Sabtu, 08 Maret 2014

Di Balik Dinding-Dinding

Saya tidak mengerti, Tuhan.

Itu yang beberapa hari ini menelikung pikiran saya. Saya benar-benar belum mengerti apa yang Engkau coba titipkan kepada saya dalam kehidupan ini.

Belakangan saya banyak membaca. Buku-buku tebal dan lama. Perjalanan melintasi ketidakmungkinan karya Verne. Tafsir-tafsir dan sudut pandang teologi. Semua itu belum bisa memuaskan lapar dan dahaga tentang sejatinya hidup saya ini.

Saya bukan makhluk yang antimainstream. Saya ini penakut. Phobia. Tukang gelisah. Pikiran saya kadang terlalu imajinatif sampai-sampai saya terlalu muak dengan realitas yang hinggap di sepanjang siang-malam.

Hidup seperti berjalan terlalu cepat dan monoton. Dalam karya-karya penghibur kekinian, sebenarnya saya banyak berharap modernitas akan membangun karya yang intelek, bermoral, dinamis, sehat dan menyegarkan.

Tapi sungguh sayang. Realitas masyarakat ini mengecewakan saya. Karya kebanggaan milenium ketiga hanyalah perpaduan hipokritas dan imperialisme postmodern. Buku adalah instrumen politik. Gerak dan lagu tak memiliki jiwa. Lelah dan menyedihkan.

Dan, oh Tuhan yang Maha Agung, semua itu bagai cendawan di musim hujan.

Apakah masyarakat zaman ini sudah terlalu letih? Sudah sangat terluka hingga hal semacam itu diterima begitu saja sebagai pelipur lara palsu?

Konyol. Realitas hari ini benar-benar konyol.

Lalu bagaimana denganmu Tuhan? Apakah Engkau masih bernasib sama seperti dalam sajak Soebagyo itu? Tertimbun di balik kertas-kertas pajak?

Apakah pelipur lara semu itu kini telah menggantikan keberadaanmu?

Sudahkah orang tak tertarik lagi menceritakan bagaimana Dirimu itu? Tentang surga dan nerakamu? Mempersoalkan paradoks rasional dan irasionalitasmu yang entah dari tanah Canaan, Arab atau Ibrani.

Ah ya, mereka hanya menggandeng namamu di sela kedengkian materi dan filosofi menganggap diri mereka yang paling benar.

Hal itu membuat saya semakin takut. Bahwa Engkau juga akan menenggelamkan Nusantara ini layaknya Atlantis terkubur air di bawah Pilar-Pilar Hercules. Dan celakanya, kami tak punya cukup daya untuk memohon ampunanmu.

Hari-hari terakhir, saya merasa waktu semakin sempit. Apakah ini sekedar perasaan dangkal saja? Tapi denting kala bergulir sangat cepat.

Apakah kita menunggu atau ditunggu?
Apakah kita yang menjauh atau dijauhkan?
Ataukah kita hanya beretorika pada kebiasaan-kebiasaan kita?

Saya selalu berharap bahwa di tengah perburuan itu, Engkau memberikan pelajaran yang baik buat saya. Dan, ini yang sangat utama, membesarkan dan menguatkan hati saya atas doa-doa yang saya panjatkan sendiri kepadaMu.

Allahuma Amien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar