Minggu, 27 Juli 2014

Di Antara Perjalanan, Cinta, & Kebahagiaan

All we want in life is:
- to travel;
- to fall in love with; and
- to be happy.

Rasanya begitulah kira-kira harapan-harapan baik yang ingin kita kejar. Yang ingin kita raih agar hidup berjalan seimbang. Masalahnya hanyalah: Dengan siapa dan kapan kita akan menjalani itu semua?

*

Sendainya kamu pernah membaca "Geography of Bliss", karya Erich Weiner maka kita akan membahas banyak hal tentang traveling. Perjalanan. Dan Erich - seorang eks wartawan yang luar biasa mujur sekaligus pemurung - ialah salah seorang yang tepat untuk dimintai gambaran tentang serangkaian perjalanan

Dalam kurun waktu hidupnya, Erich telah mengunjugi mistisme Timur India, kemonotonan Moldova, malam dingin yang panjang Islandia, hingga puncak tinggi di Nepal. Perjalanan Erich berlanjut ke Amerika, Inggris, hingga negeri petrodollar Qatar.

Satu-satunya alasan perjalanan itu, suatu yang absurd dan mungkin sia-sia, ialah: Mr. Weiner ingin memahami apa itu kebahagiaan. Dari perspektif kebudayaan dan sosial masyarakat setempatnya, tentunya.

Pada akhirnya, Erich Weiner tak menemukan apa itu kebahagiaan. Walau dalam beberapa hal ia merasa bersyukur atas pengalaman perjalanan itu. Perjalanan Erich adalah juga pertanyaan sepanjang masa: Mengapa orang bahagia dan tidak bahagia. Dan, percayalah, jawaban pertanyaan itu sama rumitnya dengan pertanyaan itu sendiri.

Jika saya adalah Mr. Weiner yang sangat beruntung menaklukkan belahan-belahan bumi ini, saya takkan ragu lagi bahwa saya adalah orang yang paling bahagia. Tapi, dengan itu, berarti saya mengesampingkan niat insun Erich untuk tujuan pribadinya. 

Perjalanan saya, takkan semeriah Erich. Tempat-tempat yang saya kunjungi (Bali, Lombok, Jawa Barat, Jogja, dll) dengan sedikit menyesal hanyalah 'pelampiasan' ego. Saya jealous karena Erich mengabadikan perjalanan itu untuk pencapaian yang lebih mulia, walau berakhir dengan enigma. 

Kebutuhan pelampiasan ego ini akan menjadi benar, seandainya ada misi (atau partner) yang membuat kita paham mengapa kita harus bersusah payah menunggu kereta atau meniti 10 jam pendakian. 

Keinginan mendasar kita adalah mendapat lansekap alam yang berbeda. Mengamati tradisi di sekitarnya. Atau, celakanya, untuk melarikan diri dari sesuatu maupun seseorang. Namun tetap saja, perjalanan ialah mengisi bukan sekedar melewati.

*

Keinginan kedua, menurut pendapat anonim di atas, ialah untuk mencintai. Aha! Love is in the air, my Dear. Heuheu.

Mengapa kita jatuh cinta dan membutuhkan perasaan dicintai / mencintai? Bukankah itu hal paling purba dari manusia itu sendiri? Lalu kemudian kamu bisa mengklasifikasikannya dalam: Eross, Agape, dan sebagainya. Atau mungkin ada orang yang tidak bisa mencintai?

Eh, lalu lebih berat mana ya, butuh dicintai atau butuh mencintai? Silakan kamu jawab sendiri. Dengan pengalaman dan kepribadianmu, tentu kita akan berdebat panjang soal ini. Heuheu. Mungkin karena muaranya adalah kebahagiaan, perjalanan dan cinta ini takkan ada ujungnya.

Tapi baiklah, cinta tak hanya tumbuh dari perjalanan saja toh? Seperti Kugy dan Keenan saja dalam bab "Bulan-Perjalanan-Kita." Getaran itu juga bisa timbul karena benturan zat-zat kimia yang merambat melalui medium udara atau gesekan, dan merangsang impuls nadi, jantung, pernafasan, hingga lambung yang berakhir pada penyamaan persepsi tentang apa pun. 

Well seharusnya bisa lebih sederhana. Tapi apa ya mungkin?

Ketika saya jatuh cinta kepada kamu, maka yang pertama saya dapati pada diri saya ialah: Seorang pengguna logika, apatis yang jujur, dan penikmat classic rock bertransformasi menjadi: Lelaki bodoh dengan angan melayang, mendadak posesif, dan dalam 3 hari kedekatan kita saya bahkan mencampur aduk Bon Jovi dengan vocalisnya Krisdayanti plus mereka memainkan fusion melowdramatic. 

Tapi saya, kamu, bahkan mereka sangat menikmati proses itu dengan atau tanpa disadari. Proses merayu, saling berbalas pesan, atau hal-hal biologis yang melibatkan stimulan. 

We need all that joyfull even the pain. Untuk berbagai alasan, saya dan kamu mungkin bersilang pendapat. Walau pada intinya mungkin sama: Kita tak ingin berimajinasi terdampar di suatu lingkungan sosial tanpa ada bahu yang bisa dijadikan sandaran.

*

Dan pada akhirnya hal paling inti dari hidup ialah berbahagia. Secara sederhana, kompleks, sendiri, komunal, atau apa punlah.

Jika Erich Weiner telah dipenuhi kebutuhannya akan perjalanan. Jika saya, kamu, dan mereka sudah dicukupi dengan rasa cinta. Maka, kombinasi rumus paling akhir ialah: Apakah kita telah bahagia?

Mr. Weiner jelas tak menemukan itu dalam perjalanannya. Sementara hubungan percintaan juga tidak jarang berakhir (walau kadang malah melegakan?). Jika demikian, kebahagiaan bergantung pada masing-masing individu itu sendiri, kah? Dan hal itu dibuat-diruntuhkan-dibangun lagi-dijatuhkan kembali sebagai proses berulang sampai bumi ini musnah?

Kita yang paling mengerti kapan dan bagaimana berbahagia. Ia dibangun atas pondasi mimpi dan spekulasi. Juga tidak abadi, karena kapan saja ia bisa musnah. Dan itu akan menyakitkan.

Tapi kita butuh! 

Mimpi dan spekulasi bernama kebahagiaan itu beragam bentuknya. Tak selalu yang bernada positif, layaknya pernikahan atau kemerdekaan. Coba, kita pasti akan tahu betapa bahagianya orang-orang Yahudi ketika koran di Berlin memuat headlines Hitler tewas. 

Keinginan bahagia ini juga tak lepas dari persengketaan siapa yang lebih berhak mengklaim siapa dulu yang harus bahagia. Palestina dan Israel masih menunggu hari itu tiba. Juga di Suriah atau Irak. 

Apakah dengan kebutuhan untuk berbahagia itu kita harus menerkam mimpi dan spekulasi milik orang lain? Andai saya bisa berkata tidak.

*

Perjalanan, jatuh cinta, dan kebahagiaan. Saya sampai saat ini masih membutuhkannya. Bagaimana dengan kamu? Saya percaya kamu pun demikian. Hanya saja, kembali pada pertanyaan di atas: Dengan siapa dan kapan kita menjalaninya.

Karena bagaimanapun, mereka yang menjalani ketiganya dengan kitalah yang akan menjadi faktor pemicu ketiga hal itu: Perjalanan, rasa cinta dan kebahagiaan dapat terjadi. Atau diakhiri. Atau bahkan tak pernah terjadi. Dan itu hanyalah masalah waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar