Sekarang sedang musim kemarau. Semilir angin
musimnya yang gerah seolah tak mampu disamarkan oleh sejuk AC di ruangan
kecilku. Walaupun jendela tak tembus cahaya yang setiap detik silih berganti
menyihir pemandangan di samping kananku menjadi warna hitam keabuan, tapi aku
tahu benar warna daun gugur di sepanjang jalan ini coklat kering. Kontras
dengan semburat biru atap langit Kota
ini.
Kami berempat duduk di dalam mobil. Ketiga
lelaki lain itu seolah diperintahkan untuk menolak anugerah Tuhan yang Maha
Agung dengan sama sekali tak menggunakan mulut mereka untuk sekedar menikmati
kesenian mengobrol atau saling jahil mengumpat. Sesekali mereka menerima
telepon, berbicara sepotong, lalu klik diam.
Aku tak punya banyak pilihan. Ah ... aku memang tak punya pilihan. Ketenangan
ini lebih mengerikan dari apa yang pernah kupikirkan. Sungguh, aku tak bisa
membayangkan hal semacam itu akan diterima di Le Barca.
Untuk kau ketahui, bartender tempat itu
akan menyirammu dengan seember air kencing kalau kau masuk lalu tak ambil
bagian sekedar untuk mengoceh omong kosong tentang Presiden Amerika, softball,
atau tetek bengek lainnya.
Aku tertawa geli. Seorang berjas hitam di
sampingku melirik acuh, lalu kembali pada posisi diam tegaknya.
“Kau tahu, seorang pelajar Taipei pernah
salah, dikiranya Le Barca itu bar biasa biasa ... haha, Brondy Jr itu lalu
menyuguhinya air seni! Air seni! Oh ... what the fuck Brondy ... haha ..“
Aku coba berkelakar dengan menyikut lengan
lelaki itu. Ia tak bergeming.
”Maafkan, ... seharusnya aku tahu ...
kalian bahkan tak bisa bicara,” tawaku meledak lagi.
Ia masih tak berekspresi. Aku jenuh. Perjalanan
ini, orang orang ini, pemandangan abu abu ini.
”Bisakah kalian turunkan jendelanya?
Sebentar saja. Kalian tahu aku tak mungkin berbuat apa apa.”
”Kau tahu itu tidak diizinkan, Pak. Kau
butuh bacaan?”
”Aku lebih suka membaca gerak bibir, kalau
kau mau tahu. Benar tak kau izinkan?”
”Pak.”
”Ya, ya sudahlah.”
Kami melintasi jalan menikung. Pepohonan
di sampingku berubah menjadi kelokan kanal sungai. Pemandangan itu
mengingatkanku akan sungai di kampung halaman. Desa kecil, suara burung yang
setiap pagi mencicit, dan aliran sungai bening yang kecipaknya adalah harmonisasi
alam yang sempurna.
”Bukannya ibu sudah peringatkan, jangan
kau main dengan Salmin! Sekarang tahu rasa, bajumu dihanyutkan di kali.”
”Tapi aku memang yang mulai duluan. Salmin
dan aku saling bertaruh, siapa yang bisa menyeberangi sungai bolak balik dan
sampai duluan dialah yang paling lelaki.”
Ibu menjewerku. Panas dan sakit sekali
telingaku kala itu. Tapi, aku tahu ibu tak pernah marah. Malam itu ia malah
mengajakku naik carrousel dan membelikan sepotong kemeja baru.
Sungai itu membuatku rindu rumah dan
segala kesederhanannya. Pendidikan, relasi, dan monkey business telah membuatku memiliki banyak tempat
singgah. Tapi yang namanya rumah itu barulah bisa disebut rumah kalau apa yang
ada di dalamnya mengizinkanmu untuk memasukinya. Bukan dengan membawa sendiri
kuncinya. Itu lebih mirip pekuburan.
*
Musim kemarau ini pun akhirnya menjalar ke
dalam sedan. Kini kami berada di tengah selimut polusi. Lelaki berjas hijam di
sampingku mengambil sebotol air mineral lalu menyodorkannya padaku. Aku menolak.
Memang haus, tapi aku tidak ingin melepaskan sedikit pun dahaga dan gerah musim
kemarau ini.
Traffic light menahan laju roda kami. Di
seberang jendela sana, sebuah billboard raksasa memasang pose seorang model
tengah menenggak minuman ringan kalengan. Remaja. Cantik. Luar biasa cantik dan
menggaraihkan bahkan.
Aku jadi teringat. Wanita bermata cerah
itu. Zulaikha.
Klise, kami bertemu di tahun kedua
universitas. Zulaikha memilih psikologi sementara aku ekonomi. Ia pandai
mengolaborasi empati, numerologi, logika, dan emosi namun lemah dalam
matematika, sementara aku cukup lihai dengan peluang tapi menyerah pada tata
boga.
Itu cinta. Dan kami teracuni olehnya.
Aku beri tahu, bahwa suatu filosofi
sederhana tentang cinta hanyalah bualan orang yang tak pernah jatuh cinta.
Berulang kali aku patrikan bahwa angan
angan paling membumi seusai lulus universitas adalah bersama Zulaikha. Hidup
terasing entah di belantara mana, tanpa telepon, tanpa internet, bahkan kalau
mungkin tanpa busana sehingga setiap hari kami bisa saling menjadi pakaian bagi
satu sama lain.
Kenyataan yang kuterima kemudian adalah
cinta kami yang hasil perkawinan Freud dan Keynes itu berformula semakin rumit.
Serumit ajaran Tuhan kami yang berseberangan.
Aku marah saat Zulaikha dengan sorot
teduhnya mengujiku akan keikhlasan ber-Tuhan. Bagaimana mungkin? Sementara kami
sudah terseret arus yang menenggelamkan Tuhan di dasarnya. Dua minggu setelah
itu, dia mengenalkanku kepada Shalam. Kembali dadaku bergemuruh, namun kini
whiskey, penghiburan usang John Lennon, dan mariyuana yang kelak menjodohkanku
dengan seorang dari Cartagena mulai bisa meredakannya.
*
“Pak, Anda mau sholat dulu?,” kata lelaki di
sampingku.
”Ah – oh, tidak. Kita terus saja,” kataku.
”Kita – maksudku – kalian tentu sesuai schedule harus bisa mengantarku tepat
waktu.”
”Benar, Anda tidak mau?”
”Bukan, bukan begitu. Aku – ah maafkan
aku, hanya saja – biarlah aku berdoa dari sini saja. Ah – eh – ya ... di sini
saja.”
”Aku tidak akan demikian kalau di posisi
Anda, Pak. Tidak banyak yang bisa dilakukan, selain mengadu kepada-Nya. Dan.....
tentu saja kabur jika kami sampai lengah mengawal Anda.”
Aku tak tahu harus tertawa atau menangis
dengan kalimat lelaki itu. Semua
serba bias.
”Aku, – kita – terus saja, Pak. Aku dari
sini saja,” kataku nyaris tanpa suara.
”Ya. Kalau itu kemauan Anda,” katanya
datar. ”Tuhan Maha Pengasih dan ... percayalah, Dia memang seharusnya bukan
akuntan yang pencemburu, Pak.”
Aku tertegun. Bertahun tahun aku dijejali
ilustrasi Malaikat Maut yang berwajah sangar, menggenggam cambuk, dan gemar
menyeret, kini pada kenyataan yang kusebut Malaikat Maut itu berbadan tegap,
tampan, bersetelan hitam licin, bahkan wangi parfum Perancis.
Dua menit yang lalu kubah Masjid Agung itu
masih tercermin di jendela, kini siluetnya pun tidak nampak. Gemetar, tanganku
merogoh saku kemeja. Ada tasbih kecil pemberian istriku. Ada rasa malu, takut,
juga bingung ketika menggumamkan asma agung Tuhan di setiap petikan jariku.
Aku menangis bisu. Sesak. Adzan pun pecah.
Dedaunan coklat musim kemarau, sungai perak, kanal kanal elok, rumah, ibu,
Zulaikha, masjid agung, dan gambar gambar hitam keabu abuan di sepanjang jalan
ini sekelebat demi sekelebat terus berlarian dalam benakku.
Di ujung jalan sana, esok
mungkin aku akan menerima susshi terakhir dalam hidupku dan untuk selanjutnya
tak akan pernah bisa kuceritakan lagi apa yang nanti terlukis di hadapan
mataku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar