pahit. Rupanya sudah tidak ada gula yang tersisa sesendokpun di dapur.

Bersamaan dengan kopi pahit itu, kenangan pahit ikut pula menyeruak dalam benaknya.

Selepas empat puluh hari kematian sang ayah, amanat orang tua itu beberapa hari sebelum ajalnya benar-benar membuat Sunandar kelimpungan. Sebagai putra dari seorang yang dekat dengan ayam, dia tak pernah menguasai dengan benar tekhnik cara beternak, mengontrol telur-telur, hingga hal pemasaran. Selain membersihkan kandang dan memberikan dedak, praktis tugasnya hanya penikmat hasil olahan ratusan ayam itu.

Buahnya bisa dipastikan masak lebih cepat dari penghitungan quick count Pemilu Gubernur. Usaha Sunandar bangkrut. Bukan hanya karena kurang terampil mengelola bisnis warisan itu, dukungan wabah flu burung turut andil membumihanguskannya.

Didorong oleh kenekatan dan terlebih angan hidup mewah, usaha ayam gulung tikar dan ia menjual sepetak sawah warisan untuk ongkos menuju ibukota.

Keras. Nyata. Hanya dua itu yang dikecapnya ketika menginjakkan kaki di jantung perkotaan. Tidak ada opor atau recehan sekalipun yang turun tiba-tiba. Keduanya bisa diraih dengan imbalan kerja, sementara pintu perusahaan menutup diri untuk golongan berijazah rendah dan tak berkualitas semacamnya.

Setelah dua tahun serabutan, secercah harapan menghampiri ketika salah seorang kenalan barunya menawarkan pekerjaan di pabrik kulit. Sayang, aroma menusuk kulit hewan yang dijemur sering membuat Sunandar mual dan muntah. Mandor pabrikpun mendepak.

Beberapa minggu kemudian seorang tetangga yang hendak pulang kampung menawarkan rombong bekas. Dengan sedikit tambal sana-sini, pompa ban kanan-kiri, dan sapuan cat baru, rombong usang itupun mulai setia menemaninya berkeliling menjajakan bubur.

*

“Bangun, Mas. Sudah kusiapkan semuanya. Tidak jualan kamu hari ini?”

“Malas.”

“Kalau kamu nggak kerja, darimana kita dapat uang? Mana Kang Eman terus nagih sewa, tagihan di warung membengkak. Ahh......aku pusing, Mas. Ayolah, kerja.”

“Capek, Mar. Aku ngider ke sana-sini nggak ada hasil. Kau tahu sendiri, jualan kita kemarin-kemarin cuma dapat berapa? Sedikit, Mar. Sedikit.”

“Apa orang perumahan sudah bosan sama bubur kita ya, Mas?”

“Bukan. Bukan begitu. Mereka itu sama saja seperti kita.”

“Sama bagaimana?”

“Sama-sama susah.”

Marni mengernyit. Sunandar membalik badan, menatap Marni.

“Kau kira yang rumahnya magrong-magrong itu hidupnya nggak susah? Mereka sama saja dengan kita.
Malahan lebih susah. Hutang kita di sana-sini paling besar sampai dua ratus ribu, mereka.......jutaan! Itu yang bikin mereka tidak lagi memesan bubur. Mereka juga sedang krisis!”

“Jangan ngomong sembarangan. Tahu dari mana, Mas?”

“Kang Parjo, tukang kebun di kediaman Pak Haryo. Majikannya sering memesan bubur setiap pagi. Tapi sudah seminggu ini, mereka tak mencegat rombongku lagi. Kata dia, majikannya itu sedang diusut dan diancam akan disel gara-gara menyelewengkan dana perusahaan. Korupsi. Sementara, anaknya sudah duluan merasakan prodeo. Gara-garanya apalagi kalau bukan pil-pil laknat itu. Siapa sangka, keluarga mereka yang hidup serba mewah itu ternyata nggak lebih baik dari kita.”
Suasana hening.

“Aku kok kangen sama masa-masa lalu ya, Mar? Sebelum Bapak meninggal, waktu kita masih jadi pengantin baru. Hidup waktu itu enak ya, Mar? Serba mudah. Nggak seperti sekarang ini.”

“Sekarang, juga enak. Walau kekurangan, aku masih bersyukur bisa terus hidup sama kamu, Mas.”

“Sudah lama kita di sini. Ternyata, yang kuangan-angankan nggak pernah menjadi kenyataan. Apa yang kita punya belum tentu menyelamatkan kita.”

Sunandar mulai mengoceh menyesali kemalasannya belajar semasa muda, penghasilan yang kecil, serta
keputusannya melabuhkan masa depan di kota. Peristiwa masa lalu semakin meracuninya. Masa lalu membuatnya berpikir harus melawan masalahnya kini dengan kembali ke garis awal.

Lalu tanpa ujung-pangkal, ia menyebut Jony sebagai kunci pemecah persoalan.

“Aku mau mencari Jony.”

“Jony? Mau apa?”

“Minta kerja. Kau tahu siapa dia. Bapaknya punya pabrik batako bagus di pinggiran kota. Aku kan berkawan baik dengan anaknya. Pasti dia bisa membantu.”

*

SETENGAH jam perjalanan dan angkot berlabuh ke riuhnya Terminal Gadang. Para makelar berkeliaran mencari calon penumpang bus yang hendak menuju kabupaten. Sejak lebaran tiga tahun lalu, dia belum lagi mengunjungi ibunya yang kini tinggal bersama bibinya. Niatnya selain mencari Jony juga sowan.

Belum genap melangkah di jalan aspal yang kumuh itu, seorang lelaki berlengan gempal menariknya.
Sunandar kaget dan ingin mengumpati sebelum senyum lelaki itu meredam amarahnya.

“Jo! Bikin kaget saja kamu.”

“Ndar, Ndar. Dari kecil kamu memang kagetan! Baru dibeginikan, kagetnya sudah setengah mati.”
Kedua sahabat itu berpelukan. Dengan bujukan Bedjo, mereka mampir sejenak ke warung kopi.

“Kau mau cari Jony? Ada urusan apa sama dia?”

“Minta kerja. Dia pasti bisa membantuku masuk ke pabrik batako bapaknya.”

“Nah, kau bilang kau di kota sudah punya kerjaan?”

“Aku di kota itu bukan jadi orang kantoran. Jadi tukang bubur keliling. Ah, kenapa harus jauh-jauh ke kota kalau cuma jadi tukang bubur. Nah, kalau misalnya aku bisa jadi karyawan di pabrik bapaknya, upahku kan bisa lebih besar. Koneksiku dengan Jony pasti bisa melicinkan jalanku masuk ke sana. Itulah, kenapa sekarang aku mesti mencarinya.”

Bedjo nyeruput kopinya.

“Sebaiknya jangan. Temui saja ibumu, lalu pulang,” kata Bedjo dingin.

“Kok?”

“Tak ada lagi yang sekarang bisa diharapkan dari Jony selain ocehan ngawur!! Tak ada yang bisa diharapkan dari orang yang sudah nggak waras seperti dia!”

“Gila?! Jony gila?! Kenapa bisa gila? Kesambet jin gardu?"

“Judi.”

“Judi?!”

Bedjo menertawakan Sunandar yang ketinggalan berita.

“Kujelaskan, Ndar. Bapak sama anak sama saja. Dulu, kupikir kalau omongan orang-orang tentang bapaknya si Jony yang suka judi itu cuma isapan jempol. Eh, sekarang terbukti kalau itu benar. Permainan setan itu benar-benar menjarah habis harta mereka.”

“Kau bohong kan?”

“Apa untungnya aku bohong? Ini kenyataan, Ndar! Mereka sudah jatuh miskin. Rumah, uang, mobil
semua ludes. Termasuk pabrik. Sekarang mereka lebih parah dari kita. Kere! Gila lagi!”

Sunandar tercengang-cengang.

“Astaga! Dimana dia sekarang?”

“Mau cari Jony? Noh, di rumah angker Mbah Sukri. Jadi gembel. Sableng. Gimbal nggak karuan”

“Nah anak-istrinya ke mana?”

“Mana punya istri dia! Istrinya ya dadu sama kartu itu. Tapi mungkin sekarang dia sudah punya pendamping. Ya siapa lagi kalau bukan kuntilanak di rumah tua Mbah Sukri itu. Hahaha..!!”

Sunandar termangu. Satu demi satu bus perlahan terdorong meninggalkan terminal. Seperti aroma wine yang menguap begitu cepatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar