Selasa, 13 September 2011

Ruang Gelap


Dia lebih membiarkan ruangan itu gelap. Hanya punya seberkas lampu tempel tanpa nur listrik. Tiada yang tahu dan tak pelu sok tahu untuk tahu sejak kapan dia memilih ruangan itu. Mereka, yang ada di ruang terang hanya tahu dia masuk ke kamar gelapnya, tanpa suara, tanpa derak derak kursi, bahkan mungkin tanpa nafas. Lalu setelah terdengar derit pintu dan bunyi "klik", begitu pun semua suara seolah ikut terserap masuk ke dalam ruang kecil itu.



Dan begitu saja, ruang gelap itu dan dia telah menjadi noktah di antara pelangi warna tetangga kamarnya.

Setiap 31 Desember kamar gelap itu hening. Sementara kamar lain hiruk pikuk dengan terompet, musik dansa, dan gelak tawa. Lima  tahun sekali, tembok kamar itu cuma jadi korban tempelan pamflet dan poster pemilik salah satu kamar terang. Dan tak jarang ketika dia pulang kuliah, pemilik kamar terang lain menguliahi atau menyindir soal sholat dan ibadah.

Namun, kamar itu masih saja gelap. Dan ini membuat kamar kamar mulai gerah.

Setiap kali 31 Desember datang, pemilik kamar terang di ujung beramai ramai menyulut petasan. Menggedor. Meniup terompet sekencang kencangnya di depan pintu dia dan kamar gelapnya. Lalu beberapa saat kemudian sepi dan hanya ada denting botol Carlsberg menggelinding.

Pemilik kamar terang lain semakin gila menempeli dinding dengan poster calon raja. Slogan slogan tak bernyawa. Tak ada yang mengerti sampai sekarang, kenapa juga dia pernah jumpai poster serupa di tempat sampah? Apakah karena Tikus memang habitat asalnya sampah?


Pemilik kamar terang lain yang mengaku orang beragama, mulai bosan juga menguliahi soal sholat dan ibadah. Dia dan kamar gelapnya yang juga tak kalah bosan dengan suasana yang sama itu, tanpa ada sebab lalu dituduh bid'ah. Cucunya Dajjal. Oohhh... semoga neraka membakar sampai hangus, begitu pernah dia dengar kata melompat darinya.

Sementara dia tahu, walau ilmunya belum sundul langit, tapi ia tahu benar bahwa Tuhan Maha Penyayang. Maha pemaaf. Bahkan dari cerita ibunya dia pernah dengar bahwa Kanjeng Rasul juga tak pernah marah kalau mengajari sahabat ilmu Quran.

Dan dia lebih memilih dan membiarkan ruangan itu gelap. Membiarkan dirinya tidak diketahui atau di-sok ketahui orang lain. Membiarkan orang menilai dia golongan tauhid atau iluminati; oposisi atau pengabdi; kanan atau kiri. Kadang dia heran dan bahkan lucu dengan tetek bengek itu.

Kenapa kalian tak masuk saja ke dalam?
Lihat aku lebih dekat karena pasti kunyalakan lampu untuk kalian ..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar