Rabu, 30 November 2011

Catatan di Penghujung Jalan


 
Sekarang sedang musim kemarau. Semilir angin musimnya yang gerah seolah tak mampu disamarkan oleh sejuk AC di ruangan kecilku. Walaupun jendela tak tembus cahaya yang setiap detik silih berganti menyihir pemandangan di samping kananku menjadi warna hitam keabuan, tapi aku tahu benar warna daun gugur di sepanjang jalan ini coklat kering. Kontras dengan semburat biru atap langit Kota ini.

Kami berempat duduk di dalam mobil. Ketiga lelaki lain itu seolah diperintahkan untuk menolak anugerah Tuhan yang Maha Agung dengan sama sekali tak menggunakan mulut mereka untuk sekedar menikmati kesenian mengobrol atau saling jahil mengumpat. Sesekali mereka menerima telepon, berbicara sepotong, lalu klik diam.

Aku tak punya banyak pilihan. Ah ... aku memang tak punya pilihan. Ketenangan ini lebih mengerikan dari apa yang pernah kupikirkan. Sungguh, aku tak bisa membayangkan hal semacam itu akan diterima di Le Barca.



Untuk kau ketahui, bartender tempat itu akan menyirammu dengan seember air kencing kalau kau masuk lalu tak ambil bagian sekedar untuk mengoceh omong kosong tentang Presiden Amerika, softball, atau tetek bengek lainnya.

Aku tertawa geli. Seorang berjas hitam di sampingku melirik acuh, lalu kembali pada posisi diam tegaknya.

“Kau tahu, seorang pelajar Taipei pernah salah, dikiranya Le Barca itu bar biasa biasa ... haha, Brondy Jr itu lalu menyuguhinya air seni! Air seni! Oh ... what the fuck Brondy ... haha ..“

Aku coba berkelakar dengan menyikut lengan lelaki itu. Ia tak bergeming.

”Maafkan, ... seharusnya aku tahu ... kalian bahkan tak bisa bicara,” tawaku meledak lagi.

Ia masih tak berekspresi. Aku jenuh. Perjalanan ini, orang orang ini, pemandangan abu abu ini.

”Bisakah kalian turunkan jendelanya? Sebentar saja. Kalian tahu aku tak mungkin berbuat apa apa.”

”Kau tahu itu tidak diizinkan, Pak. Kau butuh bacaan?”

”Aku lebih suka membaca gerak bibir, kalau kau mau tahu. Benar tak kau izinkan?”

”Pak.”

”Ya, ya sudahlah.”

Kami melintasi jalan menikung. Pepohonan di sampingku berubah menjadi kelokan kanal sungai. Pemandangan itu mengingatkanku akan sungai di kampung halaman. Desa kecil, suara burung yang setiap pagi mencicit, dan aliran sungai bening yang kecipaknya adalah harmonisasi alam yang sempurna.

”Bukannya ibu sudah peringatkan, jangan kau main dengan Salmin! Sekarang tahu rasa, bajumu dihanyutkan di kali.”

”Tapi aku memang yang mulai duluan. Salmin dan aku saling bertaruh, siapa yang bisa menyeberangi sungai bolak balik dan sampai duluan dialah yang paling lelaki.”

Ibu menjewerku. Panas dan sakit sekali telingaku kala itu. Tapi, aku tahu ibu tak pernah marah. Malam itu ia malah mengajakku naik carrousel dan membelikan sepotong kemeja baru.

Sungai itu membuatku rindu rumah dan segala kesederhanannya. Pendidikan, relasi, dan monkey business  telah membuatku memiliki banyak tempat singgah. Tapi yang namanya rumah itu barulah bisa disebut rumah kalau apa yang ada di dalamnya mengizinkanmu untuk memasukinya. Bukan dengan membawa sendiri kuncinya. Itu lebih mirip pekuburan.

*

Musim kemarau ini pun akhirnya menjalar ke dalam sedan. Kini kami berada di tengah selimut polusi. Lelaki berjas hijam di sampingku mengambil sebotol air mineral lalu menyodorkannya padaku. Aku menolak. Memang haus, tapi aku tidak ingin melepaskan sedikit pun dahaga dan gerah musim kemarau ini.

Traffic light menahan laju roda kami. Di seberang jendela sana, sebuah billboard raksasa memasang pose seorang model tengah menenggak minuman ringan kalengan. Remaja. Cantik. Luar biasa cantik dan menggaraihkan bahkan.

Aku jadi teringat. Wanita bermata cerah itu. Zulaikha.

Klise, kami bertemu di tahun kedua universitas. Zulaikha memilih psikologi sementara aku ekonomi. Ia pandai mengolaborasi empati, numerologi, logika, dan emosi namun lemah dalam matematika, sementara aku cukup lihai dengan peluang tapi menyerah pada tata boga.

Itu cinta. Dan kami teracuni olehnya.

Aku beri tahu, bahwa suatu filosofi sederhana tentang cinta hanyalah bualan orang yang tak pernah jatuh cinta.

Berulang kali aku patrikan bahwa angan angan paling membumi seusai lulus universitas adalah bersama Zulaikha. Hidup terasing entah di belantara mana, tanpa telepon, tanpa internet, bahkan kalau mungkin tanpa busana sehingga setiap hari kami bisa saling menjadi pakaian bagi satu sama lain.

Kenyataan yang kuterima kemudian adalah cinta kami yang hasil perkawinan Freud dan Keynes itu berformula semakin rumit. Serumit ajaran Tuhan kami yang berseberangan.

Aku marah saat Zulaikha dengan sorot teduhnya mengujiku akan keikhlasan ber-Tuhan. Bagaimana mungkin? Sementara kami sudah terseret arus yang menenggelamkan Tuhan di dasarnya. Dua minggu setelah itu, dia mengenalkanku kepada Shalam. Kembali dadaku bergemuruh, namun kini whiskey, penghiburan usang John Lennon, dan mariyuana yang kelak menjodohkanku dengan seorang dari Cartagena mulai bisa meredakannya.

*

“Pak, Anda mau sholat dulu?,” kata lelaki di sampingku.

”Ah – oh, tidak. Kita terus saja,” kataku. ”Kita – maksudku – kalian tentu sesuai schedule harus bisa mengantarku tepat waktu.”

”Benar, Anda tidak mau?”

”Bukan, bukan begitu. Aku – ah maafkan aku, hanya saja – biarlah aku berdoa dari sini saja. Ah – eh – ya ... di sini saja.”

”Aku tidak akan demikian kalau di posisi Anda, Pak. Tidak banyak yang bisa dilakukan, selain mengadu kepada-Nya. Dan..... tentu saja kabur jika kami sampai lengah mengawal Anda.”

Aku tak tahu harus tertawa atau menangis dengan kalimat lelaki itu. Semua serba bias.

”Aku, – kita – terus saja, Pak. Aku dari sini saja,” kataku nyaris tanpa suara.

”Ya. Kalau itu kemauan Anda,” katanya datar. ”Tuhan Maha Pengasih dan ... percayalah, Dia memang seharusnya bukan akuntan yang pencemburu, Pak.”

Aku tertegun. Bertahun tahun aku dijejali ilustrasi Malaikat Maut yang berwajah sangar, menggenggam cambuk, dan gemar menyeret, kini pada kenyataan yang kusebut Malaikat Maut itu berbadan tegap, tampan, bersetelan hitam licin, bahkan wangi parfum Perancis.

Dua menit yang lalu kubah Masjid Agung itu masih tercermin di jendela, kini siluetnya pun tidak nampak. Gemetar, tanganku merogoh saku kemeja. Ada tasbih kecil pemberian istriku. Ada rasa malu, takut, juga bingung ketika menggumamkan asma agung Tuhan di setiap petikan jariku.

Aku menangis bisu. Sesak. Adzan pun pecah. Dedaunan coklat musim kemarau, sungai perak, kanal kanal elok, rumah, ibu, Zulaikha, masjid agung, dan gambar gambar hitam keabu abuan di sepanjang jalan ini sekelebat demi sekelebat terus berlarian dalam benakku.

Di ujung jalan sana, esok mungkin aku akan menerima susshi terakhir dalam hidupku dan untuk selanjutnya tak akan pernah bisa kuceritakan lagi apa yang nanti terlukis di hadapan mataku.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar