Aku tidak ingat ini jam berapa. Kereta yang kutumpangi melaju kencang
menghadirkan kelebat demi kelebat potongan tanah hijau dalam bingkai
jendela.
Dalan hening aku begidik membayangkan di kananku adalah lebatnya hutan Sherwood, Nothingham. Dari semak-semaknya yang menyimpan misteri, si Robin Hood mengamati kereta kami seolah ular besi ini mengangkut pundi-pundi emas untuk bisa dijarahnya.
Kereta uap ini berderak dan bergerak melingkar mengitari perbukitan. Menurut perhitunganku, 30 menit setelah ini aku akan tiba di stasiun King's Cross. Bertemu Hermione, lalu mendengarkan kebawelan jeniusnya. Ronald selalu kikuk kalau Miss Granger mulai begitu. Tapi yah, karena itulah ia mencintainya.
King's Cross dijubeli lalu lalang manusia bermantel. Hujan baru saja reda. Hermione sibuk menekuri buku tebalnya. Agak merengut ketika menjelaskan ia belum memahami mantra yang baru diajarkan Prof. McGonnagal. Sepintas aku melihat di ujung ruang tunggu, Sir Arthur Conan Doyle dan Agatha Christie serius berdiskusi.
Beberapa menit kemudian, Sherlock dan Poirot bergabung dengan mereka. Akhir-akhir ini London agak kejam. Kuharap detective itu bertindak cepat sebelum muncul iblis seperti Jack the Ripper.
Aku tak ikut menerobos 9 3/4. Sebagai muggle, hidungku bisa rata alih-alih tembus ke Hogwarts. Kutinggalkan bersama Hermione novel Charles Dickens dan vinyl Sgt. Pepper's Lonely Heart Club Band untuk menghiburnya di sela pelajaran sihir.
Matahari pelan-pelan muncul. Kilap cat merah bus dan box telepon nampak mencolok. Big Ben menunjukkan pukul 10. Masih 6 jam lagi sebelum Semifinal FA Cup.
Tapi di beberapa ruas jalan, para Gooners seolah sudah merasa memenangi kejuaraan tertua itu. Perkiraanku, Manchester United bisa mencuri point, biarpun Dennis Bergkamp bermain apik.
Udara lembab dan berkabut naik ke level gerah. Aku membeli limun di cafe yang lamat-lamat memutar distorsi gitar Matthew Bellamy. Setelah ini, aku harus bertemu teman bibiku, Mr. Bean. Dia agak ..... nerd kalau kamu mau tahu.
Ada pesanan Mr. Bean untuk bibiku yang harus kubawa. Dia seorang penjahit dan betapa aku tak nampak tekejut saat pria yang mirip Rowan Atkinson itu secara canggung menyerahkan boneka Teddy Bearnya yang jahitannya nampak ..... kacau.
Sebenarnya, Mr. Bean tak seaneh kelihatannya. Dia sangat baik bahkan memperbolehkanku menggunakan Mini Coopernya keliling London.
Dan diantara kekonyolanku mengendarai mobil mungil, warna langit biru yang cerah di atas Trafalgar, dan zebra cross bersejarah Abbey Road, aku menemukanmu.
Kamu yang bergaun merah jambu. Yang berambut panjang tergerai. Yang tersungkur di pojokan salah satu katedral di ujung jalan karena menghindari kekacauan menyetirku.
Aspal hitam dan becek itu mengotori tumpukan buku yang kamu bawa dari Oxford. Kamu terlihat cerdas dan anggun bahkan saat menamparku. Menceramahi keteledoranku dengan aksen Inggris berbau Asia-mu.
Aku terdiam. Otakku terasa seperti kapas. Aku tak ingat hari apa ini. Siapa nama Ratu Inggris. Bagaimana wajah cemberut bibi kalau aku telat mengantar pesanan Mr. Bean. Cuma kamu yang kini berputar dalam ruang dan waktuku.
"Hey, you fool. Are you listening to me?"
"Sorry, my bad. Are you okay?"
Kamu merapikan gaunmu lalu menyusun buku-bukumu kembali ke dekapan. Tanpa berbicara lagi, kamu pergi meninggalkan aku sendiri. London tak pernah serumit dan sesepi ini. Semua tiba-tiba berputar tak karuan. Seperti waktu berjalan dalam pusaran.
Sebuah suara menyadarkanku. Petugas pemeriksa tiket kereta berkeliling. Di jendela terlihat persawahan Kutoharjo terlentang.
"Tiketmu, mana?"
"Ah, ya ini," kataku seraya menarik selembar tiket dari saku.
"Tidurmu nyenyak, ya? Mahasiswa?"
Aku mengangguk. "Jurusan Hubungan Internasional."
Dia memeriksa tiketku lalu mengembalikannya.
"Semoga sukses. Sebaiknya bisa ke Inggris."
Aku melongo memperhatikan punggung petugas itu berjalan menjauh. Tentu aku harus bisa ke Inggris, batinku. Sudah berbulan-bulan mimpi yang sama menghantuiku. Semua pernah ada dalam dunia nyata. Hanya kamu yang tidak. Hanya kamu yang masih fiksi.
Dalan hening aku begidik membayangkan di kananku adalah lebatnya hutan Sherwood, Nothingham. Dari semak-semaknya yang menyimpan misteri, si Robin Hood mengamati kereta kami seolah ular besi ini mengangkut pundi-pundi emas untuk bisa dijarahnya.
Kereta uap ini berderak dan bergerak melingkar mengitari perbukitan. Menurut perhitunganku, 30 menit setelah ini aku akan tiba di stasiun King's Cross. Bertemu Hermione, lalu mendengarkan kebawelan jeniusnya. Ronald selalu kikuk kalau Miss Granger mulai begitu. Tapi yah, karena itulah ia mencintainya.
King's Cross dijubeli lalu lalang manusia bermantel. Hujan baru saja reda. Hermione sibuk menekuri buku tebalnya. Agak merengut ketika menjelaskan ia belum memahami mantra yang baru diajarkan Prof. McGonnagal. Sepintas aku melihat di ujung ruang tunggu, Sir Arthur Conan Doyle dan Agatha Christie serius berdiskusi.
Beberapa menit kemudian, Sherlock dan Poirot bergabung dengan mereka. Akhir-akhir ini London agak kejam. Kuharap detective itu bertindak cepat sebelum muncul iblis seperti Jack the Ripper.
Aku tak ikut menerobos 9 3/4. Sebagai muggle, hidungku bisa rata alih-alih tembus ke Hogwarts. Kutinggalkan bersama Hermione novel Charles Dickens dan vinyl Sgt. Pepper's Lonely Heart Club Band untuk menghiburnya di sela pelajaran sihir.
Matahari pelan-pelan muncul. Kilap cat merah bus dan box telepon nampak mencolok. Big Ben menunjukkan pukul 10. Masih 6 jam lagi sebelum Semifinal FA Cup.
Tapi di beberapa ruas jalan, para Gooners seolah sudah merasa memenangi kejuaraan tertua itu. Perkiraanku, Manchester United bisa mencuri point, biarpun Dennis Bergkamp bermain apik.
Udara lembab dan berkabut naik ke level gerah. Aku membeli limun di cafe yang lamat-lamat memutar distorsi gitar Matthew Bellamy. Setelah ini, aku harus bertemu teman bibiku, Mr. Bean. Dia agak ..... nerd kalau kamu mau tahu.
Ada pesanan Mr. Bean untuk bibiku yang harus kubawa. Dia seorang penjahit dan betapa aku tak nampak tekejut saat pria yang mirip Rowan Atkinson itu secara canggung menyerahkan boneka Teddy Bearnya yang jahitannya nampak ..... kacau.
Sebenarnya, Mr. Bean tak seaneh kelihatannya. Dia sangat baik bahkan memperbolehkanku menggunakan Mini Coopernya keliling London.
Dan diantara kekonyolanku mengendarai mobil mungil, warna langit biru yang cerah di atas Trafalgar, dan zebra cross bersejarah Abbey Road, aku menemukanmu.
Kamu yang bergaun merah jambu. Yang berambut panjang tergerai. Yang tersungkur di pojokan salah satu katedral di ujung jalan karena menghindari kekacauan menyetirku.
Aspal hitam dan becek itu mengotori tumpukan buku yang kamu bawa dari Oxford. Kamu terlihat cerdas dan anggun bahkan saat menamparku. Menceramahi keteledoranku dengan aksen Inggris berbau Asia-mu.
Aku terdiam. Otakku terasa seperti kapas. Aku tak ingat hari apa ini. Siapa nama Ratu Inggris. Bagaimana wajah cemberut bibi kalau aku telat mengantar pesanan Mr. Bean. Cuma kamu yang kini berputar dalam ruang dan waktuku.
"Hey, you fool. Are you listening to me?"
"Sorry, my bad. Are you okay?"
Kamu merapikan gaunmu lalu menyusun buku-bukumu kembali ke dekapan. Tanpa berbicara lagi, kamu pergi meninggalkan aku sendiri. London tak pernah serumit dan sesepi ini. Semua tiba-tiba berputar tak karuan. Seperti waktu berjalan dalam pusaran.
Sebuah suara menyadarkanku. Petugas pemeriksa tiket kereta berkeliling. Di jendela terlihat persawahan Kutoharjo terlentang.
"Tiketmu, mana?"
"Ah, ya ini," kataku seraya menarik selembar tiket dari saku.
"Tidurmu nyenyak, ya? Mahasiswa?"
Aku mengangguk. "Jurusan Hubungan Internasional."
Dia memeriksa tiketku lalu mengembalikannya.
"Semoga sukses. Sebaiknya bisa ke Inggris."
Aku melongo memperhatikan punggung petugas itu berjalan menjauh. Tentu aku harus bisa ke Inggris, batinku. Sudah berbulan-bulan mimpi yang sama menghantuiku. Semua pernah ada dalam dunia nyata. Hanya kamu yang tidak. Hanya kamu yang masih fiksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar