Rabu, 19 Desember 2012

Recenzia: Dari New York ke Schutzstaffel

Aaah ... berhubung kemarin kantor ditinggal penghuninya yang dinas luar kota, saya juga jadi pulang lebih awal. Ndak enak sepi di ruangan. Biasanya, baru pulang jam 19.00 ke atas, tapi kemarin on time jam 16.00 udah pulang.

Waktu sisa hari saya habiskan buat membaca lagi koleksi buku saya. Masih yang paling saya sukai adalah kumpulan cerita Umar Kayam, "1000 Kunang-kunang di Manhattan".

Entah mengapa, saya begitu tertarik dengan karya populer ini. Cerita yang sederhana tapi kompleks, lugas, ndak meledak-ledak, dan alurnya mengalir seperti air.
 
"1000 Kunang-kunang di Manhattan" bukan cerita bahagia, kalau boleh saya menjustifikasi. Sedih. Muram. Abu-abu. Kusam. Persis metaforis tokoh Istriku dalam cerita "Istriku, Madame Schlitz, dan Sang Raksasa", yang menggambarkan New York sebagai Raksasa yang menelan habis mereka yang hidup di sana.
 
Namun demikian, bukan kesuraman itu yang membingkai cerita ini asyik diikuti. Lebih kepada cara mendongeng penulisnya yang seakan menabrakkan Manhattan, Central Park, dan New York ke alam imajinasi kita. Seperti seolah-olah secara magis kita terpental dan merasakan dingin serta warna warni setting cerita itu.
 
Cuma 3 cerita saja yang saya habiskan malam itu. Cerita pamungkas adalah "Musim Gugur Kembali di Connecticut." Sebuah cerita oleh-oleh orde suram negara ini. Setting maupun tema cerita menyangkut peristiwa Gestapu 1965 dan pengasingan orang-orang "merah" oleh negara.
 
"Musim Gugur Kembali di Connecticut" adalah bentuk romantisnya perdebatan, kasih sayang, ideologis, dan kematian itu sendiri. Konon ketika menulis ini, Umar Kayam menganalogikan ketika daun-daun gugur di Connecticut sebagai saat-saat romantis menjemput ajal tokoh utama cerita ini.
 
Malam belum naik terlalu tinggi ketika saya selesai dari Connecticut.
 
Alih-ailh bobok, saya nyalakan TV dan ndilalah ada film sejarah cukup bagus. Garapan Quentin Tarantino. Judulnya "Inglorius Basterd", gabungan fact dan fiction bertema fasisme Nazi di Perancis. Bintangnya Bradd Pitt, Mike Myers, Diane Kruger, dan Christop Waltz.
 
Setiap kali menonton film semacam ini, saya selalu merasa ada pesan propaganda. Sejarah dunia itu, seperti Soe Hok Gie bilang, dibangun oleh penderitaan. Dalam kasus ini, tentulah tentang minoritas Yahudi yang diburu dan digenosida oleh Reich 3 Jerman.
 
Hitler, Bormann, Goebbe, dan Goering adalah petinggi perang Jerman di Perang Dunia 2. Banyak - sampai saat ini - yang mendata hitam Reich 3 sebagai biang keladi kejahatan kemanusiaan. Tapi yang saya percaya, perang ndak pernah meninggalkan apapun kecuali kehilangan dan kengerian.
 
Peluru berbalas peluru. Belati berbalas belati. Darah berbalas darah. Pengkhianatan berbalas pengkhianatan. Dengan trik dan skenario yang juga saling berbalas kelicikan dan kecerdasan.
 
Revenge itu nampak jelas saat agedan pemutaran film propaganda Goebbe. Menceritakan sniper Jerman yang seorang diri menembaki 200 orang Amerika di Italy. Menteri Joseph Goebbe mendapat sanjungan dari Fuhrer atas karyanya itu.
 
Lalu ketika asyik menikmati adegan nyawa terjengkang satu demi satu, Shosanna Dreyfus - seorang gadis Yahudi - membakar gedung bioskop terkunci itu. Fuhrer dan ratusan Jerman lain panik menyelamatkan diri. Mereka terkunci di gedung dengan api menyambar dan rentetan peluru menghujam dari arah balkon.
 
Mengerikan. Sejarah dunia itu menyimpan banyak sisi kelam. Dan, kini, kita adalah sosok yang berdiri dari imbas kengerian itu. Banyak memang luka yang pulih. Tapi juga tak sedikit emosi yang masih memanas.
 
Lalu, bagaimana dengan mereka yang terluka atau terbunuh tapi tak pernah punya atau sekedar tahu suatu kepentingan apapun - dogma agama, politik, jealousy - di balik dentum meriam dan deru rudal di atas kepala mereka?

Pukul 00:13 WIB. Saya jatuh lelap dan keesokan paginya berita surat kabar masih saja kusam.

Rabu, 12 Desember 2012

12 12 12

Alhamdulillah

Hari ini, Tuhan yang Maha Agung masih memberi keajaiban dengan bisa melalui sepanjang hari ini. 12 Desember 2012. Tanggal 12 di bulan ke dua belas di tahun berakhiran 1 dan 2. 12 - 12 - 12.

Tanggal cantik, kata orang. Whatever lah .. Apapun itu, hari ini saya cuma pengen menulis saja bahwa saya ada di satu moment dimana tanggal menjadi terlihat begitu bermakna bagi seluruh umat manusia (mungkin) :D.

Banyak yang mau nikah tanggal ini. Ramalan akhir dunia suku Maya (katanya) hari ini. Ada bayi-bayi lahir di tanggal ini. Launching film perdana. Ulang tahun manajer saya. Hehehe ... seperti berburu nomor cantik saja ... :D

Well, bagi saya yang spesial hari ini .... hujan (masih) merinai dengan manisnya. Tak peduli dimanapun saya berlabuh. Keajaiban itu masih saja dingin ketika menyentuh kulit. Bermain main dengan Hujan ini membuat saya ... Hehe ... mulai kekanak kanakan lagi, sepertinya. Entah mengapa, saya ... enggan sekali menjadi dewasa. Apa ini mengecewakan ya? Entahlah ... :(

12 Desember 2012, tinggal 19 hari lagi menuju finish akhir tahun. Akan ada banyak kembang api nanti di ujung 31 Desember. Saya pengen sekali melihatnya. Menghitung 10 sampai 1 untuk menyambut detik pertama jarum jam di tanggal 1 Januari 2013.

Hehe .. gimana dengan resolusi untuk tahun depan?

Ndak telatan masuk kantorrrr .... :D
dan melihat bola matamu sepanjang hari .... : )


  

Senin, 19 November 2012

Catatan Kenangan: Jawa Barat, Ciamis, 92 Kilometer



# Jember, Oktober 2012.

Entah sesuatu semacam apa yang tiba tiba menggerakkan jemari ini untuk kemudian mengetikkan kata “Pangandaran” di keyword searching engine Mbah Google. Mungkin, karena dulu seingat saya Pak Dahlan Iskan pernah menulis di salah satu CEO Note-nya tentang Pangandaran yang pantainya dinilai tak kalah luar biasa dari Pantai Copacabana di Brasil. Mungkin, karena sahabat saya, si Tembem Sugesti yang sudah pernah duluan ngerasain ke sana dan saya jadi tiba tiba ngidam hal serupa. Atau mungkin juga, karena saya orang yang telalu mengikuti firasat dan tanda tanda yang bagi sebagian orang dinilai kebetulan. Apapun itu, jemari ini telah terlanjur menekan Search dan dari sana puluhan halaman web berbagi kisahnya mengenai primadona Jawa Barat itu.

Bayangan saya pada awalnya, Pangandaran adalah pantai sebagaimana lazimnya pantai. Maksudnya, dia biru, berpasir putih kecoklatan, banyak pohon kelapa serta karang, dan semacamnya. Yang kemudian baru benar benar meraih hasrat hati untuk menempuh perjalanan sejauh ini hanyalah sepotong kalimat: ”.... di Pangandaran bisa melihat matahari terbit dan tenggelam pada satu lokasi yang sama .... ”

Pikiran culun saya mengatakan, kalau matahari terbit di Timur dan tenggelam di Barat, berarti pantainya ini dua arah gitu, ya? Hehehe... jadi kalau memandang ke kanan itu sunset, memandang ke kiri itu sunrise – dari tempat duduk yang tak berubah? Hahaha ... betapa autisnya saya, setelah tahu maksud dari permainan kata itu adalah: Pangandaran punya dua pantai, Pantai Barat dan Pantai Timur. Kalau pengen lihat sunset di Pantai Barat, sunrise-nya di Pantai Timur.

Teori Heliosentris Copernicus ternyata masih ampuh. Bumi itu bulat. Hehe ... :D

**

Berbicara soal firasat dan tanda tanda tadi, yang kenudian juga semakin membuat saya semakin dekat dengan Pangandaran adalah obrolan ngalor ngidul dengan teman dan kata ”Pangandaran” itu ikut nimbrung di sela selanya. Eksplisit maupun implisit.

Salah satunya, dari sebuah chating-an dengan rekan sekantor. Namanya Verra tapi saya lebih senang manggil dia Si Kecil. Asli orang Ciamis (tapi saya ndak tahu juga ya. Ndak pernah lihat KTP-nya sih. Hehe...). Dia waktu itu ”merengek” pengen pulang kampung. Saya ladeni kurang lebih begini waktu itu: ”Iya, kamu pulang kampung saja. Tapi ke 92 km arah selatan ya.”

Si Kecil waktu itu belum ngeh dengan maksud 92 kilometer tadi. Selang satu pekan, di kala suasana jenuh di Malang sehabis dibantai oleh tim KM Jatim, saya chating dengan Si Kecil sambil menunggu waktu pulang. Setelah ngobrol kesana kemari, dia bilang liburan ini nggak pulang. Tiket mahal. Mau pulang lagi pas Tahun Baru saja, katanya. Liburannya mau ke Malang saja (haha... masih sok sok’an ndak pengen pulang kamu? Palsu...  :P ).

Saya bilang, nggak pulang liburan kali ini. Mau long road. Setelah dia nanya ini itu dan saya nggak kasih clue, Si Kecil malah nyodorin: ”ke Pangandaran saja, bagus. Mbak Gesty aja jauh jauh bela belain ke sana, berarti kan bagus.”

Saya terdiam. Sambil ngirim emoticon Smiley, sedikit sedikit saya jelasin kalau medio November nanti saya memang berniat mau ke Pangandaran. Pantai di 92 kilometer arah Selatan Kabupaten Ciamis. Eh, dia malah ketawa setelah ngeh dengan arti 92 km itu sambil memberondong pertanyaan macem macem. Ahhh... :D

Belakangan saya tahu, sebenarnya dia ngempet juga pengen pulang. Sampai pontang panting ninggalin rapat demi browsing tiket online sebelum liburan. Saya malah sudah H-7 dapat tiket PP nya. :P :D

**

# Jember - Banjar, November 2012

Berbeda dengan liburan dua tahun silam ke Pulau Dewata (yang modal nekat), rencana ke Pangandaran tersusun lebih rapi dan matang. Haiyaaah, kayak apa ae ... :D

Faktor faktor teknis seperti tiket kereta PP (Eksekutif lho ya. Catet. Hehe), rute selama perjalanan, transportasi dari dan menuju Pangandaran, kamus online Bahasa Sunda di handphone Aluna, penginapan (Mbem, thank you so much yaaa... :D), sampai faktor non teknis seperti pulang minta izin ke Ibu sebelum berangkat pun sudah dipersiapkan jauh jauh hari.


Kenapa terkesan ribet? Well, belajar dari pengalaman ke Bali yang tanpa izin orang tua – dan hasilnya malah banyak kena sial tapi seru hahaha (ceritanya bisa dilihat di sini) -  makanya long road ke Pangandaran ini prepare-nya lebih serius. Pun mungkin ini akan menjadi perjalanan paling jauh yang pernah saya tempuh.

Berangkat dari Jember via Mutiara Timur Malam pada 14 November pukul 00:50 WIB, kami berlabuh di Gubeng, Surabaya tepat pukul 04:38 WIB. Setelah shalat Subuh lalu cari sarapan di rumah makan yang banyak kucingnya, kami transit kurang lebih 3 jam menunggu Argo Wilis tiba pukul 07:30 WIB dengan tujuan akhir Paris van Java.

Sedikit soal kereta api eksekutif ini, saya baru tahu kalau ternyata di dalamnya juga ada petugas yang nawarin makan dan minum. Modelnya sih mirip mirip mas mas tukang jualan Mison dan Pocari di bus bus itu, tapi lebih elegan. Hahaha... (saya emang payah).

**

Si Kecil: ”Ud mau dkt banjar loh. Siap2, Ap mau ikt aq dl tah krmh?yuk.

Saya: ”Iya, ud dkt. Kroya ni yg trakir sblm banjar. Kalo ikt kmu nanti ngrepotin. Makanku bnyak. :D ni mw ke pak Mumu dlu yg punya wisma tmpt nginep.: )”

Pesan itu ada di inbox Aluna ketika kami telah melewati Stasiun Kroya dan tinggal beberapa menit lagi, tepatnya pukul 15:38 WIB, akan menepi di Stasiun Banjar. Banjar adalah tempat saya harus turun, sementara Si Kecil masih harus meneruskan perjalanan lagi sampai ke Tasik.

Tanpa terasa, kota demi kota telah terangkai menjadi satu mata rantai yang tak terputus sebelum tuntas Banjar. Hiruk pikuk Solo, gerimis Jogja, hijau persawahan Kutoharjo, semua menjadi pemandangan yang silih berganti dari jendela tempat saya menerawang.

Menurut internet dari Banjar inilah pintu transportasi bus menuju Pangandaran melintas. Disarankan naik bus yang namanya Budiman. Pakai AC. Well, itu yang kata internet lho ya. Wkwk... :D

Tapi memang nggak salah kok. Bus Budiman memang bus yang melayani rute Banjar – Pangandaran. Bedanya, ada yang pakai AC dan busnya segede bus Harapan Baru; ada yang non AC, panas, sempit, desek desekan, dan ukuran busnya cuma ¾ dari bus besar.

Dan ... alhamdulillah, saya berada di bus yang kedua. :D

Sesuai saran Si Nona Kecil, saya disuruh naik becak saja daripada ke terminal. Sampai dengan perempatan lampu merah akang tukang becaknya menurunkan saya. Tiga menit kemudian bus yang digadang gadang datang juga.

Tanpa pikir panjang langsung saya lompat naik. Dan ... wuihh saya serasa terpental. Mau turun balik nglewatin pintu yang seukuran jendela kosan nggak bisa; mau masuk juga nggak bisa. Wkwk... Kegencet diantara neng dan aa’ yang fasih bahasa Sunda. Bus ¾ sudah over muatan, Mang ... :D

Sedikit catatan mengenai ongkos busnya. Lama perjalanan Banjar – Pangandaran itu kurang lebih 2 jam normalnya. Itu sama dengan Malang – Probolinggo kira kira. Nah, ongkos naiknya Rp. 20.000. Nggak usah pakai nawar apalagi coba coba ngasih kurang, atau si Mang Keneknya akan bilang: ”Yang bener aja dong ongkosnya, Aa’ ...” Hihihi ...

Oiya, satu lagi: ”Muhun”, itu artinya :”Iya” atau ”Benar”. Itu kata Sunda pertama yang saya terima di Banjar tengah hari itu. : )

**

# Bulak Laut – Pangandaran, November 2012

Plot dan Setting: Bau laut. Suara ombak. Langit pekat. Toko toko asesoris, warung, tukang tatto, dan tempat sewa sepeda kayuh yang diterangi cahaya lampu neon putih. Semuanya berderet membentuk komposisi.

Saya: ”Abdi parantos dugi losmen. Kecil kunaon? Parantos dugi rumah?”

Si Kecil: “Hehe ud pinter bhasa sunda yaa...Alhmdllah klo ud smpe, gmn pngdran? Aq ud smpe rmh jg, hati2 klo naro2 brg.

Saya: ”Karena wengi jdi kadenge saonten ombaknya. Saora di bali suasanax. Ni lagi jalan2 Hehe ...

Si Kecil: “Yg bnr gini, Kumargi wengi janten kadangu suanten ombakna wungkul, Sami jiga di bali suasanana. Jln2 kmn? Hati2.

Karena bahasa Sunda saya belepotan, jadilah kamus online Bahasa Sunda yang ada di menunya Aluna itu saya pergunakan untuk latihan. Sekedar untuk berkirim pesan atau mengucapkan kalimat sederhana.

Hari pertama menginjakkan kaki di seberang pantainya ada lelah yang masih hinggap. Tapi juga ada rasa tak sabar untuk segera mencicipi ombak dan buih airnya. Setelah bertukar pesan dengan Kang Mumu, yang jadi pengurus hotel, akhirnya saya bermalam di Hotel Karangsari 2, tepatnya di Jl. Bulak Laut 19, di depan Pasar Wisata, sekitar 300 meter dari Pantai Barat.

Saya jatuh lelah. Hujan turun sepanjang malam itu.   
  
**

# Pantai Barat – Pangandaran, November 2012

Sisa hujan semalam masih menempel di jalan dan menggenang. Bau tanah habis hujan. Langit redup dan udara belum lagi hangat saat saya menyambangi Pantai Barat. Karena diapit dua tanjung, kesannya pantai ini jadi seperti mencekung.

Pantai sudah ramai. Hamparan biru dan berombak itu disuraki suara anak anak yang basah basahan. Beberapa kapal motor siap menerima peminat yang ingin menjelajah lebih jauh ke tengah pantai. Saya pilih berjalan kaki diiringi gerimis tipis yang merinai di pagi hari itu.

Terus melangkah ke Utara mempertemukan langkah saya dengan Pantai Pananjung. Masih satu area dengan Pangandaran namun arusnya lebih jinak sehingga di Pananjung inilah lebih banyak orang bisa menikmati berenang dengan gulungan ombak yang lebih landai.

Pananjung pun adalah penghubung antara kawasan Cagar Alam Pananjung dan Pantai Pasir Putih. Cagar Alam Pananjung sendiri menyimpan berbagai jenis biota tumbuhan tropis. Selain itu, juga berbau historical karena memiliki beberapa situs sejarah, seperti Gua Jepang, Batu Kalde, Gua Lanang, dll.

Tiket masuk Cagar Alam senilai Rp. 7000 / orang. Harganya bisa bervariasi bila datang rombongan. Waktu masuk ke sana, hutan tropisnya sepi, ada rusa dan monyet, teduh, serta cocok buat main petak umpet. Pantai Pasir Putihnya sendiri tersembunyi di balik hijaunya gumuk dan bersinggungan langsung dengan batasan Samudra Hindia yang tak terlihat ujungnya di horizon.

**

# Pantai Timur – Pangandaran, November 2012

Bukankah kurang afdol rasanya bila ke pantai tapi tak melihat sunrise dan sunset­-nya? Dan, saya beruntung bisa melihat keduanya dari tempat yang sama.

Setelah shalat Subuh, pukul 04.45 WIB saya berjalan menuju arah Pantai Timur. Kalau dari Karangsari 2 bisa melalui gang sempit yang tembus ke Pantai Barat lalu dilanjut ke timur. Tidak terlalu jauh dan bila senang nggowes bisa menyewa sepeda dengan ongkos Rp. 15.000 / jam.


Berbeda dengan Pantai Barat yang ramai oleh orang bermain, di Pantai Timur ini lebih banyak digunakan untuk aktivitas nelayan atau memancing. Mungkin ada ratusan kapal kayu yang menjangkar di dekat pantainya. Tapi, nggak usah khawatir. Bagi yang gemar banget Banana Boat di Pantai Timur ini disediakan fasilitas semacam itu.

Pantai Timur sendiri merupakan tempat pelelangan ikan. Di sini juga banyak warung yang menjajakan seafood. Ketika saya tiba di sana kira kira pukul 05.00 WIB, beberapa orang sudah berdiri di anjungan untuk melihat matahari muncul dari batas cakrawala.

**


Hari Jumat. Setelah sarapan di warung Lembayung Senja - Bulak Laut, saya mencari masjid untuk sholat Jumat. Letaknya ada di dekat penginapan. Hehehe, yang unik setiap kali sholat Jumat di perkampungan setempat itu adalah khotbah Jumatnya yang pakai bahasa lokal. Termasuk di sini yang pakai bahasa Sunda.

Wkwkwk.. bisa dipastikan saya nggak nangkap alias nggak ngerti satupun kalimat yang dikatakan sama si Bapak pengkhotbah. Mau di-translate­­ pakai kamus online juga ndak ada waktu. Yasudahlah, saya diem saja ndengerin. Ikut mengamini kalau di kanan kiri saya juga bilang amien. :D

**

Sunset pangtungtungna di Pangandaran. 
Ini adalah sunset terakhir saya sebelum besok kembali pulang.

Sore sebelumnya, sunset di Pantai Barat terkesan biasa saja karena segerombolan awan berati abu abu yang memayungi Ciamis menutupi matahari. Bola agung itu jadi sedikit tersamarkan saat hendak tenggelam.

Sunset pangtungtungna pada sore hari tanggal 16 itu adalah peristiwa menghilangnya matahari paling mengharukan yang pernah saya alami. Saya nggak tahu perasaan ini tiba tiba datang begitu saja. Mungkin saya yang terlalu perasa dengan fenomena alam yang dramatis itu.

Matahari yang diameternya bahkan jika sepuluh ribu orang dijajarpun tidak akan kuasa menjangkaunya itu pelan pelan meluntur warnanya. Dari kuning keemasan menjadi merah oranye. Terlihat seperti orang yang kesakitan. Langit yang menjadi selendang matahari seperti disemprot airbrush hingga meninggalkan noda noda jingga kehitaman semburat tak beraturan. Deru ombak dan gelombang pantai meninggi. Meraung. Seperti jiwa yang marah. Belaian ombaknya menjangkau lebih jauh dari garis pantai saat dia masih muda di pagi hari. Lalu perlahan, sedikit demi sedikit, seiring angin yang turut mengabarkan berita hujan, matahari benar benar raib dari pandangan. Tak tersisa.

Saya benar benar terharu melihatnya. Saya biarkan kaki saya dibasahi oleh ombak yang seolah ingin menarik ke tengah. Pikiran saya berkecamuk. Ada banyak hal: pengalaman, cerita, sampai metaforis Viva la Vida punya Coldplay yang nyathol di kepala saya saat peristiwa itu terjadi.

Sunset pangtungtungna sore itu adalah yang tidak akan bisa saya lupakan. Entah kapan saya bisa kembali lagi ke tempat saya berdiri. Jauh di Selatan sana mendung semakin pekat. Ciamis dan sekitarnya diguyur hujan.

**

# Pangandaran – Banjar, November 2012

Hari terakhir saya di Jawa Barat. Setelah check out lebih awal dua jam, saya berjalan di sepanjang Pantai Barat untuk menemui Si Kecil yang hari itu lagi liburan ke sini. Usai nyari kesana kemari, si baju abu abu itu ketemu juga. Lagi di bawah menara pos pantau (bukan menara Telkomsel lho wkwk ...) sama keluarganya. 

Bisa jadi, orang satu satunya yang saya kenal di Kab. Ciamis ya cuma Si Kecil ini. Bagi yang mau kenalan sama Si Neng Alit, nih orangnya lagi bergaya di sebelah. Haha ... :D

Bus terakhir dari Pangandaran ke Banjar paling akhir diperkirakan pukul 16:00 WIB. Kira kira pukul 12:00 WIB saya sudah pamitan pulang setelah nggowes keliling pantai dan mencari oleh oleh. Kereta saya sebenarnya baru tiba di Banjar itu pukul 20:45 WIB, tapi berhubung bus ini jarang adanya, jadi saya percepat pulangnya. Nggak apa apalah nunggu sambil dulu main di sana daripada harus jalan kaki ke Banjar karena kehabisan bus. :D

**


Banjar hujan sebentar. Stasiun hanya diisi oleh saya dan sejumlah pedagang minuman. Penumpang menuju Surabaya belum terlihat. Pukul 19:00 WIB. Satu setengah jam sebelum Mutiara Selatan berlabuh di sini.

Tiga hari di Jawa Barat banyak sekali yang saya temui. Orang orang baru, bahasa baru, pemandangan baru. Perjalanan ini memang sangat melelahkan, tapi saya senang sekali. Di perjalanan menuju 92 kilometer arah Selatan Ciamis ini saya punya cerita. Tulisan untuk semua orang yang ingin membacanya. Oleh oleh sederhana yang inshaAllah akan tetap ada ketika ingatan saya harus menua dan memudar.

Untuk semua yang sudah jadi bagian dalam cerita ini, saya hanya pengen bilang terima kasih. Semua yang ada di dalam sini bisa terjadi karena Kamu, Kalian, Mereka, dan semua hal bahkan sebutir pasir terkecil itu pernah ada bersama sama. : )

....
Di setiap butir pasirmu,
Di setiap buih ombakmu,
Aku pernah ada bersamamu ...

**

Rabu, 31 Oktober 2012

# SO7

 
Sheila On 7
"Ketidakwaran Padaku"
by: Eross
 
 

C                     Am
Ketidakwarasan padaku
C                         Am
Membuat bayangmu s’lalu ada
         G
Menentramkan malamku
F                        C
Mendamaikan tidurku
C                     Am

Ketidakwarasan padaku
C                     Am
Membuat hidupku lebih tenang
G
Aku takkan sadari
F                       C
Bahwa kau tak lagi disini

                        F
Aku mulai nyaman

G          C         G on B           Am
berbicara pada dinding dikamar
G                 F        G
Aku takkan tenang
                           C
saat sehatku datang

C                          Am
Ketidakwarasan padaku
C                               Am
Slimut tebal hati rapuhku
G
Berkah atau kutukan
F                          C
namamu yang kusebut

                        F

Aku mulai nyaman
G          C         G onB           Am
berbicara pada dinding dikamar
                 F      
Aku takkan tenang

G                        Am Don F#  F   E  2x
saat sehatku datang

G#      A        D       F#m                               
Suara hati tak ‘kan mati
G#      A        D       F#m
Jika jiwa terus menari dan bermimpi

Am F G 4x

F     G

F on G

Selasa, 30 Oktober 2012

Miracle


Alhamdulillah ...
tak terkira sore ini begitu teduh ... ketika sangat sedikit yang bisa membuat sumringah,
tapi rinai rinai Hujan hari ini membuat segalanya jadi lebih.

Angin yang berjalan mondar mandir,
Langit yang menggelar tirai kelabu,
semilir bau hujan dan tanah becek
Lalu tetes yang berkejaran berebut menyentuh bumi.

Hujan (memang) membuat segalanya terlihat lebih ajaib ...

Kamis, 18 Oktober 2012

Tuit tuit ...


Karena membaca kata katamu saja sudah cukup membuatku tenang dan lega ....

Selasa, 16 Oktober 2012

Somewhere, Outhere ...


Y: “Pokoknya, aku duluan yang mutasi. Aku tak ikut suami. Wkwkwk… :P”
X: “Enak ajah, ndak iso. Aku dhisik’an, kamu di sini ae. SK-mu tak tahan. Orang Rayon masih butuh kamu...:D”

*

Yah … Kurang lebih, itulah percakapan rutin harian yang mesti muncul di MIRC antara Saya dengan Dennik. Yup, sama sama dari kami, sering mengobrol ngalor ngidul tentang kapan bisa mutasi. Pulang kampung kerja di Jl. Basuki Rahmad 100, Kota Kelahiran.

Walaupun sih dia punya faktor keunggulan karena beralasan mau mengekor suami, tapi ndak rela kalau dia yang mutasi duluan... Saya duluan kalau bisa. Haha (ndak boleh marah).

Anyway, masalah pulang kampung memang jadi impian tiap orang. Sering Saya dengar orang mengeluh pengen pulang ke kota asalnya. Karena ini atau karena itu. Apapun itu, memang sudah jadi hak mereka buat menentukan Arah mana yang paling baik di masa depan.

Tahun ini genap 3 musim sudah Saya mengungsi ke Kota Suwar Suwir. Tiga tahun ini, Saya silih berganti bertemu dan kehilangan banyak hal. Dan tiga tahun ini pula, Jember masih menyisakan banyak pertanyaan untuk harus Saya terjemahkan seiring perjalanan Waktu.

Sepertinya, Saya harus bersyukur dan berterima kasih, Pak Moh. Taufik telah melempar Saya ratusan kilometer dari Sawojajar ke Kaliwates sini. Sungguh, Saya sebelumnya tak pernah barang sedetik mengimajinasikan seperti apa rona Kota ini. Saya hanya dengar nama Kota ini pun sebatas dari buku kisah Wali Songo haha ....

Namun, di sini ada banyak Nama dan ada banyak Cerita.

Cerita soal gerahnya Kota ini ketimbang Batu. Soal baru pertama kalinya tersesat di Gunung (dan ada praktik tawar menawar ala Akuntansi di bukit dimana orang mungkin bahkan tak kenal siapa itu Julia Perez). Soal manjat pagar Rumah Kos tiap pulang larut malam. Soal para Perempuan yang mengisi cerita dan mendewasakan. Soal es krim Milado atau Bioskop Kusuma.

Soal Kamu, Kita, dan Mereka....

Di Rumah, Ibu kadang juga berandai kapan Saya bisa berkantor di Jl. Basuki Rahmad 100. Tapi Ibu pun tak pernah mencegah Saya untuk pergi ke mana pun aliran ini mengalir.

Iya, ke mana pun aliran ini mengalir.
Karena Tuhan telah melayarkannya dengan ajaib sedemikian rupa.
Seperti kata Sheila On 7: “Kemana Aku melangkah, Kau yang menentukan Arah ....”

*

15 Oct - 01:29 WIB
Di balik Jendela Kamar Kos

Rabu, 10 Oktober 2012

Dalam Doaku


Yuk, membaca lagi sajaknya Pak Sapardi ... 
kali ini judulnya "Dalam Doaku", dari kumpulan "Hujan Bulan Juni"

: )


Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang
semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening
siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening
karena akan menerima suara-suara


Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala,
dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang
hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya
mengajukan pertanyaan muskil kepada angin
yang mendesau entah dari mana


Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung
gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis,
yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu
bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan
terbang lalu hinggap di dahan mangga itu


Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang
turun sangat perlahan dari nun di sana, bersijingkat
di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya
di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku


Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku,
yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit
yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia
demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi
bagi kehidupanku


Aku mencintaimu.
Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan
keselamatanmu

Senin, 08 Oktober 2012

Oktober ke Sepuluh ...


# Oktober, 2012.



Tanpa terasa ini sudah Oktober yang ke sepuluh. Sepuluh tahun berlalu sejak pagi hari yang berselubung mendung itu. Bulan ke sepuluh di tahun ke sepuluh yang membuat diri bimbang menyikapi. Apa harus bersedih atau bahagia menjalani.

Sebagaimana hal hal ajaib yang gemar dituliskan Tuhan dalam Lauhul Mahfuz-Nya, Oktober turut menjadi bulan yang membentuk paragraf tersendiri dalam perjalananku. Suka, duka. Jatuh, bangun. Tertawa, menangis. Apapun itu, ada di dalamnya.

Oktober ke sepuluh ini, Aku masih belum juga menerima kalau Aku beranjak dewasa. Hehe... sering sekali benak ini berpikir: Iya, untuk apa bersusah payah menjadi dewasa? Aku nggak mau itu. Memikirkan menjadi tua. Tubuh reot. Diserahi kewajiban ini itu. Ah ... gimme a break. Sungguh menjemukan sekali. 

Aku iri pada dongeng Peterpan. Dia itu nggak pernah menjadi tua. Kalau boleh memilih, Aku ingin kembali menjadi bocah 2 tahun yang biasa kamu gendong atau anak 11 tahun dalam potret yang diambil di hari Hujan itu.

Tapi rupanya Oktober berkata lain.

Tahun demi tahun, Aku menyadari kalau Aku harus berjuang tanpamu. Menjadi dewasa lalu menua tanpa petuah dan nasihatmu. Berduka sekaligus bersuka di setiap 27 Oktober demi mengenang kepergianmu dan hari jadi tempatku bekerja ini.

Ayah, Oktober ini genap sepuluh tahun sudah....
Maaf, Aku masih mbethik dan nggak bisa jaga diri sendiri....
Masih terperangkap dalam pikiran anak kecil di tubuh lelaki 25 tahun .....

Tapi Aku belum patah kok...
Belum berhenti berjalan dan terus belajar
from no one…. to be someone.
InshaAllah ...