Di menjelang penghujung April 2011, sebuah angka merah berdiri mantab di salah satu kotak kolom Kalender bulan April. Angkanya genap, kembar berkepala dua, dan harinya adalah hari yang penuh dilimpahi berkah. Ya, itulah hari libur panjang pada tanggal 22 April 2011, tepat pada hari Jumat yang penuh rahmad.
Dulu, sebelumnya sudah pernah diancang ancang bahwa: liburan kali ini planningnya adalah ke Lombok, tapi berhubung sedang ada pengetatan anggaran, plus tim yang ikut juga sepertinya kurang berminat, jadilah dimantapkan liburan panjang di ujung April ini Aku akan melangkah ke Barat - ke Central Java - ke Solo atau ... The Special Province of Jogjakarta.
Maka, kira kira dua bulan sebelum April, disusunlah kesepakatan kecil antara Aku dan Fatur untuk menggapai Jogja pada April ini. Namun ternyata, beberapa hari jelang hari H, si Faturnya mendadak membatalkan secara sepihak kesepakatan kecil ini. Yah, jadilah ke Jogja atau Solo (masih pengen keduanya) harus ditapaki sendiri.
*
Atas pengalaman dari liburan panjang ke Pulau Dewata beberapa waktu lalu, liburan ke Jawa Tengah kali ini lebih simpel ribetnya. Membiarkan semuanya mengalir begitu saja - dengan disertai saran saran mengenai objek, waktu, transportasi, dll. dari Fatur dan Mbak Maya sebelum keberangkatan.
Hehehe... wah jadi serasa masih bocah sekali Aku ini. : )
Kamis, bertepatan dengan hari jadi Kartini, tidak seperti malam malam sebelumnya dimana jam 19:00 WIB biasanya sudah siap menenteng sepatu futsal, kali ini tas ranselku yang hitam itu memuat jauh lebih dari sekedar sepatu. Ada handuk, celana pendek, kaos, alat alat mandi, parfum (haaiyaah), sandal, dan .. tentu saja mata abadi yang akan melukis semua yang mataku tak sempat mengingatnya. Ya, itulah si Kamera Nikon hasil boleh minjam di kantor. :D
Pulang kantor, gerimis pelan pelan mengguyur Jember. Aku pulang cepat dari biasanya. Merasa lelah entah karena apa hingga terlelap sampai Maghrib lima belas menit telah berlalu. Ingat waktu itu belum buka puasa, eh rupanya keberuntungan masih berpihak. Ada lima atau enam tempe bacem yang alhamdulillah benar benar nikmat sekali. Sampai sampai, ketika makan tempe itu, hati ini menjadi miris dan lemah sekali.
Ya, menit menit itu sungguh Aku sendiri tak mengerti kenapa hati ini bisa menjadi begitu kecil dan lemah sekali.
Lepas Maghrib semua sudah siap. Tawang Alun menyambut dengan derak serak bus. Riuh orang berkata: "Malang, Malang, Surabaya, Surabaya,...". Hehehe, biasanya kalau ada pak kernet bilang salah satu dari dua kota itu pastilah itu tujuanku saat itu. Tapi, kali ini Aku tidak sedang akan pulang, Pak. Aku mau ke Barat.
*
Bus Akas dengan akas memuasi lambungnya dengan para penumpang. Tua, muda, lelaki, perempuan, pengamen, penjaja kue, satu per satu masuk ke dalam bus. Sudah hampir penuh saat itu. Beruntung kembali, Aku mendapat tempat di kursi isi tiga yang masih kosong. Duduk di samping kanan dan kiriku adalah para bapak sepuh yang tengah menuju Kertosono dan Solo malam itu. Eh, eh, tiba tiba dari belakang mecungul sosok Pak Presiden Eproc - Mas Arip - yang tentunya mau pulang kampung. :D
Tapi sayangnya, Mas Aripnya kehabisan tempat, jadi memuntahkan diri dari lambung Akas dan menunggu ditelah oleh bus berikutnya.
Bisa jadi, satu satunya orang yang kukenal malam itu hanyalah Mas Arip saja. Itu pun batal karena dia kemudian tidak satu bus denganku. Dalam hati Aku berpikir, tak satupun ada yang kukenal di sini. Pelan pelan Aku amati sekelilingku:
Tukang tiket yang tambun dan bersahaja yang dengan halus ketika ingin lewat di tengah lajur bus yang sudah diisi penumpang berkursi plastik;
Seorang bapak di sampingku yang begitu aku bertanya: "Bade dateng pundi?" dan dijawab dengan sopan "Solo";
Ketika si bapak yang berlabuh di Kertosono bertanya dengan ramah: "Jam 12 pun nyampek nggih ten Kertosono?" dan kujawab: "Kulo mboten ngertos Pak, mbok menawi inggih. Mboten nate ten mriko," lalu kami berdua tertawa, dan begitu ternyata tepat jam 12 beliau singgah di tempat tujuan sambil tak lupa menepuk lenganku tanda perkenalan singkat dan perpisahan itu, barulah kuyakinkan hati ini:
Ya, tak apa apa di sini. Di perjalanan ini. Di sini semua orang baik.
*
Perkiraan sebelumnya bahwa di Probolinggo atau Pasuruan akan macet memang sedikit terbukti. Aliran bus terhambat oleh barisan barisan truk bermuatan. Lampu sirene kuning yang berpendar pendar, serak kerikil dan jalanan, lalu aroma khas kulit di salah satu lajur Pasuruan, adalah nuansa yang mengiringi perjalanan menit demi menit.
Tak terasa di selingi tidur, Bangil telah berlalu, lalu menjejak brem Madiun, terus meluncur hingga pintu Sragen, dan tak lama sebuah terminal besar yang menjadi inspirasi lagu Jawa - Terminal Bus Tirtonadi - Surakarta mendegupkan jantung ini. Sudah dekat, sudah dekat. : )
*
Baru masuk pukul 05.00 atau 05.30 dan udara masih lembab dengan kabut. Surakarta masih lengang serta dingin. Pelan pelan srengenge dari Timur merebak ke hamparan biru mega dan menandai laju aktivitas masyarakat pagi hari itu, ketika bus tanpa hambatan mulus melaju di double way menuju kawasan Prambanan.
Menurut saran sebelumnya bahwa sebelum masuk Jogja, turunlah dulu di Prambanan, tidak kuturuti. Hehehe, bukannya tambeng atau tak mencintai waktu, tapi mencari tempat bernaung itu menurutku harus diutamakan. Prambanan akhirnya harus menunggu dan dengan demikian ia menjadi siluette abu abu megah saja yang segera berlalu dari balik kaca.
*
Bruuuummmm.... bruuuummm, drak drak draaakkk, bbrrurummmmm :D
Kalau boleh di-audio-kan, begitulah kira kira suara sumbang mini bus ke arah Jogja pagi hari itu. Mendecit dan bunyi gemblodak seperti suara bemper dibanting begitu riuh sekali di dalam mini bus itu. Berangkat dari terminal, si bus bangkotan hanya menampung empat orang saja. Sesuai rencana, aku akan mencari atap di dekat dekat Malioboro sana.
Maklum, baru dua kali ini ke Jogja dan belum hafal benar jalan jalan di sana, kukatakan saja pada si kenek bus: "Malioboro, Mas." sambil dengan mantab menyodorkan uang sepuluh ribuan (ini untuk ngecek berapa sih harganya kalau naik bus, heheheh, malu bertanya :P).Kami melewati Bank Indonesia yang tepat berdampingan dengan Titik Nol Kilometer. Menurut peta Jogja, seharusnya Malioboro itu terletak 1 kilometer di sebelah Selatan monumen 1 Maret tadi. Tapi berhubung si pak supir tak mengajak bertanya atau berbicara kepada turis lokal ini; berhubung si pak kenek dan aku saling diem dieman; berhubung pada akhirnya kami menyadari betapa kebisuan ini mulai begitu menyesatkan kami, barulah kusadari kalau pagi itu kami: Aku, Pak Supir, dan bus bangkotan yang - mestinya - harus menjadi koleksi Museum itu melaju dengan PeDe dan mantab sekali di kompleks orang orang cerdas UGM. :D
*
Aku di-reject, dioper ke bus nomor 4. Bus bangkotan yang kali ini bisa tanpa bertanya bisa langsung tiba Malioboro, karena si bus gemlodak ini tepat melintas di padatnya ruas Malioboro. Sempat di dalam bus, aku bertanya khas turis lokal:
"Pados penginepan sing murah ten pundi, Pak?"
Si supir bus menjawab enteng: "Iku mas, ndek kono onok," katanya sambil menunjuk dengan kepala. "Malah nang kono ono wedok'ane....."
Wew ... ??? ^%$%$#$%#$##$#$#$
"Kulo mboten pados sing koyok ngoten, Pak. Sing murah ae ... ", kataku kemudian.
Lalu supir menurunkanku di Jalan Sosrowijayan. Sebuah gang yang tepat di muka Malioboro. Baru saja melangkah masuk menuju gangnya yang desain rumah maupun property-nya sudah sedemikian rupa dikondisikan untuk para turis, seorang pemandu ramah (masih muda) menunjukkan tempat tempat menginap di sekitar sana.
"Piro, Mas kiro kiro?" tanyaku tentang tarif penginapannya per hari.
"One hundred and fifty," jawabnya mantab dengan bahasa Inggris.
Wew mahalnya, batinku. Sambil lalu kami memasuki lika liku gang.
"Ya ada yang murah, tapi pasti Mas tahu: ada harga, ada rupa," lanjutnya.
"Sing murah ae, Mas. Nesore 100 lek iso," kataku kemudian.
Si pemandu itu lalu mengantarku menelikung beberapa ruas gang sambil menawarkan jasanya sebagai tukang ojek yang melayani wisata keliling Jogja super murah lalu sesekali menyapa satu, dua orang kawan yang profesinya sebagai pemilik rumah penginapan.
Kami berlabuh pada sebuah rumah. Dari tampilan luarnya, ini jelas bukan hotel, bukan pula losmen, ya ini hanya bangunan rumah dengan beberapa kamar yang kemudian dialihfungsikan menjadi penginapan. Yup, peluang bisnis memang selalu ada di tempat wisata. :D
Kebetulan pula ada satu kamar kosong. Kamar nomor 3. Si pemilik penginapan yang seorang ibu sepuh (seumuran nenekku kira kira) dengan logat Jawa yang halus menanyai begini:
"Badhe nginep pinten dinten?"
"Sampai Minggu, Buk."
Lalu beliau melanjutkan. "Lek 3 dino, tak kek'i 50," katanya lirih.
Aku tak paham. Karena lirihnya suara itu tadi. "Yok nopo, Buk?" ulangku.
"50, 50," sambil kelima jarinya mekar menunjukkan bilangan lima. Hahaha .. baru paham aku, maksudnya kalau 3 hari didiskon 10 ribu per hari, alias cuma bayar 50 ribu per hari. :D
Aku iyakan saja. Kami terlibat urusan sedikit administrasi sebelum beliau menyerahkan kunci kepadaku. Di dalamnya ada tempat tidur bersprei kuning, kipas angin, lalu .....
"Jedhinge ten ngajeng," lanjut Ibu pemilik penginapan yang sampai sekarang tak kutahu namanya itu sambil mengarahkan jarinya ke ruang lorong di pojok.
*
Baik pagi, siang, sore, hingga terbit malam hari, Malioboro memang tak pernah diam dengan decak langkah. Entah sudah berapa pasang kaki yang mengelilingi tempat ini setiap harinya. Entah sudah berapa macam bahasa daerah maupun internasional yang berlalu lalang di kawat udaranya setiap pergantian menit. Ya, inilah primadona Kota Jogja yang paling murah dijumpai.
Bermodal sandal japit, hari itu juga aku mulai menapaki ruas jalannya. Ada dokar, ada becak, ada warung gudeg, ada trans Jogja, ada juga cah cah ayu yang menjadi tokoh dan setting keadaan saat itu. Menuju ke arah Utara, ada historical landmark persinggahan berikutnya: Benteng Vredeberg.
Kamu tahu: Sejarah itu amat mahal nilai perjuangannya, namun untuk mengenang sejarah justru sebaliknya.
Cukup dengan selembar tiket seharga Rp. 2000 maka Kamu bisa masuk ke area benteng yang asri itu. Di sana ada beberapa ruangan dengan diorama visualisasi moment moment penting pernikahan Jogja dengan Sejarah. Ada mesin cetak kuno, ada replika granat dan senapan semasa perang, ada pula pahatan patung the founding fathers lengkap dengan naskah sakti perceraian bangsa Indonesia dengan setan penajajahan yang diadiokan.
Baik aku maupun Kamu tak pernah ada saat Sejarah itu terjadi, namun kini baik aku maupun Kamu masih bisa mengunjunginya dan mungkin bernostalgia dengan masa yang tak pernah kita alami.
*
Jumat berjalan separuh hari. Adzan memanggil para muslim untuk sejenak menyudahi kesibukan dunianya dan mengajak kembali kepada Ilahi. Sholat Jumat digelar di Masjid Agung, sebelah Barat Keraton Kesultanan. Setelah puas mengunjungi Keraton, inilah saat menikmati wisata religi sambil tentu saja beribadah.
Bangunan Masjid Agung adalah monumen kuno, dengan pilar pilar kayu yang kokoh, dan dengan gapura pintu masuk yang khas kerajaan. Di pelataran luar maupun dalamnya, lajur shaf yang kami tempati condong beberapa derajad dari titik lurus pandangan mata kami dengan khotibnya.
Ya, jika Kamu masih ingat scene film "Sang Pencerah" pastilah Kamu mengerti bagaimana jalan cerita derajad kemiringan shaf ini ketika dahulu KH. Ahmad Dahlan bersikukuh tentang di mana letak arah Barat dan kemudian para muridnya nekat menggaris garis dengan kapur lantai di Masjid Agung sebuah jalur shaf miring yang mengarahkan wajah makmumnya ke arah Barat yang tepat.
*
Malam malam ketika sedang duduk di jok becak sambil menikmati perjalanan malam, datanglah dengan bertubi tubi sms dari Mbak May, intinya:
"Sudah keliling mana ae - Prambanan Borobudur berlawanan arah, kalau mau ke Prambanan gandengannya bla bla bla ..... lalu Ketep, Kasongan, Kota Gede, bla bla bla ..... , Keraton, Vredeberg, gudeg manis, batagor di UGM, pempek Malioboro, bla bla bla .... " :D
Wew... banyak nian list yang harus dikunjungi ya, hehehe? :D
Lalu aku bilang saja, kira kira begini: "Opsinya sampean kebanyakan, Borobudur dan Prambanan itu harus! Aku nggak mau dikejar waktu, jadi yang bisa dinikmati ya dinikmati dulu saja."
Memang, menyoal kedua candi Hindu dan Budha di atas, tak lengkaplah kalau ke Jogja tapi belum ke sana. Jadi, yang lain bisa lah sedikit dinomorduakan, tapi kedua candi itu mutlak harus dikunjungi. Akhirnya pada hari kedua diputuskan untuk menjamah Magelang terlebih dahulu. Jarak Magelang dengan Jogja via mini bus memakan waktu kurang lebih 90 menit. Udara sedang terik teriknya saat itu. Di perjalanan yang cukup berkeringat itu suasana yang terekam antara lain: dua orang bule yang ngedumel gara gara di-tricky oleh si kenek bus, tambang pasir kenang kenangan lahar dingin Merapi (dan sisa sisa bangunan yang terenggut olehnya), Candi Mendut, hingga akhirnya berlabuh di candi termegah Indonesia itu.
Sebelum menginjakkan kaki di batu masa lampau itu, aku dan para pengunjung lain diharuskan mengenakan sarung. Katanya, untuk melestarikan budaya setempat. Kini, tak pandang Thailand, China, Amerika, Jawa, Sunda, Jakarta, .... semua seragam mengenakan kain lebar putih motif stupa stupa candi itu kesana kemari.
Kamadatu adalah hirarki paling rendah dari tingkatan Borobudur. Di sini mulai tergambar relief relief pada panil panil dinding candi. Semua aku belum jelas benar apa maknanya. Konon, Kamadatu adalah narasi penciptaan manusia (begitu ya? kok samar samar aku ingat ... :D). Soal panil panil pada dinding candi itu sendiri di kemudian hari aku tahu bagaimana jalan ceritanya pembuatannya. Jadi begini:
Tahapan pertama adalah para biksu ahli agama menandai panil di dinding candi sambil menuliskan judul atau peristiwa apa yang akan digambarkan.
Tahapan kedua, para seniman membuat sketsa kasar dari dinding batu itu.
Tahapan ketiga diambil alih oleh para pemahat, tukang batu terampil yang menempa sedemikian rupa sketsa kasar dari sang seniman untuk diperoleh bentuk tampilan.
Tahapan keempat, sang seniman memperhalus dan menyempurnakan karya sang pemahat. Dengan tingkat kejelian yang tinggi, seniman membentuk lekuk lekuk relief Ganesha, para Raja, atapun Buddha, hingga didapat bentuk yang benar benar jelas.Tahapan kelima, adalah keberadaan cerita dalam panil itu sendiri.
Kekagumanku adalah, Borobudur sedemikian megahnya, masih ada Rupadatu dan Arupadatu di atasnya. Jika di sekeliling candi ada ribuan panil, tentu dahulu kala juga ada ribuan seniman yang dengan sabar dan tekun menyempurnakan relief relief agung itu di sepanjang badan candi.
*
Menyeberang ke arah Timur Jogja adalah sejarah kisah kasih Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang. Sebuah candi Hindu terbesar di Jawa. Romantisme dan lika liku intrik selalu mewarnai kisah di balik candi ini. Seperti yang Kamu tahu, Bandung Bondowoso karena kadung cintanya kepada Roro Jonggrang rela membangunkan seribu candi sebeum terbit fajar sebagai mahar lamarannya kepada sang wanita. Tentu manusia punya batas kulminasi, maka demi cintanyalah ia kerahkan ribuan jin untuk menyusun candi demi candi seperti keinginan sang dewi.
Malang, si Bandung Bondowoso yang sudah bondo jiwa raga itu harus menerima betrayal dari si Roro Jonggrang. Entah kelihaian wanita atau apa, dengan liciknya si Roro Jonggrang memerintahkan para wanita untuk menumbuk alu dan menyalakan api - seolah olah fajar telah menyingsing. Kontan si Bandung tak sempat lagi menyusun candinya. Kontan si Bandung harus kehilangan cintanya. Kontan si Bandung harus menerima pahitnya pengkhianatan perempuannya. Hingga begitu ia menyadari itu semua, everything's become too late. No more love, yang ada hanya dendam. Roro Jonggrang dikutuk atas sikapnya menjadi pelengkap arcanya yang keseribu dalam wujud arca Dewi Durga bertangan delapan.
So, for what is love? : )
*
Di pelupuk mata ini, ini adalah sore hari terakhir ketika harus dengan sangat berat hati melepas Jogja. Berteman kayuhan mas tukang becak, sekotak bakpia, tas hitamku, lalu si mata abadi ini, menikmati pelan pelan seputaran bumi Jogja dan sehamparan langitnya.
Di dalam kamar penginapan, sekali lagi dengan berat hati, aku harus merapikan sekaligus mengemasi semua barang barangku. Rasanya enggan sekali kembali ke Jember hehehe, tapi ketika ada yang dimulai, tentu harus ada yang diakhiri kan? : )
Sebelum meninggalkan pintu Jogja, sambil malas malasan untuk terakhir kalinya di ranjang bersprei kuning itu, kukirim sepotong pesan singkat ke Mbak May:
“Tolong disampaikan kepada Bumi dan Langit di Solo, sepurane nggak iso nang kono. Kadung kecanthol nang Jogja ... “
Cuma dijawab: “Ppppreeeeettttt .. bla bla bla .. “ :D
Ah, tiga hari dalam naungan Langit Jogja ini memang terasa sebentar saja. Belum belum sudah kangen. Belum belum sudah pengen makan gudeg lagi. Belum belum ingin mencicipi lagi wedang ronde di alun alun Keraton. Belum belum sudah dihinggapi perasaan sedih tak terdefinisikan.
Ah ... tiga hari di sini, aku telah melalui banyak hal: Keraton, Vredeberg, Malioboro, Prambanan, Borobudur, Sayidan, Syuting FTV, Agus Kuncoro Adi, Si Tengil Ries Indah Ria, Bakpia, Gudeg, Sosrowijayan, Trans Jogja, Mini Bus, UGM, Sate Padang, Wedang Ronde, WS. Rendra, Kuda Lumping, Manusia Cebol, Penthul Thembem, Gendhing Jawa, Monumen 1 Maret, Perayaan Hari Bumi, Karawitan, Museum, Masjid Agung, Cah Cah Ayu, Dokar, Becak, Dagadu, Gareng, dan ah ... macam macam lainnya yang terlalu banyak untuk dijelaskan dalam catatan singkat ini.
Namun, tentu dari sana masih ada juga yang aku lewatkan, seperti: Museum Piramid Jogja Kembali, Kota Gede, Kasongan, Candi Candi, Ketep Merapi, dan yang terutama aku melewatkan Kamu – dan juga yang lainnya – ketika harus menjalani ini seorang diri saja. : )Namun, bukankah dengan adanya kata "Melewatkan" itu akan menjadikan sebuah kata “Kembali” itu menjadi begitu indah sekali untuk disenandungkan?
Jogja, suatu hari nanti, Aku – mungkin juga Kamu – pasti akan Kembali.
**












