Senin, 17 Maret 2014

Ide-Ide Kemanusiaan

Tentu kita semua terhenyak saat kabar mengejutkan pembunuhan berencana Ade Sara tersiar beberapa waktu lalu. Belum kita lega menghela nafas, perenggutan nyawa paksa di Kediri dimana korban ditemukan di dalam tong dalam keadaan dicor semen telah sangat cukup membuat kita berpikir: Kemana perginya kemanusiaan itu?

Motif yang melandasi tindakan sok menjadi Tuhan itu bisa dikatakan sepele. Cemburu, sakit hati, dan hal remeh temeh percintaan yang semestinya dapat dicari jalan keluar tanpa mengorbankan akal sehat dan logika.

Hal yang tidak pantas untuk diselesaikan dengan adat rimba. Kalau ingin mencari bandingannya, kasus penghakiman dengan mencabut hak hidup seseorang masih lebih "pantas" diberikan pada penjahat genosida, koruptor negara, atau katakanlah teroris. Bukan hal semacam: Aku cinta kamu, tapi kamu memilih dia, maka aku game over-kan kamu. 

Ketika Perang Dunia I dan II dilanjut dengan Perang Dingin merambah dunia internasional, saya mengira kejahatan kemanusiaan itu telah berada pada titik kulminasinya. 

Pendapat itu sedikit menemui titik terang ketika dunia sepakat melakukan gencatan senjata. Sistem perpolitikan yang terbuka. Keinginan manusia untuk memperbaiki tatanan dunia. Dan ide-ide kemanusiaan lewat piagam dan penghargaan lebih bernilai untuk diperjuangkan.

Namun, nyata di masyarakat kita Indonesia, ide-ide kemanusiaan itu menjadi komoditi yang sepertinya terlalu susah didapatkan. Ya, kejahatan itu memang pasti ada. Karena itulah dunia menjadi seimbang dan Setan tidak kehilangan pekerjaan.

Hanya saja, sampai kapan kita akan mendengar cerita kriminal ini menghantui hari-hari kita? 

Sepertinya tak kurang buku pendidikan moral yang bertumpuk di toko-toko. Setiap minggu kita mendengar nasihat bijak Mario Teguh. Lima kali sehari - bagi kita kaum Muslim - berupaya memperbaiki martabat dan meneguhkan niat baik lewat wudhu dan shalat. Tapi mengapa ide-ide kemanusiaan itu seakan menghindar?

Apakah karena ekonomi? Kecepatan tekhnologi? Intervensi budaya yang tak mampu disaring oleh nilai-nilai Pancasila? Atau diam-diam kita memang menyimpan potensi anti kemanusiaan di sisi paling kelam kepribadian kita?

Ide-ide kemanusiaan adalah nilai. Sebagaimana harfiahnya, nilai adalah pelindung. Protector. Perisai dari virus-virus yang coba memasuki aliran darah kita. Nilai itu dipegang dan diperjuangkan.

Kita akan sangat salut kepada relawan bencana yang ikhlas memangkas waktu pribadinya demi ratusan orang lain. Kita menjadi takjub ketika mahasiswa turun ke perempatan lampu merah menggalang solidaritas atau kampanye AIDS. 

Mereka memiliki nilai untuk disampaikan. Nilai bahwa setiap jiwa itu berharga. Nilai bahwa kita adalah partikel semesta yang sejatinya tidak dapat hidup tanpa uluran orang lain.

Ada yang bilang bahwa antara manusia yang satu dengan yang lain itu terikat oleh kemanusiaan. Tidak memandang apakah dia seorang asing atau sanak sendiri. 

Douwes Dekker, Henry Dunnant, Gandhi, maupun Muhammad SAW adalah contoh bagaimana ide-ide kemanusiaan itu nyata adanya.

Saya berpikir, ide-ide kemanusiaan kita adalah warisan hakiki yang harus kita asah kembali. Diluar berbagai paham "isme" yang nanti dipeluk, setiap kita tidak boleh melupakan bahwa hati kita sejatinya punya rasa untuk mengasihi makhluk lain. 

Tentu jika kita tidak terlalu munafik dan malu mengakuinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar