.jpg)
# Oktober, 2012.
Tanpa terasa ini sudah Oktober yang ke sepuluh. Sepuluh tahun berlalu sejak pagi hari yang berselubung mendung itu. Bulan ke sepuluh di tahun ke sepuluh yang membuat diri bimbang menyikapi. Apa harus bersedih atau bahagia menjalani.
Sebagaimana hal hal ajaib yang gemar dituliskan Tuhan dalam Lauhul Mahfuz-Nya, Oktober turut menjadi bulan yang membentuk paragraf tersendiri dalam perjalananku. Suka, duka. Jatuh, bangun. Tertawa, menangis. Apapun itu, ada di dalamnya.
Oktober ke sepuluh ini, Aku masih belum juga menerima kalau Aku beranjak dewasa. Hehe... sering sekali benak ini berpikir: Iya, untuk apa bersusah payah menjadi dewasa? Aku nggak mau itu. Memikirkan menjadi tua. Tubuh reot. Diserahi kewajiban ini itu. Ah ... gimme a break. Sungguh menjemukan sekali.
Aku iri pada dongeng Peterpan. Dia itu nggak pernah menjadi tua. Kalau boleh memilih, Aku ingin kembali menjadi bocah 2 tahun yang biasa kamu gendong atau anak 11 tahun dalam potret yang diambil di hari Hujan itu.
Tapi rupanya Oktober berkata lain.
Tahun demi tahun, Aku menyadari kalau Aku harus berjuang tanpamu. Menjadi dewasa lalu menua tanpa petuah dan nasihatmu. Berduka sekaligus bersuka di setiap 27 Oktober demi mengenang kepergianmu dan hari jadi tempatku bekerja ini.
Ayah, Oktober ini genap sepuluh tahun sudah....
Maaf, Aku masih mbethik dan nggak bisa jaga diri sendiri....
Masih terperangkap dalam pikiran anak kecil di tubuh lelaki 25 tahun .....
Tapi Aku belum patah kok...
Belum berhenti berjalan dan terus belajar
from no one…. to be someone.…
InshaAllah ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar