Aaah ... berhubung kemarin kantor ditinggal penghuninya yang dinas
luar kota, saya juga jadi pulang lebih awal. Ndak enak sepi di ruangan.
Biasanya, baru pulang jam 19.00 ke atas, tapi kemarin on time jam 16.00
udah pulang.Waktu sisa hari saya habiskan buat membaca lagi koleksi buku saya. Masih yang paling saya sukai adalah kumpulan cerita Umar Kayam, "1000 Kunang-kunang di Manhattan".
Entah mengapa, saya begitu tertarik dengan karya populer ini. Cerita yang sederhana tapi kompleks, lugas, ndak meledak-ledak, dan alurnya mengalir seperti air.
"1000 Kunang-kunang di Manhattan" bukan cerita bahagia, kalau boleh saya menjustifikasi. Sedih. Muram. Abu-abu. Kusam. Persis metaforis tokoh Istriku dalam cerita "Istriku, Madame Schlitz, dan Sang Raksasa", yang menggambarkan New York sebagai Raksasa yang menelan habis mereka yang hidup di sana.
Namun demikian, bukan kesuraman itu yang membingkai cerita ini asyik diikuti. Lebih kepada cara mendongeng penulisnya yang seakan menabrakkan Manhattan, Central Park, dan New York ke alam imajinasi kita. Seperti seolah-olah secara magis kita terpental dan merasakan dingin serta warna warni setting cerita itu.
Cuma 3 cerita saja yang saya habiskan malam itu. Cerita pamungkas adalah "Musim Gugur Kembali di Connecticut." Sebuah cerita oleh-oleh orde suram negara ini. Setting maupun tema cerita menyangkut peristiwa Gestapu 1965 dan pengasingan orang-orang "merah" oleh negara.
"Musim Gugur Kembali di Connecticut" adalah bentuk romantisnya perdebatan, kasih sayang, ideologis, dan kematian itu sendiri. Konon ketika menulis ini, Umar Kayam menganalogikan ketika daun-daun gugur di Connecticut sebagai saat-saat romantis menjemput ajal tokoh utama cerita ini.
Malam belum naik terlalu tinggi ketika saya selesai dari Connecticut.
Alih-ailh bobok, saya nyalakan TV dan ndilalah ada film sejarah cukup bagus. Garapan Quentin Tarantino. Judulnya "Inglorius Basterd", gabungan fact dan fiction bertema fasisme Nazi di Perancis. Bintangnya Bradd Pitt, Mike Myers, Diane Kruger, dan Christop Waltz.
Setiap kali menonton film semacam ini, saya selalu merasa ada pesan propaganda. Sejarah dunia itu, seperti Soe Hok Gie bilang, dibangun oleh penderitaan. Dalam kasus ini, tentulah tentang minoritas Yahudi yang diburu dan digenosida oleh Reich 3 Jerman.
Hitler, Bormann, Goebbe, dan Goering adalah petinggi perang Jerman di Perang Dunia 2. Banyak - sampai saat ini - yang mendata hitam Reich 3 sebagai biang keladi kejahatan kemanusiaan. Tapi yang saya percaya, perang ndak pernah meninggalkan apapun kecuali kehilangan dan kengerian.
Peluru berbalas peluru. Belati berbalas belati. Darah berbalas darah. Pengkhianatan berbalas pengkhianatan. Dengan trik dan skenario yang juga saling berbalas kelicikan dan kecerdasan.
Revenge itu nampak jelas saat agedan pemutaran film propaganda Goebbe. Menceritakan sniper Jerman yang seorang diri menembaki 200 orang Amerika di Italy. Menteri Joseph Goebbe mendapat sanjungan dari Fuhrer atas karyanya itu.
Lalu ketika asyik menikmati adegan nyawa terjengkang satu demi satu, Shosanna Dreyfus - seorang gadis Yahudi - membakar gedung bioskop terkunci itu. Fuhrer dan ratusan Jerman lain panik menyelamatkan diri. Mereka terkunci di gedung dengan api menyambar dan rentetan peluru menghujam dari arah balkon.
Mengerikan. Sejarah dunia itu menyimpan banyak sisi kelam. Dan, kini, kita adalah sosok yang berdiri dari imbas kengerian itu. Banyak memang luka yang pulih. Tapi juga tak sedikit emosi yang masih memanas.
Lalu, bagaimana dengan mereka yang terluka atau terbunuh tapi tak pernah punya atau sekedar tahu suatu kepentingan apapun - dogma agama, politik, jealousy - di balik dentum meriam dan deru rudal di atas kepala mereka?
Pukul 00:13 WIB. Saya jatuh lelap dan keesokan paginya berita surat kabar masih saja kusam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar