Dalam sebuah artikelnya, National Geographic Indonesia pernah membahas mengapa kita memakai satuan cahaya untuk menentukan jarak antara Bumi kita dengan benda-benda di langit. Alasan sederhananya, karena jarak antara Bumi dengan sebuah bintang, misalnya, terlalu jauh. Dan, jika menggunakan satuan kilometer akan menghasilkan penulisan angka nol (0) yang terlalu banyak. Agar lebih mudah, maka digunakanlah satuan cahaya. Dengan asumsi kecepatan rambat cahaya mencapai beberapa ratus kilometer per detik, maka ukuran jarak bumi dengan bintang akan lebih sederhana penulisannya.
Dengan demikian, jika kita melihat cahaya dari suatu bintang, maka sebenarnya itu adalah cahaya yang terlambat kita terima. Cahaya yang dikirim sebuah bintang dengan jarak 100 juta tahun cahaya, misalnya. Karena bintang itu mengeluarkan cahaya dari jarak 100 juta tahun cahaya, maka kita yang ada di Bumi baru menerimanya setelah ia menempuh jarak 100 juta tahun cahaya.
Jika demikian, yang namanya waktu itu bias dan kabur, ya? Hehe … Kita ini sebenarnya ada di masa kini, masa depan, atau malah masa silam?
Memang, jika diposisikan menurut sudut pandang kita yang di Bumi, maka bolehlah kita beranggapan bahwa kita hidup di masa kini. Cahaya dan bintang itu ada di masa kini juga. Masa depan belum terbayang. Dan masa lalu sudah terbungkus rapi. Tapi, seandaianya di bintang atau di benda langit nun jauh ribuan tahun cahaya di atas sana juga ada makhluk hidup, maka posisi mereka memandang kita yang di Bumi ini bagaimana, ya?
Heuheuheu …
Kita hari ini adalah masa kini. Tapi juga adalah masa lalu. Bisa juga sebagai masa depan. Tergantung siapa dan dari mana ia memandang. Galaksi Bima Sakti kita ini adalah lingkaran kecil dari lingkaran lain yang lebih luas di sistem tata surya. Masih ada Andromeda dan galaksi-galaksi lain yang mungkin adalah bagian kecil dari kesatuan besar alam semesta ini.
Tapi baiklah, kita ndak akan berbicara teori konspirasi UFO dan Alien, kok. Biarlah sejarah, astronom, dan penggemar teori konspirasi yang mengulasnya. Akan lebih asyik jika kita membayangkan homo sapiens yang (katanya) berpikiran paling maju ini, ternyata tidak hidup sendiri. Mungkin, kan? Wong alam semesta ini luar biasa luasnya hehehe.
Sebuah citra yang ditangkap oleh Teleskop Hubble memperlihatkan langit di luar angkasa yang amat magis dan penuh misteri. Langitnya hitam, bertabur bintik-bintik kelap-kelip, dan seperti ada warna hijau-biru-pink-merah Aurora Borealis. Dan entah di suatu tempat di luar sana akan ada kehidupan lain. Suatu tatanan masyarakat lengkap dengan kebudayaan dan peradaban yang (saat ini) hanya bisa kita imajinasikan sebatas dalam Avatar atau Thor.
Sebuah kelompok masyarakat yang memiliki pandangan lain tentang alam semesta.
Entah kapan waktunya ya, manusia Bumi akan melakukan perjalanan antariksa ke gugusan planet yang berjarak jauh dari sistem tata surya kita. Semudah kita menaiki pesawat dari Jawa ke Kalimantan. Segampang kita melakukan perjalanan dari Bandung ke Jakarta. Dan entah kapan, kita bisa memandang masa lalu, masa kini, dan masa depan dengan duduk berdampingan dengan mereka yang mendiami galaksi lain.
Sebuah kutipan menarik dari film Transformer 4: Age of Extinction, bahwa makhluk extra terrestial itu menyindir Manusia sebagai makhluk yang merasa tahu segalanya. Namun nyatanya, tekhnologinya belum sanggup menjangkau tekhnologi yang dibangun makhluk itu. Manusia, dalam kutipan itu, tidak tahu apa-apa.
Yah, …kita memang tidak tahu apa-apa. Yang paling mendasar kita tahu hanyalah: di antara langit pekat, bulan, bintang, kita adalah partikel mungil tak berdaya. Kita hari ini sekedar menikmati atau menunjuk-nunjuki komet yang kebetulan melintas. Sembari mengulang-ulang pertanyaan apakah mereka yang ada jauh di luar sana juga tengah asyik mengamati kita.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar