Masyarakat kita hari ini, di negeri ini, adalah produk dari zaman modern nan serba instant. Tidak hanya seputar makanan atau minuman, tapi juga karir, kreatifitas, pembentukan karakter, bahkan peluang. Masyarakat kita hari ini juga adalah sekelompok organ yang entah mengapa masuk dalam golongan reaktif. Mudah berkomentar pada fenomena sosial sesaat, gebrakan kebijakan, maupun issue-issue.
Tapi, hey! Bukankah dengan mudah berkomentar itu kita mendapat cap Society? Tak ingatkah kita pada cerita sepasang suami istri dan seekor keledai? Heuheu …
Bagi yang belum mengetahui cerita lawas ini, mari kita review sekilas.
Dikisahkan sepasang suami istri dan seekor keledai tengah melakukan perjalanan ke suatu tempat. Keledai tersebut ditunggangi oleh suami-istri itu. Dalam suatu rentang perjalanan, bertemulah mereka dengan Bruce. Ketika melintas di depannya, Bruce kontan memarahi mereka karena tak memiliki rasa keprihatinan terhadap binatang. Kok tega, keledai yang nafasnya kembang kempis itu ditunggangi 2 manusia berbobot 150 kg??
Maka turunlah si Suami. Ia berjalan sementara istrinya menunggangi keledai. Di pasar, bertemulah mereka dengan Jabbar. Dengan nada menyindir, Jabbar berkata kepada si Istri kok nggak merasa kasihan melihat Suaminya tergopoh-gopoh mengejar keledainya, sementara ia duduk manis minum es kelapa? Perempuan macam apa yang tak menghormati suami macam itu? Huh, nggak ada! Nggak ada itu dalam kitab manapun!
Setelah menimbang-nimbang, sang Istripun turun dan merelakan suaminya menggantikan posisinya. Berjalanlah mereka hingga tiba di deretan pertokoan dan café. Tak butuh lama, melompatlah dari teras café seorang wanita dengan trend busana kekinian dan gaya berbicara yang lebih cepat dari gerakan tangannya. Tak pandang siapa orang yang baru dua detik dilihatnya, langsung ia melabrak si Suami.
Bergaya orator ulung dan kibasan poni kesana kemari, Nuthella menceramahi si Suami yang tak punya harga diri, alay, drama, dan manja. Lelaki macam apa yang begitu “sopan” duduk di atas keledai sementara istrinya menyeret kaki? Benar-benar tidak bisa diterima dalam undang-undang hak asasi. Ceraikan saja lelaki model begini. Bla bla bla …. Dan Nuthella mengakhiri dengan memberikan kartu nama kepada si Istri dengan pesan menekan untuk menghubunginya sewaktu-waktu ia butuh bantuan pengacara.
Suami-istri ini berpandangan. Berdiskusi. Dan dirumuskanlah pola terakhir kebersamaan perjalanan ini. Suami berjalan. Istri berjalan. Dan Keledai berjalan tanpa muatan. Seimbang. Sama rata. Adil. Tidak memberatkan pihak mana pun. Mereka tersenyum puas.
Kurang 1 kilometer dari tujuan, bertemulah mereka dengan Chaplin. Dengan terbengong-bengong, ia bergantian melihat raut si Suami, si Istri, lalu si Keledai. Lalu diulanginya lagi si Keledai, si Istri, lalu si Suami. Sambil menggaruk-garuk kepala ia berkata:
“Kupikir aku orang paling dungu. Tapi hari ini, aku melihat dua manusia berjalan kaki 100 kilometer dan nggak mau menggunakan keledai mereka.”
*
Itulah Society. Dan, sayangnya, itulah gambaran kita hari ini.
Bruce, Jabbar, Nuthella, dan Chaplin adalah simbol dari diri kita. Sifat suka mengomentari apa pun. Terlalu mudah mengambil logika kesimpulan. Mempercepat proses, seolah enggan mengetahui jalan cerita sebelumnya. Dengan merasa bangga karena bisa menyumbang pendapat, entah berbobot atau tidak, pada suatu gebrakan informasi yang baru saja diterima, tanpa sadar kita telah menjadi bagian dari Society itu sendiri.
Presiden Indonesia baru saja menaikkan harga BBM beberapa hari kemarin. Sudah bisa dibayangkan, berapa macam argumen yang begitu cepat disimpulkan atas fenomena itu. Sejalan dengan reaksinya yang beragam. Dari yang sekedar mengoceh di linimasa Twitter, ancaman demo mogok, sampai yang rusuh dan terlihat bodoh karena dilakukan oleh mereka yang dengan tingkat pendidikannya seharusnya tidak melakukan hal yang demikian anarkis.
Ambil contoh lain ketika Gubernur Daerah Ibu Kota Jakarta dilantik. Hal tersebut akan terasa lumrah dan mendapat permakluman apabila ia seorang Jawa, muslim, berkharisma, sopan, dan lemah lembut (walau kita tak tahu karakter aslinya). Namun, yang kemudian menghangatkan suasana ialah ketika Society melihat fenomena ini sebagai anomali. Gubernur Daerah Ibu Kota Jakarta terkini bukan muslim, bukan seorang Jawa, dan terlebih (dalam kasus khusus) ia bertemperamen.
Sebagaimana BBM, efek Gubernur ini juga reaktif dikonsumsi oleh berbagai lapisan Society. Yang gemar social media tentu lebih beringas bahkan megap-megap menerima alur komentar dan pemberitaan yang luar biasa cepat. Dari anak SD hingga Profesor; dari tukang becak hingga menteri, tiba-tiba instant bisa menjadi “yang paling mengerti” dengan kondisi hari-hari terakhir ini.
Semua bisa dibenarkan. Semua bisa diperdebatkan. Tergantung pada sudut pandang mana Society ini menangkap gejala di sekitarnya. Semua orang seolah punya versi cerita di balik fenomena yang melintas di hadapan mereka. Apakah itu benar; apakah itu menyimpang, akan berpulang pada keyakinan individu. Nanti, pada masanya, akan ada yang melihat kebenaran cerita itu benar-benar sebuah kebenaran. Akan ada juga yang memungkiri kebenaran itu sebagai kontradiksi yang belum menemui kesepakatan. Bahkan, mungkin akan ada yang masih terus berhalusinasi tentang benar dan tidak benar.
Setiap orang punya cerita. Setiap fenomena punya latar belakang. Dan setiap keputusan ada sesuatu yang harus dilihat dari beragam perspektif. Hanya sayang, kita hari ini adalah masyarakat yang sudah pakem dengan hal instant. No offense.
Lalu apakah berkomentar itu salah? Heuheuehu … tentu tidak. We just try to make a History, my Dear, at least for ourselves.
Heuheuheu ….



Tidak ada komentar:
Posting Komentar