Senin, 24 Maret 2014

Of Mice and Men: Motif dan Perspektif

John Steinbeck, penulis terkemuka Amerika, dalam salah satu warisannya pernah menulis novel pendek. Karya klasik berjudul Of Mice and Men yang kemudian oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer diterjemahkan menjadi Tikus dan Manusia.

Jangan salah duga kalau ini akan banyak menceritakan perang antara manusia dengan hama tikus. Naskah yang rampung pada 1937 itu menyoroti sisi kelam dan satir bagaimana mimpi sederhana itu terasa sangat muluk.

Lenny Small dan George Milton, dua manusia yang bisa dikatakan tidak memiliki ikatan apapun, selain rasa bergantung satu dengan yang lain. Lenny, seorang gempal raksasa dengan keterbelakangan mental, sementara George adalah perbandingan 180 derajad. Kurus, tangkas, dan sangat perlu mengontrol letupan emosinya. 

Tak ada yang lebih menjengkelkan bagi George selain menjaga titik nadir kesabarannya demi "mengasuh" Lenny layaknya bocah ingusan. Keterbelakangan Lenny adalah sumber malapetaka demi malapetaka yang menjauhkan mereka dari impian hidup tenang.

Tapi, entahlah, kebersamaan itu membuat George tak pernah tega menjauhkan Lenny. Mereka saling membutuhkan untuk hal yang sangat canggung dan susah dimengerti.

Keduanya berlabuh pada suatu ranch, tanah pertanian, yang kemudian menjadi tempat pencaharian. Di sinilah dimulainya kisah menarik bagaimana kita bisa tahu begitu dekat dengan sisi kemanusiaan.

Keterbelakangan Lenny yang kerap menjadi pemantik itu kembali menghadapkan mereka dengan masalah pelik. Hal yang meluluhlantakkan mimpi hidup tenang di zaman American Dream. 

Lenny - tanpa sengaja - membunuh istri majikannya. Hal yang sebelumnya juga ia lakukan karena mencengkeram tubuh wanita di salah satu kedai minum. Lenny sangat menyukai tikus, bulunya yang lembut, mirip kulit kedua korbannya. 

Rupanya, upaya untuk mengagumi kelembutan itu menjadi momok ketika kedua korbannya mengartikan ia ingin bermaksud buruk. Dan si raksasa itu hanya panik. Cengkeraman itu rasa panik yang tanpa ia perhitungkan dapat menjadi instrumen membunuh.

Semua memburu si Jack the Ripper itu. Berlomba melubangi perutnya dengan senapan. George tak bisa lebih memahami pengelihatan paling neraka, selain melihat sahabat perjalanannya itu jadi bulan-bulanan timah panas.

Dia tak ingin melihat penderitaan itu berlanjut sepanjang sisa hidup Lenny. Keterbelakangan, kemiskinan, angan semu dan rasa kasih sayang yang dipendam diam-diam itu membuatnya tahu cara paling anggun menyelesaikan kegetiran ini.

Di tepi danau yang tenang, George menembak Lenny tepat di tengkuk. Raksasa itu meraung. George menangis bisu. 

*

Of Mice and Men konon dilatarbelakangi oleh masa American Dream. Dimana manusia Amerika berlomba mencari cara agar lebih sejahtera dengan hijrah ke tempat-tempat yang menjanjikan penghidupan. California, misalnya.

Di abad 21, kita masih bisa merasakan hal itu. Indonesian Dream. Sepertinya, tak pernah kita melihat Jakarta sepi pendatang baru selepas arus balik lebaran. Daya tarik magnetis Sunda Kelapa itu entah dengan cara bagaimana telah menyihir sebagian orang merasa bisa menemukan tanah harapan di petak-petak padatnya.

Dan dengan cara yang tak mampu kita pahami pula, kasih sayang yang getir itu tumbuh diam-diam di sana. Untuk satu peristiwa misalnya, bagaimana seorang ibu meletakkan bayinya di salah satu pintu masjid hanya dengan harapan seorang baik akan merawat dan membesarkannya. Sementara ia dengan sisa-sisa mimpinya seperti tak sanggup lagi menemukan cara terbaik menghidupi buah hatinya.

Rasa kasih sayang mereka kadang terlalu absurd dan getir untuk disampaikan. Himpitan. Desakan. Pukulan dari gerak ekonomi zaman yang kadang memunculkan itu semua.

Tapi, jauh di dalam sana, di atas tindakan yang sering kita cibir dengan sikap tidak manusiawi itu, kita mungkin akan menemukan kasih yang jauh lebih elok.

Bagaimana lagi?

Kita bisa dibohongi motif. Kita hanya bergantung pada perspektif.


Jumat, 21 Maret 2014

Di Tempat Ini Aku Senyum Sendiri

Di tempat ini aku senyum-senyum sendiri. Bukan karena sedang ada kamu yang melayang di benak. Juga bukan karena sedang mau gajian. 

Sungguh, bukannya kamu kalah lucu dari apa yang kudapati di tempat ini. Hanya saja, apa yang menyelimuti tempat ini selalu membuatku merasa takjub. Merasa geli. Merasa hebat. Merasa bahwa keseluruhan dunia itu ada bersama-sama denganku. 

Tapi sungguh, percayalah, bukan maksudku berpaling dari sinar matamu yang tajam dan manja itu. Hanya saja apa yang duduk atau berdiri di tempat ini juga tidak kalah asyik dari sifat-sifatmu yang kompleks dan sangat perlu dipelajari melebihi kurikulum fisika kuantum itu.

Di tempat ini, aku bersama dengan mereka yang melihat dunia penuh warna. Dengan mereka yang jatuh-bangun dari pahit dan getir. Dengan dunia yang aku takut menjejakinya dengan keberanian dewa sekalipun.

Tapi, sekali lagi, bukan aku menganggapmu tak kalah menarik dari tempat ini. Kamu memang ratunya dalam mengombang-ambingkan perasaan. Sikap yang kadang membuatku marah dan ingin sekali kulempar jauh dari daftar kesabaranku. 

Kalau kamu ingin tahu, atau juga tak mau tahu, tempat ini juga punya kemiripan denganmu itu. Hanya saja mereka mengungkapnya dengan cara yang lebih elegan, politis, dan endorse-endorse penuh bujukan. Tapi, sama denganmu, tempat ini selalu membuatku ingin kembali.

Karena di sinilah tempat pelarianku. Tempat ego dan kesendirianku. Tempat penghiburan terhormat ketimbang bar dan mall hedonistis.

Kalau aku pergi dan kamu tak harus mencari, di sinilah aku berdiri. Di antara tumpukan sejarah, bahasa universal dan mimpi-mimpi yang kadang tak selalu dengan sabar kamu telisik.

Selasa, 18 Maret 2014

Lihatlah Bulan yang Sama

Pertengahan Maret. Kalau kamu sedang berada di belahan dunia entah dimana, coba tengadah ke atas. Ke langit hitam. Dan jika sedang beruntung dengan tidak diguyur hujan atau kabut, bisa kamu dapati rembulan sedang purnama sempurna.

Mata yang indah itu bundar penuh dengan kilau emas keperakan. Kadang sih memang, ada awan tipis yang coba mengganggu. Tapi yah, tetap saja tidak mampu menutup tekad purnama yang sedang ingin cantik-cantiknya.

Banyak karya, legenda, tradisi, dan mitos yang tentu sudah kamu ketahui tentang bulan ini. Dari tradisi paganisme kuno, dongeng Putri Kaguya, atau mitos Kelinci-Kelinci bulan. Semua memuja bulan dengan cara dan perasaannya masing-masing. 

Termasuk syair lagu ini: "Lihatlah bulan yang sama agar kita merasa dekat. Lihatlah bulan yang sama agar kita tetap dekat." Sederhana dan manis sekali bukan?

Yah...bulan memang ada jauh di sana. Tapi dia juga menghubungkan jarak kita yang dipagari geografis. Kalau saya ada di sini dan kamu ada entah dimana, dengan melihat bulan yang sama seolah tak ada dinding yang memagari kita. 

Ah Sial, saya terlalu melankolis rupanya malam ini. Di antara lampu-lampu kota, saya merasa malam dan jalanan berkomunikasi dengan cara yang dramatis. Dan bulan di atas sana ..... apakah kamu juga tengah memandangnya? 

Bulan, malam, dan susu chocopandan. Ah, Selamat malam kota sejuta ephemera. Selamat tidur. 

Senin, 17 Maret 2014

Ide-Ide Kemanusiaan

Tentu kita semua terhenyak saat kabar mengejutkan pembunuhan berencana Ade Sara tersiar beberapa waktu lalu. Belum kita lega menghela nafas, perenggutan nyawa paksa di Kediri dimana korban ditemukan di dalam tong dalam keadaan dicor semen telah sangat cukup membuat kita berpikir: Kemana perginya kemanusiaan itu?

Motif yang melandasi tindakan sok menjadi Tuhan itu bisa dikatakan sepele. Cemburu, sakit hati, dan hal remeh temeh percintaan yang semestinya dapat dicari jalan keluar tanpa mengorbankan akal sehat dan logika.

Hal yang tidak pantas untuk diselesaikan dengan adat rimba. Kalau ingin mencari bandingannya, kasus penghakiman dengan mencabut hak hidup seseorang masih lebih "pantas" diberikan pada penjahat genosida, koruptor negara, atau katakanlah teroris. Bukan hal semacam: Aku cinta kamu, tapi kamu memilih dia, maka aku game over-kan kamu. 

Ketika Perang Dunia I dan II dilanjut dengan Perang Dingin merambah dunia internasional, saya mengira kejahatan kemanusiaan itu telah berada pada titik kulminasinya. 

Pendapat itu sedikit menemui titik terang ketika dunia sepakat melakukan gencatan senjata. Sistem perpolitikan yang terbuka. Keinginan manusia untuk memperbaiki tatanan dunia. Dan ide-ide kemanusiaan lewat piagam dan penghargaan lebih bernilai untuk diperjuangkan.

Namun, nyata di masyarakat kita Indonesia, ide-ide kemanusiaan itu menjadi komoditi yang sepertinya terlalu susah didapatkan. Ya, kejahatan itu memang pasti ada. Karena itulah dunia menjadi seimbang dan Setan tidak kehilangan pekerjaan.

Hanya saja, sampai kapan kita akan mendengar cerita kriminal ini menghantui hari-hari kita? 

Sepertinya tak kurang buku pendidikan moral yang bertumpuk di toko-toko. Setiap minggu kita mendengar nasihat bijak Mario Teguh. Lima kali sehari - bagi kita kaum Muslim - berupaya memperbaiki martabat dan meneguhkan niat baik lewat wudhu dan shalat. Tapi mengapa ide-ide kemanusiaan itu seakan menghindar?

Apakah karena ekonomi? Kecepatan tekhnologi? Intervensi budaya yang tak mampu disaring oleh nilai-nilai Pancasila? Atau diam-diam kita memang menyimpan potensi anti kemanusiaan di sisi paling kelam kepribadian kita?

Ide-ide kemanusiaan adalah nilai. Sebagaimana harfiahnya, nilai adalah pelindung. Protector. Perisai dari virus-virus yang coba memasuki aliran darah kita. Nilai itu dipegang dan diperjuangkan.

Kita akan sangat salut kepada relawan bencana yang ikhlas memangkas waktu pribadinya demi ratusan orang lain. Kita menjadi takjub ketika mahasiswa turun ke perempatan lampu merah menggalang solidaritas atau kampanye AIDS. 

Mereka memiliki nilai untuk disampaikan. Nilai bahwa setiap jiwa itu berharga. Nilai bahwa kita adalah partikel semesta yang sejatinya tidak dapat hidup tanpa uluran orang lain.

Ada yang bilang bahwa antara manusia yang satu dengan yang lain itu terikat oleh kemanusiaan. Tidak memandang apakah dia seorang asing atau sanak sendiri. 

Douwes Dekker, Henry Dunnant, Gandhi, maupun Muhammad SAW adalah contoh bagaimana ide-ide kemanusiaan itu nyata adanya.

Saya berpikir, ide-ide kemanusiaan kita adalah warisan hakiki yang harus kita asah kembali. Diluar berbagai paham "isme" yang nanti dipeluk, setiap kita tidak boleh melupakan bahwa hati kita sejatinya punya rasa untuk mengasihi makhluk lain. 

Tentu jika kita tidak terlalu munafik dan malu mengakuinya.

Sabtu, 08 Maret 2014

Di Balik Dinding-Dinding

Saya tidak mengerti, Tuhan.

Itu yang beberapa hari ini menelikung pikiran saya. Saya benar-benar belum mengerti apa yang Engkau coba titipkan kepada saya dalam kehidupan ini.

Belakangan saya banyak membaca. Buku-buku tebal dan lama. Perjalanan melintasi ketidakmungkinan karya Verne. Tafsir-tafsir dan sudut pandang teologi. Semua itu belum bisa memuaskan lapar dan dahaga tentang sejatinya hidup saya ini.

Saya bukan makhluk yang antimainstream. Saya ini penakut. Phobia. Tukang gelisah. Pikiran saya kadang terlalu imajinatif sampai-sampai saya terlalu muak dengan realitas yang hinggap di sepanjang siang-malam.

Hidup seperti berjalan terlalu cepat dan monoton. Dalam karya-karya penghibur kekinian, sebenarnya saya banyak berharap modernitas akan membangun karya yang intelek, bermoral, dinamis, sehat dan menyegarkan.

Tapi sungguh sayang. Realitas masyarakat ini mengecewakan saya. Karya kebanggaan milenium ketiga hanyalah perpaduan hipokritas dan imperialisme postmodern. Buku adalah instrumen politik. Gerak dan lagu tak memiliki jiwa. Lelah dan menyedihkan.

Dan, oh Tuhan yang Maha Agung, semua itu bagai cendawan di musim hujan.

Apakah masyarakat zaman ini sudah terlalu letih? Sudah sangat terluka hingga hal semacam itu diterima begitu saja sebagai pelipur lara palsu?

Konyol. Realitas hari ini benar-benar konyol.

Lalu bagaimana denganmu Tuhan? Apakah Engkau masih bernasib sama seperti dalam sajak Soebagyo itu? Tertimbun di balik kertas-kertas pajak?

Apakah pelipur lara semu itu kini telah menggantikan keberadaanmu?

Sudahkah orang tak tertarik lagi menceritakan bagaimana Dirimu itu? Tentang surga dan nerakamu? Mempersoalkan paradoks rasional dan irasionalitasmu yang entah dari tanah Canaan, Arab atau Ibrani.

Ah ya, mereka hanya menggandeng namamu di sela kedengkian materi dan filosofi menganggap diri mereka yang paling benar.

Hal itu membuat saya semakin takut. Bahwa Engkau juga akan menenggelamkan Nusantara ini layaknya Atlantis terkubur air di bawah Pilar-Pilar Hercules. Dan celakanya, kami tak punya cukup daya untuk memohon ampunanmu.

Hari-hari terakhir, saya merasa waktu semakin sempit. Apakah ini sekedar perasaan dangkal saja? Tapi denting kala bergulir sangat cepat.

Apakah kita menunggu atau ditunggu?
Apakah kita yang menjauh atau dijauhkan?
Ataukah kita hanya beretorika pada kebiasaan-kebiasaan kita?

Saya selalu berharap bahwa di tengah perburuan itu, Engkau memberikan pelajaran yang baik buat saya. Dan, ini yang sangat utama, membesarkan dan menguatkan hati saya atas doa-doa yang saya panjatkan sendiri kepadaMu.

Allahuma Amien.