SEMUANYA terus berjalan seiring perputaran roda dunia yang tidak pernah terasa. Hari demi hari gugur, bulan demi bulan tanggal, dan wajah tahun yang satu berganti dengan wajah tahun yang lain. Kemarau serta penghujan saling bergantian setiap pertengahan tahun, mengiringi dan setia menemani pertumbuhan usia manusia yang semakin mengarah pada Sang Pencipta.
Telah empat tahun beranjak tanpa tak pernah kurasakan betapa cepat umurku kini telah memasuki kepala tiga. Tawaran syuting untuk film layar perak atau sinetron tidak lagi sekencang saat aku masih dalam naungan usia kepala dua. Sekarang dalam setahun hanya satu, dua rumah produksi saja yang mengontak dan menawariku naskah mereka. Bakat-bakat muda dan baru terus bermunculan seiring semakin menjajikan dan menggiurkannya dunia yang kugeluti ini.
Bulan November memasuki tanggal yang masih terlalu muda ketika aku menetap selama beberapa minggu di Yogyakarta untuk keperluan pengambilan gambar sebuah film. Film horor yang belakangan ini semakin menjamur di kancah perfilman Indonesia. Sudah hampir dua bulan aku dan Rivael tidak beratatap muka. Walaupun jalannya komunikasi di antara kami tak pernah putus atau terhalang, namun di kala syuting aku menjadi rindu padanya. Kami sudah terbiasa berada dalam sebuah film yang sama, dalam satu chemistryyang padu, entah itu dalam film misteri, komedi, atau drama. Ketidakhadirannya di sampingku membuat suasana syuting seakan tidak ubahnya dunia yang terlalu kalem dan diam. Terasa ada yang ksosng ketika Rivael tidak ada di tengah-tengah sutradara dan para kru lainnya.
Pada sebuah senja di tanggal 11 November yang jingga, aku sengaja menelepon Rivael di ibukota untuk sekedar menanyakan kabarnya dan Jessica. Mereka telah menikah tiga tahun lalu dan sekarang dalam lingkup biduk mereka telah hadir seorang mungil, tampan, cerdas, berumur hampir tiga tahun yang mereka namakan Evandra.
Setelah kelahiran Evan, Rivael mulai membatasi geraknya di dunia gemerlapnya. Hanya sesekali dan dalam pertemuan-pertemuan atau acara tertentu saja ia menampakkan batang hidungnya yang mancung.
“Ada apa, Jeremy?” sapa Rivael. “Kau menikmati suasana Jogja?”
“Ya, di sini menyenangkan. Masih ada andong, masih ada keraton, masih ada kesenian daerah yang sudah jarang kulihat di tempat kita. Kau harus bermain-main kemari.”
Rivael agak lama menyambung kalimatku. “Ya.....kapan-kapan aku harus ke sana.”
“Rivael, kau baik-baik saja? Suaramu agak serak sepertinya.”
Rivael mendehem. “Aku sedang radang tenggorokan, sedikit flu. Sudah mulai musim hujan.”
“Kau sudah ke dokter?”
“Nantilah. Sekarang juga sudah lebih enakan, paling-paling besok sudah sembuh.”
Aku merasakan sesuatu yang pahit dan menyesak menyelimuti relung-relung hatiku. Rasanya seperti ingin menangis, namun aku tidak tahu apa yang harus kutangisi. Rasanya seperti ada sepotong suasana yang hilang. Perasaan itu terus saja membiru, memburu, mendesak, dan membuatku membisu untuk beberapa saat.
“Jangan menunda-nunda periksa. Kau terlalu keras kepala kalau menyoal berobat. Oh, ya. Evan dan istrimu sehat-sehat saja?”
“Jessy? Oh, dia baik-baik saja,” jawab Rivael serak.
“Kami baik-baik saja, Jeremy. Aku merasakan ada kecemasan dalam nada suaramu.”
Aku terkejut dan berusaha menutupinya. “Oh, tidak. Tidak begitu juga. Aku hanya........”
Aku diam sejenak. “Aku hanya.......merasa aneh saat syuting sendirian di sini.”
“Itu hanya perasaan sesaat. Setelah take beberapa scene kau akan segera menikmatinya. Seperti dulu lagi, Jeremy. Seperti dulu......”
Aku berjalan ke balkon di kamar hotelku. Langit masih jingga menyala namun sinar dari barat perlahan-lahan mulai meredup. Langit di pintu pulangnya matahari itu memerah oleh kedatangan tuannya yang telah usai masa kerjanya. Angin yang mengandung bau hujan mengalir, menepuk wajah dan pipiku untuk beberapa saat.
Diamku berakhir saat dari ujung yang lain aku mendengar Rivael terbatuk-batuk.
“Rivael, kau baik-baik saja?” tanyaku cepat. “Lebih baik aku menyudahi oborolan kita ini. Kau harus minum obat dan beristirahat. Maafkan, aku sudah menelepon di saat yang kurang tepat.”
“Ah, tidak apa-apa, Jeremy. Aku baik-baik saja. Aku ini Rivael, tidak mungkin kalah hanya karena flu dan radang ringan ini.”
“Jessica ada di sana? Aku ingin bicara dengannya. Istrimu harus lebih sering mengawasimu minum obat,” kataku.
“Jessica? Eee.....dia sedang keluar. Keluar dengan Evandra. Aku sedang sendirian.”
Aku menghela nafas. “Baiklah, mungkin aku sedang tak beruntung. Sekarang istirahatlah, aku tidak akan mengganggumu.”
“Eee – Jeremy.”
“Hm?”
“Tidak........tidak ada apa-apa.”
Rivael memutus sambungan teleponnya. Perasaan yang sesak dan menusuk itu datang kembali. Tidak biasanya Jessica meninggalkan Rivael sendirian, terlebih dalam keadaan tubuhnya yang kurang begitu sehat. Radang tenggorokan yang serak itu memang menolong menyamarkan kebenaran yang sesungguhnya bisa keluar dari suara seorang manusia.
Aku tidak berprasangka buruk, namun aku merasa hubungan Rivael dan Jessica tidak lagi hangat. Selalu ada yang pergi saat aku menelepon salah satu dari mereka. Kabar yang menyangkut dunia kami memang sangat rentan menguap kemudian mengalir ke seluruh penjuru negeri. Memang, dalam beberapa hari terakhir media massa ramai-ramai memberitakan hubungan rumah tangga mereka yang panas.
Aku tak mengambil pusing berita semacam itu karena dalam dunia kami kadang memang perlu dihembuskan isu semacam itu demi pemberitaan yang berujung pada popularitas.
Meraih popularitas dengan menggadaikan hal yang paling pribadi dalam rumah tangga menurutku merupakan sebuah tindakan rentan atau mungkin juga bodoh. Dan sejauh ini aku mengetahui baik Jessica maupun suaminya bukan orang-orang yang bodoh. Namun, sebuah magma yang meledak tak lama kemudian benar-benar membuat perasaanku luruh.
Dari sebuah media yang sangat kami percayai berhembus kabar yang mengatakan Rivael dan Jessica akan segera mengakhiri perjalanan di samudera mereka. Rivael telah menyewa pengacara papan atasnya yang juga seorang mantan pengacara anggota dewan untuk sekedar melayangkan gugatan ke pengadilan agama. Satu minggu kemudian, Jessica juga melayangkan hal serupa. Kali ini yang menjadi bahan prioritas utama dia dan pengacaranya adalah masalah harta gono-gini dan hak asuh pengasuhan Evandra.
Aku belum menangkap dengan pasti apa penyebab keretakan hubungan keduanya karena begitu banyak spekulasi yang mengalir dan membentuk opini publik. Tetapi, sebuah media menuliskan adanya kehadiran
perempuan lain yang diduga kekasih Rivael dalam urutan toplist mereka.Mengingat recordyang telah Rivael cetak, sungguh tak mengherankan jika itu memang penyebabnya.
Medio November, setelah semua proses syuting kelar, aku segera memesan tiket penerbangan kelas utama menuju ibukota. Berita mengenai Rivael dan Jessica di Jakarta sudah sederas gerimis. Di mana-mana, wajah media cetak yang khusus hanya membahas dunia kami memampang wajah kedua insan itu untuk menaikkan oplah penjualan mereka.
Sepertinya, media mengeruk untung tidak hanya dari popularitas dan keberhasilan Rivael memenangi Festival Film, namun detik-detik kehancurannya terasa lebih menggiurkan dipublikasikan. Tak ada yang menolak menyaksikan detik-detik kejatuhan sebuah rezim atau popularitas sekalipun.
Aku tak menunda lagi untuk melangkah ke apartemennya, walau hari ini sudah malam, hujan deras, dan badanku terasa kurang enak karena cuaca dan tumpukan lelah selepas perjalanan. Apartemen di tingkat sembilan dan bernomor kamar 113 itu tampak dijaga oleh beberapa bodyguarddi depan pintu masuknya. Salah seorang dari mereka yang kemudian mengenaliku, mengizinkanku masuk menemui Rivael.
Di dalam ruangannya, Rivael sedang berdiskusi dengan pengacaranya yang tambun. Setelah dia tahu aku hadir di tengah-tengah mereka, dengan keramah dia meminta pengacaranya meninggalkan kami berdua. Sesaat setelah merapikan file-filenya, lelaki paruh baya dengan aroma parfum tubuh yang cukup tajam itu pergi meninggalkan kami.
“Jeremy, baik sekali kau menyempatkan datang kemari. Syutingmu sudah selesai?”
Aku menggantung jaketku di gantungan lalu duduk di sofa.
“Apa yang sebenarnya terjadi dengan kalian? Kabar di luar sana mengalir serampangan, aku tak tahu selain darimu sendiri mana yang paling benar. Jadi, ada apa sebenarnya dengan kalian?”
Rivael menuang segelas teh dan memberikannya padaku.
“Jessica, maksudmu?” kata Rivael mengoreksi. “Aku akan menceraikannya.”
“Kau – apa?!” kataku terperanjat. “Menceraikannya?! Kau gila, Rivael! Kalian baru tiga tahun menikah, bagaimana dengan Evan? Kau – kau – ah, aku tak mengerti dirimu!”
“Minum dulu tehmu, Jeremy. Aku tak akan membicarakan hal ini denganmu kalau kau tak tenang,” kata Rivael dengan mata dan nada bicara yang sama seriusnya.
“Baiklah,” kataku seraya meminum teh dengan tidak sabar. Aroma dari air kecoklatan itu membuai penciumanku.
“Sekarang ceritakan yang sebenarnya. Apa biang keladi semuanya ini? Aku tak ingin berprasangka padamu, tapi apa benar yang dikatakan oleh pers di luar sana?”
Rivael duduk di sampingku.
“Itu semuanya bohong!” katanya dengan nada tinggi. “Mereka dengan seenaknya mengarang-arang cerita, mengutip berita yang sepotong-sepotong lalu membuat sebuah kesimpulan mutlak untuk semua ini. Aku ingin menuntut, tapi apa gunanya? Mereka akan semakin gencar mengincarku.”
“Jadi, kalau bukan itu, apa penyebab semuanya ini, hah? Sampai-sampai kau telantarkan kehidupan anakmu?”
Rivael melirik cepat padaku.
“Aku tak menelantarkan anakku, Jeremy! Walau nanti kami berpisah, tapi aku takkan menelantarkan anakku! Kau harus ingat itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar