Senin, 09 Juni 2014

Kebenaranmu; Kebenaranku; Kebenarannya

Malam itu langit cerah. Langit yang terpampang dari ketinggian 2400 meter di atas laut lebih dari cukup membuat bintang terlihat mendekat. Ah salah, bukan bintang. Bintang-bintang. Seribu mungkin jumlahnya. Dan, dengan kapasitas yang bisa dimaklumi, kita hanya bisa menghitungnya sebatas jari saja.

Bila merenungkan keberadaan bumi, maka benda biru yang bergerak berirama dalam orbit galaksi Bima Sakti ini hanyalah minoritas. Satu dari sekian planet yang bermukim di jagad raya. Jika analisa ilmuwan benar, maka galaksi kita yang sudah teramat besar ini juga adalah bagian kecil dari galaksi lain. Dengan atau tanpa makhluk yang mungkin mendiaminya.

Dan di antara materi-materi yang berjarak ribuan tahun cahaya, Tuhan dengan segala Maha Agungnya memungkinkan semua ini terjadi. Dia, yang kuasanya melebihi bumi dan langit. Yang tak kasat mata. Yang begitu dekat bahkan dari nadi kita. Yang selama lebih dari 4000 tahun dirindukan dan dicari oleh manusia dengan segenap penafsirannya.

Tentu dalam penerjemahan tuhan itu, saya dan kamu tidak selalu sependapat.

Saya mungkin salah, tapi kamu juga mungkin belum tentu benar. Keterbatasan kita adalah karunia, jika boleh dikatakan demikian. Untuk itu, dari zaman pagan hingga hari ini, penerimaan akan kebenaran tuhan ditempuh melalui berbagai jalan yang berbeda. Tergantung dari perspektif, peristiwa, wahyu, nubuat, pengalaman ilahiah, hingga rasionalitas.

Saya berangan-angan: Andaikan seseorang diberi mukjizat melihat “wajah” tuhan, lalu masih bertahan hidup untuk sekedar menyimpan pengalaman ilahiah itu, apa yang akan dilakukannya, ya?

Mungkinkah dia akan dicap sebagai nabi palsu? Penista agama, atau sejenisnya?

Heuheu …

Tapi bukankah dulu saat nabi Muhammad SAW pertama kali mendakwahkan Islam, memperkenalkannya sebagai jalan hidup yang sama sekali baru bagi Quraisy Mekkah, beliau juga mendapat cap sebagai bid’ah bagi tatanan lama keimanan suku? Hal yang di kemudian hari membuat Rasulullah SAW dimusuhi atau diusir. Batu demi batu tajam yang menempa keberadaan Islam lalu menjadikannya sebagai salah satu jalan hidup yang mendapat perhatian mayoritas.

Hal itu pun berlaku pada zaman pra maupun pasca Islam. Pencarian tuhan telah mengalami segmen-segmen penting sejarah yang menjadikan beragamnya pemeluk agama hari ini. Dan, keimanan tentu tak bisa lepas setidaknya dari kebenaran pribadi tentang tuhan dan ajarannya.

Lalu, kebenaran yang seperti apa yang kamu yakini?

Sekali lagi, kita adalah satu dari bagian kecil dari alam semesta. Pencarian kebenaran adalah jalan panjang. Dalam mencari itu akan ada ujian. Berat, pasti. Mungkin juga akan ada pertarungan dogma dan kenyataan.

Dan selama perjalanan mencari cahaya yang benderang itu, semoga Tuhan menjaga kita semua yang masih mengendap-endap dalam gelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar