TANPA aku sadari terompet pertanda tahun ini berakhir telah tertiup nyaring dan tahun baru bergulir begitu cepatnya. Mentari di pertengahan Februari menyinar dengan cerahnya di atas wajah-wajah tersenyum yang kutemui. Walau bencana belum sepenuhnya pudar seiring tenggelamnya penghujung Desember, tetapi senyum itu telah menumbuhkan benih harapan segar dalam menatap wajah hari esok.
Aku yakin mempunyai harapan melanjutkan cinta ini ke strata yang lebih tinggi. Umurku tidak muda lagi dan Frida seorang yang baik dengan wajah berhiaskan senyum yang sesegar hujan dan sepasang mata yang selugu kelinci kecil. Dia seorang muslimah yang taat. Kadang aku merasa malu sendiri kalau mendengarnya melafalkan doa sementara aku belum hafal sebuah ayatpun. Karena berperan selayar dengannya, kami berkesempatan menjadi tamu undangan dalam pemutaran perdananya di Malang.
Hanya dalam beberapa jam, aku dan Frida langsung jatuh cinta kepada kota yang terkenal dengan fanatisme sepakbola dan apelnya itu. Ketika acara serupa yang rencananya akan digelar di Surabaya diundur selama dua hari, kami luangkan sedikit waktu untuk singgah di kota ini. Dengan didampingi seorang pemandu, kami berkunjung ke Alun-Alun Merdeka. Jantung kota itu mempunyai kolam air mancur tepat di pusat kawasan dan rindang dengan pepohonan beringin tua. Burung-burung merpati berhamburan saat seorang anak menabur butir-butir jagung di tanah. Genderang pengiring topeng monyet ditabuh penuh semangat. Semua insan terlihat bahagia.
Pemandu meninggalkanku dan Frida selama kami berkeliling menikmati suasana. Ketika melintas di bawah juluran akar-akar beringin yang liar, mataku secara tidak sengaja menemukan Rivael. Aku hampir tak percaya dengan pandanganku sendiri. Tapi, itu benar dia! Hanya kini ia membiarkan bulu-bulu cambangnya sedikit lebat hingga terkesan lebih kebapakan.
Aku meminta Frida menunggu sejenak sementara aku berlari menghampirinya.
“Rivael,” kataku ketika telah berada di belakangnya tanpa ia sadari.
Ia berbalik dan menatapku dengan tatapan rindu sekaligus tidak percaya.
“Jeremy,” katanya takjub.
Kami berniat berpelukan namun Rivael buru-buru mengurungkannya dengan halus karena kedua tangannya sedang memegang sebungkus lupis. Dia tidak ingin bajuku kotor oleh cairan gulanya yang coklat dan pekat.
Aku melambai pada Frida agar ia datang mendekat.
“Kenalkan, Frida,” kataku pada Rivael.
Mereka tidak berjabat tangan, hanya saling mengangguk dan tersenyum.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Rivael seraya melanjutkan langkahnya.
“Pemutaran perdana,” jawabku. “Kami bermain di film yang sama. Sekarang premiere. Kau sendiri?”
“Cheryl,” katanya singkat.
Angin berhembus pelan namun tidak terlalu hangat. Kami hening selama beberapa langkah.
“Aku tahu kau pasti marah mendengar nama itu,” terka Rivael.
Aku memandangnya. Memang aku masih jengkel mendengar nama itu, namun mengingat apa yang telah terjadi malam itu aku tidak ingin mengulanginya kembali di tempat ramai ini.
“Aku sudah menemukannya,” tiba-tiba Rivael meneruskan.
Aku terkejut. Akhirnya, usai dipusingkan dengan setan betina bernama Cheryl itu, rasa penasaranku yang ingin bertatap muka dengan perempuan itu sebentar lagi akan terjawab. Seperti apakah begundal yang membuat Rivael kehilangan akal sehat itu? Seperti apa sosok yang menyingkirkan puluhan wanita-wanita di jagad kami dan berhasil melunakkan kesombongan dan don juan-isme Rivael itu?
Rivael sepertinya bisa membaca perasaanku itu.
“Akan kutunjukkan ia padamu,” katanya kemudian.
Aku diam namun hatiku berdegup kencang seperti tambur. Kami melangkah di wajah jalan setapak menuju ke salah satu sudut Alun-Alun. Dan di bawah rindang dan sejuk pohon beringin, sosok itu duduk tenang seperti air. Kami menghampiri dan berdiri di depannya sementara Rivael meletakkan makanannya di samping wanita yang aroma tubuhnya seperti pandan itu. Wajah manisnya tersenyum mengiringi perkenalan kami.
“Rifai,” kata Cheryl. “Kau tidak datang sendirian.”
“Aku tak sengaja bertemu dengan kedua temanku,” kata Rivael. “Kenalkan. Yang ini Jeremy dan yang satu ini mungkin calon pendampingnya, Frida.”
“Syukurlah masih bisa bertemu teman Rifai di kota ini. Kupikir memang lebih baik kalau Rifai dapat bertemu teman-temannya. Dia cukup kesepian di sini,” kata Cheryl.
“Jangan bilang begitu,” kata Rivael.
Ia kemudian menarik lenganku dan berbisik:
“Bagaimana Cheryl menurutmu, ha?”
Aku belum selesai terkejut karena dua hal yang di luar kekhilafanku itu. Pertama karena pertemuan dengan wanita yang duduk anggun itu, dan yang kedua karena wanita itu memanggil temanku dengan nama aslinya Rivael semakin mendesakku mengatakan jawabannya, sementara yang kulakukan hanya memandang dia seperti keledai dungu.
“Cantik. Seperti Aphrodite,” bisik Frida.
“Kenapa kalian berbisik-bisik?” tegur Cheryl. “Pendengaranku ini masih tajam, lho.”
“Ah, tidak. Bukan apa-apa, Cheryl,” kata Rivael. Ia menatapku sekali lagi.
Mulutku masih tersumpal. Cheryl memang berbeda dari kebanyakan kaum di jagad yang pernah aku dan Rivael huni. Dia benar-benar sihir, seakan memantrai mulutku yang kotor dan pernah merendahkannya. Aku menyesal, malu, dan berniat minta maaf.
Namun, sebelum kata maaf itu melompat dari dalam mulutku, Rivael memilih menyudahi pertemuan kami.
“Senang berjumpa kalian. Sayang, kami harus pergi. Nikmatilah suasana, belum tentu kalian melihat Malang untuk yang kedua kali,” katanya.
Dia melingkarkan tangannya di lengan Cheryl lalu berpaling.
Aku melirik lupis di bangku taman.
“Ini –”
“Ambil saja. Aku membelinya untuk kalian,” kata Rivael dari kejauhan.
Aku kembali kehilangan kata-kata. Perlahan namun pasti, mereka berdua berjalan semakin jauh dan jauh hingga kelak akan menjadi sekecil titik. Sepanjang perjalanan, Cheryl tak pernah berhenti menggunakan tongkatnya untuk meraba wajah jalanan, sementara Rivael tidak pernah berhenti menggambarkan suasana di sekitar mereka. Samar aku mendengar ia sedang menggambarkan nuansa langit, warna cat masjid yang baru, pepohonan, anak-anak kecil, mall di seberang jalan, dan semua benda yang berada di sana.
Tangan Frida yang menepuk bahuku mengejutkanku setelah sekian lama terdiam.
“Kenapa?” tanya Frida.
Aku tidak menjawab. Perasaanku membiru.
“Menurutku, ia sudah menanggalkan don juan-nya,” kata Frida dengan mulut penuh makanan.
Aku memandang Frida yang cara makannya seperti anak kecil itu lalu tertawa.
“Hm?” tanya Frida saat melihatku tertawa.
Ia kemudian mengusap bibirnya dengan tisu.
“Ada yang salah?” tanyanya lagi.
“Tidak. Tidak ada. Cheryl itu, dia mungkin telah mengajarkan Rivael sesuatu dengan pengelihatannya yang gelap itu. Aku tidak bisa menebak hati seseorang, tapi mungkin aku mengerti kenapa Rivael hampir gila. Karena perempuan itu, dia buta, sehingga melihat sekelilingnya setara.”
“Rivael pasti bahagia,” kata Frida.
“Ya. Dia memang diberkati untuk itu.”
Matahari memerah, berangsur-angsur tenggelam di barat. Layar langit tercemar oleh pewarna jingga kemerahan yang hampir merata dan menjalar hingga ke seluruh penjuru mata angin. Langkah Rivael dan Cheryl semakin tak terjangkau oleh pandangan mata kami. Yang tersisa dari mereka hanya sepasang bayangan hitam memanjang.
**
T A M A T

Tidak ada komentar:
Posting Komentar