Sabtu, 11 Juni 2011

Cassanova Gundah (bagian # 08)

PENGHUJUNG tahun telah di pelupuk mata. Surya gemilang di lembaran paling awal Tahun Tikus akan segera dijelang umat manusia dalam hitungan hari ke depan. Bulan-bulan dengan harapan baru, sinar-sinar cerah penebas jalan mendung kesuraman, telah dinanti seiring bergulirnya roda zaman yang tidak mungkin mundur. 

Walaupun semua itu belum sepenuhnya dirasakan oleh Rivael dan orang-orang yang menggelari diri mereka sendiri dengan sebutan “jelata” di luar sana. 

Ia telah menikmati awal kehidupan baru lebih cepat dari siapapun di antara relasi dan teman-teman kami. Setelah ketok palu pengadilan mengabulkan perpisahan jalan yang sebelumnya pernah ia lalui bersama Cheryl dalam satu titian yang sama, hari-hari berikut bulan-bulan sebagai seorang duda muda harus ia geluti. Kehidupan baru di tengah kerinduan terbitnya harapan baru. 

Dan Cheryl adalah harapan yang masih dinanti cercah sinarnya.

Setelah menumpuk rasa kesal, iri, marah, dan cemburu pada kehidupan Rivael, sekarang hatiku tidak bisa menahan perasaan iba yang menggelayut. Dia memang telah merelakan hampir seluruh harta selama ia dan mantan istrinya masih seranjang menginap dalam akun bank atas nama Jessica. Rivael juga mencoba menjadi pendidik bagi putranya. Dia sama sekali tidak melayangkan komplain ketika hak pengasuhan jatuh ke tangan Jessica. Rupanya, sebelum berpisah Rivael telah menyampaikan satu permohonannya kepada Jessica bahwa Evandra harus belajar selembut, sepintar, dan sebaik ibunya. Rivael berani menghukum dirinya sendiri dengan jelas mengatakan ia tidak ingin Evan menjadi seperti dirinya.

Aku merasa dia sudah bercermin dengan apa yang dia perbuat selama ini. Dan seolah menguatkan semua itu, citra kurang baik Rivael yang “seharusnya” telah melekat delapan hingga sembilan tahun silam itu perlahan menggerogotinya. Tawaran film pun hanya untuk para pendatang baru yang masih kelas pemula.

Aku bukan ingin mengungkitnya kembali, namun jika ucapan Gipsy itu adalah kebenaran, mungkin saat inilah yang coba dia gambarkan.  

Hubungan batin Rivael dengan pembawa musibah bernama Cheryl itu tidak pernah terbukti ampuh dan nyatanya. Yang terjadi saat ini justru hanyalah kegundahan, amarah yang tidak pada tempatnya, wajah pucat pasi, atau sikap antisosial yang menerjang diri Rivael. Berminggu-minggu ia tidak menemukan apapun selain rasa hampa, gelisah, dan marah. 

Bukan hanya Rivael yang gundah karena belum mendapati keberadaan penyihir bernama Cheryl itu, aku juga akhirnya merasakan hal yang senada. Aku justru malah menginginkan dia kembali seperti semula: Rivael yang don juan, penikmat wine, dan sangat menikmati hidup tanpa peduli apa yang sedang dia kenakan saat itu. Keterpurukannya saat ini hanya menimbulkan kesan ia seperti seonggok sampah yang tak berguna.

Pada sebuah malam sebelum 31 Desember, aku menyempatkan berkunjung ke apartemen Rivael. Ini adalah apartemen barunya yang jauh lebih kecil daripada yang dulu.

Ruangan kamarnya suram, hampir gelap. AC tidak dinyalakan sehingga udara terasa seperti di neraka yang diramaikan oleh tarian asap putih rokok. Asbak di meja yang ia tentang dijejali oleh puluhan puntung rokok. Baunya lumayan apak. Keadaan Rivael sendiri yang tengah duduk di sofa itu sudah seperti mayat hidup. Aku menggantungkan jaketku lalu mencoba menghibur dia dengan memancing sifat nakalnya yang terancam punah.

“Rivael,” kataku seraya duduk di sebelahnya. “Bagaimana kalau malam ini kita mencari Helena. Kau pasti rindu tarian pinggulnya, kan?”

Rivael menatapku hampa. “Siapa kau?”

Aku terkejut. Mungkin dia sudah gila, pikirku. “Ini aku, Jeremy.”

“Jeremy, hah?” kata Rivael dengan senyum di sudut bibirnya.

Aku mengangguk.

“Setahuku, Jeremy yang kukenal tidak suka dengan hal-hal semacam tarian pinggul Helena itu. Siapa kau?”

Aku tertawa untuk membuatnya ringan. “Bercandamu boleh juga. Kau pun bukan Rivael yang dulu kukenal. Jadi......apa kau setuju dengan rencanaku itu? Kita pergi ke tempat Helena.”

Rivael menekan puntung rokoknya di asbak lalu menyandarkan dirinya pelan-pelan.

“Tidak,” katanya parau. “Tidak, Jeremy. Aku akan lebih senang kalau kita meninggalkan apartemen neraka ini untuk hal yang lain.” 

“Apa? Kau ingin pergi ke bar? Disko? Apa. Katakan, Rivael! Akan senang sekali bisa membawamu keluar dari tempat pengap ini,” desakku. 

Rivael menolehku perlahan. “Aku ingin kita mencari Cheryl.”

Aku cepat membuang muka darinya. 

“Cheryl?!” kataku masam. “Lagi-lagi Cheryl! Lagi-lagi Cheryl! Perempuan itu benar-benar musibah. Kenapa kau masih saja mau mencarinya?” 

“Entahlah, kurasa dia separuh tulang igaku yang hilang,” kata Rivael pelan, hampir seperti berbisik.

“Kau pasti bergurau. Bukan untuk dia seharusnya kau katakan hal itu. Tapi untuk Jessy dan anakmu.”

Rivael merenung, tidak membalas. “Sekarang hanya Cheryl yang ada di kepalaku,” katanya.

Dengan pandangan bersaput setitik cahaya, Rivael menatapku.

“Kita harus mencarinya! Kita harus mencarinya! Demi Allah, aku akan benar-benar gila kalau tidak pernah bertemu lagi dengannya.” 

Aku masih bersabar walau mendengar nama Cheryl selalu membuat pitamku naik.

“Mau cari kemana, hah?” tanyaku kesal. “Aku tanya padamu: mau cari kemana? Kolong jembatan? Terminal bus? Hotel? Kost? Kemana, hah?! Kau yang bilang sendiri padaku kalau kau sudah mencarinya ke semua tempat, bertanya tidak kenal lelah ke semua orang yang mungkin dia kenal, mondar-mandir keluar-masuk rusun Surti demi sepotong jawaban darinya! Sekarang apa yang kau dapat dari semua itu?! NOL!!”

“Tapi kita tak seharusnya menyerah begitu saja,” kata Rivael mencoba meyakinkan.

“Katakan itu pada perkawinanmu. Kau sudah gila sejak saat itu.”

Rivael bungkam. Aku yang lelah berdebat dengannya bangkit dan berjalan menuju lemari es. Tidak ada yang bisa diminum selain air putih dingin. Aku menuang segelas lalu meneguknya. 

“Tawaranku terakhirku, Rivael: kita pergi malam ini atau aku akan meninggalkanmu!” kataku.

Aku mendekat kembali padanya. “Ayolah, tak ada salahnya kau kembali pada peradaban di luar sana; berpesta; bagaimana? Kau tentu tidak ingin melewatkan malam begitu saja, bukan?” bujukku.

“Tentu saja tidak,” katanya. Sesaat aku lega dia menurut. “Tapi tidak tanpa Cheryl,” lanjutnya.

Mendengar Rivael mengulang kembali nama wanita itu, kali ini bendungan kesabaranku benar-benar sudah jebol. Aku bangkit dengan kejengkelan dan mulai memperoloknya. 

“Astaga, Rivael! Entah setan betina macam apa Cheryl itu sampai-sampai kau dibuatnya tak berdaya; sinting seperti ini!” kataku tajam.

“Demi Allah, Rivael! Cheryl itu benar-benar telah menjadikanmu seperti boneka mainan: bisa digantung, ditendang, ditelantarkan! Kau harus melenyapkannya! Lanjutkan hidupmu, dan jangan tenggelam dalam kelakukan sampah seperti ini!” 

Rivael memegangi kepalanya dengan kedua tangan.

“Diamlah!” hardiknya. “Kau sama sekali tak membantu menyelesaikan masalah ini! Bicaralah yang berguna atau diamlah!” 

“Kau yang dengarkan!” bentakku tak kalah lantang. “Mulai sekarang kau harus melupakan dia! Dia orang yang menghancurkan hidupmu! Dia yang membuatmu seperti sampah!”

Rivael masih memegangi erat kepalanya dengan kedua tangan. Tubuhnya gemetaran.

“Diamlah! Kau tak punya hak!” hardiknya. “Keluar dari kamarku! Keluar!”.

“Aku tidak akan keluar sebelum kau berjanji akan melupakan iblis betina itu!” kataku kasar.

Rivael cepat-cepat bangkit dari sofa dan mencengkeram kuat-kuat kerah bajuku. 

“Tarik umpatanmu!” katanya tepat di depan mukaku. “Kau tak punya hak menghina Cheryl seperti itu!”

Rivael mengguncang-guncangkan tubuhku. “Tarik kembali umpatanmu padanya! Tarik kembali!!”

Aku meraih cengkeramannya, berusaha melepasnya, lalu menampiknya. Rivael terengah-engah lelah.

“Aku tidak akan menarik ucapanku yang manapun. Aku tak akan menariknya kembali. Dia memang pantas dikatakan begitu! Setan betina!” 

Rivael memberiku pukulan telah di wajah. Aku terhuyung, menabrak meja, menjatuhkan gelas dan asbak, lalu jatuh terjerembab di lantai berkarpet. Bibirku terasa perih. Setetes darah merah membasahinya.

“Kau tidak mengerti dengan apa yang kau katakan, Jeremy,” kata Rivael.

Aku yang masih telungkup memandangnya sekilas dan segera bangkit.

“Apa yang tak kumengerti?” tanyaku. “Aku tahu, aku tahu Cheryl itu racun. Dia sudah meracunimu. Tinggalkan dia; cari wanita lain. Kau bisa dengan mudah mendapatkan yang lebih baik di luar sana. Cheryl itu sampah!”

Rivael kembali merengkuh kerah bajuku dengan paksa. “Jangan pernah mengatakan ia sampah di hadapanku, Jeremy! Aku rela Tuhan mengambil apa pun dariku, asal Dia menukarnya dengan Cheryl!”.

Aku menampiknya. “Kau sudah benar-benar gila! Kenapa kau berkata begitu?!”

“Karena aku mencintainya. Aku mencintai Cheryl. Itu sudah cukup bagimu?”

Aku membuang muka dan segera berjalan menjauh.

“Kau selalu ‘jatuh cinta’!” ejekku.

Kuambil jaket di gantungan. Saat hendak membuka pintu, kutoleh ia kembali.

“Apa kelebihannya, hah?” tanyaku.

“Andai kau tahu Tapi rasanya kau tidak akan pernah tahu karena kau mungkin tidak akan pernah kembali ke sini lagi untuk membahasnya denganku,” kata Rivael. 

Aku menutup pintu tanpa menanggapi sepatah katapun ucapannya. Memang yang ia katakan benar. Aku tidak akan jauh-jauh ke apartemennya hanya untuk membahas mengenai Cheryl. Setelah daun pintu itu menjadi batas keberadaanku dengan Rivael, langkahku tak pernah lagi menyapa apartemennya untuk waktu yang cukup lama.

**

(Bersambung)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar