Sajak Kecil Tentang Cinta
mencintai angin harus menjadi siut
mencintai air harus menjadi ricik
mencintai gunung harus menjadi terjal
mencintai api harus menjadi jilat
mencintai cakrawala harus menebas jarak
mencintaiMu harus menjelma aku
*
Sajak Kecil Tentang Cinta (SKTC) ditulis oleh sastrawan Sapardi Djoko Damono (SDD) dalam antologi puisi Hujan Bulan Juni. Menyimak puisi sederhana namun kaya, sebagaimana karya SDD yang lazim dijumpai, kita akan kembali ditegur untuk sejenak saja memperhatikan hal-hal kecil namun seringkali luput dari pengamatan.
SKTC, adalah salah satu puisi abadi SDD, jika boleh secara pribadi saya katakan. Setelah sukses dengan versi teks, mantra ajaib SDD ini kemudian menjadi lebih kaya dan hidup ketika Reda Gaudiamo dan Ari Malibu memusikalisasikannya. Merinding rasanya mendengar suara Reda diiringi denting gitar akustik Ari yang menyayat.
Mengenai makna dalam SKTC sendiri, puisi adalah pemahaman universal dan pribadi. Bagi saya sendiri, SKTC adalah proses penyesuaian, pemantasan diri, ataupun perasaan berserah dari subjek kepada objek itu sendiri.
Sifat-sifat semacam siut, ricik, terjal, maupun jilat, adalah bentuk murni dan mendasar dari masing-masing objek itu sendiri.
Siut mewakili pergerakan angin, ricik identik suara aliran air, jilat adalah kegemaran kobaran api, dan sebagaimana menaklukkan gunung, maka jangan pernah mengeluh untuk mencintai batu-batu terjalnya.
SDD mengulang kata "harus" dalam setiap bait SKTC. Mengapa?
Pengulangan kata "harus" berarti adalah "penekanan" kewajiban untuk dipenuhi oleh subjek. Secara sederhana mungkin, jangan coba-coba jatuh cinta kepada Angin kalau sifatmu adalah Mericik. Atau, bagaimana mungkin mencintai Gunung, sementara kamu lebih suka jalur tanpa hambatan.
Begitu pula dalam dua bait terakhir. SDD menggunakan Cakrawala berpasangan dengan Jarak untuk menjelaskan cinta pada keberanian hidup. Sementara pada bait pamungkas, SDD seolah mengingatkan hakikat cinta kepada Sang Khalik - ditulis dengan "-Mu" untuk menunjukkan objek adalah Sang Maha Tinggi - bahwa seorang hamba hanya akan mengetahui dan mencintai Tuhannya, jika dia tahu siapa hakikat dirinya sendiri. Mirip dengan pandangan mistikus maupun kaum sufi.
Apa boleh buat?
Seringkali, dalam hal ini, subjek gagal menyamakan persepsinya tentang apa dan bagaimana objeknya. Sehingga tidak timbul kecocokan, sinkronisasi, dan berujung kegagalan. Bukankah hakikat cinta adalah penyatuan dan pemahaman satu sama lain?
Heuheuheu ... Asu ..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar