Senin, 16 November 2015

Dear Jean Louise ...


Parang Tritis, Jogjakarta
22 Mei 1997



Dear Jean Louise,

Ketika aku menulis surat ini dari sebuah rumah yang menghadap laut, aku telah berada berkilo-kilometer dari tempat tinggalmu. Gerimis belum berhenti turun dari langit yang semakin abu-abu pekat. Gerimis yang semakin tajam sejak kali pertama kita melihatnya dari balkon La Fave. Tepatnya di lantai tujuh.

Aroma gerimis ini tak kalah wangi dengan Ekspresso dan Macchiato yang ada di gelas kita malam itu. Kau tahu, Jean, aku suka sekali hujan (kau pun demikian, kan?). Bagiku hujan membuat segalanya lebih ajaib....dan gaib.

Kau benar, Jean. Pandanganku tentangmu terjungkir 180 derajad. Ibarat cangkir kecil kopi kita yang harusnya berisi setengah saja, tetapi ternyata malah meluber ke bibir gelas.

Kau tahu, Bodoh? Kau memberiku banyak kegembiraan dan ketakutan pada waktu yang sama.

Dear Jean,

Yang mempertemukan kita adalah takdir. Tuhan menyelipkannya dalam matamu dan rasa ingin tahuku. Takdir itu membangun jembatan maya antara duniaku dan duniamu yang terpisah beratus-ratus kilometer. Dari sanalah pesan-pesan kita berpapasan. Saling mengenal. Mencurigai. Ingin tahu. Meraba-raba. 

Dan pada suatu pagi yang tenang aku sudah berlabuh di sini. 

Sejak pertama mata kita bertaut aku tahu kau menyimpan banyak hal. Dengan diantar pandangan mata itulah kita meleleh. Aku suka pandangan matamu, Jean. Kadang tajam. Kadang polos. Tapi yang pasti ia menyimpan sesuatu yang dalam. Rahasia.

Laut di luar sana meraung. Mungin badai akan datang. Langit sedikit-sedikit menggerutu. 

Ah, Jean. Seolah baru semenit lalu aku melewati katedral yang menghiasi kotamu. Aku ingat saat itu kau menggandengku dan – dengan cerdiknya – menipuku. Kau mengatakan katedral berkubah bulat putih yang ingin kulihat sudah dekat. Namun nyatanya, kau membawaku hampir mengelilingi seluruh kota. Lengkap dengan riak dan gelombang kehidupan yang berserakan di kanan-kirinya.

Jean, …. Kau tahu mimpi itu dibuat dari apa?

Bangunan mimpi itu dibuat dari harapan dan spekulasi, Jean. Mimpi kita – mimpimu tepatnya, adalah apa yang menyadarkan bahwa sudut pandangku tentangmu selama ini mengabur (atau kau yang terlalu pandai menyembunyikan?). 

Jean, salah satu hal yang menghentikanku menyentuhmu adalah aku tak mau bangunan mimpi – yang rapuh itu – hancur!! 

Tapi, Tuhan selalu menyediakan teka-teki. Bukan begitu, Jean? Kita menyaksikan dengan mata kita sendiri bagaimana kita adalah hewan yang lapar. Gagasan tentang moralitas dan keanggunan tiba-tiba berubah menjadi monster yang berbalik ingin memakanku. 

Setan bermain melody yang merdu sekaligus membuat tuli. Dalam beberapa saat aku tahu ini terasa benar. 

“I just wanna know, I just wanna know,” itu yang kau bisikkan. 

Tapi, tiba-tiba aku sadar. Apa yang terjadi hanyalah gelombang rasa ingin tahumu. Gelombang dan emosi yang terlalu besar. Kesepianmu. Kebutuhan untuk didengar.

Ketika hujan malam itu barulah aku tahu engkau bukan lagi yang kukenal lima jam sebelumnya. Kau adalah friksi dan mistisme. 

Dear Jean,

Kau ingat percakapan kita di ruang gelap? Saat aku katakan ingin melihatmu sepuluh tahun lagi?

Mungkin, ketika hari itu itu tiba, kita bukanlah dua orang yang tersesat. Mungkin kau bukan lagi perempuan yang memakai flat shoes atau membawa kipas plastik, tissue bayi dan parfum coklat. Satu dekade nanti apakah kau akan melihatku sama seperti saat pertama kita bertemu?

Oh, Jean...

Laut semakin marah. Tiba-tiba aku merasa Poseidon akan datang dan meluluhlantakkan rumahku. 


Shalom.

Chairil.

***

Minggu, 01 November 2015

Zarathustra dan Minat Baca


Konon, pada suatu hari di sekitar Jl. Juanda Jakarta, Asrul Sani dan Chairil Anwar tengah memasuki salah satu toko buku dengan koleksi luar biasa. Dari sekian koleksi itu yang menyita perhatian Si Binatang Jalang adalah Zarathustra. Maka, seperti kebiasaannya yang nyeleneh, Chairil berniat mencuri buku filsafat Nietzsche itu. Asrul Sani disuruhnya mengawasi penjaga toko sementara Chairil cepat-cepat mengantongi Zarathustra ke dalam saku celananya. Begitu meninggalkan toko buku Van Dorp terkejutlah mereka bahwa yang diambil ternyata adalah Injil.

*

Gagasan mencuri Zarathustra timbul dalam diri Chairil yang haus akan bahan bacaan. Sastrawan Angkatan 45 ini memang lebih doyan "makan" buku ketimbang nasi -- yang seolah semakin menguatkan citra bohemian dalam dirinya. Apa yang dilakukan Chairil seperti bentuk perlawanan. Buku tersedia. Minat membaca ada. Tapi harga buku tidak terjangkau. Chairil sendiri penyair yang tergolong kere. Maka hal tidak terpuji (tapi terasa heroik) tadi adalah jalan terjal yang harus dilalui agar hasrat menggali pengetahuan dapat dicapai. Walaupun akhirnya Tuhan guyon dengan menukar  buku filsafat itu dengan kitab suci Nasrani.

Hasrat membeli sebuah buku adalah karena ingin memuaskan dahaga. Rasa haus akan pengetahuan, dunia asing, kebudayaan bangsa-bangsa, hingga sekedar ingin menghibur diri. Jika memasuki salah satu toko dan penerbit buku tak terhitung bilangan jari buku-buku bertengger di rak-raknya. Bahkan Zarathustra yang melegenda itu pun masih dicetak ulang. Dan, tentu saja, dengan harga yang bisa membuat Chairil bangkit dari Karet dan berusaha mencurinya kembali.

Tapi, anak muda pengunjung toko buku bukanlah orang sejalang Chairil dalam hal berliterasi. Mereka tidak akan mencuri Zarathustra. Mungkin karena kebutuhan dan standard bacaan yang tidak selevel Chairil, atau karena pada hari-hari ini anak muda telah menetapkan standard bacaan kekinian (novel populer). Intinya tidak ada kode-kode dan gelagat mencurigakan untuk mencuri literatur yang makin hari makin mahal itu lalu merayakannya ketika lolos dari alat deteksi dan satpam toko.

Ada yang salah dengan masyarakat (yang mengaku) doyan membaca ini. Anda tidak terlalu menjaga moral untuk tidak mencuri buku yang Anda inginkan, kan?

Dari gelaran Frankfurt Book Fair 2015, sebuah komparasi mencengangkan ditemukan: Rasio melek huruf Indonesia diatas 90%, namun rasio minat baca hanya 1 per 1000. Hanya 1 dari 1000 orang yang membaca buku. Mengerikan. Minat membaca sangat rendah. Bandingkan dengan Frankfurt yang berpenduduk 700.000 orang, namun jumlah kunjungan ke perpustakaan mencapai 1,5 juta orang per tahun. Dan entah apa ada di antara mereka yang juga mencuri buku seperti Chairil.

Pak Anies Baswedan memang akan merancang kurikulum baru untuk menumbuhkan minat berliterasi. Namun, masalah tentu belum selesai di situ. Bagaimana mau membaca kalau gairahnya tidak menyala? Bagaimana mau memilili buku kalau harganya melangit? Oh, iya, ada perpustakaan. Eits, tapi buku itu ibarat kekasih, kan? Bagaimana mungkin Anda terus meminjam tanpa memiliki? Bagaimana mau memiliki kalau harga satu buku saja bisa untuk 3 kali makan? Dan, subhanAllah, untuk urusan literasi ini masyarakat kita sangat bermoral dan tidak pilih bentrok dengan kepolisian.

Bapak Menteri, buku-buku itu rindu dijumpai oleh orang seperti Chairil. Mungkin jika mereka punya mulut akan berkata: "Ayo, pilihlah aku! Bawa aku pulang." Tapi, puji Tuhan, masyarakat literasi kita sangat bermoral. Mungkin takut salah membawa pulang Buku Azab Kubur alih-alih Zarathustra.

***

Sabtu, 17 Oktober 2015

KALA

Ketika akan memasuki maghrib matahari yang sudah jingga bersusah payah mempertahankan sisa-sisa cahayanya agar tidak ditelan kegelapan. Jalanan kota ini tidak berbeda jauh dengan Jakarta atau Surabaya. Setiap orang seolah ingin lebih dahulu sampai di rumah demi secangkir kopi atau masakan yang sudah dipanaskan. Lampu-lampu di tepi jalan mulai menyala kuning dan dari langit yang ungu seolah-olah akan muncul mulut raksasa yang ingin menelan setiap kepala yang berkejaran di bawah gedung-gedung itu.

Saat itulah aku teringat Kala. Sosok misterius bertaring tajam dari zaman yang lebih tua dari nenek buyutku yang kisahnya tak putus-putus disampaikan dari generasi ke generasi. Kala selalu muncul bersamaan dengan tenggelamnya matahari. Telingaku kali pertama mendengar nama itu saat ibu menghardikku pada suatu maghrib agar pulang bermain dan menakut-nakuti kalau Kala akan memakanku karena berkeliaran di luar rumah.

“Masuk ke rumah, kalau nggak dimakan Kala nanti,” kata Ibu.

“Siapa Kala?”

“Orang jahat. 1000 kali lebih jahat dari Genderuwo.”

“Dan lebih seram?”

Ibu mengelus kepalaku. “Kau takkan bisa membayangkan seberapa tajam taringnya,” kata ibu sambil menutup selambu ruang tamu.

“Ibu pernah bertemu Kala?”

“Ibu kan anak perempuan dan nggak suka keluyuran kayak kamu ini. Jadi ibu selalu jadi anak baik yang diam di rumah,” katanya sambil menuntunku ke ruang makan, menuangkan teh dan menyiapkan makan malam.

Aku menatap tak percaya.

“Sampai kapan Kala mengincar anak-anak nakal, Bu?” tanyaku.

“Sampai anak itu cukup dewasa dan tidak nakal lagi,” jawabnya.

“Bagaimana kalau aku sudah dewasa dan aku masih nakal?”

Ibu tersenyum lelah padaku. “Kau takkan berani, coba saja.”

“Oh ya? Kenapa begitu?” tantangku.

“Kala suka ngremus mentah-mentah kepala anak nakal. Kau dengar? Mentah-mentah  Langsung dari ubun-ubunmu. Kau bahkan takkan punya kesempatan berteriak minta tolong.”

Begitulah, ibu akhirnya berhasil membuatku bergidik. Saat itu usiaku 8 tahun. Aku tak berani membayangkan seberapa tajam taring Kala saat meremukkan kepala bocah sepertiku. Karena itulah kemudian saat matahari sudah menandakan akan tenggelam aku berlari pulang cepat-cepat.

Sampai aku cukup akil baligh ditandai dengan berkhitan pada usia 13 tahun, aku tak pernah sekalipun bertemu dengan Kala. Kata ibu, karena aku telah dikhitan dan patuh, Kala berhenti memata-mataiku. Aku dicoret dari daftarnya. Biarpun demikian, cerita tentang Kala tak berhenti dibicarakan. Anehnya lagi, cerita Kala selalu dituturkan oleh pihak perempuan dalam pohon keluarga dari pihak ibu. Nenek buyutku, nenekku, dan ibuku adalah yang turun temurun menuturkan kekejaman Kala kepada kami para lelaki. Entah ini semacam konspirasi atau apa, suatu hari aku memberanikan diri bertanya kepada ibu.

“Kenapa cuma perempuan yang tahu cerita soal Kala?”

Saat itu umurku 19 tahun dan sedang pulang berlibur dari studi di Bandung.

Ibu tertawa. “Kok kamu ingat cerita itu, Le? Kukira sudah nggak ingat lagi?"

“Yah, memang…” kataku ragu. “Hanya penasaran saja. Apa karena aku nggak punya kakak atau adik perempuan, jadi cerita Kala berhenti sampai di Ibu saja?”

“Kala nggak suka diceritakan dari mulut laki-laki, Le,” kata ibu pelan.

Aku mengamati garis-garis yang melintas di kening saat ibu mengatakan kalimat itu padaku. Beberapa helai uban menghiasi rambut di tepian pelipisnya.

“Kenapa? Gimana kalau aku tiba-tiba cerita soal Kala? Atau Mas Tirta, atau sepupu laki-laki lain cerita?”

“Ya nggak apa-apa, tapi ya nggak akan berhasil.”

“Nggak berhasil? Lho, kok gitu?”

Ibu melakukan kebiasaannya yang selalu saja membuatku masih terlihat kanak-kanak.

“Ya, Kala nggak akan datang. Dia itu cuma mau menampakkan diri kalau yang menceritakan kisahnya adalah perempuan,” jawabnya sambil mengusap kepalaku.

“Jadi ibu pernah lihat Kala?”

Ibu menggeleng. “Ibu sudah bilang, ibu itu anak perempuan. Nggak nakal dan bandel kayak anak lelaki.”

“Terus bagaimana Ibu tahu Kala itu ada dan dia melakukan semua perbuatan mengerikan itu?”

Ibu tersenyum. Memandangku lembut dari kaca mata bacanya.

“Ibu hanya percaya saja, Le. Kala-lah yang menjaga orang-orang seperti ibu, nenek, dan perempuan lain dalam keluarga kita.”

Aku tak mengerti apa maksud ibu. Pun enggan meneruskan keingintahuanku. Kala bagiku tersisa sebagai khayalan yang sengaja diciptakan untuk menakut-nakuti anak kecil. Belakangan, aku malah disibukkan oleh tugas-tugas. Kala tertimbun modul dan file-file kuliah yang seolah tiada habisnya. Lambat laun, aku semakin yakin bahwa skripsi dan job seeker adalah hal yang lebih menyita perhatian dan memakan tempat dalam kepalaku ketimbang cerita mistis keluarga. Akhirnya, Kala benar-benar punah ketika aku bertemu dengan Joseline.

Kini, di usiaku yang ada di pertengahan tiga puluhan dan Joseline sedang dalam kehamilan pertamanya, senja di kota ini mengembalikan ingatanku tentang Kala. Entah bagaimana nama kuno itu tiba-tiba datang menelusup ke sel otakku. Sesampainya di rumah, Joseline dengan usia kehamilan  3 bulannya nampak agak sebal saat aku lupa membelikan jus mangga yang sedari siang dia inginkan.

“Bawaan bayi nih, kok kamu lupa?” rajuknya.

Aku nyengir menahan rasa bersalah. “Maaf, tadi aku teringat sesuatu pas di jalan. Eh, tahu-tahu udah jauh dari tokonya.”

Joseline merengut menggigit bibirnya.

“Joseline, kamu pernah dengar soal Kala?” tanyaku.

Kami duduk di ruang makan dan sambil menuangkan kopi ia menjawab, “Kala? Film Joko Anwar?”

“Bukan. Kala, makhluk yang menculik anak nakal dan memakan kepala mereka.”

Joseline menggeleng. Tapi ia malah bertopang dagu memperhatikanku. Lalu aku berusaha mengumpulkan kembali cerita lama tentang Kala. Joseline tak kusangka menikmati cerita itu dan melupakan ngidam jus mangganya. Sesekali ia menelengkan kepala ketika mendengar cerita tak masuk akal yang kusampaikan.

“Kala, kata ibuku, hanya diceritakan oleh para perempuan. Kata ibu, Kala yang menjaga perempuan-perempuan dalam keluargaku.”

“Maksudnya?” tanya Joseline mengernyit.

“Entahlah,” kataku mengangkat bahu. “Tapi nanti,” lanjutku seraya mengelus perut Joseline, “aku nggak mau Kala memakan anak kita.”

“Kamu terlalu lelah, Dear. Mandilah sana, lalu kita ceritakan hal lain.”

Aku terdiam. “Tapi, Dear, “ kataku kemudian, “…maukah kau nanti menceritakan soal Kala kepada anak kita?”

Joseline memandangku heran. “Ya,” katanya akhirnya, “Kala the warrior princess.”

“Tapi dia laki-laki,” bantahku.

“Tapi kau, bahkan ibumu, tak pernah bilang soal gender, kan? Bagaimana kalau dia perempuan?”

Aku terlalu capek untuk membahas ini lebih jauh. Lagipula aku tak punya bahan. Sampai pada suatu subuh yang dingin  serbuan telepon dari ibu di handphone membangunkanku.

Le, ibu coba hubungi kamu tapi nggak ada jawaban. Syukur, Le, yang ini kamu angkat,” kata ibu cemas.

“Yah?” tanyaku menggeliat. “Kenapa, Bu? Ini baru jam 4 pagi.”

Joseline pelan-pelan mengucek matanya yang masih layu.

“Kala mengejarmu, Le.”

Kecemasan itu masih terdengar dari suaranya. Missed calls di handphone tercatat 8 kali.

“Siapa? Bagaimana?”

“Kala mengejarmu, Le. Cepatlah pulang."

“Apa yang ibu katakan?” tanyaku. "Aku nggak apa-apa, kok. Tenang, Bu."

Lampu kamar menyala. Joseline nampak bingung dan khawatir.

“Kala akan memakanmuApa yang kamu lakukan, Le? Kenapa Kala datang dalam mimpi ibu dan mau memakanmu.”

“Aku nggak lakukan apa-apa. Ayolah, Bu, ini masih pagi dan ibu meracau,” keluhku.

“Ibu nggak meracau. Ini soal kamu, ibu mesti memperingatkan!”

Aku memegang tengkukku.

“Bu… Kala itu nggak ada. Itu cuma dongeng. Oh, Bu, maafkan aku, tapi aku nggak percaya lagi sama Kala.”

Aku tak mendengar suara. Nafas ibu seperti halus merambat melalui rongga udara telepon. Ini masih pukul 04.15 dan aku belum bisa berpikir rasional. Keheningan memakan kami bertiga. Suara ibu tidak lagi menandakan cemas. Suara itu kini bergetar seperti suara ketika ia mengabarkan bahwa ayah tidak akan pulang karena pertengkaran hebat yang takkan aku mengerti di usia anak SD. Seperti ketika ibu dengan lirih mengatakan bahwa ayah meninggalkan kami karena perempuan lain yang merasuki hatinya. Persis ketika pada suatu maghrib yang hening, ibu memelukku dan berbisik bahwa ayah tidak selamat dalam kecelakaan pesawat yang menerbangkannya ke Jakarta.

Sambungan telepon itu terputus. Joseline membelai lembut pipiku.

“Kenapa, Dear?”

“Bukan apa-apa,” jawabku lelah.

Joseline tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia menyelimuti tubuhku lalu merebahkan kepalanya di dadaku. Saat itulah aku merasa tubuhku lemas seperti kekurangan cairan. Bayangan asing bertaring yang telah terkubur itu kembali menebar teror. Sambil mengelap rambut Joseline dan keningnya yang lembab, kuteringat bagaimana pada senja kemarin aku menelepon istriku di Surabaya dan berbohong mengatakan bahwa penugasanku di Bandung diperpanjang dan baru akan kembali minggu depan.
Tiba-tiba, samar-samar, aku teringat apa yang ibu bisikkan pada malam hari ketika ayah pergi:

“Kala selalu melindungi perempuan-perempuan keluarga kita, Le. Kini Kala memakan ayahmu.”

***

Rabu, 14 Oktober 2015

Buah Tangan "To Kill a Mockingbird"








Membaca To Kill a Mockingbird karangan pemenang Pulitzer, Harper Lee, adalah seperti melihat jauh ke dalam kemanusiaan itu sendiri. Menyadarkan bahwa, dalam tingkatan strata, kelas sosial, atau warna kulit, manusia adalah tentang bagaimana seseorang mau sejenak saja merasakan dirinya dalam posisi orang yang lain. Memahami kehidupan sehari-hari orang yang dalam berbagai perspektif tidak selalu sama. Dan, ya! Pada akhirnya mengetahui bahwa anggapan pribadi adalah tolak ukur yang tidak selalu benar – ketika pada akhirnya mengetahui kebenaran itu sendiri.

Pada tahun-tahun itu (1930-an), karena sejarah dan marjinalisasi, kaum kulit hitam Amerika mendapat perlakuan berbeda. Tak terkecuali dalam lembaga peradilan. To Kill a Mockingbird mengkritiknya lewat tokoh Atticus Finch. Atticus, seorang pengacara, berusaha mencari keadilan bagi seorang negro, Tom Robinson, yang dituduh memperkosa seorang wanita kulit putih. Tak sampai di situ, saat Robinson dipenjara, Atticus merelakan diri menjaga dan melindungi penjara Robinson dari tindakan main hakim sendiri masyarakat kulit putih yang sentimen.

Apa yang dihadapi Atticus jauh lebih besar dari sekedar kasus yang salah tuduh. Ia menghadapi sentimen masyarakat Amerika. To Kill a A Mockingbird menyuguhkan masalah yang jauh lebih “berat” dalam hal perbedaan (rasial dan sosial) dibanding yang terjadi di Indonesia. Masyarakat Indonesia terbiasa berbeda sejak nation ini bahkan belum bernama. Yang menjadi polemik adalah ketika perbedaan itu menjadi pemicu mengukur kebenaran dengan menilai orang lain yang tidak sejenis harus dimarjinalkan dan dikebiri hak-haknya. Bahwasanya sejarah berulang bisa dinilai dari gejala. Tetapi, tidak terkesan arif jika dititikberatkan kepada sejarah. Karena bagaimanapun yang membangun dan menjadikan sebuah sejarah adalah manusia di dalamnya. Apakah gejala substantif yang terjadi dalam To Kill a Mockingbird justru melanda di Indonesia setelah 50 tahun buku itu terbit?

Rasanya sudah terlalu lelah mendengar intrik siapa yang salah dalam krisis tahun 1965. Terlalu ngeri membuka lembaran hitam tahun 1998. Banyak cerita buram betapa sulitnya memandang dari sisi orang lain yang berbeda. Apakah kita telah kalah menjaga kemanusiaan dalam perbedaan itu? Apakah kita terlanjur terikat dengan sudut pandang sempit yang menilai kebenaran dari persepektif pribadi dan mulai memerangi yang lain? Sebuah perenungan yang disampaikan Atticus kepada Jean Louise setidaknya bisa menjadi penyemangat untuk tidak takut menghadapi tantangan hidup dalam perbedaan: “…… Keberanian adalah saat kau tahu kau akan kalah sebelum memulai, tetapi kau tetap memulai dan merampungkannya, apa pun yang terjadi. Kau jarang menang, tetapi kadang-kadang kau bisa menang.” 


***


Selasa, 22 September 2015

Surat Kota Itu


Sebenarnya perjalanannya ke kota itu tidak pernah ia rencanakan sebelumnya. Kesibukan menyelesaikan thesis dan pekerjaan lepasnya sebagai penulis di surat kabar menyita waktunya - yang sebenarnya juga mengikis kehidupan pribadinya. Tapi, seperti mengamini gagasan rekannya yang senang melancong, pada suatu hari datanglah sebuah surat yang memintanya datang ke kota itu.

"Aku tak kenal pengirimnya. Mungkin salah alamat."

"Tak mungkin salah. Tertulis jelas kok namamu. Alamat jelas. Kecuali dia orang iseng."

Dan begitu saja surat itu tergeletak di antara naskah-naskah dan serakan kertas di meja kerjanya. Mulanya ia enggan menanggapi. Isinya ngambang. Tanpa penjelasan atau setidaknya alasan yang mengharuskannya harus naik kereta pagi dan menempuh lima jam perjalanan. Sebaris kalimat: "Temui aku di kota itu minggu depan. Museum Arupadatu. Untuk hal-hal yang ingin kausampaikan dan belum kuterimakan," tidak cukup membuatnya mengerti.

Tapi kini ia sudah di gerbong nomor lima kereta ekonomi. Merasa bodoh sekaligus penasaran. Roda kereta berisik saat melindas rel. Samar tercium bau air seni. Terlihat ibu-ibu dengan tas besar. Pekerja. Mahasiswa yang tampak lusuh. Obrolan-obrolan seputar Rupiah, akik, dan BBM mengalir di udara. Ia lalu duduk di dekat jendela. Kereta itu belum terisi penuh.

Matahari beranjak naik membuat warna-warni kota menyala saat perempuan itu duduk di depannya. Ia sepertinya naik dari stasiun kecil yang kabarnya akan ditutup tahun depan. Masih 3 jam lagi menuju kota tujuan. Sambil lalu ia mengeluarkan koran dan mulai menyibukkan diri.

"... Rembulan Kota Paris," kata perempuan itu.

Ia menurunkan korannya. "Sorry?"

"Ah - oh. Nggak. Judul di koran itu, Rembulan Kota Paris," katanya menunjuk.

"Ah.. hehe iya Rembulan Kota Paris, cerita pendek hari ini. Kenapa?"

Perempuan itu menggeleng dan tersenyum hampir bersamaan.

"Bukan apa-apa. Suka aja judulnya. Rembulan di Paris. Bukannya Paris sudah romantis, masih ditambahi bulan lagi."

"Kau mau membacanya," katanya. "Sebenarnya ini cerita yang tidak terlalu romantis."

"Ah, tidak?"

"Begitulah, tokoh si laki-laki yang menjadi kekasih si tokoh wanita di situ, bunuh diri dengan memotong nadinya di atas Eiffel," terangnya.

"Oh, ya?" tanyanya terkejut. "Kenapa dia mati?"

Ia diam sesaat. Pemandangan di jendela kanannya berkelebat cepat. Rumah-rumah kubus berganti dengan hijau sawah dan langit biru cerah.

"Karena Isaiah, laki-laki dalam cerita itu, tidak bisa menikahi Arnetha, si perempuan yang ia sukai."

"Kenapa?"

"Menurutmu?"

"Ehm..karena Isaiah pengecut?"

"Mungkin, tapi tidak demikian juga. Lebih kepada kekurangan Isaiah."

Perempuan itu mengernyit. Ia menopang dagunya dan agak mencondongkan tubuhnya ke lelaki asing bercambang di hadapannya.

"Isaiah... dia bukan seorang lesbian," katanya.

Perempuan itu seperti tersengat listrik. Kereta berhenti sebentar di stasiun. Seorang ibu menuntun anaknya naik ke atas kereta.

"Jadi, kekurangan Isaiah karena dia bukan wanita yang ....penyuka sesama jenis?! Sialan...Bagaimana bisa dia dibikin bunuh diri sih sama penulisnya?"

Ia melipat korannya lalu menyelipkannya di lengan. Terkejut juga dengan pertanyaan itu.

"Well...begitulah. Terasa sentimentil memang, tapi begitulah akhirnya."

"Dan kapankah Isaiah tahu kalau si Arnetha ini lesbi? Apakah ia mengatakan langsung?"

"Tidak juga."

"Tidak?!"

"Dalam cerita itu Isaiah sibuk dengan penelitiannya, kalau kau tahu. Dia calon doktor sosiologi. Mereka tidak sering bertemu. Seminggu mungkin 2 kali. Sementara Arnetha, dia - dan kakak-kakak perempuannya, aktif dalam gerakan organisasi feminisme di Paris. Suatu hari, saat mereka berduaan di bawah rembulan, sebenarnya si Isaiah ini mau ngomong kalau dia mau menikahi Arnetha. Tapi perempuan itu malah tak berhenti mengulas gerakan wanita modern dan kasus perceraian karena tuntutan karir dalam dunia kaum Hawa."

"Tapi bukan berarti dia lesbian, kan? Penulisnya terlalu misoginis."

Saat seorang pramusaji kereta melewati mereka ia memesan dua cup coffe

"Jadi," ia melanjutkan sambil menghirup kopinya. "Suatu hari Isaiah berniat melamar Arnetha. Tekadnya sudah bulat. Ia mendatangi rumah perempuan itu - sekaligus mungkin bercinta setelah mengutarakan maksudnya. Maka disampaikanlah uneg-uneg bahkan niatnya mencumbui perempuan itu tanpa tedeng aling-aling."

Perempuan di depannya menyimak serius. Sesekali ia menahan nafas. Cup kopinya ia remas erat.

"Lalu, apa katanya?"

Ia memandang keluar jendela. "Arnetha menyuruhnya pulang. Dan mengatakan ia tidak tertarik pada laki-laki."

Kereta melambat. Perhentian lagi di sebuah stasiun. Tidak ada penumpang baru dalam gerbong mereka.

"Jadi...Isaiah menganggap itu sebagai pertanda kalau calon istrinya lesbian?"

Ia mengangguk. "Isaiah memang bodoh, ya?"

Kereta pelan-pelan merambat.

"Apa Isaiah tidak berusaha lagi? Dia tidak mengusahakan niatnya lagi??"

Ia hanya tersenyum menjawab pertanyaan itu. "Apa menurutmu begitu?"

"Isaiah lelaki bodoh. Aku ragu penelitian doktoralnya."

"Sebenarnya, aku pun berharap Arnetha bukan lesbian. Dan Isaiah bukan calon doktor galau yang berpikiran pendek soal cinta. Tapi, bukankah tragedi harus ada?"

Perempuan itu menerawang jauh ke luar.

Perhentian terakhir. Roda-roda kereta mendecit. Suara petugas kereta di interkom mengatakan kereta akan merapat 5 menit lagi. Matahari makin terik. Kota terlihat gerah dan lelah.

"Kau mau kemana?" tanyanya.

Perempuan itu merapikan rambutnya. "Sekitar sini saja. Dan kau?"

Ia mengeluarkan surat itu dari sakunya. "Seseorang ngirim ini padaku. Memintaku datang. Museum Arupadatu, kau tahu tempat itu?"

Perempuan itu tertawa lalu menurunkan barangnya.

"Tidak ada museum seperti itu di kota ini. Kau pasti telah ditipu. Kau memang bodoh seperti karakter ceritamu itu. Kurasa itulah tragedimu."

"Bagaimana kau tahu aku penulisnya?!"

Perempuan itu tidak membalas. Satu demi satu gerbong memuntahkan penumpang. Semakin jauh, perempuan itu menghilang ditelan kerumunan.

***

Sabtu, 19 September 2015

Pohon Beton pada Suatu Malam

Pohon beton itu terletak tidak jauh dari jembatan Soekarno-Hatta yang setiap pergantian waktu gaduh dengan kesibukan dan egoisme jalanan. Di dalam pohon itu, dari salah satu jendela yang menantang gedung Universitas, Gerson menatap kota yang hendak tertidur itu dengan sebatang rokok di tangan. Di sofa yang lusuh bekas terkena tumpahan vodka, Adera rebah dengan novel menutupi wajahnya. Kaki jenjangnya selonjor menindih badan sofa.

"Kau tahu, aku tiba-tiba teringat cerita itu. Marno dan Jane. Entah mengapa aku merasa sentimen dengan cerita itu," kata Gerson.

"Aku gak sudi menjadi Jane," kata Adera datar. "Jane perempuan sundal dan goblok. Dan kau bukan Marno."

"Memang bukan. Ini juga bukan New York. Tak mungkin kota ini menelan kita berdua, kan?"

Adera hirau meletakkan novelnya. Segerai rambutnya menutupi pelipis.

"Pada akhirnya kita akan ditelan kesunyian masing-masing, kan? Entah itu di New York atau di liang lahat. Atau juga di kamar ini."

Gerson menatap sekilas perempuan itu. Kaos dalam hitamnya masih tersingkap dan lingerie merahnya seolah memanggil kelelaki-lakian Gerson untuk menyibak.

"Aku takut Malaikat Maut tidak jadi menghabisimu kalau kau telanjang begitu, Dera," katanya. Ia kembali pada gedung dan noktah-noktah kuning. Seorang pemulung memungut plastik ke karung goninya.

"Dan seperti apakah Malaikat Maut itu? Tidakkah menurutmu ia terlalu cabul untuk tidak mencabut nyawaku?"

Gerson diam-diam tersenyum. "Kurang lebih ia seperti pemanggul goni di bawah itu. Begitulah rupa Malaikat Maut. Ia mengambil jiwa orang lalu memasukkan ke dalam goninya."

Adera menautkan alisnya. Ia berdiri memeluk Gerson dari belakang. Bulan terlihat separuh dan kusam.

"Kalau begitu bukankah engkau akan merebut goni itu dan melepaskanku?" tanyanya.

Gerson berpaling pada wajah pualam dan mata jernih itu. Aroma Channel samar masih menguar dari tubuhnya.

"Aku tidak tahu, Sayang." 

Adera melepaskan pelukannya. "Sial. Sudah kuduga. Aku haruslah jadi Jane yang tolol."

Gerson seperti ingin meraih rambut hitam perempuan itu tapi diurungkannya. Ia menyalakan rokok dan kembali pada langit yang tiba-tiba mendung.

"Kau tahu, Dera, kalau nanti aku ... kalau nanti aku meninggalkan kamar ini, orang-orang akan ramai memburuku. Dan, entah kapan, kau akan bertemu lagi denganku. Itupun kalau aku belum dimasukkan ke dalam goni."

Adera merapat ke jendela. Jalanan mulai sepi dan langit bercadar kelabu. Dia selalu suka saat hari akan turun hujan. Aromanya mengingatkannya akan sesuatu yang purba dan akrab.

"Aku tentu takkan menemukanmu, Gers. Kau tahu itu. Hari-hari kita tidaklah untuk bersama, bahkan di kamar ini. Kita bukanlah sepasang suami istri yang urusannya tak pernah benar-benar selesai bahkan setelah bercerai."

Gerson tertawa. Itu pertama kalinya ia tertawa hari ini.

"Masing-masing kita menikah dengan keheningan masing-masing, kurasa," kata Gerson.

Jarum jam sudah tepat di angka 12. Gerimis pelan-pelan turun mengaburkan cahaya lampu-lampu jalan dari pandangan jendela. Malam seperti terowongan yang panjang.

"Karena hanya keheningan yang tidak butuh identitas, Gers. Kota ini, bahkan negeri ini, butuh identitas. Butuh benturan."

Gerson menyeka pipi wanita itu. Mencium bibirnya. Asin.

"Aku berharap kau adalah bagian dariku, Dear."

Telunjuk Adera menempel ke bibir Gerson. "Ssst...jangan pernah mengubah paradoks."

Kata-kata itu dikatakannya begitu pelan. Hampir berbisik. Gerson menatap mata itu terakhir kali. Seperti telah diatur oleh mesin, Adera tangkas meraih jins dan jaket hitamnya. Sepucuk pistol melilit di pinggangnya.

"Aku harus menyiapkan timku, Gers. Intelijen harus seperti burung hantu."

"Yah, begitulah harusnya. Dan aku harus membunuh Tuan Presiden."

Malam merambat semakin pekat. Hujan turun begitu deras. Dari kamar itu bunyi-bunyian dari luar terdengar seperti orkestra yang sumbang.

***

Catatan:
1) Marno dan Jane adalah tokoh fiktif rekaan Umar Kayam dalam cerita 1000 Kunang-Kunang di Manhattan.

2) Pemanggul goni diinspirasi dari cerita Lelaki Pemanggul Goni karangan Budi Darma.

Minggu, 13 September 2015

Rencana Besar

Ada orang yang kagum dengan mereka yang punya keberanian besar merencanakan sesuatu dan menuntaskannya. Menuju zona abu-abu bukan perkara mudah. Semua tahu itu. Selain tekad yang tangguh, rencana adalah hal yang membantu melewati perjalanan. Dan, celakanya, dia orang yang tidak terlalu suka merencanakan sesuatu.

Orang ini jelas bukan George Milton dalam Of Mice and Men yang - setidaknya - punya step-step rencana menabungkan sedikit demi sedikit penghasilannya sebagai buruh ranch untuk membeli rumah peternakan. Bagaimana ia tidak pergi ke bar atau mencari sundal agar uangnya tidak habis percuma lalu selamanya menggelandang. Rencana George adalah impian besar kala itu: lepas jadi buruh dan punya rumah sederhana di zaman American Dream.

Karena itulah orang ini kadang cemburu pada mereka yang menyusun rencana besar dan memutuskan berjalan di alurnya. Mereka pribadi-pribadi yang spekulatif tapi bukannya tanpa perhitungan. Mereka orang yang 'tertawa' tetapi sesungguhnya lebih siap ditertawakan. Dan mereka jarang membiarkan sesuatu, karena harus patuh pada pola.

Sistematis sekali, kan?
Bagaimana mungkin tujuan bisa dicapai kalau serampangan?

Orang ini nampaknya mendambakan hal yang teratur dan terukur. Sangkuni adalah contoh pola yang terstruktur itu. Begitu rapi ia mempersiapkan 'menguasai' Astina sejak Gandari diperistri adik Pandu. Bagaimana ia sengaja kalah di ronde awal permainan dadu agar Pandawa lengah untuk selanjutnya menghantam telak anak-anak Pandu itu. Lalu sesuai aturan main, ia mempreteli kewibawaan mereka dan 'mengendalikan' Astina lewat Duryudana.

Sementara, Puntadewa dan keempat adiknya tidak merumuskan sesuatu saat diusir dari Astina oleh Destarastra ke hutan pengasingan. Mereka tidak sistemis. Tidak berpola secanggih Profesor Sangkuni. Opo jare engkok. Hal yang kita ketahui kemudian, Puntadewa dengan bantuan Dewa Indra berhasil membangun imperium Indraprasta.

Karena itu saya kemudian menasihati orang ini. Ikut Puntadewa atau Sangkuni tidak ada yang salah. Pola tak selalu segaris, karena abstrak juga adalah pola. Masalahnya hanya keberanian melawan tanda tanya. Di sini saya teringat Soe Hok Gie. Begitu pun orang di depan saya yang tak lain diri saya sendiri.

***

di atas kereta, 13/09/15 19:10

Sabtu, 22 Agustus 2015

10 Perbedaan







Tentu kamu pernah bermain permainan ini. Atau setidaknya sekedar pernah mendengar atau melihat orang lain memainkannya di koran, tabloid, atau media lain. Permainan ini bernama “10 Perbedaan”, sebuah kegiatan membandingkan dua buah gambar kemudian si pemain diminta mencari 10 perbedaan dari kedua gambar tersebut. Permainan asah otak tersebut membuat kita berlomba dengan waktu untuk paling cepat menemukan perbedaan. Ada yang genap sukses 10, ada yang sampai habis waktu hanya menemukan 1 atau 3 saja.

Sekilas memang tak ada yang ganjil dalam permainan ini. Kecuali, jika di hari yang sangat lapar dan haus, kamu merasa aneh harus bermain mencari perbedaan dari dua objek yang memang sudah jelas berbeda sejak awal. Kamu diminta mencari perbedaan karena perbedaan itu sendiri. Lho, bukannya itu malah tantangannya? Biar naluri kita bergeliat aktif lalu seterusnya menjadikan akal kita paripurna karena berhasil menemukan bagian kecil dari dua frame yang sekilas tampak sama?

Heuheu ….

Atas karunia Tuhan kita lahir di sebuah gugusan yang campur sari. Rangkaian kebudayaan yang mana fragmen-fragmen penyusunnya berbeda satu dengan yang lain. Tentu kamu tahu yang hari-hari ini membuat kita gerah: penilaian atas perbedaan. Masyarakat kita terlalu mudah – dan cenderung gemar – mencari-cari perbedaan. Dalam batas kewajaran hal itu tentu tidak merisaukan. Namun, terkadang kita tidak bisa membendung saat kumpulan kegemaran mencari perbedaan itu menumpuk dan berbelok tajam ke arah yang menuntut pembenaran atas status dan keberadaan.

Kegagalan bermasyarakat yang harus dihindari oleh masyarakat kita adalah soal bagaimana cara menanggapi dan mengamati perbedaan di negeri yang memang oleh Tuhan ditakdirkan berbeda bahkan sejak sebelum nation ini bernama Indonesia. Perlu kita ketahui bahwa karena asyik dan terlalu mudahnya kita berlomba mencari perbedaan maka gesekan antarkelompok jadi mudah tersulut. Kita seolah lupa – atau melupakan – bahwa sejatinya kehidupan di Indonesia adalah potongan-potongan gambar yang ditakdirkan beragam dalam rahim. Kita kini menjadi seolah takjub saat menemukan hal yang tidak serupa, semahzab, seiman, sealiran, dengan yang ada pada diri atau kelompok kita.

Seperti halnya ketika bermain 10 Perbedaan. Di gambar “A” menampilkan lansekap sebuah desa, bergunung biru, bersawah hijau, dan ada pak petani berbaju merah. Di gambar “B” adalah lansekap yang sama hanya saja pak petani berbaju hitam. Masyarakat kelompok “A” yang gemar mencari pembenaran atas perbedaan merasa benar atas statusnya bahwa petani haruslah berbaju merah. Sementara masyarakat “B” juga tidak ingin dianggap bersalah karena pak petaninya berbaju hitam. Mereka merasa saling benar. Merasa saling merasa nggenah kalau di satu sisi judul permainan itu adalah “Carilah 10 Perbedaan A dari B” dan “Carilah 10 Perbedaan B dari A” di sisi lain.

Mindset 10 Perbedaan hanyalah menekan kita untuk mencari pertidaksamaan. Sementara kita melupakan bahwa dari pertidaksamaan itu ada persamaan yang jauh lebih luas. Kita telah melupakan persamaan. Terlalu terkonsentrasi pada pakaian si petani dan melupakan warna gunung, warna sawah, arah aliran sungai, jumlah bintang-bintang yang membentuk gambar itu seutuhnya. Kita meninggalkan persamaan karena mencari persamaan itu tidak asyik, tidak menantang, dan jika dilombakan tidak akan ada yang berusaha untuk menang.

Ya, mencari persamaan itu tidak memunculkan gairah berapi-api, alih-alih: kelompok berbaju merah duduk bersama kelompok berbaju hitam di sebuah kedai, memesan secangkir kopi, sambil memandang gugusan gunung, sawah, bintang dan komponen-komponen lain yang sama-sama mereka jumpai di alam A dan B. Dalam tahapan selanjutnya, si Merah dan si Hitam membakar kretek, memandangi satu sama lain, lalu menangis. Keduanya trenyuh karena melihat unsur A di dalam B, dan unsur B di dalam A. Bagaimana mungkin selama ini saat mencari pertidaksamaan mereka sebenarnya telah menyakiti diri sendiri?

Bagaimana mungkin?

*** 

(kredit foto dari www.1mobile.co.id)

Selasa, 04 Agustus 2015

Sakral - Banal dalam Dieng Culture Festival


Merayakan waktu-waktu penting dalam kehidupan memang tak terlepas dari hal yang bersifat sakral dan banal. Sakral dalam hal ketika moment-moment peringatan itu terasa kudus, berliturgi, dan hening. Banal karena dalam fase sebelum atau sesudah kesakralan itu ada penghiburan, hedonisme, dan hingar-bingar yang jamak dilakukan.

Kedua fase itu juga ditemukan dalam Dieng Culture Festival (DCF) ke enam. Saat matahari sudah akan redup pada akhir Juli, di simpang tiga homestay Bu Jono, para pemuda berjaket dan ber-carrier mulai berdatangan. Kebanyakan dari Jakarta, Jawa Barat, dan sekitarnya. Sebagaimana agenda tahun sebelumnya, DCF 2015 masih paduan antara jazz, lampion dan ruwatan.

Dua kegiatan di awal adalah pengelolaan kebanalan berestetika yang mau tidak mau adalah daya tarik paling besar bagi mayoritas pendatang DCF. Malam hari tanggal 1 August saat ribuan lampion diudarakan saja, jalanan di simpang tiga arah candi-Wonosobo-Banjarnegara banjir lautan manusia. Ruas jalan padat. Rasanya, itu adalah moment saat orang Jakarta berhasil memasarkan macet dan bahasa 'Lo', 'Gue', ke tengah masyarakat Ngapak.

Dari rata-rata usia pengunjung yang remaja-dewasa memang menjadikan kebanalan ini sesuatu yang melebihi keheningan Dieng itu sendiri. Bahwasanya DCF adalah tentang jazz dan kelap-kelip lampion di ketinggian 2000 mdpl. Bahwa DCF adalah merayakan selfie di kepungan sunrise Sikunir atau Telaga Warna. Hal-hal yang sangat populer saat ini. Kehingar-bingaran ini tidak bisa dipungkiri justru adalah bagian dari usaha memasarkan kebudayaan dan kesakralan Dieng.

*

Inti yang sakral dari DCF adalah ruwatan anak bajang. Anak lelaki atau perempuan berambut gimbal yang legendanya adalah keturunan Kyai Kaladate, leluhur orang Dieng. Anak-anak ini - harus atas permintaan sendiri - akan diruwat sebelum dipotong rambutnya yang dipercaya akan menjauhkan mereka dari makhluk gaib.

Sebelum dicukur di komplek Candi Arjuna keinginan anak bajang ini mutlak harus dipenuhi orang tuanya. Mau mobil 10 buah atau sapi 20 ekor mau tidak mau harus diusahakan. Hanya saja, pemenuhan materi tersebut bisa dialihkan. Mobil bisa diganti mobil mainan. Begitu juga sapi atau yang lainnya. Artifisial. Benda buatan yang menyerupai aslinya sebagai syarat agar anak bajang bersedia dicukur.

Hal-hal yang membutuhkan kekhidmatan dan serangkaian prosesi tradisi memang tidak terlalu lentur diikuti. Saat prosesi potong rambutpun tongsis tidak diperkenankan. Tidak boleh berisik. Ruang ekspresi menciut. Kesakralan bisa terasa menjemukan bagi mereka yang terbiasa aktif. Terlebih tidak mengetahui nilai dalam prosesi yang hening.

Namun, seperti yang dikatakan oleh pemilik penginapan tempat saya menginap, bahwa inti dari semua kegiatan ini adalah ruwatan. Bukan pesta lampion yang bisa ditemukan di tempat lain. Atau mungkin jazz di Bromo. Tetapi pemotongan rambut gimbal. Tradisi sakral yang tidak ada di tempat manapun selain Dieng.

Senada dengan yang disampaikan saat tauziah pembukaan DCF. Sang kyai banyak membahas Nusantara - dan tentu mengerucut ke tanah para dewa itu. Dieng adalah 'gunung kosmis' di tanah Jawa. Kepercayaan animisme dan Hindu sangat kental. Sampai era Islam masuk dan mengakulturasi kebudayaan asli. Sekilas saja dapat kita ketahui bahwa kyai tidak akan membahas soal selfie atau jazz. Dari tauziah itu ada hal yang lebih tinggi nilainya dari kebanalan yang riuh. Bahwa Dieng adalah kesakralan, sejarah, dan leluhur para orang Jawa.

*

Ekspresi banal dan sakral memang susah dipisahkan. Dalam taraf wajar kebanalan adalah media yang memberi kesempatan untuk menghibur diri dan melumerkan kesakralan yang kaku, religius, dan khidmat. Keduanya bertahan karena kebudayaan manusia menghendakinya demikian. Kita butuh keceriaan pesta tanpa harus meringkuk gamang setelah pesta itu usai.

Rabu, 22 Juli 2015

Jagongan Kebudayaan


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian 'Kebudayaan' secara antropologis adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya. Di dalam KBBI, kata 'Kebudayaan' pun memiliki klasifikasi penjelasan yang lebih luas, seperti Kebudayaan Barat, Kebudayaan Agraris, dan sebagainya.

Sebagai hasil karya cipta, rasa, karsa, dan pengetahuan, kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari manusia itu sendiri. Tidak mungkin kebudayaan muncul tanpa adanya ijtihad dan keinginan manusia. Fungsi kebudayaan, menurut saya, adalah usaha agar hal-hal yang dianggap memiliki nilai - materiil atau spiritual - dapat dilegalkan sebagai salah satu kepribadian dan ciri khas suatu kelompok. Budaya tersebut untuk selanjutnya disepakati bersama sebagai instrumen untuk mempertahankan ide, nilai-nilai, maupun cita rasa dari hal-hal dari luar.

Dalam perjalanannya kebudayaan suatu kelompok tentu akan berhadapan dengan kebudayaan lain di luar kelompoknya. Contoh sederhana saja, kalau orang Indonesia pergi ke Jepang tentu akan berhadapan dengan sake, kimono, sampai geisha. Orang Jawa yang biasa makan pecel tentu sedikit canggung ketika pertama kali makan susshi. Sebaliknya, orang Tokyo mungkin akan stres mengetahui betapa tidak on time-nya orang Jakarta saat meeting. Culture shock biasa dialami ketika seseorang yang belum terbiasa hidup di luar teritorinya tiba-tiba dihadapkan dengan gempuran nilai-nilai asing terhadapnya.

Dalam pergumulan budaya ini orang biasa menilai kebudayaan siapa yang lebih nyaman atau unggul. Orang Amerika bisa saja tergelitik geli melihat budaya orang Jawa yang cenderung 'malas', gemar mistis dan gampang kagum. Orang Barat yang adalah kakek buyut Revolusi Industri tidak mengenal Sabdo Palon, primbon, dan sikap sumarah. Bagi orang Barat, rasio itu penting dan waktu adalah kejar-mengejar antara penghasilan dan pemenuhan kebutuhan. Sementara bagi orang Jawa spiritualitas dan batin juga harus diolah, sambil terus bekerja.

Pencapaian setiap kebudayaan jelas berbeda. Bagi orang Jepang pencapaian seni senjata adalah samurai. Bagi orang Yogyakarta jelas adalah keris Kyai Kopek. Pencapaian kebudayaan orang Papua adalah honai, sementara bagi orang Eskimo adalah iglo. Pencapaian ini belum bisa digunakan untuk mengukur dan menentukan apakah samurai lebih unggul dari keris. Apakah budaya sweeter bulu dan kacamata rayben lebih baik daripada koteka.

Yang menjadi anggapan saat ini bahwa budaya si A lebih baik dari si B hanyalah konspirasi global terhadap norma-norma umum dunia modern, seperti cara berbusana, tingkat edukasi, maupun strata kelompoknya dalam piramida ekonomi.

Sementara itu, perbedaan pencapaian kebudayaan dilihat darimana kultur itu tumbuh. Kapan dan bagaimana kondisi setempat. Kadangkala, kita sering terkecoh dan merasa pencapaian budaya kita lebih unggul dari masyarakat yang tidak terjangkau televisi. Parameter kita antara lain jangkauan informasi yang kita terima lebih banyak karena kita punya internet dan karena - dalam situasi tertentu - kita berpakaian lebih modern. Padahal, pencapaian kebudayaan juga menyangkut tata kelola sosial, karakter, bahkan remeh temeh urusan rumah tangga. Dalam satu kasus yang sama, seorang bersweeter bulu belum tentu semahir seorang berjarik dalam urusan ngemong bayi menangis.

*

Karena kebudayaan adalah manusia itu sendiri, maka tidak akan elok jika membandingkan superioritas budaya yang satu dengan yang lain. Di Indonesia sendiri, jauh sebelum globalisasi merobohkan batas-batas, kita telah mengenal akulturasi dan sinkretisme budaya. Bahkan dalam edukasi beragama yang dilakukan oleh Wali Songo saat meng-Islamkan tanah Jawa.

Masyarakat kita adalah masyarakat yang kaya. Primordialitas yang kita miliki hendaknya adalah media yang baik untuk penyelenggaraan kebudayaan nasional yang akan menjadi sumbangan bagi kebudayaan dunia. Bukankah lebih penting kebudayaan Indonesia di mata internasional ketimbang kebudayaan yang terkotak-kotak?

Sambil berharap bahwa penelitian Stephen Hawking terhadap kemungkinan kebudayaan makhluk astral di planet luar menemui hal yang menggembirakan. Mungkin nanti akan tiba masanya: Kebudayaan Semesta.

* * *

p.s.: Danke, Kak Ruth. Teman berbalas twit yang asyik.

Senin, 06 Juli 2015

Cukupkah Iman?



"Kak, iman itu apa?"
"Iman itu telanjang, Dek."
"Lho, kok telanjang? Kalau masih telanjang kan ga boleh keluar rumah, Kak?"
"Nah, makanya itu. Iman saja ndak cukup, Dek."

*

Iman itu telanjang. Tidak berbusana dan tanpa tedeng aling-aling. Telanjang itu bentuk pengakuan. Seorang beriman adalah yang menyerahkan dirinya untuk ditawan tanpa pernah memiliki praduga atau kecurigaan terhadap yang diberi penyerahan.

Tetapi apakah iman saja cukup?

Manusia itu hidup dan berhadapan dengan beragam nilai dalam hidupnya. Sudah pasti dan dapat dipastikan bahwa nilai, budaya, maupun karakter yang akan ditemui tidak selalu sama. Orang yang telanjang tidak mungkin langsung begitu saja menceburkan diri dalam lautan nilai-nilai itu. Karena satu yang sudah menjadi kesepakatan hampir di seluruh belahan dunia: Orang yang telanjang itu dianggap nggak waras. Gila. Abnormal dan abstain dari nilai-nilai kesopanan yang ada di masyarakat.

Begitupun keimanan. Kalau ia tidak diberikan busana, maka ia tidak punya bekal. Tidak dapat bergaul. Maka berikanlah ia pakaian. Namanya takwa. Takwa itu menjalankan yang Tuhan kehendaki sekaligus menjauhi yang Dia tidak perkenankan. Busana takwa itu akan menjadi pegangan dalam berlaku, bersikap, dan menilai baik-buruk sesuatunya. Semakin bagus dan arif ketakwaannya, tentu semakin bagus pakaian yang membalut tubuhnya.

Tetapi apakah iman dan takwa sudah cukup?

Manusia itu cenderung bermegah-megah. Cenderung alpa saat sudah berada di atas. Terkadang, kalau pakaiannya sudah parlente, jadi merasa lebih baik dari yang pakaiannya masih kaos oblong. Yang bagus-bagus di dunia, belum tentu yang apik-apik di hadapan Tuhan. Karena itu manusia perlu diingatkan. Perlu diberi aksesoris di tubuhnya agar mereka ingat. Eling kalau kudu lebih banyak menahan diri. Aksesoris itu namanya rasa malu.

Orang beriman dan bertakwa harus punya malu agar bisa mengendalikan dan menahan diri dari sikap berlebihan. Karena sebenarnya yang namanya ibadah itu: Shalat, puasa, zakat, sedekah atau tersenyum itu urusan yang gampang sekali. Yang susah itu merasa ibadahnya tidak lebih baik dari orang lain.