Jumat, 29 April 2011

Catatan Kenangan: Jogja, Sejarah, Kenang Kenangan


Di menjelang penghujung April 2011, sebuah angka merah berdiri mantab di salah satu kotak kolom Kalender bulan April. Angkanya genap, kembar berkepala dua, dan harinya adalah hari yang penuh dilimpahi berkah. Ya, itulah hari libur panjang pada tanggal 22 April 2011, tepat pada hari Jumat yang penuh rahmad.

Dulu, sebelumnya sudah pernah diancang ancang bahwa: liburan kali ini planningnya adalah ke Lombok, tapi berhubung sedang ada pengetatan anggaran, plus tim yang ikut juga sepertinya kurang berminat, jadilah dimantapkan liburan panjang di ujung April ini Aku akan melangkah ke Barat - ke Central Java - ke Solo atau ... The Special Province of Jogjakarta.

Maka, kira kira dua bulan sebelum April, disusunlah kesepakatan kecil antara Aku dan Fatur untuk menggapai Jogja pada April ini. Namun ternyata, beberapa hari jelang hari H, si Faturnya mendadak membatalkan secara sepihak kesepakatan kecil ini. Yah, jadilah ke Jogja atau Solo (masih pengen keduanya) harus ditapaki sendiri.

*

Atas pengalaman dari liburan panjang ke Pulau Dewata beberapa waktu lalu, liburan ke Jawa Tengah kali ini lebih simpel ribetnya. Membiarkan semuanya mengalir begitu saja - dengan disertai saran saran mengenai objek, waktu, transportasi, dll. dari Fatur dan Mbak Maya sebelum keberangkatan.

Hehehe... wah jadi serasa masih bocah sekali Aku ini. : )

Kamis, bertepatan dengan hari jadi Kartini, tidak seperti malam malam sebelumnya dimana jam 19:00 WIB biasanya sudah siap menenteng sepatu futsal, kali ini tas ranselku yang hitam itu memuat jauh lebih dari sekedar sepatu. Ada handuk, celana pendek, kaos, alat alat mandi, parfum (haaiyaah), sandal, dan .. tentu saja mata abadi yang akan melukis semua yang mataku tak sempat mengingatnya. Ya, itulah si Kamera Nikon hasil boleh minjam di kantor. :D

Pulang kantor, gerimis pelan pelan mengguyur Jember. Aku pulang cepat dari biasanya. Merasa lelah entah karena apa hingga terlelap sampai Maghrib lima belas menit telah berlalu. Ingat waktu itu belum buka puasa, eh rupanya keberuntungan masih berpihak. Ada lima atau enam tempe bacem yang alhamdulillah benar benar nikmat sekali. Sampai sampai, ketika makan tempe itu, hati ini menjadi miris dan lemah sekali.

Ya, menit menit itu sungguh Aku sendiri tak mengerti kenapa hati ini bisa menjadi begitu kecil dan lemah sekali.

Lepas Maghrib semua sudah siap. Tawang Alun menyambut dengan derak serak bus. Riuh orang berkata: "Malang, Malang, Surabaya, Surabaya,...". Hehehe, biasanya kalau ada pak kernet bilang salah satu dari dua kota itu pastilah itu tujuanku saat itu. Tapi, kali ini Aku tidak sedang akan pulang, Pak. Aku mau ke Barat.

*

Bus Akas dengan akas memuasi lambungnya dengan para penumpang. Tua, muda, lelaki, perempuan, pengamen, penjaja kue, satu per satu masuk ke dalam bus. Sudah hampir penuh saat itu. Beruntung kembali, Aku mendapat tempat di kursi isi tiga yang masih kosong. Duduk di samping kanan dan kiriku adalah para bapak sepuh yang tengah menuju Kertosono dan Solo malam itu. Eh, eh, tiba tiba dari belakang mecungul  sosok Pak Presiden Eproc - Mas Arip - yang tentunya mau pulang kampung. :D

Tapi sayangnya, Mas Aripnya kehabisan tempat, jadi memuntahkan diri dari lambung Akas dan menunggu ditelah oleh bus berikutnya.

Bisa jadi, satu satunya orang yang kukenal malam itu hanyalah Mas Arip saja. Itu pun batal karena dia kemudian tidak satu bus denganku. Dalam hati Aku berpikir, tak satupun ada yang kukenal di sini. Pelan pelan Aku amati sekelilingku:

Tukang tiket yang tambun dan bersahaja yang dengan halus ketika ingin lewat di tengah lajur bus yang sudah diisi penumpang berkursi plastik;

Seorang bapak di sampingku yang begitu aku bertanya: "Bade dateng pundi?" dan dijawab dengan sopan "Solo";

Ketika si bapak yang berlabuh di Kertosono bertanya dengan ramah: "Jam 12 pun nyampek nggih ten Kertosono?" dan kujawab: "Kulo mboten ngertos Pak, mbok menawi inggih. Mboten nate ten mriko,"  lalu kami berdua tertawa, dan begitu ternyata tepat jam 12 beliau singgah di tempat tujuan sambil tak lupa menepuk lenganku tanda perkenalan singkat dan perpisahan itu, barulah kuyakinkan hati ini:

Ya, tak apa apa di sini. Di perjalanan ini. Di sini semua orang baik.

*

Perkiraan sebelumnya bahwa di Probolinggo atau Pasuruan akan macet memang sedikit terbukti. Aliran bus terhambat oleh barisan barisan truk bermuatan. Lampu sirene kuning yang berpendar pendar, serak kerikil dan jalanan, lalu aroma khas kulit di salah satu lajur Pasuruan, adalah nuansa yang mengiringi perjalanan menit demi menit.

Tak terasa di selingi tidur, Bangil telah berlalu, lalu menjejak brem Madiun, terus meluncur hingga pintu Sragen, dan tak lama sebuah terminal besar yang menjadi inspirasi lagu Jawa - Terminal Bus Tirtonadi - Surakarta mendegupkan jantung ini. Sudah dekat, sudah dekat. : )

*

Baru masuk pukul 05.00 atau 05.30 dan udara masih lembab dengan kabut. Surakarta masih lengang serta dingin. Pelan pelan srengenge dari Timur merebak ke hamparan biru mega dan menandai laju aktivitas masyarakat pagi hari itu, ketika bus tanpa hambatan mulus melaju di double way menuju kawasan Prambanan.

Menurut saran sebelumnya bahwa sebelum masuk Jogja, turunlah dulu di Prambanan, tidak kuturuti. Hehehe, bukannya tambeng atau tak mencintai waktu, tapi mencari tempat bernaung itu menurutku harus diutamakan. Prambanan akhirnya harus menunggu dan dengan demikian ia menjadi siluette abu abu megah saja yang segera berlalu dari balik kaca.

*

Bruuuummmm.... bruuuummm, drak drak draaakkk, bbrrurummmmm :D

Kalau boleh di-audio-kan, begitulah kira kira suara sumbang mini bus ke arah Jogja pagi hari itu. Mendecit dan bunyi gemblodak seperti suara bemper dibanting begitu riuh sekali di dalam mini bus itu. Berangkat dari terminal, si bus bangkotan hanya menampung empat orang saja. Sesuai rencana, aku akan mencari atap di dekat dekat Malioboro sana.

Maklum, baru dua kali ini ke Jogja  dan belum hafal benar jalan jalan di sana, kukatakan saja pada si kenek bus: "Malioboro, Mas." sambil dengan mantab menyodorkan uang sepuluh ribuan (ini untuk ngecek berapa sih harganya kalau naik bus, heheheh, malu bertanya :P).

Kami melewati Bank Indonesia yang tepat berdampingan dengan Titik Nol Kilometer. Menurut peta Jogja, seharusnya Malioboro itu terletak 1 kilometer di sebelah Selatan monumen 1 Maret tadi. Tapi berhubung si pak supir tak mengajak bertanya atau berbicara kepada turis lokal ini; berhubung si pak kenek dan aku saling diem dieman; berhubung pada akhirnya kami menyadari betapa kebisuan ini mulai begitu menyesatkan kami, barulah kusadari kalau pagi itu kami: Aku, Pak Supir, dan bus bangkotan yang - mestinya - harus menjadi koleksi Museum itu melaju dengan PeDe dan mantab sekali di kompleks orang orang cerdas UGM. :D

*

Aku di-reject, dioper ke bus nomor 4. Bus bangkotan yang kali ini bisa tanpa bertanya bisa langsung tiba Malioboro, karena si bus gemlodak ini tepat melintas di padatnya ruas Malioboro. Sempat di dalam bus, aku bertanya khas turis lokal:

"Pados penginepan sing murah ten pundi, Pak?"

Si supir bus menjawab enteng: "Iku mas, ndek kono onok," katanya sambil menunjuk dengan kepala. "Malah nang kono ono wedok'ane....."

Wew ... ??? ^%$%$#$%#$##$#$#$  

"Kulo mboten pados sing koyok ngoten, Pak. Sing murah ae ... ", kataku kemudian.

Lalu supir menurunkanku di Jalan Sosrowijayan. Sebuah gang yang tepat di muka Malioboro. Baru saja melangkah masuk menuju gangnya yang desain rumah maupun property-nya sudah sedemikian rupa dikondisikan untuk para turis, seorang pemandu ramah (masih muda) menunjukkan tempat tempat menginap di sekitar sana.

"Piro, Mas kiro kiro?" tanyaku tentang tarif penginapannya per hari.

"One hundred and fifty," jawabnya mantab dengan bahasa Inggris.

Wew mahalnya, batinku. Sambil lalu kami memasuki lika liku gang.

"Ya ada yang murah, tapi pasti Mas tahu: ada harga, ada rupa," lanjutnya.

"Sing murah ae, Mas. Nesore 100 lek iso," kataku kemudian.

Si pemandu itu lalu mengantarku menelikung beberapa ruas gang sambil menawarkan jasanya sebagai tukang ojek yang melayani wisata keliling Jogja super murah lalu sesekali menyapa satu, dua orang kawan yang profesinya sebagai pemilik rumah penginapan.

Kami berlabuh pada sebuah rumah. Dari tampilan luarnya, ini jelas bukan hotel, bukan pula losmen, ya ini hanya bangunan rumah dengan beberapa kamar yang kemudian dialihfungsikan menjadi penginapan. Yup, peluang bisnis memang selalu ada di tempat wisata. :D

Kebetulan pula ada satu kamar kosong. Kamar nomor 3. Si pemilik penginapan yang seorang ibu sepuh (seumuran nenekku kira kira) dengan logat Jawa yang halus menanyai begini:

"Badhe nginep pinten dinten?"

"Sampai Minggu, Buk."

Lalu beliau melanjutkan. "Lek 3 dino, tak kek'i 50," katanya lirih.

Aku tak paham. Karena lirihnya suara itu tadi. "Yok nopo, Buk?" ulangku.

"50, 50," sambil kelima jarinya mekar menunjukkan bilangan lima. Hahaha .. baru paham aku, maksudnya kalau 3 hari didiskon 10 ribu per hari, alias cuma bayar 50 ribu per hari. :D

Aku iyakan saja. Kami terlibat urusan sedikit administrasi sebelum beliau menyerahkan kunci kepadaku. Di dalamnya ada tempat tidur bersprei kuning, kipas angin, lalu .....

"Jedhinge ten ngajeng," lanjut Ibu pemilik penginapan yang sampai sekarang tak kutahu namanya itu sambil mengarahkan jarinya ke ruang lorong di pojok.

*

Baik pagi, siang, sore, hingga terbit malam hari, Malioboro memang tak pernah diam dengan decak langkah. Entah sudah berapa pasang kaki yang mengelilingi tempat ini setiap harinya. Entah sudah berapa macam bahasa daerah maupun internasional yang berlalu lalang di kawat udaranya setiap pergantian menit. Ya, inilah primadona Kota Jogja yang paling murah dijumpai.

Bermodal sandal japit, hari itu juga aku mulai menapaki ruas jalannya. Ada dokar, ada becak, ada warung gudeg, ada trans Jogja, ada juga cah cah ayu yang menjadi tokoh dan setting keadaan saat itu. Menuju ke arah Utara, ada historical landmark persinggahan berikutnya: Benteng Vredeberg.

Kamu tahu: Sejarah itu amat mahal nilai perjuangannya, namun untuk mengenang sejarah justru sebaliknya.

Cukup dengan selembar tiket seharga Rp. 2000 maka Kamu bisa masuk ke area benteng yang asri itu. Di sana ada beberapa ruangan dengan diorama visualisasi moment moment penting pernikahan Jogja dengan Sejarah. Ada mesin cetak kuno, ada replika granat dan senapan semasa perang, ada pula pahatan patung the founding fathers lengkap dengan naskah sakti perceraian bangsa Indonesia dengan setan penajajahan yang diadiokan.

Baik aku maupun Kamu tak pernah ada saat Sejarah itu terjadi, namun kini baik aku maupun Kamu masih bisa mengunjunginya dan mungkin bernostalgia dengan masa yang tak pernah kita alami.

*

Jumat berjalan separuh hari. Adzan memanggil para muslim untuk sejenak menyudahi kesibukan dunianya dan mengajak kembali kepada Ilahi. Sholat Jumat digelar di Masjid Agung, sebelah Barat Keraton Kesultanan. Setelah puas mengunjungi Keraton, inilah saat menikmati wisata religi sambil tentu saja beribadah.

Bangunan Masjid Agung adalah monumen kuno, dengan pilar pilar kayu yang kokoh, dan dengan gapura pintu masuk yang khas kerajaan. Di pelataran luar maupun dalamnya, lajur shaf yang kami tempati condong beberapa derajad dari titik lurus pandangan mata kami dengan khotibnya.

Ya, jika Kamu masih ingat scene film "Sang Pencerah" pastilah Kamu mengerti bagaimana jalan cerita derajad kemiringan shaf ini ketika dahulu KH. Ahmad Dahlan bersikukuh tentang di mana letak arah Barat dan kemudian para muridnya nekat menggaris garis dengan kapur lantai di Masjid Agung sebuah jalur shaf miring yang mengarahkan wajah makmumnya ke arah Barat yang tepat.

*

Malam malam ketika sedang duduk di jok becak sambil menikmati perjalanan malam, datanglah dengan bertubi tubi sms dari Mbak May, intinya:

"Sudah keliling mana ae - Prambanan Borobudur berlawanan arah, kalau mau ke Prambanan gandengannya bla bla bla ..... lalu Ketep, Kasongan, Kota Gede, bla bla bla ..... , Keraton, Vredeberg, gudeg manis, batagor di UGM, pempek Malioboro, bla bla bla .... " :D

Wew... banyak nian list yang harus dikunjungi ya, hehehe? :D

Lalu aku bilang saja, kira kira begini: "Opsinya sampean kebanyakan, Borobudur dan Prambanan itu harus! Aku nggak mau dikejar waktu, jadi yang bisa dinikmati ya dinikmati dulu saja."

Memang, menyoal kedua candi Hindu dan Budha di atas, tak lengkaplah kalau ke Jogja tapi belum ke sana. Jadi, yang lain bisa lah sedikit dinomorduakan, tapi kedua candi itu mutlak harus dikunjungi. Akhirnya pada hari kedua diputuskan untuk menjamah Magelang terlebih dahulu.

Jarak Magelang dengan Jogja via mini bus memakan waktu kurang lebih 90 menit. Udara sedang terik teriknya saat itu. Di perjalanan yang cukup berkeringat itu suasana yang terekam antara lain: dua orang bule yang ngedumel gara gara di-tricky oleh si kenek bus, tambang pasir kenang kenangan lahar dingin Merapi (dan sisa sisa bangunan yang terenggut olehnya), Candi Mendut, hingga akhirnya berlabuh di candi termegah Indonesia itu.

Sebelum menginjakkan kaki di batu masa lampau itu, aku dan para pengunjung lain diharuskan mengenakan sarung. Katanya, untuk melestarikan budaya setempat. Kini, tak pandang Thailand, China, Amerika, Jawa, Sunda, Jakarta, .... semua seragam mengenakan kain lebar putih motif stupa stupa candi itu kesana kemari.

Kamadatu adalah hirarki paling rendah dari tingkatan Borobudur. Di sini mulai tergambar relief relief pada panil panil dinding candi. Semua aku belum jelas benar apa maknanya. Konon, Kamadatu adalah narasi penciptaan manusia (begitu ya? kok samar samar aku ingat ... :D). Soal panil panil pada dinding candi itu sendiri di kemudian hari aku tahu bagaimana jalan ceritanya pembuatannya. Jadi begini:

Tahapan pertama adalah para biksu ahli agama menandai panil di dinding candi sambil menuliskan judul atau peristiwa apa yang akan digambarkan.

Tahapan kedua, para seniman membuat sketsa kasar dari dinding batu itu.

Tahapan ketiga diambil alih oleh para pemahat, tukang batu terampil yang menempa sedemikian rupa sketsa kasar dari sang seniman untuk diperoleh bentuk tampilan.

Tahapan keempat, sang seniman memperhalus dan menyempurnakan karya sang pemahat. Dengan tingkat kejelian yang tinggi, seniman membentuk lekuk lekuk relief Ganesha, para Raja, atapun Buddha, hingga didapat bentuk yang benar benar jelas.

Tahapan kelima, adalah keberadaan cerita dalam panil itu sendiri.

Kekagumanku adalah, Borobudur sedemikian megahnya, masih ada Rupadatu dan Arupadatu di atasnya. Jika di sekeliling candi ada ribuan panil, tentu dahulu kala juga ada ribuan seniman yang dengan sabar dan tekun menyempurnakan relief relief agung itu di sepanjang badan candi.

*

Menyeberang ke arah Timur Jogja adalah sejarah kisah kasih Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang. Sebuah candi Hindu terbesar di Jawa. Romantisme dan lika liku intrik selalu mewarnai kisah di balik candi ini. Seperti yang Kamu tahu, Bandung Bondowoso karena kadung cintanya kepada Roro Jonggrang rela membangunkan seribu candi sebeum terbit fajar sebagai mahar lamarannya kepada sang wanita. Tentu manusia punya batas kulminasi, maka demi cintanyalah ia kerahkan ribuan jin untuk menyusun candi demi candi seperti keinginan sang dewi.

Malang, si Bandung Bondowoso yang sudah bondo jiwa raga itu harus menerima betrayal dari si Roro Jonggrang. Entah kelihaian wanita atau apa, dengan liciknya si Roro Jonggrang memerintahkan para wanita untuk menumbuk alu dan menyalakan api - seolah olah fajar telah menyingsing.

Kontan si Bandung tak sempat lagi menyusun candinya. Kontan si Bandung harus kehilangan cintanya. Kontan si Bandung harus menerima pahitnya pengkhianatan perempuannya. Hingga begitu ia menyadari itu semua, everything's become too late. No more love, yang ada hanya dendam. Roro Jonggrang dikutuk atas sikapnya menjadi pelengkap arcanya yang keseribu dalam wujud arca Dewi Durga bertangan delapan.

So, for what is love? : )

*

Di pelupuk mata ini, ini adalah sore hari terakhir ketika harus dengan sangat berat hati melepas Jogja. Berteman kayuhan mas tukang becak, sekotak bakpia, tas hitamku, lalu si mata abadi ini, menikmati pelan pelan seputaran bumi Jogja dan sehamparan langitnya.

Di dalam kamar penginapan, sekali lagi dengan berat hati, aku harus merapikan sekaligus mengemasi semua barang barangku. Rasanya enggan sekali kembali ke Jember hehehe, tapi ketika ada yang dimulai, tentu harus ada yang diakhiri kan? : )

Sebelum meninggalkan pintu Jogja, sambil malas malasan untuk terakhir kalinya di ranjang bersprei kuning itu, kukirim sepotong pesan singkat ke Mbak May:

“Tolong disampaikan kepada Bumi dan Langit di Solo, sepurane nggak iso nang kono. Kadung kecanthol nang Jogja ... “

Cuma dijawab:  “Ppppreeeeettttt .. bla bla bla .. “ :D

Ah, tiga hari dalam naungan Langit Jogja ini memang terasa sebentar saja. Belum belum sudah kangen. Belum belum sudah pengen makan gudeg lagi. Belum belum ingin mencicipi lagi wedang ronde di alun alun Keraton. Belum belum sudah dihinggapi perasaan sedih tak terdefinisikan.

Ah ... tiga hari di sini, aku telah melalui banyak hal: Keraton, Vredeberg, Malioboro, Prambanan, Borobudur, Sayidan, Syuting FTV, Agus Kuncoro Adi, Si Tengil Ries Indah Ria, Bakpia, Gudeg, Sosrowijayan, Trans Jogja, Mini Bus, UGM, Sate Padang, Wedang Ronde, WS. Rendra, Kuda Lumping, Manusia Cebol, Penthul Thembem, Gendhing Jawa, Monumen 1 Maret, Perayaan Hari Bumi, Karawitan, Museum, Masjid Agung, Cah Cah Ayu, Dokar, Becak, Dagadu, Gareng, dan ah ... macam macam lainnya yang terlalu banyak untuk dijelaskan dalam catatan singkat ini.

Namun, tentu dari sana masih ada juga yang aku lewatkan, seperti: Museum Piramid Jogja Kembali, Kota Gede, Kasongan, Candi Candi, Ketep Merapi, dan yang terutama aku melewatkan Kamu – dan juga yang lainnya – ketika harus menjalani ini seorang diri saja. : )

Namun, bukankah dengan adanya kata "Melewatkan" itu akan menjadikan sebuah kata “Kembali” itu menjadi begitu indah sekali untuk disenandungkan?


Jogja, suatu hari nanti, Aku – mungkin juga Kamu – pasti akan Kembali.

**

 





Kamis, 21 April 2011

Chopin Larung

Yen Chopin padem ring Bali, kelarung saking Daksina
Seandainya Chopin meninggal di Bali, (dia) ingin dihanyutkan dari Pura Daksina 

Titiang mengenang Bali sunantara wong ngrusak - asik negara
Diriku akan mengenang Bali, sementara orang orang merusak tanah airnya

Sang jukung kelapu - lapu santukan Baruna kroda
Perahu terombang ambing, karena Dewa Baruna murka

Nanging Chopin nenten ngugu kadang ipun ngrusak seni - budaya
Namun Chopin tiada pernah paham (kalau) sanak kadangnya merusak seni budaya

Risedeg sang jukung kampih ring Legian - Kayuaya
Ketika (akhirnya) perahu terdampar di Legian - Kayuaya

'te - lonte ring sisin pasih, anak lacur melalung ngadolin ganja
Para lonte ada di pinggir pantai, orang miskin telanjang menjual ganja

Chopin ten uning ring Bali wong putih mondok ring Kuta
Chopin tak pernah tahu bahwa di Bali, orang asing bersinggah di Kuta

Asing lenga lali ring Widi tan urungan jagi manemu sengkala
Seringkali melupakan Yang Maha Kuasa, maka tak urung akan menemui bencana

Gending Chopin maring ati nabuhang wirama duka
Gending lagu Chopin di dalam hati melantunkan irama kedukaan

Duh nyama braya ring Bali, dong sampunang banget nunaning prayatna
Wahai Saudaraku di Bali, komohon janganlah engkau terlalu



Rekam jejak sejarah musik Indonesia, yang - semestinya - bangga dengan Guruh, Keenan, Chrisye, Oding, Rony, dan Abadi ini. Mungkin kini, 36 tahun setelah Chopin Larung pertama kali didengar Indonesia, kita - masih saja sama - seperti apa yang dirisaukan oleh simbolisme Chopin itu....

Rabu, 20 April 2011

Gerimis

Yang lagi lagi enggan mengalah, usai Matahari berupaya separuh hari lebih menahannya.

Alam tiba tiba meredup, Angin lembut mendesir, dan satu demi satu Manusia sibuk jibaku dengan langkah;
sibuk dengan jemuran yang terancam lembab; sibuk bergumul dengan kenakalan bocah yang berlarian menerjangmu.

Dan di ruangan ini, di balik kaca jendela yang memburam karena sifat embunmu itu,
di helai udara yang lamat lamat dicumbu aroma hujan mistis dan menggairahkan ini,

engkau - Gerimis - menuntaskan rindu bagi kaum kaum yang merindumu.

Senin, 18 April 2011

Sudah, tak apa apa ....

Sudah, tak apa apa ...
seandainya desir itu kembali datang menggodamu, ingatlah baik baik bahwa kepemilikan itu cuma Hak Yang Maha Mencipta, bukan dirimu yang sebutir pasir di seberang Lautan kehidupan ini;

Sudah, tak apa apa ...
seandainya matahari itu datang menyalami selimutmu, ingatlah baik baik bahwa itu pertemuan yang tak ditulis di sembarang lembar. Sabarkan lidahmu agar tak mengumbar nur Matahari itu, karena Yang Maha Mengetahui tengah bermurah hati mempertemukanmu di ruang yang berbeda;

Sudah, tak apa apa ...
seandainya dua detik setelah ini, lima jam seusai ini, hingga terbit esok hari kamu mendapati dirimu masih begitu naif dan tak seberuntung orang lain, ingatlah baik baik bahwa Yang Maha Adil menggariskan dengan bijaksana ukuran apa yang ideal untukmu. Dan, bukankah karena Takdir-Nya lah kita berada dalam lingkaran tak kasat mata ini?

Sudah, tak apa apa ...
Ya ...

Cassanova Gundah - bagian # 05

SEMUANYA terus berjalan seiring perputaran roda dunia yang tidak pernah terasa. Hari demi hari gugur, bulan demi bulan tanggal, dan wajah tahun yang satu berganti dengan wajah tahun yang lain. Kemarau serta penghujan saling bergantian setiap pertengahan tahun, mengiringi dan setia menemani pertumbuhan usia manusia yang semakin mengarah pada Sang Pencipta. 

Telah empat tahun beranjak tanpa tak pernah kurasakan betapa cepat umurku kini telah memasuki kepala tiga. Tawaran syuting untuk film layar perak atau sinetron tidak lagi sekencang saat aku masih dalam naungan usia kepala dua. Sekarang dalam setahun hanya satu, dua rumah produksi saja yang mengontak dan menawariku naskah mereka. Bakat-bakat muda dan baru terus bermunculan seiring semakin menjajikan dan menggiurkannya dunia yang kugeluti ini

Bulan November memasuki tanggal yang masih terlalu muda ketika aku menetap selama beberapa minggu di Yogyakarta untuk keperluan pengambilan gambar sebuah film. Film horor yang belakangan ini semakin menjamur di kancah perfilman Indonesia. Sudah hampir dua bulan aku dan Rivael tidak beratatap muka. Walaupun jalannya komunikasi di antara kami tak pernah putus atau terhalang, namun di kala syuting aku menjadi rindu padanya.

Kami sudah terbiasa berada dalam sebuah film yang sama, dalam satu chemistryyang padu, entah itu dalam film misteri, komedi, atau drama. Ketidakhadirannya di sampingku membuat suasana syuting seakan tidak ubahnya dunia yang terlalu kalem dan diam. Terasa ada yang ksosng ketika Rivael tidak ada di tengah-tengah sutradara dan para kru lainnya. 

Pada sebuah senja di tanggal 11 November yang jingga, aku sengaja menelepon Rivael di ibukota untuk sekedar menanyakan kabarnya dan Jessica. Mereka telah menikah tiga tahun lalu dan sekarang dalam lingkup biduk mereka telah hadir seorang mungil, tampan, cerdas, berumur hampir tiga tahun yang mereka namakan Evandra.
Setelah kelahiran Evan, Rivael mulai membatasi geraknya di dunia gemerlapnya. Hanya sesekali dan dalam pertemuan-pertemuan atau acara tertentu saja ia menampakkan batang hidungnya yang mancung.

“Ada apa, Jeremy?” sapa Rivael. “Kau menikmati suasana Jogja?”

“Ya, di sini menyenangkan. Masih ada andong, masih ada keraton, masih ada kesenian daerah yang sudah jarang kulihat di tempat kita. Kau harus bermain-main kemari.” 

Rivael agak lama menyambung kalimatku. “Ya.....kapan-kapan aku harus ke sana.”

“Rivael, kau baik-baik saja? Suaramu agak serak sepertinya.”

Rivael mendehem. “Aku sedang radang tenggorokan, sedikit flu. Sudah mulai musim hujan.”

“Kau sudah ke dokter?”

“Nantilah. Sekarang juga sudah lebih enakan, paling-paling besok sudah sembuh.”

Aku merasakan sesuatu yang pahit dan menyesak menyelimuti relung-relung hatiku. Rasanya seperti ingin menangis, namun aku tidak tahu apa yang harus kutangisi. Rasanya seperti ada sepotong suasana yang hilang. Perasaan itu terus saja membiru, memburu, mendesak, dan membuatku membisu untuk beberapa saat.

“Jangan menunda-nunda periksa. Kau terlalu keras kepala kalau menyoal berobat. Oh, ya. Evan dan istrimu sehat-sehat saja?” 

“Jessy? Oh, dia baik-baik saja,” jawab Rivael serak.

“Kami baik-baik saja, Jeremy. Aku merasakan ada kecemasan dalam nada suaramu.”

Aku terkejut dan berusaha menutupinya. “Oh, tidak. Tidak begitu juga. Aku hanya........”

Aku diam sejenak. “Aku hanya.......merasa aneh saat syuting sendirian di sini.”

“Itu hanya perasaan sesaat. Setelah take beberapa scene kau akan segera menikmatinya. Seperti dulu lagi, Jeremy. Seperti dulu......”

Aku berjalan ke balkon di kamar hotelku. Langit masih jingga menyala namun sinar dari barat perlahan-lahan mulai meredup. Langit di pintu pulangnya matahari itu memerah oleh kedatangan tuannya yang telah usai masa kerjanya. Angin yang mengandung bau hujan mengalir, menepuk wajah dan pipiku untuk beberapa saat.

Diamku berakhir saat dari ujung yang lain aku mendengar Rivael terbatuk-batuk.

“Rivael, kau baik-baik saja?” tanyaku cepat. “Lebih baik aku menyudahi oborolan kita ini. Kau harus minum obat dan beristirahat. Maafkan, aku sudah menelepon di saat yang kurang tepat.” 

“Ah, tidak apa-apa, Jeremy. Aku baik-baik saja. Aku ini Rivael, tidak mungkin kalah hanya karena flu dan radang ringan ini.”

“Jessica ada di sana? Aku ingin bicara dengannya. Istrimu harus lebih sering mengawasimu minum obat,” kataku.

“Jessica? Eee.....dia sedang keluar. Keluar dengan Evandra. Aku sedang sendirian.”

Aku menghela nafas. “Baiklah, mungkin aku sedang tak beruntung. Sekarang istirahatlah, aku tidak akan mengganggumu.”

“Eee – Jeremy.”

“Hm?”

“Tidak........tidak ada apa-apa.”

Rivael memutus sambungan teleponnya. Perasaan yang sesak dan menusuk itu datang kembali. Tidak biasanya Jessica meninggalkan Rivael sendirian, terlebih dalam keadaan tubuhnya yang kurang begitu sehat. Radang tenggorokan yang serak itu memang menolong menyamarkan kebenaran yang sesungguhnya bisa keluar dari suara seorang manusia. 

Aku tidak berprasangka buruk, namun aku merasa hubungan Rivael dan Jessica tidak lagi hangat. Selalu ada yang pergi saat aku menelepon salah satu dari mereka. Kabar yang menyangkut dunia kami memang sangat rentan menguap kemudian mengalir ke seluruh penjuru negeri. Memang, dalam beberapa hari terakhir media massa ramai-ramai memberitakan hubungan rumah tangga mereka yang panas. 

Aku tak mengambil pusing berita semacam itu karena dalam dunia kami kadang memang perlu dihembuskan isu semacam itu demi pemberitaan yang berujung pada popularitas.

Meraih popularitas dengan menggadaikan hal yang paling pribadi dalam rumah tangga menurutku merupakan sebuah tindakan rentan atau mungkin juga bodoh. Dan sejauh ini aku mengetahui baik Jessica maupun suaminya bukan orang-orang yang bodoh. Namun, sebuah magma yang meledak tak lama kemudian benar-benar membuat perasaanku luruh. 

Dari sebuah media yang sangat kami percayai berhembus kabar yang mengatakan Rivael dan Jessica akan segera mengakhiri perjalanan di samudera mereka. Rivael telah menyewa pengacara papan atasnya yang juga seorang mantan pengacara anggota dewan untuk sekedar melayangkan gugatan ke pengadilan agama. Satu minggu kemudian, Jessica juga melayangkan hal serupa. Kali ini yang menjadi bahan prioritas utama dia dan pengacaranya adalah masalah harta gono-gini dan hak asuh pengasuhan Evandra. 

Aku belum menangkap dengan pasti apa penyebab keretakan hubungan keduanya karena begitu banyak spekulasi yang mengalir dan membentuk opini publik. Tetapi, sebuah media menuliskan adanya kehadiran
perempuan lain yang diduga kekasih Rivael dalam urutan toplist mereka.Mengingat recordyang telah Rivael cetak, sungguh tak mengherankan jika itu memang penyebabnya. 
 
Medio November, setelah semua proses syuting kelar, aku segera memesan tiket penerbangan kelas utama menuju ibukota. Berita mengenai Rivael dan Jessica di Jakarta sudah sederas gerimis. Di mana-mana, wajah media cetak yang khusus hanya membahas dunia kami memampang wajah kedua insan itu untuk menaikkan oplah penjualan mereka. 

Sepertinya, media mengeruk untung tidak hanya dari popularitas dan keberhasilan Rivael memenangi Festival Film, namun detik-detik kehancurannya terasa lebih menggiurkan dipublikasikan. Tak ada yang menolak menyaksikan detik-detik kejatuhan sebuah rezim atau popularitas sekalipun.

Aku tak menunda lagi untuk melangkah ke apartemennya, walau hari ini sudah malam, hujan deras, dan badanku terasa kurang enak karena cuaca dan tumpukan lelah selepas perjalanan. Apartemen di tingkat sembilan dan bernomor kamar 113 itu tampak dijaga oleh beberapa bodyguarddi depan pintu masuknya. Salah seorang dari mereka yang kemudian mengenaliku, mengizinkanku masuk menemui Rivael.

Di dalam ruangannya, Rivael sedang berdiskusi dengan pengacaranya yang tambun. Setelah dia tahu aku hadir di tengah-tengah mereka, dengan keramah dia meminta pengacaranya meninggalkan kami berdua. Sesaat setelah merapikan file-filenya, lelaki paruh baya dengan aroma parfum tubuh yang cukup tajam itu pergi meninggalkan kami

“Jeremy, baik sekali kau menyempatkan datang kemari. Syutingmu sudah selesai?”

Aku menggantung jaketku di gantungan lalu duduk di sofa. 

“Apa yang sebenarnya terjadi dengan kalian? Kabar di luar sana mengalir serampangan, aku tak tahu selain darimu sendiri mana yang paling benar. Jadi, ada apa sebenarnya dengan kalian?”

Rivael menuang segelas teh dan memberikannya padaku. 

“Jessica, maksudmu?” kata Rivael mengoreksi. “Aku akan menceraikannya.”

“Kau – apa?!” kataku terperanjat. “Menceraikannya?! Kau gila, Rivael! Kalian baru tiga tahun menikah, bagaimana dengan Evan? Kau – kau – ah, aku tak mengerti dirimu!” 

“Minum dulu tehmu, Jeremy. Aku tak akan membicarakan hal ini denganmu kalau kau tak tenang,” kata Rivael dengan mata dan nada bicara yang sama seriusnya. 

“Baiklah,” kataku seraya meminum teh dengan tidak sabar. Aroma dari air kecoklatan itu membuai penciumanku.

“Sekarang ceritakan yang sebenarnya. Apa biang keladi semuanya ini? Aku tak ingin berprasangka padamu, tapi apa benar yang dikatakan oleh pers di luar sana?”

Rivael duduk di sampingku.

“Itu semuanya bohong!” katanya dengan nada tinggi. “Mereka dengan seenaknya mengarang-arang cerita, mengutip berita yang sepotong-sepotong lalu membuat sebuah kesimpulan mutlak untuk semua ini. Aku ingin menuntut, tapi apa gunanya? Mereka akan semakin gencar mengincarku.” 

“Jadi, kalau bukan itu, apa penyebab semuanya ini, hah? Sampai-sampai kau telantarkan kehidupan anakmu?”
Rivael melirik cepat padaku.

“Aku tak menelantarkan anakku, Jeremy! Walau nanti kami berpisah, tapi aku takkan menelantarkan anakku! Kau harus ingat itu.”

Kamis, 14 April 2011

Noir Rain

Entah mengapa, di Kota ini Hujan selalu mendera
kadang manis berwujud Gerimis; kadang kejam seperti langkah gajah.

Selayaknya dalam roman yang sering Kita baca atau lihat

: Hujan begitu menentramkan Cinta;

saat tampiasnya manja menepuk nepuk pipi sang Wanita
sebelum akhirnya si Lelaki mengusapnya dengan hangat kasih sayang.

Namun, entah mengapa, di Kota ini Hujan tak henti mendera
dan lebih terlihat seperti wajah Kota dalam seluloid Kala

: Hujan penabur gersang.

Hujan Gelisah.
             Hujan Hampa.
                               Hujan Jelaga.
Seperti kanvas di Langit Maghrib.

Ah, ...
Kacamataku yang pecah atau jiwaku yang punah

?

Samar, teletik teletik itu mulai bersahut sahutan di atas atap.

Selasa, 12 April 2011

Sandaran Hati

... sebaik baiknya sandaran Hati hanyalah
kepada yang maha mencipta,
                                          mewarnai,
                                                    dan membolak balikkan

Hati itu sendiri ...

Senin, 11 April 2011

.......

... 3 hal itu saja Aku belum memilikinya;
lalu bagaimana mungkin bisa menjadi Lelaki yang baik? .....

Rupa Hujan

Hujan yang selalu tahu bagaimana merupai diri :

kapan harus berjingkat jingkat seperti langkah riang bocah;
kapan harus menggerutu, berdehem batuk gluduk dan petir;
dan kapan mesti berjalan hening pelan di gerbang Subuh.

Hujan yang selalu tahu bagaimana merupai diri :

yang tak pernah malu untuk sekedar merayumu
melukis khayalan dunia di seberang peraduan

Rabu, 06 April 2011

Selang Seling Hati

Menjadi milik manusia sebagaimana mestinya, Hati itu dianugerahi hal hal yang selalu silih berganti. Kadang dia disentuh, digoda, dengan desir yang membuatnya harus menangisi dirinya sendiri. Terenyuh mendapati dirinya begitu kecil, begitu ringan, hingga mudah sekali dipermainkan oleh angin suasana. Murung, menyusahi diri sendiri, lalu mencoba bijak dengan menafikan apa yang ada. Anehnya semakin dicoba kenyataan itu semakin menggerus saja.

Dunia menjadi sesak. Polusi dan jamur seperti tumbuh di mana mana. Mau lari, tapi tujuan selalu kosong. Ingin berteriak, sayang sekali desir desir angin memantulkan kembali teriakan itu kepada Hati.

Pernahkah Kamu mendapati dirimu seperti itu?
Jika iya, maka sungguh beruntunglah dirimu.

Manusia itu dianugerahi sesuatu, sebongkah Kesedihan, agar ia tidak canggung dan malu malu lagi ketika nanti Kebahagiaan memeluknya. Tidaklah mungkin Kamu selamanya harus menanggung kemalangan karena tak pernah beruntung mendapatkan tiket konser Sheila On 7; ketika Kamu mempunyai seseorang yang Kamu sayangi namun Kamu tak pernah tahu bagaimana membahagiakannya; atau ketika Kamu telah mencoba berusaha namun apa yang terjadi adalah sebaliknya.

Hey .. Jika itu memang terjadi, ingatlah Bumi belum berakhir. Dan ingatlah - walau dikatakan manusia itu tak boleh jumawa - Bumi (seperti kata Dee) hanyalah sebutir pasir di bawah telapak kaki kita. Semua akan ada kemudahan pada akhirnya.

Dan, ketika finally Kamu memperoleh tiket Sheila On 7 yang diidam idamkan itu; ketika akhirnya Kamu berhasil membuat orang tersayangmu tertawa lepas dengan kebodohanmu; atau ketika pada akhirnya Kamu meraih apa yang benar benar Kamu inginkan, ketahuilah bahwa yang namanya bahagia itu sedang hangat sekali merangkulmu.

Dia pun sebenarnya rindu denganmu. Menunggu doa dan ikhitar terikhlasmu untuk akhirnya menyatukan dirinya dengan dirimu. Walau memang kebahagiaan itu ada yang bertahan cukup lama, ada yang sebaliknya; tapi bukan itu esensinya. Baik baiklah bercumbu meluangkan waktu selama bersama kebahagiaan itu sendiri serta di satu sisi juga mengertilah bahwa hujan tak selamanya selalu mengguyur. Bukankah tiada yang kekal, kecuali atas seizin Gusti Yang Maha Pemurah?

Istimewanya, hal itu tidak hanya melekat pada Kebahagiaan - Kesedihan saja, namun juga pada satu bagian di Hati yang lainnya. Hati dikaruniai Kegelisahan agar kelak dapat dituntaskan oleh sentuhan lembut Ketenangan. Dan Hati pun ditelusupi oleh Kerinduan agar suatu saat yang telah sungguh tepat nanti takkan ragu ragu lagi untuk menjalani suatu Pertemuan.  

: )

Senin, 04 April 2011

Suatu Pagi di Seberang City Square

Di sudut kota dimana monumen sejarah masih mesra bersama masa;
di depan teras cafe;
di seberang kolam air mancur di City Square;
di kala kirana belum naik terlalu tinggi

Pesanmu kuterima:

"Ah, di sinipun, walau gerimis, tak pernah selembut ini. Bisa kau bayangkan? Cemara di depan rumah itu sampai menari nari. Seperti London Philharmonic sedang bernyanyi untuknya."

Kubalas lagi, begitu cepat:

"Tapi sayang, di sana luruh. Di sini orang masih beromansa dengan masa lalu; akan masjid masjid peninggalan ulama besarnya, gereja gerejanya yang bertopi Gothic runcing, lalu kau belum pernah tahu cerita kolam keberuntungan, kan?"

Pesanmu tak kalah cepat bersarang:

"Tapi tetap saja, di sana tak bisa beradu manis dengan rinai gerimis di bawah jembatan kota ini, kan? Dimana kau pernah seperti Peter Pan saja, bergitu senangnya memercik mercikkan air itu ke wajahku. Dasar anak kecil hahaha ..."

Aku diam sejenak. Ada coffee mocca  yang menghampiri datang. Lalu brownies panggang mengiringinya.

"Ah .. aku bukan anak kecil. By the way, Aku ada brownies, lalu coffee mocca, lalu aah ... di sini besenandung Berlin, Take my Breath Away ... dum dum dum ... lalu ah matahari .. sun shine tak pernah sehangat ini. Biar kuperjelas: di sini awan pun bisa membentuk hidungmu yang menggemaskan itu. Hehehe .. Di sini memang sedang tidak gerimis, tapi aku suka itu. Ah, bukankah Kamu cemburu, karena semua ini begitu benar dan begitu nyata? haha .. Dasar ... Siapa yang anak kecil sekarang? Hehehehe...."

Aku hirup cofee mocca itu dengan tegukan kemenangan. Lama Kamu tak menjawab. Mungkin sedang berpikir.

Tiba tiba handphone-ku bergetar. Terdengar senandung nada panggil khusus untuk namamu.

"Sekarang mana yang lebih nyata, Sayang?"  katamu pelan. "Bukankah yang demikian ini yang sebenarnya begitu benar ... begitu nyata?"

Aku belum menjawab. Suaramu masih menggema, walau kini Kamu pun sama diamnya denganku. Selalu akan demikian, ketika seseorang memulai perang yang ia kadang tak selalu bisa memenangkannya.

Di menit itu juga, Aku lipat cepat cepat tikar pikiranku untuk menggodamu dengan aroma parfum Perancis yang bermain main di udara bersih ini, karena aku tahu jawaban macam apa yang pasti akan kuterima.

Di sepanjang boulevard; di sudut sudut kecil gang; di hotel; di kamar; di taman; bahkan di samping secangkir coffe ini hanya wangi tubuhmu saja yang kurindukan.

"Hey, hey .. kenapa jadi Kamu yang pendiam?"   bisikmu sejenak kemudian.

"Tak ada .. hanya saja .. Aku ingin pulang."

... medio sore (lagi) ...

dan mengapa tiba tiba harus ada cinta bersemi ..
Sementara, ... sudah terlambat untuk sekedar menuainya ...

Sabtu, 02 April 2011

Little Poem for a Yellow Rice

Nasi kuning :

dihiasi dadar telur suwir suwir;
disisipi sulur mie dan hijau sawi;
disandingi sayap ayam goreng gurih;
peyek udang goreng tepung mengelilingi .... 

Na na na na na ....
Na na na na ... ^ ^