Jumat, 26 Desember 2014

Di Kota dengan Adzan dan Hymne Natal


Matahari raib dimakan Raksasa. Suara adzan dan hymne Natal merambat di kawat-kawat. Memenuhi udara, televisi dan radio. Di masjid. Di gereja. Umat dalam kesunyiannya menyusuri jejak perjalanan yang tertinggal.

*

Begitulah malam peringatan Natal di kota ini. Kota yang sesuai dengan negara tempatnya menjadi bagian yang tak terpisahkan. Kota yang majemuk. Beragam. Tak hanya melulu dari bahasa leluhur, tapi juga kepercayaan. Jalan kebenaran yang diimani oleh masing-masing individunya.

Oh bukan, kota ini bukan Yerusalem. Bukan tempat suci ketiga agama Samawi: Islam, Kristen dan Yahudi yang tak pernah sepi dari ziarah dan perebutan. Juga bukan New York, Gaza, atau Baghdad. Kota ini, sebagaimana kota-kota lain di dunia adalah hasil perluasan agama-agama besar. Monumen dari generasi ratusan tahun silam yang kisahnya bisa kita pelajari dari sejarah dan nyanyian.

Kota ini bahkan sebelumnya tak mengenal Allah, Yahweh atau pun Yesus. Orang bersandar pada alam dan Tuhan yang diluar jangkauan nalar. Barulah setelah imperium Islam merangkul kota ini, setelah misionaris menyebarkan Injil, setelah rabbi Yahudi membangun sinagog dan mewartakan ajarannya, ketika itulah orang di sini mengenal nama Tuhan mereka.

Tapi, sayang sekali, kota ini bukan di Australia atau di Timur Tengah. Di kota ini, orang mencari jalan kebenaran melalui caranya masing-masing. Mereka sadar bahwa imperialisme kuno yang mengagungkan idiom: Gold, Gospel and Glory telah usai. Gospel, keyakinan beragama dan ber-Tuhan dicari melalui hati dan pikiran. Tidak melalui pedang dan paksaan. 

Mungkin karena itulah, setiap kepala manusia di kota ini selalu beragama dengan hening. Tidak berangasan. Kebenaran, bagi mereka, ialah relatif dan bukan hal yang patut dijejalkan. Lakum dinukum wa liyadin, begitu kalau menurut Al Quran. Bagimulah agamamu, dan bagikulah agamaku.

*

Tentu kamu mengira tak ada konflik di kota ini, kan? Ah, marilah jangan terlalu naif. Bahkan di Eropapun ada namanya Dark Ages dan di Arab ada Zaman Jahiliyah. Setiap detik, potensi retaknya kota ini tak pernah benar-benar lenyap. Seperti bom waktu yang kapan saja bisa meledak. 

Hanya saja, kota ini bukan kota di Indonesia. Di negara yang mengagungkan agama, namun dalam beberapa hal mereka mengubur logikanya. Di negara yang bisa membabi buta membela kebenarannya, tapi jelas dalam hukum dan ajaran Tuhannya itu pantang dilakukan. Di kota ini, orang benar-benar berprinsip. Tabayyun. Dan tidak mudah dikompori berita palsu. 

Oh, bukan. Ini bukan kota yang kaya seperti Kopenhagen atau London sehingga orang tak lagi mengeluh soal tata kelola perekonomian dan harga minyak. Di sini ada perampokan. Virus. Tindakan amoral. Korupsi. Dan hal-hal tidak patut lainnya. 

Rasanya, itulah perjuangan melawan ketidakmanusiawian yang akan terus berlangsung seumur hidup. Bagaimanapun, dunia takkan benar-benar adil menurut neraca Tuhan andai semua orang hanya memiliki satu warna dan satu sifat saja, kan?

*

Di kota ini, yang sayangnya bukan Paris atau New Delhi, dalam mencari kebenaran yang mereka yakini, pemerintah tidak diperkenankan menjamah hak orang lain. Dengan begitu, kamu takkan ragu memakai hijab ketika bepergian. Tak was-was ketika menggelar Misa. Tak khawatir akan dideportasi karena bukan penganut agama yang berbeda dengan mayoritas.

Dan ketika negara lain beramai-ramai mendukung gerakan radikal atas nama agama, penduduk kota ini hanya akan tertawa miris lalu kembali membentengi hati dan nalurinya dengan kitab suci, filsafat, sains bahkan karya sastra di perpustakaan kota. Stop making stupid person famous, batin mereka.

*

Ketika adzan dan hymne Natal merambat di kawat-kawat, ketika itulah aku ingat bahwa Allah-ku, kebenaran tertinggi yang kuimani, tentu jika berkehendak akan membuat seisi kota ini hanya mendengar adzan Isya saja. Tapi itu tak Dia lakukan. Karena perbedaan ini adalah juga karunia-Nya. 


Rabu, 19 November 2014

Society, It's Us!


Masyarakat kita hari ini, di negeri ini, adalah produk dari zaman modern nan serba instant. Tidak hanya seputar makanan atau minuman, tapi juga karir, kreatifitas, pembentukan karakter, bahkan peluang. Masyarakat kita hari ini juga adalah sekelompok organ yang entah mengapa masuk dalam golongan reaktif. Mudah berkomentar pada fenomena sosial sesaat, gebrakan kebijakan, maupun issue-issue.

Tapi, hey! Bukankah dengan mudah berkomentar itu kita mendapat cap Society? Tak ingatkah kita pada cerita sepasang suami istri dan seekor keledai? Heuheu …

Bagi yang belum mengetahui cerita lawas ini, mari kita review sekilas.


Dikisahkan sepasang suami istri dan seekor keledai tengah melakukan perjalanan ke suatu tempat. Keledai tersebut ditunggangi oleh suami-istri itu. Dalam suatu rentang perjalanan, bertemulah mereka dengan Bruce. Ketika melintas di depannya, Bruce kontan memarahi mereka karena tak memiliki rasa keprihatinan terhadap binatang. Kok tega, keledai yang nafasnya kembang kempis itu ditunggangi 2 manusia berbobot 150 kg??

Maka turunlah si Suami. Ia berjalan sementara istrinya menunggangi keledai. Di pasar, bertemulah mereka dengan Jabbar. Dengan nada menyindir, Jabbar berkata kepada si Istri kok nggak merasa kasihan melihat Suaminya tergopoh-gopoh mengejar keledainya, sementara ia duduk manis minum es kelapa? Perempuan macam apa yang tak menghormati suami macam itu? Huh, nggak ada! Nggak ada itu dalam kitab manapun!

Setelah menimbang-nimbang, sang Istripun turun dan merelakan suaminya menggantikan posisinya. Berjalanlah mereka hingga tiba di deretan pertokoan dan café. Tak butuh lama, melompatlah dari teras café seorang wanita dengan trend busana kekinian dan gaya berbicara yang lebih cepat dari gerakan tangannya. Tak pandang siapa orang yang baru dua detik dilihatnya, langsung ia melabrak si Suami.

Bergaya orator ulung dan kibasan poni kesana kemari, Nuthella menceramahi si Suami yang tak punya harga diri, alay, drama, dan manja. Lelaki macam apa yang begitu “sopan” duduk di atas keledai sementara istrinya menyeret kaki? Benar-benar tidak bisa diterima dalam undang-undang hak asasi. Ceraikan saja lelaki model begini. Bla bla bla …. Dan Nuthella mengakhiri dengan memberikan kartu nama kepada si Istri dengan pesan menekan untuk menghubunginya sewaktu-waktu ia butuh bantuan pengacara.

Suami-istri ini berpandangan. Berdiskusi. Dan dirumuskanlah pola terakhir kebersamaan perjalanan ini. Suami berjalan. Istri berjalan. Dan Keledai berjalan tanpa muatan. Seimbang. Sama rata. Adil. Tidak memberatkan pihak mana pun. Mereka tersenyum puas.

Kurang 1 kilometer dari tujuan, bertemulah mereka dengan Chaplin. Dengan terbengong-bengong, ia bergantian melihat raut si Suami, si Istri, lalu si Keledai. Lalu diulanginya lagi si Keledai, si Istri, lalu si Suami. Sambil menggaruk-garuk kepala ia berkata:

“Kupikir aku orang paling dungu. Tapi hari ini, aku melihat dua manusia berjalan kaki 100 kilometer dan nggak mau menggunakan keledai mereka.”


                                                                               *


Itulah Society. Dan, sayangnya, itulah gambaran kita hari ini.

Bruce, Jabbar, Nuthella, dan Chaplin adalah simbol dari diri kita. Sifat suka mengomentari apa pun. Terlalu mudah mengambil logika kesimpulan. Mempercepat proses, seolah enggan mengetahui jalan cerita sebelumnya. Dengan merasa bangga karena bisa menyumbang pendapat, entah berbobot atau tidak, pada suatu gebrakan informasi yang baru saja diterima, tanpa sadar kita telah menjadi bagian dari Society itu sendiri.

Presiden Indonesia baru saja menaikkan harga BBM beberapa hari kemarin. Sudah bisa dibayangkan, berapa macam argumen yang begitu cepat disimpulkan atas fenomena itu. Sejalan dengan reaksinya yang beragam. Dari yang sekedar mengoceh di linimasa Twitter, ancaman demo mogok, sampai yang rusuh dan terlihat bodoh karena dilakukan oleh mereka yang dengan tingkat pendidikannya seharusnya tidak melakukan hal yang demikian anarkis.

Ambil contoh lain ketika Gubernur Daerah Ibu Kota Jakarta dilantik. Hal tersebut akan terasa lumrah dan mendapat permakluman apabila ia seorang Jawa, muslim, berkharisma, sopan, dan lemah lembut (walau kita tak tahu karakter aslinya). Namun, yang kemudian menghangatkan suasana ialah ketika Society melihat fenomena ini sebagai anomali. Gubernur Daerah Ibu Kota Jakarta terkini bukan muslim, bukan seorang Jawa, dan terlebih (dalam kasus khusus) ia bertemperamen.

Sebagaimana BBM, efek Gubernur ini juga reaktif dikonsumsi oleh berbagai lapisan Society. Yang gemar social media tentu lebih beringas bahkan megap-megap menerima alur komentar dan pemberitaan yang luar biasa cepat. Dari anak SD hingga Profesor; dari tukang becak hingga menteri, tiba-tiba instant bisa menjadi “yang paling mengerti” dengan kondisi hari-hari terakhir ini.

Semua bisa dibenarkan. Semua bisa diperdebatkan. Tergantung pada sudut pandang mana Society ini menangkap gejala di sekitarnya. Semua orang seolah punya versi cerita di balik fenomena yang melintas di hadapan mereka. Apakah itu benar; apakah itu menyimpang, akan berpulang pada keyakinan individu. Nanti, pada masanya, akan ada yang melihat kebenaran cerita itu benar-benar sebuah kebenaran. Akan ada juga yang memungkiri kebenaran itu sebagai kontradiksi yang belum menemui kesepakatan. Bahkan, mungkin akan ada yang masih terus berhalusinasi tentang benar dan tidak benar.

Setiap orang punya cerita. Setiap fenomena punya latar belakang. Dan setiap keputusan ada sesuatu yang harus dilihat dari beragam perspektif. Hanya sayang, kita hari ini adalah masyarakat yang sudah pakem dengan hal instant. No offense.

Lalu apakah berkomentar itu salah? Heuheuehu … tentu tidak. We just try to make a History, my Dear, at least for ourselves.

Heuheuheu ….

 

Kamis, 16 Oktober 2014

3676 MDPL dalam Catatan




Kamis. 9 Mei 2013. Pagi hari. Suasana terminal Tumpang, Kabupaten Malang, mulai ngulet dari tidur pendeknya. Angkutan penumpang berwarna putih, truk-truk bak terbuka, jeep, bercampur baur dengan ratusan manusia di hari yang mulai menghangat.

Manusia-manusia itu bermula dari tanah yang tak selalu sama. Dari arah timur, tengah, barat bahkan di luar gugusan pulau Jawa. Ambisi dan pandangan hidup yang tujuh rupa. Laki-laki dan perempuan dengan beragam bahasa dan usia yang ditalikan oleh satu ikatan besar: tanah tertinggi pulau Jawa.

Di emperan-emperan, di pinggir-pinggir jalan, carrier berbaris rapi menunggu dipeluk oleh punggung pemiliknya. Perbekalan dan ransum telah dipersiapkan lebih dini. Perjalanan menaklukkan tanah tertinggi Jawa bukanlah perjalanan syuting film. Kru kami bisa dibilang hanyalah anggota setim atau rekan seperjalanan yang mungkin kebetulan sedang melintas. Jalan setapak yang akan dilalui pun bukan jalan lempang mulus yang biasa kami hadapi di perkotaan. Di sana terjal, serba tak terduga, dan mungkin mistis.

Bersama kurang lebih 20 orang lainnya, kami diangkut oleh truk menuju Ranupane. Jalan berkelok-kelok khas kontur pegunungan menyapa dan sesekali mengolengkan tubuh kami. Di kanan kirinya adalah gundukan besar hijau. Tebing dan lereng berpagarkan barisan pohon tropis. Atap dunia yang biru cerah membuat cakrawala seolah tak bertepi.

Ketakjuban kami benar-benar tak lepas ketika akhirnya dari seberang, gundukan coklat itu berdiri angkuh. Bentuknya yang konyol mirip es puding itu mengangkang dan menguji nyali kami. Sekilas, dia terlihat begitu lugu. Begitu pendek jaraknya dari lengan kami

Kelak, kenaifan kami akan insaf, bahwa dia tak pernah terlalu sedekat itu.

*


Ranupane adalah bagian dari Kabupaten Lumajang. Ia dipagari oleh danau seluas 1 hektar yang hijau dan tenang. Di tempat berketinggian 2200 mdpl  ini kami melakukan registrasi sebelum mendaki. Ini adalah desa terakhir sebelum kami menceraikan diri dengan peradaban modern. Balai Besar Taman Nasional (BBTN) Bromo-Tengger-Semeru sejatinya hanya mengizinkan rute pendakian sampai dengan pos Kalimati saja. Sisanya merupakan tanggung jawab pribadi masing-masing.

Menjelang Ashar, setelah melakukan ritual doa, bersama-sama puluhan pendaki lain kami pelan-pelan meniti gerbang Semeru. Tim kami terdiri dari 5 orang. Di bawah langit Ranupane yang teduh, jalan setapak terjal belum-belum sudah menyapa kami.

The first chalangge adalah diri kami sendiri. Memanggul beban carrier, kondisi yang tidak fit, mungkin juga mental yang kurang tangguh dalam merintangi jalan setapak menanjak bisa membuat mual atau muntah. Sisanya adalah suhu udara, ketinggian, kadar oksigen, dan jalan setapak yang ujungnya landai dan empuk tertanam begitu lama dalam imajinasi.

Perjalanan menuju camp pertama adalah 4-5 jam. Ranukumbolo dingin, danaunya berasap seperti kalau kita menjerang air. Hanya saja ia berbanding terbalik. Uap airnya membeku. Di sekeliling kami, para pendaki sudah membangun tenda masing-masing. Kode-kode seperti “Impala”, “Mapala”, bahkan yang absurd semacam “Foooyyoooo” bersahut-sahutan untuk menandai keberadaan mereka. Malam masih terlalu muda dan Ranukumbolo seperti tengah mengadakan pesta penerimaan siswa baru.

Dalam balutan udara yang mirip suhu ruangan kulkas itu, kami tidak bisa berharap lebih dari sekedar makanan atau minuman hangat paling sederhana. Ranukumbolo semakin meriah dalam dingin.

Dari arah lereng, sinar-sinar putih headlamp berkilatan. Membentuk barisan panjang mengular tak terputus. Invasi masih akan terus terjadi. Kegembiraan setelah perjalanan panjang tertuntaskan sudah di pinggir sumber air terbesar Semeru ini.


Dan, yang membuat malam ini menjadi sulit dibantahkan kenirwanaannya, adalah tepat di atas kami, bintang-bintang bertebaran di mana-mana. Noktah-noktah yang lebih gemerlap, lebih besar, dan bumi kami serasa lebih dekat dengan langit dibanding jika di detik yang sama kita menatapnya dari atap rumah.

Suara kecipak air. Pagi masih basah dengan embun. Beberapa tenda masih terkunci rapat membungkus penghuninya dari dinginnya pagi. Kami menanti sunrise pertama di tepian Ranukumbolo yang berselimut kabut. Putih dan benar-benar membungkus keseluruhan pandangan yang ada di sekeliling kami.

Pukul 06.00 WIB pelan-pelan dari celah pertemuan dua buah lembah, bola besar itu mulai menampakkan diri. Tak seperti biasa, kabut rupanya terlalu kuat hingga matahari yang kuning terang itu ikut memutih. Iya, matahari berwarna putih pagi hari itu. Persis seperti bulan, hanya saja dia tak bernoda. White sunrise. Mungkin itu perumpamaan yang tepat untuk moment kala itu.

Setelah sarapan ala kadarnya kami melanjutkan perjalanan. Nyata di belakang tenda kami adalah bukit yang selama ini kental dengan mitos. Ia dikenal dengan nama Tanjakan Cinta. Dinamai demikian karena (awas! Jangan menoleh ke belakang!!) dia jika dilihati dari sudut pandang lain (awas! Jangan menoleh ke belakang!!) merupakan pertemuan dua bukti yang seolah (awas! Jangan menoleh ke belakang!!) membentuk icon hati.

(Masih belum nengok ke belakang, kan?)  

Good! Karena mitos ini bekerja hanya kalau kamu tidak menoleh ke belakang. Sesulit dan semiring apapun tanjakannya (awas! Jangan menoleh ke belakang!!) jangan berani-berani memalingkan wajahmu menghadap Ranukumbolo. Biarkan kemolekan danau itu tetap di belakangmu. Move on. Dengan berjalan begitu terus sampai ke puncak, harapan cintamu (konon) akan terwujud.

What a legend! Heuheu..

Tak ada riset ilmiah yang terbuku dan membuktikan secara logis kalau para pendaki yang tidak menoleh saat mendaki Tanjakan Cinta, harapan cintanya (minimal) akan terwujud. Namun, fakta yang tak terbantahkan dan dapat menjadi jawaban atas fenomena “tanjakan” dan “harapan” itu adalah: jika seseorang meniti Tanjakan Cinta, terserah dia menoleh atau tidak, lalu tetap meneruskan perjalanan maka dia akan menemui “harapan” yang menjadi kenyataan.

Tidak ada harapan yang begitu didambakan menjadi kenyataan bagi seorang pendaki yang setelah lelah meniti tanjakan, selain jalan menurun yang landai, padang ilalang yang 1000 kali luasnya dari lapangan Maracana, dan anggunnya kerumunan (mirip) Lavender ungu.

Tanah harapan itu bernama Oro-Oro Ombo.

 
 *

Hujan abu merinai di langit Kalimati. Di camp inilah kami akan lebih banyak berhibernasi. Perjalanan panjang empat jam naik turun bukit dari Cemoro Kandang, Jambangan, hingga di padang kering ini sudah cukup membuat kami merindukan mie hangat dan sleepingbag. Pun, Kalimati inilah camp terakhir sebelum mendaki Mahameru malam nanti. Maka dari itu, kami harus istirahat total sebelum summit attack.

Kini kami berada pada ketinggian kurang lebih 2400 mdpl. Si kue puding coklat itu tepat menjadi background tenda kami. Secara hitungan sederhana, kurang lebih 1200 mdpl lagi kami dapat mencapai puncak si kue puding Mahameru. Well, it’s ain’t matter.

Tapi, kenyataan memang tak selalu seindah hitungan matematika.

1200 mdpl tak dapat dihitung sesederhana seperti kita berjalan dari Jember ke Rambipuji. Percayalah, kami mungkin menjadi bagian paling naif dalam mempertahankan kewarasan kami untuk tetap berjalan dan terus berjalan.

Sebagai pendaki summit – terlebih Mahameru – yang minim pengalaman, kami melakukan spare waktu dua jam lebih awal untuk memulai summit. Jika pendaki ahli, mereka akan summit rata-rata diantara pukul 00:00 WIB s.d. 03:00 WIB. Kami? Well, kami butuh effort jauh lebih besar dari itu.

Beranjak meninggalkan Kalimati malam hari pukul 22:00 WIB, regu gabungan kami total sejumlah 21 orang. Berduyun-duyun mirip ninja kami menjelajah kegelapan. Masuk hutan. Naik-turun jalan setapak. Kehausan. Kelelahan. Hujan abu yang tak mau mengerti. Dingin. Dan “musuh” paling hakiki yakni diri kami sendiri.

Untuk kesikan kalinya kami membanting tubuh di alas Arcopodo. Walaupun carrier sudah lepas dari punggung, tapi tubuh memang tak bisa berbohong. Di sini kami berlatih untuk tidak egois dan jujur dengan kondisi kami. Jika lelah ya berhenti. Tidak boleh memaksa. Dan teman yang lain harus bisa memahami.
  
*
  
Entah sudah berapa ratus cemara kami lewati, sebelum akhirnya tidak satupun bayangan pohon apapun. Hanya pasir. Pasir. Dan pasir.

Di depan kami, ratusan pendaki lain sudah lebih dulu mengambil start. Tiga langkah maju, pasir melengserkannya dua langkah. Empat langkah mereka bergerak, mengambil nafas, pasir menggeserkannya satu langkah. Puncak Mahameru tertutup gelap. Tapi dari batas paling ujung sinar-sinar putih headlamp menggoda kami untuk terus mendaki.

Lereng Mahameru sepi dalam keramaian. Yang berisik terdengar hanya derap, pergeseran pasir, dan engah nafas kami masing-masing. Entah berapa jamaah pendaki yang sudah kami lewati, namun sinar headlamp yang berada di titik lebih tinggi dari kami belum juga terlampaui.

Kami mulai gila karena kelelahan. Dehidrasi. Persediaan air menipis. Berada di ketinggian 3000 mdpl tidak memberikan kami banyak pilihan selain mempertahankan kewarasan dan menebalkan tekad.

Lalu tiba-tiba, seolah mengejek kami yang terlalu lamban, dari titik tertinggi berkoar suara nyaring: “Fooooyyyooooo!!!!”

Gila! Kode absurd Ranukumbolo berkumandang di sini?
Dan, dia ada di atas kami???!!
Dan dia mengudarakannya dengan nyaring nyaris tanpa dosa?!!

Entah dengan perasaan rekan yang lain, tapi saya pribadi agak jengkel dengan koaran itu. Mungkin, maksudnya baik, ingin menyemangati yang masih tertinggal. Tapi, entahlah, di alam seperti ini, kepribadianmu tanpa tedeng aling-aling akan menunjukkan diri. Kiranya saat itu bertemu, ingin rasanya saya jitak orang yang berkoar kode absurd itu. Heuheu …

*

Padatnya jamaah yang berziarah ke puncak Mahameru membuat kami terpisah dengan tim yang lain. Kami kehilangan kontak satu sama lain. Saat itu hampir Subuh. Saya tidak tahu berada pada ketinggian berapa kini. Yang terjamah oleh mata saya hanyalah kebesaran Tuhan yang …………. (sukar diejawantahkan).

Langit yang semula hitam pekat, perlahan seperti meluntur. Memudar karena ada zat biru yang meracuninya. Dari arah Timur segaris sinar panjang berwarna jingga menyilet gugusan biru gelap. Seolah ia sayatan yang ingin melukai Subuh. Sinar jingga itu makin lama makin terang. Sayatannya semakin lebar. Warna biru gelap langit bergradasi menuju biru cerah. Di depan, di samping kanan, dan di samping kiri saya mulai terlihat puncak-puncak agung yang terbangun dari tidur. Sementara jauh di bawah sana, tidak terlihat lagi sabana. Hanya gugusan putih serupa kapas yang mengitari lereng tempat saya menyandarkan diri.

Kami sudah lebih tinggi dari awan.

Tapi saya cukup sadar bahwa saya dehidrasi. Air adalah anugerah terindah Tuhan melebihi logam mulia apapun di Mahameru. Dan tegukan terakhir saya sudah tandas.

Di belakang saya, puncak Mahameru seperti mengejek kekerdilan saya. Puncak itu bahkan tidak bergeser 1 centimeter pun dari sejak ketinggian 3000 mdpl. Semakin didaki, semakin ia menjauh. Semakin berambisi direngkuh, semakin lihai ia melarikan diri.

Saya lelah, iya.
Saya haus, iya.
Saya marah, jelas iya.
Dan saya benci untuk mengatakan: saya sudah tidak bisa melangkah lebih jauh lagi.

Hampir dua puluh atau tiga puluh menit kami terpisah. Selama waktu itu saya tidak tahu bagaimana kondisi rekan yang lain. Apa sudah bersenang-senang di atap pulau Jawa atau justru masih tertinggal di barisan belakang. Tapi dua hal yang bisa dipastikan kami kelelahan dan dehidrasi.

Matahari menyeruak dari balik sayatan jingga yang memerah. Langkah saya masih tertahan. Matahari pagi dan puncak yang tak bergerak sedikit pun itu seperti mencibir.

Namun Tuhan memang Maha Pemberi Ceria. Sebagaimana terkalam dalam firman-Nya, “di dalam kesulitan itu sesungguhnya ada kemudahan”, keajaiban itu terjadi. Setelah menunggu sekian lama, rombongan tim kami akhirnya berhasil menyusul. Miskomunikasi ini ternyata membuat kami saling menunggu. Dan, kabar gembiranya, mereka masih memiliki sisa cadangan air.

God! It’s a miracle 

Dengan sisa air seperempat botol sedang itulah yang akhirnya menjadi tenaga pendorong terakhir untuk mencapai atas pulau Jawa. Kami mulai bergerak kembali. Selangkah demi selangkah. Mahameru masih enggan mendekat. Ia semakin menguji. Tak hanya dengan pasir, pun batu-batu besar. Tidak hanya kehausan, tapi juga godaan untuk menyerah di tengah jalan.

*

Kami tidak menemui padang rumput hijau di atas sini. Hanya batuan-batuan kehitaman dan pasir. Sejauh kami menebas horizon, hanya lautan biru diselingi puncak-puncak kokoh Bromo atau Arjuna.  Jonggring Saloka adem ayem dan belum gatal terbatuk batuk. Puncak abadi para dewa itu terlihat begitu sederhana. Sederhana yang membuat kami takjub tak berkata-kata.

Soe Hok Gie mengatakan, “Hidup adalah soal keberanian. Menghadapi tanda tanya tanpa kita mengerti Tanpa kita menawar. Terimalah dan hadapilah”.

Dia benar. Mahameru memberi kami banyak sekali ketidakmengertian. Tanda tanya besar yang menggantung di leher kami. Keragu-raguan apakah atap tertinggi Jawa itu mengizinkan kami mencumbuinya. Namun, pada akhirnya yang tersisa adalah soal berani atau tidak.

Mahameru tak memberi kami banyak tawaran bagus, selain bertahan dan berjalan. Kenyataan bahwa hal paling gila terjadi di sepanjang perjalanan ini, kami anak-anak PaPuMa: Fathur, Jack, dan Bogie tak harus merisaukannya lagi.

Tanah tertinggi Jawa ini adalah sabar dalam duka manusia.

 * * *


Rabu, 08 Oktober 2014

Coba Kau Tunjuk Satu Bintang



Dalam sebuah artikelnya, National Geographic Indonesia pernah membahas mengapa kita memakai satuan cahaya untuk menentukan jarak antara Bumi kita dengan benda-benda di langit. Alasan sederhananya, karena jarak antara Bumi dengan sebuah bintang, misalnya, terlalu jauh. Dan, jika menggunakan satuan kilometer akan menghasilkan penulisan angka nol (0) yang terlalu banyak. Agar lebih mudah, maka digunakanlah satuan cahaya. Dengan asumsi kecepatan rambat cahaya mencapai beberapa ratus kilometer per detik, maka ukuran jarak bumi dengan bintang akan lebih sederhana penulisannya.

Dengan demikian, jika kita melihat cahaya dari suatu bintang, maka sebenarnya itu adalah cahaya yang terlambat kita terima. Cahaya yang dikirim sebuah bintang dengan jarak 100 juta tahun cahaya, misalnya. Karena bintang itu mengeluarkan cahaya dari jarak 100 juta tahun cahaya, maka kita yang ada di Bumi baru menerimanya setelah ia menempuh jarak 100 juta tahun cahaya.

Jika demikian, yang namanya waktu itu bias dan kabur, ya? Hehe … Kita ini sebenarnya ada di masa kini, masa depan, atau malah masa silam?

Memang, jika diposisikan menurut sudut pandang kita yang di Bumi, maka bolehlah kita beranggapan bahwa kita hidup di masa kini. Cahaya dan bintang itu ada di masa kini juga. Masa depan belum terbayang. Dan masa lalu sudah terbungkus rapi. Tapi, seandaianya di bintang atau di benda langit nun jauh ribuan tahun cahaya di atas sana juga ada makhluk hidup, maka posisi mereka memandang kita yang di Bumi ini bagaimana, ya?

Heuheuheu …

Kita hari ini adalah masa kini. Tapi juga adalah masa lalu. Bisa juga sebagai masa depan. Tergantung siapa dan dari mana ia memandang. Galaksi Bima Sakti kita ini adalah lingkaran kecil dari lingkaran lain yang lebih luas di sistem tata surya. Masih ada Andromeda dan galaksi-galaksi lain yang mungkin adalah bagian kecil dari kesatuan besar alam semesta ini.

Tapi baiklah, kita ndak akan berbicara teori konspirasi UFO dan Alien, kok. Biarlah sejarah, astronom, dan penggemar teori konspirasi yang mengulasnya. Akan lebih asyik jika kita membayangkan homo sapiens yang (katanya) berpikiran paling maju ini, ternyata tidak hidup sendiri. Mungkin, kan? Wong alam semesta ini luar biasa luasnya hehehe.

Sebuah citra yang ditangkap oleh Teleskop Hubble memperlihatkan langit di luar angkasa yang amat magis dan penuh misteri. Langitnya hitam, bertabur bintik-bintik kelap-kelip, dan seperti ada warna hijau-biru-pink-merah Aurora Borealis. Dan entah di suatu tempat di luar sana akan ada kehidupan lain. Suatu tatanan masyarakat lengkap dengan kebudayaan dan peradaban yang (saat ini) hanya bisa kita imajinasikan sebatas dalam Avatar atau Thor.

Sebuah kelompok masyarakat yang memiliki pandangan lain tentang alam semesta.



Entah kapan waktunya ya, manusia Bumi akan melakukan perjalanan antariksa ke gugusan planet yang berjarak jauh dari sistem tata surya kita. Semudah kita menaiki pesawat dari Jawa ke Kalimantan. Segampang kita melakukan perjalanan dari Bandung ke Jakarta. Dan entah kapan, kita bisa memandang masa lalu, masa kini, dan masa depan dengan duduk berdampingan dengan mereka yang mendiami galaksi lain.

Sebuah kutipan menarik dari film Transformer 4: Age of Extinction, bahwa makhluk extra terrestial itu menyindir Manusia sebagai makhluk yang merasa tahu segalanya. Namun nyatanya, tekhnologinya belum sanggup menjangkau tekhnologi yang dibangun makhluk itu. Manusia, dalam kutipan itu, tidak tahu apa-apa. 

Yah, …kita memang tidak tahu apa-apa. Yang paling mendasar kita tahu hanyalah: di antara langit pekat, bulan, bintang, kita adalah partikel mungil tak berdaya. Kita hari ini sekedar menikmati atau menunjuk-nunjuki komet yang kebetulan melintas. Sembari mengulang-ulang pertanyaan apakah mereka yang ada jauh di luar sana juga tengah asyik mengamati kita.

 

Jumat, 03 Oktober 2014

Maaf.Maaf. Maaf.


Maaf. Maaf. Maaf.

Allah, Engkau yang memberi hidup kepadaku. Engkau pula yang kelak akan menidurkanku. Di rentang menuju jalan pulang yang entah berapa lama harus kutempuh ini, aku terkapar lemah.

Gelas yang Engkau berikan padaku penuh dengan beragam zat. Ketercampuradukan zat berdiam di gelas itu entah berapa lama lagi dapat aku mengerti. Sungguh, maafkanlah aku, jika aku masih merasa terbebani oleh kadar muatan dalam gelas itu.

Akulah yang lemah. Yang tak pandai. Sehingga gelontoran yang Engkau tuang ke dalam gelasku, terkadang tumpah. Tak terhitung liternya. Tak terkira endapan kotor di dasarnya yang sanggup aku urai dan jernihkan.

Maaf. Maaf. Maaf.

Akulah si lelah. Berbagi dan berkorban pun aku tak layak bersanding dengan umatMu sebelumnya. Kini aku adalah tawanan. Penjara bagi akal dan mata hatiku sendiri. Akulah gelas retak. Akulah ... orang yang khilaf tak memantik api ketika gelap menyekap. 

Maaf.Maaf. Maaf.

Keterbatasanku. Kebodohanku. Oh, Tuhan! Sungguh aku terlalu bebal. Angkuh. Jika kelak pada saatnya aku akhirnya mengerti tentang nilai, pelajaran, pengorbanan dan hikmah dari kehadiran mereka ini, maka lunakkan hatiku.  

Karena semua dariMu dan akan kembali padaMu juga. Semuanya .... 



(Selamat memejam)