Sabtu pagi. Embun sisa subuh masih bergulir di hijau daun-daun pepohonan. Udara belum beranjak hangat, masih samar berbau hujan bahkan. Di taman ini, Argasoka Avenue Park, bayang-bayang penduduk lokal bersantai meregangkan jiwa barunya menyambut matahari.
Argasoka Avenue memang tak seromantis Central Park yang menyala jingga setiap kali musim semi mengedarkan nafasnya ke pohon-pohon mapple. Yang tumbuh di sini hanya cemara memagar sidewalk tempat jogging dan beberapa chery di pojok-pojok sudutnya. Di bulan November, selalu ada festival tahunan. Musik, puisi, pelukis jalanan, pantomim, semua yang kita butuhkan untuk menghibur diri.
Begitulah potret Argasoka Avenue satu dekade lalu.
Argasoka yang sempat kita abadikan lewat kamera polaroidmu. Katamu, November di sana adalah saat-saat paling mengagumkan. Aku iyakan saja, karena kamu, kalau sudah bertemu dengan langit, udara bebas, dan pernak-pernik berbau Beatles atau Frank Sinatra yang dinyanyikan musisi jalanan, bisa sangat menggairahkan melebihi buah plum.
Katamu, 10 tahun lalu, Argasoka adalah kotak hijau di dunia kita yang bebas dari polusi. Tempat kita berlari dari berita palsu, politik, dan omong kosong nilai pelajaran di sekolah. Kita lenyapkan semua itu dengan ciuman, ice cream, atau coke dialasi guguran daun chery menguning. Semua terasa mudah.
Kamu pun bilang: Argasoka itu kamu; kamu itu Argasoka. Bagai dua sisi mata uang. Tak terpisahkan. Kalau kamu tahu, aku cemburu kamu lebih cinta Argasoka ketimbang diriku.
Tapi bukan kamu namanya, jika tak bisa membuatku cekikikan dengan rayuan humormu yang aneh. Katamu, Argasoka ini adalah mukjizat Tuhan. Namanya seperti taman milik Rahuvana. Bahkan katamu, dengan nada sangat serius, Argasoka sejatinya makam keramat founding father kota ini.
Kamu pasti ingat, aku lantas memencet hidungmu karena cerita sok mistismu itu.
Lalu, tanpa penjelasan yang bisa aku pahami, saat badai terjadi pada suatu malam, kamu tak pernah lagi menampakkan gerai rambut hitam panjangmu di sini. Bagai hantu, satu demi satu darimu lenyap. Hidungmu, belai tanganmu, gerak langkahmu, sinar matamu, tak pernah kujumpai lagi.
Tak di Argasoka. Tak pula di kota kita ini.
Sejak itu, taman ini seakan tak punya ruh. Memang segala instrumen yang pernah akrab dengan kita masih bercokol. Tapi hening. Bisu. Hampa. Kamu renggut jiwa-jiwa mereka bersama kepergianmu.
Aku tak pernah memahami, apa yang membuatmu menghilang. Apa kamu mulai bosan dengan Argasoka kita? Atau seperti kupu-kupu, kamu telah menemukan duniamu yang lain? Yang lebih kaya warna. Yang penuh bunga-bunga bernektar. Yang ada di Babilon, di Taj Mahal, di Tuileries.
Atau mungkin kamu bukan lagi seekor kupu-kupu?
Seiring itu, Argasoka semakin muram pucat. Dia tidak sedang influenza seperti saat musim hujan. Kurasakan dia kini seperti dihinggapi kanker. Racun yang menggerogoti sendi dan bagian dirinya.
Sejak itulah, entah dengan kesesatan apa, pemerintah tiba-tiba mengangsurkan rencana memugar Argasoka. Mereka, dengan orasi dan slogan-slogan, telah mempersiapkan Argasoka kita agar lebih megah dari Taman Firdaus. Sementara, yang aku lihat justru mereka tengah memperkosa Argasoka kita.
Di Sabtu pagi ini, di antara jiwa-jiwa yang meregang menyambut matahari, di bawah pohon chery dan sejengkal petak hijau yang masih tersisa, lamat-lamat aku dengar musisi jalanan, yang tersisa dari puing-puing Argasoka ini, bernyanyi sumbang.
Morning has broken, like the first morning
Blackbird has spoken, like the first bird
Praise for the singing, praise for the morning
Praise for the springing fresh from the world
Sementara, tubuhnya yang ringkih seolah tak kuasa ditelan bayang-bayang hitam panjang gedung pencakar langit yang kokoh mengakar di belakangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar